Analysis Distribution of the Volcanic Ash Eruption of Mount Agung 2018 and Its Influence on the Surface Temperature of the Land Area of Bali by Using the Split Windows Method
on
Analysis Distribution of the Volcanic Ash Eruption of Mount Agung ……..
(Septian Jonathan, dkk)
Analisis Sebaran Debu Vulkanik Erupsi Gunung Agung 2018 dan Pengaruhnya Terhadap Suhu Permukaan Darat Wilayah Bali Dengan Menggunakan Metode Split Windows
Analysis Distribution of the Volcanic Ash Eruption of Mount Agung 2018 and Its Influence on the Surface Temperature of the Land Area of Bali by Using the Split Windows Method
Septian Jonathan1*, I Ketut Sukarasa1, I Wayan Wirata2
-
1Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Indonesia, 80361
-
2Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III, Badung, Bali, Indonesia 80361 Email: *[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak - Penelitian ini berfokus pada sebaran awan debu vulkanik erupsi Gunung Agung 2018 dengan dampaknya pada suhu permukaan darat wilayah Bali setelah letusan Gunung Agung. Untuk mengetahui arah sebaran awan debu vulkanik dapat diketahui dengan pengolahan data komposisi RGB menggunakan metode split windows pada aplikasi Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID), yang dapat membedakan awan debu vulkanik atau awan meteorologi (awan air/es), dan juga dapat mengetahui arah angin yang terjadi pada saat kejadian. Data komposisi RGB diperoleh dari satelit cuaca Himawari-8 melalui channel IR (10,4 µm), channel I2 (12,4 µm) dan channel I4 (3,9 µm) yang mampu mengidentifikasi keberadaan awan debu vulkanik. Sulfur dioksida yang dihasilkan dari erupsi gunung api dapat menjadi inti kondensasi sehingga terbentuklah awan maka proses penyinaran sinar matahari ke permukaan terhalangi yang berdampak pada penurunan suhu permukaan darat. Hasil deteksi sebaran debu vulkanik pada erupsi Gunung Agung tanggal 28 Juni 2018 dan 2 Juli 2018 tersebar ke arah barat daya, yang berdampak penurunan suhu permukaan darat wilayah Bali tahun 2019. Hal ini akibat awan debu vulkanik yang menyebar hingga hampir ke seluruh wilayah Bali dan mengendap di lapisan stratosfer bumi hingga beberapa bulan ataupun tahun.
Kata kunci: Gunung Agung, Himawari-8, erupsi, Split Windows, RGB, sebaran debu, suhu permukaan.
Abstract - This study focuses on the distribution of volcanic ash clouds in the 2018 Mount Agung eruption with its impact on the surface temperature of the Bali region after the eruption of Mount Agung. In order to find out the direction of the distribution of volcanic dust clouds, it can be seen by processing the RGB composition data using the split windows method in the Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID) application, which can distinguish volcanic dust clouds or meteorological clouds (water / ice clouds), and can also know the direction wind that occurred at the time of the incident. RGB composition data obtained from the Himawari-8 weather satellite via IR channel (10.4 µm), channel I2 (12.4 µm) and channel I4 (3.9 µm) are able to identify the presence of volcanic dust clouds. Sulfur dioxide produced from volcanic eruptions can become the core of condensation so that clouds form, thus the process of irradiating sunlight to the surface is blocked which results in a decrease in land surface temperature. The detection results showed that the distribution of volcanic dust in the eruption of Mount Agung on 28 June 2018 and 2 July 2018 spread to the southwest, which resulted in a decrease in the surface temperature of the Bali region in 2019. This was due to volcanic dust clouds that spread to almost all areas of Bali and settled in the Earth's stratosphere for several months or years.
Keywords: Mount Agung, Himawari-8, eruption, Split Windows, RGB, dust spread, surface temperature.
Indonesia merupakan jalur rangkaian gunung api di dunia dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dimana hampir 70 di antaranya masih aktif. Gunung Agung adalah gunung tertinggi di pulau Bali dengan ketinggian 3.031 mdpl (meter di atas permukaan laut). Pada tahun 2018 rentetan gempa bumi tektonik di sekitar pulau Lombok, teramati mempengaruhi aktivitas Gunung Agung [1]. Terjadi aktivitas gempa yang terekam di Gunung Agung didominasi oleh gempa tektonik dan beberapa kejadian gempa vulkanik
dangkal dan vulkanik dalam. Berdasarkan analisis data secara menyeluruh, erupsi yang terjadi pada tahun 2018 berupa lontaran material baru/lava pijar, hujan abu maupun hembusan gas vulkanik. Abu gunung Agung hanyut kearah barat hingga selatan dan menyebabkan lokasi di sekitarnya ditutupi oleh abu vulkanik dengan lapisan tipis abu berwarna gelap. Sebaran abu diakibatkan oleh angin yang berhembus, maka dari itu efek letusan gunung api tersebut dapat berdampak pada wilayah sekitar. Angin dapat terjadi jika pada suatu saat terjadi perbedaan tekanan udara pada arah mendatar maka akan terjadi gerakan perpindahan masa udara dari tempat dengan tekanan udara yang tinggi ke tempat dengan tekanan udara yang rendah [2].
Jika debu vulkanik yang dikeluarkan dalam kapasitas yang banyak maka dapat menghalangi proses radiasi matahari sehingga tidak dapat masuk ke permukaan bumi yang menyebabkan suhu di daerah tersebut rendah atau disebut dengan atenuasi. Maka dari itu dilakukan penelitian tentang seberan debu vulkanik serta dampaknya pada perubahan suhu permukaan di wilayah Bali. Gas sulfur yang berasal dari letusan gunung berapi berubah menjadi aerosol sulfat, cairan mikroskopik yang mengandung 75% asam sulfat. Pasca letusan, partikel aerosol itu mengendap di lapisan stratosfer selama satu atau dua tahun [3].
Dalam penelitian ini, untuk pengolahan data satelit Himawari 8 menggunakan bantuan perangkat lunak Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID) untuk menghasilkan citra RGB dengan metode split windows. Citra komposisi RGB yang akan diolah berasal dari Multi-Functional Transport Satellite (MT-SAT) atau Himawari 8 yang merupakan satelit geostasioner multi fungsional. Untuk mengidentifikasi sebaran debu vulkanik berdasarkan data dari citra satelit, dimana metode ini digunakan untuk membedakan awan yang bercampur debu dengan awan air/es, serta mengetahui dampak sebaran debu vulkanik Gunung Agung pada suhu permukaan darat wilayah Bali.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran awan debu vulkanik pada erupsi Gunung Agung 2018 serta dampaknya kepada suhu permukaan darat wilayah Bali. Debu vulkanik dapat berdampak pada suhu permukaan darat oleh karena mengandung gas sulfur, kemudian akan menjadi aerosol sulfat yang merupakan inti kondensasi atau inti pengembunan, oleh karena itu deteksi pada debu vulkanik dapat diketahui dengan metode split windows serta sebaran debu vulkanik yang dihasilkan dari Gunung Agung.
Letusan gunung api yang berupa partikel debu dapat masuk ke dalam lapisan atmosfer terutama ke lapisan troposfer atas dan stratosfer yang menghamburkan radiasi matahari yang datang. Di stratosfer partikel debu yang sangat kecil melayang-layang sehingga menghambat masuknya sinar matahari ke permukaan bumi yang menyebabkan suhu permukaan bumi turun [4].
Letusan gunung berapi menyebarkan kandungan belerang yang berubah menjadi partikel aerosol sulfat mikroskopis di atmosfir yang tinggi sehingga membiaskan cahaya matahari yang mempengaruhi pendinginan suhu udara di bumi dapat bertahan selama beberapa bulan ataupun tahun [5].
Jika debu vulkanik yang dikeluarkan dalam kapasitas yang banyak maka dalam lapisan troposfer bumi partikel-partikel padat yang berupa debu vulkanik tadi juga akan menghalangi proses radiasi matahari sehingga tidak dapat masuk kepermukaan bumi dan menyebabkan suhu di daerah tersebut rendah (menurun). Yang mana hal tersebut juga mempengaruhi pola iklim akibat perubahan komposisi atmosfer.
-
2.2 Aerosol
Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan tak langsung terhadap iklim. Di lapisan troposfer, aerosol khususnya aerosol sulfat merupakan partikel yang terdiri dari senyawa belerang yang dibentuk oleh interaksi sulfur dioksida dan sulfur trioksida dengan uap air. Diketahui bahwa letusan gunung berapi menghasilkan gas belerang yang dapat masuk ke dalam stratosfer, kemudian diubah menjadi aerosol sulfat sehingga bertahan beberapa bulan sampai sekitar 2 tahun [5].
Aerosol memainkan iklim global melalui dua mekanisme yaitu dampak langsung dan tidak langsung terhadap iklim. Dampak aerosol secara langsung adalah dengan cara menyerap dan menghamburkan radiasi matahari sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendinginan global dan juga meningkatkan albedo awan. Dampak aerosol secara tidak langsung adalah dengan cara memodifikasi sifat optis awan. Sifat optis awan adalah sifat yang dimiliki dalam nilai titik leleh, titik beku dan diameter pada awan.
Gas sulfur dioksida akan bercampur dengan air dan oksigen di atmosfer kemudian berubah menjadi asam sulfat yang akan mempercepat proses penipisan lapisan ozon. Aerosol juga dapat memberikan dampak kepada radiasi atmosfer bumi dengan cara memodulasi albedo awan ataupun jumlah awan yaitu bertindak sebagai inti kondensasi awan [5].
-
2.3 SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis)
Penggunaan satelit meteorologi adalah penting untuk menganalisa citra dan mengambil informasi darinya. Untuk menganalisis citra satelit secara benar dan berkualitas membutuhkan penguasaan interpretasi citra secara baik pada alat yang dipakai dan metode pengolahannya.
Citra yang akan diolah oleh SATAID berasal dari Multi-Functional Transport Satellite (MT-SAT) atau Himawari 8 yang merupakan satelit geostasioner multi fungsional untuk misi meteorologi dan aeronautika. Pemanfaatan data satelit cuaca Himawari 8 untuk estimasi sebaran awan dapat dilakukan karena tersedianya fasilitas sensor infra merah termal dan sensor sinar tampak untuk menentukan sebaran awan serta albedo awan. Keunggulan SATAID adalah dapat memproses data secara cepat, dapat menampilkan citra satelit, cloud motion winds, serta dapat mengetahui perubahan awan [6].
Satelit Himawari 8 dilengkapi dengan sensor yang diberi nama Advanced Himawari Imager (AHI), yang memiliki spesifikasi resolusi temporal dimana data yang dimiliki tiap 10 menit sekali untuk pengamatan. Channel yang dihasilkan oleh perangkat AHI Himawari-8 yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemanfaatan channel Satelit Himawari-8 [11]. | |||||
Channel |
Himawari-8/-9 |
MTSAT-1R/-2 |
MSG |
Physical Properties | |
1 |
0,46 µm/B01/ |
Vegetation, aerosol (Blue) |
Visible | ||
2 |
0,51 µm/B02/ |
Vegetation, aerosol (Green) | |||
3 |
0,64 µm/B03/ |
0,68 µm |
0,63 µm |
Low cloud, fog (Red) | |
4 |
0,86 µm/B04/ |
0,81 µm |
Vegetation, aerosol |
Near Infrared | |
5 |
1,60 µm/B05/ |
1,64 µm |
Cloud phase | ||
6 |
2,30 µm/B06/ |
Particle size | |||
7 |
3,90 µm/B07/ |
3,70 µm |
3,92 µm |
Low cloud, fog, forest fire |
Infrared |
8 |
6,20 µm/B08/ |
6,80 µm |
6,25 µm |
Mid and upper level moisture | |
9 |
6,90 µm/B09/ |
Mid-level moisture | |||
10 |
7,30 µm/B10/ |
7,35 µm |
Mid and upper level moisture | ||
11 |
8,60 µm/B11/ |
8,70 µm |
Cloud pahe, SO2 | ||
12 |
9,60 µm/B12/ |
9,66 µm |
Ozone content | ||
13 |
10,40 µm/B13/ |
10,80 µm |
10,80 µm |
Cloud imagery, information of cloud top | |
14 |
11,20 µm/B14/ |
Cloud imagery, sea surface temperature | |||
15 |
12,40 µm/B15/ |
12,00 µm |
12,00 µm |
Cloud imagery, sea surface temperature | |
16 |
13,30 µm/B16/ |
13,40 µm |
Cloud top height |
Resolusi spektralnya memiliki 16 band yang terdiri dari 3 band visible, 3 band infra-merah dekat atau near infrared (NIR) dan 10 band termal atau infrared (IR). Resolusi spasial atau ukuran pikselnya memiliki nilai 0.5 km x 0.5 km dan 1 km x 1 km per pixel pada data band cahaya tampak (visible), 2 km x 2 km per pixel pada data band IR serta 1 km x 1 km dan 2 km x 2 km per pixel pada data baru band NIR [7].
Satelit Himawari memiliki 16 channel dan memiliki nilai panjang gelombang yang berbeda. Channel visible pada channel 1 sampai channel 3, kemudian channel near infrared atau inframerah dekat yaitu pada channel 4 sampai channel 6, kemudian ada channel infrared atau inframerah yaitu pada channel 7 sampai dengan channel 16. Data yang dihasilkan dari satelit Himawari 8 selain data 16 channel yaitu ada data GS yaitu resolusi spectral yang memiliki informasi tentang arah/vektor angin, kecepatan angin pada setiap lapisan 100-1000 mb atau sekitar dari 100 mdpl sampai 6850 mdpl.
Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID) adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh Japan Meteorogical Agency (JMA) yang berfungsi untuk menampilkan data binary dari satelit MTSAT atau Himawari menjadi suatu citra atau gambar, dengan menggunakan metode split windows (IR 10,4 µm-I2 12,4 µm) yaitu yang mampu mengidentifikasi keberadaan awan debu vulkanik [8]. Pemanfaatan data citra satelit dalam deteksi sel disebut Overshooting Cloud Top (OCT) [9]. Deteksi dan monitor OCT melalui satelit cuaca memerlukan teknik pengolahan piksel menjadi warna agar mampu dianalisis (interpretasi). Teknik pewarnaan yang digunakan menggunakan kombinasi Red Green Blue (RGB). Dengan kombinasi antar warna ini, maka karakteristik awan yang ditangkap dalam bentuk citra dapat dikenali dan dianalisis lebih lanjut. Kombinasi warna tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Basic colour building blocks.
Penggambaran dasar warnanya (color equation) adalah white = red + green + blue. Red Green Blue menghasilkan warna menggunakan kombinasi dari tiga warna primer merah, hijau, biru. Red Green Blue adalah model warna penambahan, artinya bahwa warna primer dikombinasikan pada jumlah tertentu untuk menghasilkan warna yang sekunder. Untuk menghasilkan warna kuning, maka memerlukan kombinasi warna merah dan hijau yang dominan. Sedangkan untuk warna magenta memerlukan kombinasi warna merah dan biru yang dominan dan begitu seterusnya. Dalam pengolahan data citra satelit, RGB digunakan untuk menggabungkan beberapa channel panjang gelombang yang berbeda agar mendapatkan suatu produk citra yang berisi informasi yang lebih baik daripada yang didapatkan dari citra 1 channel. Kombinasi RGB yang diperoleh dari Satelit Himawari-8 mampu mendeteksi debu vulkanik dan awan meteorogical (awan air atau es) dengan metode split windows. Kemudian dari hasil pengolahan ini akan terlihat sebaran awan yang bercampur dengan debu dan awan yang hanya terdiri dari air atau es serta arah angin yang dapat mempengaruhi gerakan dari debu vulkanik yang dihasilkan dari Gunung Agung. Pengolahan citra satelit untuk mendeteksi keberadaan awan debu vulkanik menggunakan data channel I4, IR, dan I2 sebagai komposisi RGB dan file GS sebagai vektor/arah angin. Diagram alir pengolahan data citra komposisi RGB diperlihatkan pada Gambar 2.
Langkah pertama yaitu diawali dengan membuka software SATAID, kemudian memilih file atau data yang akan diolah yaitu citra komposisi RGB. Selanjutnya menentukan jenis citra yang akan diolah yaitu data komposisi RGB diolah dengan menggunakan metode split windows yang artinya jenis citra yang akan diolah adalah citra infrared S1 (IR 10,4-I2 12,4 µm), Lalu menambahkan layer atau gradasi warna pada citra yang fungsinya agar dapat membedakan antara debu vulkanik dan awan air/es pada citra. Gradasi ini perlu 3 layer, dimana layer pertama atau layer dasar adalah S1 (Split Windows Channel) yaitu channel IR (10,4 µm) dan channel I2 (12,4 µm) dengan warna dasar merah, kemudian layer kedua adalah S2 (citra modifikasi infrared) yaitu channel I4 (3,7 µm) dan channel IR (10,4 µm) dengan warna dasar hijau, selanjutnya layer ketiga adalah I4 (3,7 µm) dengan warna dasar biru. Langkah selanjutnya yaitu menampilkan arah angin dengan data Global Spectral Model (GSM) yang dapat mengetahui informasi arah angin. Sesuai dengan spesifikasi satelit Himawari-8, ketinggian yang paling akurat saat observasi adalah dibawah 700 hPa atau 2350 mdpl [10]. Oleh karena itu pengolahan data arah angin yang digunakan adalah 500 hPa atau 3850 mdpl.
Gambar 2. Alir pengolahan data komposisi RGB.
Kemudian akan ditampilkan grafik atau kurva suhu permukaan darat pada seluruh stasiun BMKG yang ada di Bali. Suhu yang disajikan yaitu suhu permukaan darat pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus pada tahun 2016 hingga tahun 2020 untuk melihat dampak dari erupsi Gunung Agung. Karena keterbatasan data, maka data suhu permukaan darat hanya ditampilkan sampai dengan bulan Agustus.
Dalam mengidentifikasi sebaran debu vulkanik erupsi Gunung Agung menggunakan citra satelit Himawari-8 dengan metode split windows. Hasil pengolahan data citra satelit komposisi RGB dapat dilihat pada Gambar 3.
a)
b)
c) d)
Gambar 3. Hasil pengolahan citra satelit komposisi RGB debu erupsi vulkanik Gunung Agung 2018: a) 02/07/2018 13:40 UTC, b) 02/07/2018 13:50UTC, c) 28/06/2018 15:10 UTC, dan d) 28/06/2018 15:20 UTC.
Pada Gambar 3 ditunjukkan bahwa warna merah adalah debu vulkanik, kemudian arah atau vektor angin yang ditunjukkan oleh garis kuning. Pada Gambar 3 merupakan hasil pengolahan data satelit citra komposisi RGB tanggal 2 Juli 2018 pukul 13.40 UTC atau 21.40 WITA, kemudian 10 menit setelahnya yaitu pada bagian b pukul 13.50 UTC atau 21.50 WITA. Pada bagian c juga merupakan data satelit citra komposisi RGB tanggal 28 Juni 2018 pukul 15.10 UTC atau 23.10 WITA, kemudian 10 menit setelahnya yaitu pada bagian d dengan hari yang sama sama pada pukul 15.20 UTC atau 23.20 WITA.
Dari hasil tersebut dapat dilihat arah atau vektor angin pada saat terjadinya erupsi yaitu dari Timur Laut ke Barat Daya, arah angin tersebut mampu mempengaruhi pergerakan atau pergeseran arah debu vulkanik yang searah dengan arah angin yang terjadi. Persebaran debu vulkanik yang menyebar hampir ke seluruh wilayah Bali dapat memberikan dampak pada penurunan suhu permukaan Bali.Data suhu permukaan darat wilayah Bali tahun 2018 berasal dari 4 Stasiun BMKG Bali yang terdiri atas Stasiun Ngurah Rai, Stasiun Sanglah, Stasiun Karangasem, serta Stasiun Jembrana, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Pada Gambar 4 menunjukkan suhu permukaan darat pada wilayah Bali diantaranya yaitu Stasiun Meteorologi Ngurah Rai yang sudah mewakili Jimbaran dan sekitarnya, Stasiun Geofisika Sanglah yang sudah mewakili Denpasar dan sekitarnya, Stasiun Karangasem yang sudah mewakili Karangasem dan sekitarnya, serta Stasiun Klimatologi Jembrana sudah mewakili wilayah Negara dan sekitarnya tahun 2016-2020. Gambar yang ditunjukkan oleh Gambar 4 memiliki suhu yang fluktuatif. Suhu pada tahun 2016 dan 2017 memiliki polanya tersendiri sehingga tidak ada pengaruh pada tahun 2018. Hasil analisis grafik yang telah ditampilkan yaitu di Ngurah Rai, Sanglah, Karangasem, serta Jembrana memiliki dampak dari erupsi Gunung Agung tahun 2018, yaitu debu dan gas yang dihasilkan oleh Gunung Agung membawa dampak kepada seluruh wilayah Bali dan menurunkan suhu permukaan darat pada tahun 2019 oleh karena aerosol pasca letusan masih mengendap di lapisan atmosfer.
a)
b)
d)
Gambar 4. Suhu permukaan darat bulan Mei sampai Agustus pada tahun 2016-2020: (a) Stasiun Meteorologi Ngurah Rai, (b) Stasiun Geofisika Sanglah, (c) Stasiun Karangasem, dan (d) Stasiun Klimatologi Jembrana.
Dari hasil dan pembahasan diperoleh sebaran debu vulkanik pada erupsi Gunung Agung 2018 menyebar luas hingga seluruh pulau Bali oleh akibat angin yang mempengaruhi debu vulkanik saat erupsi. Debu vulkanik yang dihasilkan dari Gunung Agung juga memberikan dampak pada penurunan suhu permukaan darat wilayah Bali pada tahun 2019 dari tahun sebelumya, namun tidak memberikan dampak
pada tahun 2020, artinya dampak pada suhu permukaan wilayah Bali yang sebabkan oleh erupsi Gunung Agung hanya terjadi satu tahun.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih, kepada Kepala BMKG Tuban dan seluruh staff karena telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian, dan kepada Bapak dosen di Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Udayana atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan.
Pustaka
-
[1] Magma.vsi.esdm.go.id [homepage on the internet]. Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Available from: https://magma.vsi.esdm.go.id/press/view/php?id=174, [Cited 1 Desember 2020].
-
[2] H. A. Panofsky and J. A. Dutton, Atmospheric Turbulence, Journal of Atmospheric Pollution, vol. 2, no. 1-5, 1984, pp. 397.
-
[3] S. Hamdi, Kajian Peningkatan Kandungan Aerosol Stratosfer Akibat Letusan Gunung Berapi, Berita Dirgantara, vol. 15, no. 22, 2014, pp. 152.
-
[4] A. Mulyo, Pengantar Ilmu Kebumian, Penerbit Pustaka Setia, 2004.
-
[5] A. Robock, The latest on volcanic eruptions and climate. Eos, Transactions American Geophysical Union, vol. 94, issues 35, 2013, pp. 305-306.
-
[6] A. Panjaitan, Pemanfaatan Citra Satelit untuk Informasi Meteorologi Penerbangan, Diklat Penerbangan, 2012
-
[7] Y. Marini, Penguatan kemandirian iptek dan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam, lingkungan dan mitigasi bencana, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), 2016.
-
[8] F. Muchsin, Peningkatan pemanfaatan IPTEK penginderaan jauh untuk mendukung pencapaian target-target prioritas pembangunan nasional, Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh (LAPAN,) 2018.
-
[9] A. Kadir, Mitigasi dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim di Indonesia Bidang Sains dan Teknologi, Universitas Islam Riau (UIR) Press, 2017.
-
[10] nwp-saf.eumetsat.int [homepage on the internet]. Tokyo: Japan Meteorological Agency, Available from: https://nwp-saf.eumetsat.int/monitoring/amv/amvusage/jmamodel.html, [Cited 10 Juni 2020].
118
Discussion and feedback