Pengaruh Penambahan Bakteri Nitrifikasi pada Fermentasi Urin Sapi Terhadap Kualitas Pupuk Organik Cair
on
JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta
Volume 10, Nomor 1, bulan April, 2022
Pengaruh Penambahan Bakteri Nitrifikasi Pada Fermentasi Urin Sapi Terhadap Kualitas Pupuk Organik Cair
The Effect of Nitrifying Bacteria Addition during Cow Urine Fermentation on the Quality of Liquid Organic Fertilizer
Gede Jaya Kusuma Putra, Yohanes Setiyo*, I Nyoman Sucipta
Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini yaitu mengkaji pengaruh penambahan bakteri nitrifikasi pada proses fermentasi urin sapi, sehingga didapatkan kalitas pupuk organik cair (POC) terbaik. Pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan lima perlakuan berbeda dan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan yang dilakukan menggunakan satu faktor MN1 (molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 1%), MN2 (molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 2%), MN3 (molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 3%), MN4 (molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 4%), MN5 (molasses 2% dan bakteri nitrifikasi 5%) dan dimasukan ke dalam urin sapi sebanyak 5 liter. Fermentasi ini dilakukan selama 21 hari, variabel yang diamati yaitu Electrical Conductivity (EC), Derajat Keasaman (pH), Total Dissolved Solids (TDS), suhu, populasi mikroba, C-Organik, dan N-total. Dalam proses fermentasi selama 21 hari didapatkan nilai N-Total tidak berbeda nyata pada setiap sampelnya. Sedangkan C-Organik pada hari ke 21 sampel MN5 memiliki nilai paling rendah yaitu 0.52%. Untuk hasil populasi bakteri sampel MN4 dan MN5 di hari ke 15 mengalami penurunan perkembangan populasi. Selama proses fermentasi 21 hari hasil terbaik terjadi pada sampel MN2 (molasses 2% dan bakteri nitrifikasi 2%), jika dilihat dari nilai akhir TDS, EC dan C-Organik. Penelitian ini dapat meningkatkan N-total dan perkembangan bakteri yang cukup baik, namun hasil ini masih jauh dari standar yang telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No: 261/KPTS/SR.310/M/4/2019.
Kata kunci : bakteri nitrifikasi, fermentasi, pupuk organik cair, urin sapi
Abstract
The purpose of this study was to examine the effect of adding Nitrifying bacteria in the process fermentation of cow urine, so that the best POC (liquid organic fertilizer) quality was obtained. This research used a completely randomized design (RAL), with five different treatments and three replications. The treatments were carried out using one factor MN1 (2% mollase and Nitrifying Bacteri 1%), MN2 (2% mollase and Nitrifying Bacteri 2%), MN3 (2% mollase and Nitrifying Bacteri 3%), MN4 (2% mollase and Nitrifying Bacteri 4%), MN5 (mollase 2% and Nitrifying Bacteri 5%) and put into cow urine as much as 5 liters. This fermentation was carried out for 21 days, the observed variables were Electrical Conductivity (EC), Degree of Acidity (pH), Total Dissolved Solids (TDS), temperature, microbial population, C-Organic, and N-total. In the fermentation process for 21 days, the N-Total value was not significantly different for each sample. While the C-Organic on day 21 of the MN5 sample had the lowest value, namely 0.52%. While the C-Organic on day 21 of the MN5 sample had the lowest value, namely 0.52%. For the results of the bacterial population samples MN4 and MN5 on day 15 experienced a decrease in population development. During the 21-day fermentation process the best results occurred in MN2 samples (2% molasses and 2% nitrifying bacteria), when viewed from the final values of TDS, EC and C-Organic. This research can increase N-total and the development of bacteria which is quite good, but this result is still far from the standard set by the Decree of the Minister of Agriculture of the Republic of Indonesia No: 261/KPTS/SR.310/M/4/2019.
Keywords: cow urine, fermentation, liquid organic fertilizer, nitrifying bacteria
PENDAHULUAN
Penggunaan pupuk non organik atau buatan selain harganya yang mahal, juga memiliki dampak yang buruk bagi kesuburan tanah (Indriani. et al., 2013). Pupuk organik padat maupun cair berfungsi sebagai pengebur lapisan luar tanah, meningkatkan populasi jasad renik, meningkatkan daya serap air dan
kesuburan tanah (Desiana et al., 2013). Menurut (Mappanganro et al., 2019) pupuk organik cair adalah larutan hasil pembusukan bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan maupun manusia yang kandungan haranya lebih dari satu unsur. Pembuatan pupuk organik cair salah satunya dengan pemanfaatan limbah peternakan sapi.
Menurut (Rasyid, 2017) satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan urin sebanyak 8 liter/hari. Pemanfaatan urin sapi sebagai pupuk belum sepopuler pengelolaan fases sapi (Adriani & Novra, 2018). Menurut (Gitadevarsa et al., 2019) jika urin sapi dapat dimanfaatkan dengan baik maka secara tidak langsung petani sudah menerapkan zero waste management. Dari beberapa hasil penelitian kandungan urin sapi memiliki unsur hara sebanyak N = 1,00%, P = 0,50%, K = 1,50%, dan air sebanyak 95%. Selain mengandung unsur hara makro (N, P, K) urin sapi juga mengandung unsur hara mikro Mg, Ca, Fe, Al, S, Na, Cu, Mo (Aritonang et al., 2013). POC merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak diaplikasikan melalui daun atau disebut pupuk cair foliar yang mengandung usur makro dan mikro ensensial (P, N, K S, Ca, B, Mg, Mo, Fe, Cu, Mn dan bahan organik) (Mudiarta et al., 2018). Dari hasil analisis kandungan hara pada urin sapi didapatkan N-total sebanyak 0,133%, c-organik 0,63% dan pH 8,66 (Adijaya et al., 2008). Namun, urin sapi masih jarang dimanfaatkan oleh para petani sebagai pupuk cair. Padahal, nilai ekonomis POC adalah mencapai Rp 35.000 per liter.
Kondisi bio-urin yang bernilai komersial dan fungsional mendorong (Pramana et al., 2019) dan (Huda, 2013) melakukan penelitian tentang pemprosesan urin menjadi bio-urin. Proses fermentasi urin menjadi bio-urin adalah factor utama yang perlu diperhatikan. Fermentasi ini bertujuan untuk mendekomposisi senyawa yang kompleks hingga menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti, mineral-mineral, unsur hara makro dan unsur hara mikro dengan nilai pH, EC tertentu yang memenuhi syarat sebagai pupuk organik cair, oleh karena itu proses ini harus dikontrol secara baik dengan penggunaan fermentor yang memenuhi proses fermentasi. Syarat untuk proses fermentor yaitu memiliki sifat tahan karat, tidak mudah bereaksi dengan bahan kimia, dan dapat mencegah kontaminasi udara. Oleh karena itu penggunaan jerigen dengan plastik HDPE.
Untuk menjaga agar ketersediaan unsur makro tercukupi maka aktivitas mikroba sangat dibutuhkan (Kiding et al., 2015). Nitrogen pada urin sapi berbentuk senyawa amonia yang memberikan dampak negative pada tanaman karena memiliki suhu yang cukup tinggi (Rizki et al., 2014). Menurut (Marsidi, 2002) amoniak berasal dari senyawa nitrogen organik yang diuraikan oleh organisme heterotrop. Cara agar amonia ini dapat dimanfaatkan dengan baik, yaitu mengoksidasi amonia menjadi senyawa nitrit dan setelah itu akan diubah menjadi nitrat proses ini dilakukan dalam proses nitrifikasi (Darjamuni, 2003). Dalam proses nitifikasi terdapat
bakteri yaitu Nitrosomonas (bakteri yang mengoksidasi ammonium menjadi nitri), dan Nitrobacter (bakteri yang mengubah nitrit menjadi nitrat). Oleh sebab itu, dalam proses fermentasi urin di fermentor perlu ditambahkan bakteri nitrifikasi.
Penambahan bakteri Nitrosomanas akan mengikat amonia dan merubahnya menjadi nitrit sehingga nantinya akan dapat di proses menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter (Leonanda & Zolanda, 2018). Namun bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter memerlukan sumber karbon untuk melakukan proses nitrifikasi (Jainurti, 2016). Pemilihan molase sebagai sumber karbon merupakan senyawa organik yang cukup pontensial (Setyoningrum et al., 2014). Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji pengaruh antara penambahan bakteri nitrifikasi pada proses fermentasi dan menentukan konsentrasi mikroba terbaik sehingga mendapatkan kualitas pupuk organik cair yang baik.
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 1 September sampai 31 Oktober 2020. Proses fermentasi dilakukan di Jalan Noja Ayung no 9 Denpasar, analisis data dilakukan pada Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Laboratorium Bioindustri Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jerigen 5 liter, ember, tangki air 50 liter, TDS meter range pengukuran 0-5000 ppm, EC meter range pengukuran 0-9990 mS, dan peralatan analisis laboratorium (gelas ukur, labu takar, pipet tetes, elemeyer, labu kjeldahl, buret).
Bahan
Bahan utama adalah urin sapi yang didapatkan pada SIMANTRI 356 Desa Antapan, Kecamatan Baturiti dengan kandungan suhu 28 oC pH 6,47, TDS 9410, EC 54210. Bahan pendukung yaitu molasses, bakteri Nitrosomonas, dan bahan kimia yang dibutuhkan untuk menganalisa C-Organik, N-total, dan populasi bakteri.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor, dimana terdapat lima perlakuan yaitu MN1 (biomassa ditambahkan molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 1%), MN2 (biomassa ditambahkan molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 2%), MN3 (biomassa ditambahkan
molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 3%), MN4 (biomassa ditambahkan molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 4%), MN5 (biomassa ditambahkan molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 5%), masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga didapatkan sebanyak 15 unit sampel, dan difermentasi selama 15 hari. Nantinya setiap sampel akan diteliti EC, TDS, pH, suhu setiap harinya, sedangkan C-Organik, N-Total, dan populasi bakteri dilakukan pengecekan di hari ke 0, 1, 8, 15, dan 21.
Pengamatan
Pengukuran suhu, pH, TDS, EC dilakukan dengan cara (1) sampel yang akan diukur diambil dari fermentor sebanyak 20 ml dan dimasukan kedalam gelas beker 100 ml, (2) alat ukur seperti thermometer, pH meter dan TDS meter dimasukan kedalam sampell yang berada dalam gelas beker dan didiamkan hingga nilai stabil, (3) selanjutnya sampel dilakukan pengenceran yang dilanjutkan dengan menganalisa nilai EC. Sedangkan parameter C-Organik dihitung menggunakan metode Walkley and Black. Sedangkan untuk N-Total menggunakan metode Kjeldahl. Kedua parameter ini dihitung di Lab Tanah Fakultas Pertanian. Jika C-Organik dan N-Total sudah ditemukan maka dapat menghitung rasio C/N dengan cara membagi hasil dari C-Organik dan N-Total. Untuk menghitung populasi bakteri dilakukan dengan metode inukulasi yang dilakukan pada lab bioindustri Fakultas Teknologi Pertanian.
Analisis data
Data hasil pengamatan (suhu, pH, TDS, EC, C-Organik, N-Total, C/N Ratio ditabulasi dengan program excel, kemudian dibuatkan grafik. Data tersebut dilakukan uji Anova yang dikerjakan pada SPSS versi 25 untuk mengetahui pengaruh perlakuan signifikan atau beda nyata pada setiap perlakuan. Apabila pengaruh perlakuan menunjukan beda
signifikan maka dilanjutkan dengan metode Beda Nyata Terkecil (BNT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu
Suhu proses fermentasi urin sapi hari ke 0 – hari 21 diilustrasikan pada Gambar 1. Suhu biomassa selama proses dari semua perlakuan mengalami peningkatan dari hari 1 sampai dengan hari ke 8, setelah hari kedelapan rata – rata suhu mengalami penurunan sampai sama dengan suhu lingkungan. Suhu puncak reaksi terjadi pada suhu 28,4 sampai dengan 28,8 oC, puncak suhu tertinggi di perlakuan penambahan bakteri nitrifikasi 5% dan terendah pada perlakuan penambahan bakteri nitrifikasi 1% (Gambar 1). Reaksi tercepat terjadi pada penambahan bakteri nitrifikasi 5%. Hal ini menunjukan jumlah bakteri nitrifikasi berpengaruh terhadap percepatan proses fermentasi.
Kenaikan suhu pada proses fermentasi jika Qr (panas hasil reasi fermentasi) > Q1 (panas hilang ke lingkungan), Tm (suhu biomassa) > T1 (suhu lingkungan), karena Qr = Qm + Q1 dengan Q1 = k*(ΔTl/Δx) dan Qm = m.Cp.(ΔTl). Panas yang dihasilkan dari reaksi biokimia penguraian biomassa menjadi senyawa yang lebih sederhana sebagian besar diperlukan untuk menaikan suhu biomassa. Sebagian panas ditrasnfer ke lingkungan, hal ini dikarenakan perbedaan suhu yang signifikan antara biomassa dengan suhu lingkungan. Nilai yang dihasilkan dalam reaksi fermentasi (Qr) saat suhu biomassa naik untuk perlakuan MN1 adalah 600 – 2900 joule, MN2 600 s/d 3000 joule, MN3 600 s/d 3600 joule, MN4 600 s/d 4200 joule, MN5 600 s/d 4800 joule.
—♦—MN1
—■— MN2
—⅛- MN3
MN4
MN5
waktu fermentasi (hari)
Gambar 1. Rata - rata suhu (°C) 13
Persamaan umum hubungan waktu (x) dengan suhu biomassa (y), maka ditulis y = ±ax3 ± bx2 ±cx ± d, maka nilai a = 0,0003 – 0,0006, b = -0,0243 – (0,0128), c = 125 – 145 dan d = 27,95 – 27,95. Nilai a terbesar pada perlakuan MN5 dan nilai a terkecil di perlakuan MN1 dan MN2. Perlakuan terbaik jika nilai a terbesar ini dilihat pada Gambar 1 pada sampel MN5 proses kenaikan suhu lebih cepat dibandingkan dengan sampel yang lainnya dan peningkatan suhu yang dihasilkan lebih tinggi.
Nilai b terbesar pada perlakuan MN1, nilai b terkecil di perlakuan MN5. Dimana nilai b ini menunjukan penurunan proses dan perubahan terjadi semakin mengecil. semakin besar nilai, maka proses penurunan terjadi cenderung cepat.
Derajat Keasaman (pH)
Pada Gambar 2 dapat diilustrasikan nilai pH biomassa yang di fermentasi dengan perlakuan penambahan molasses 2% dan bakteri nitrifikasi yang berbeda. semua perlakuan menunjukan bertambahnya waktu proses diikuti dengan penurunan nilai pH dari 6,47 menjadi 6,32 (mollase 2% dan bakteri nitrifikasi 1%), 6,32 (molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 2%), 6,32 (molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 3%), 6,33 molasses 2% dan bakteri Nitrifikasi 4%) dan 6,33 (molasses 2% dan bakteri
Nitrifikasi 5%). Perubahan pH rata-rata untuk semua perlakuan didapatkan 0,1/ hari. Perubahan terbesar pada sampel MN1, MN2, dan MN3 dengan perubahan 0,15 dan perubahan terkecil terjadi pada sampel MN5 dan MN4 yaitu 0,14. Dimana di hari ke 0 s/d 4 penurunan sampel MN2 dan MN3 mengalamin penurunan yang cukup drastis dan pada hari ke 5 dan seterusnya penurunan yang terjadi berkurang dan cenderung mendatar. Penurunan ini disebabkan adanya proses pembentukan asam – asam organik yang disebabkan oleh kandungan asam dari molasses (Pramana et al., 2019). Penurunan pH akibat kation-kation yang dilepas berkurang, sedangkan asam yang terbentuk meningkat dan terjadi pelepasan gas NH3 yang bersifat basa (Setiyo et al., 2007). Dalam hal penelitian ini nilai pH masih berada diantara 4-9 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No: 261/KPTS/SR.310/M/4/2019.
Dari hasi uji Anova pada hari ke 21 didapatkan tidak berbeda signifikan dimana hasil yang didapatkan sig > 0,05. Jika dilihat pada Gambar 2 pada hari ke 21 nilai pH dari masing – masing sampel tidak terlampau terlalu jauh. Karena pada uji Anova menunjukan hasil tidak berbeda nyata maka tidak perlu dilanjutkan dengan uji BNT.
—♦—MN1
—■— MN2
-*- MN3
MN4
MN5
Gambar 2. pH biomasa yang difermentasi
Total Dissolved Solid (TDS)
Perhitungan TDS berfungsi untuk menghitung jumlah padatan terlarut dimana jika hasil TDS tinggi, makan tumbuhan akan lebih gampang untuk menyerap nutrisi yang ada di biomassa. Kenaikan TDS dari biomassa yang difermentasikan antara 11 –
13 ppm/hari. Kenaikan TDS terbesar pada perlakuan MN1 dengan nilai 281 ppm dan kenaikan terkecil terjadi pada MN5 dengan nilai 235. Jika dilihat pada Gambar 3 sampel MN5 di hari ke 18 tidak terlalu mengalami peningkatan yang signifikan dan cenderung datar.
9750
—■— MN2
—⅛- MN3
9350
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Waktu ferementasi (hari)
Gambar 3. TDS biomas yang difermentasi
Pada Gambar 3 peningkatan nilai TDS disebabkan penambahan molasses, ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan (Kusmiati et al., 2007) bahwa penambahan molasses pada proses fermentasi biourin dapat meningkatkan nilai TDS karena molasses terdiri dari padatan-padatan yang mengandung nutrisi. Nilai TDS yang terlarut dalam suatu cairan juga dipengaruhi oleh banyaknya bahan padatan yang terurai akibat adanya perlakuan waktu, suhu, dan konsentrasi pelarut unsur hara mikro dan makro (Basmal et al., 2017). Sampel dengan nilai TDS tertinggi pada hari ke 21 yaitu sampel MN1 dengan nilai 9690 ppm dan nilai terendah pada sampel MN5 dengan nilai 9645 ppm. Nilai ini dipengaruhi oleh jumlah bakteri sebagai pengurai bahan organik. Dimana pada hari ke 15 dari populasi bakteri pada sampel MN5 berkurang dibandingkan dengan sampel yang lainnya. Pada sampel MN4 dan MN5 mengalami percepatan proses diawal hingga hari ke 11 proses mengalami penurunan proses.
Dari hasil uji Anova hari ke 21 didapatkan hasil berbeda signifikan dimana nilai sig < 0,05, karena hasil dari uji anova didapatkan berbeda signifikan, maka dari itu perlu dilanjutkan dengan uji BNT hasil. Dari hasil Uji BNT didapatkan sampel MN1 berbeda signifikan dengan sampel MN4 dan MN5. Sampel MN2 hanya berbeda signifikan dengan sampel MN5. Untuk sampel MN3 berbeda signifikan dengan MN4 dan MN5. Sedangkan sampel MN4 berbeda signifikan dengan sampel MN5.
Electrical Conductivity (EC)
EC ini seringkali dijadikan sebagai indikasi mengenai keberadaan hara yang terkandung dalam bahan yang difermentasi. Menurut (Sutiyoso, 2009)
EC terdiri unsur hara yang terlarut dalam air berupa ion bermuatan positif dan negatif. Kenaikan EC dari proses fermentasi biomassa antara 26 s/d 34 uS/cm. dari hari ke 0 s/d 21 kenaikan terbesar terjadi pada sampel MN5 dengan 723 uS/cm, dan kenaikan terkecil terjadi pada sampel MN1 yaitu 543 uS/cm. Nilai rata-rata Electrical Conductivity (EC) selama 21 hari fermentasi seperti pada Gambar 3. Jika dilihat pada Gambar 3 pada hari ke 14 peningkatan jumlah TDS sudah mulai menurun dan cenderung mendatar. Menurut (Pramana et al., 2019), penambahan molasses menyebabkan peningkatan unsur hara yang mengandung nutrisi, sehingga peningkatan ion positif dan negatif akan semakin meningkat. Peningkatan ini akan mempengaruhi jumlah Electrical Conductivity (EC).
Uji Anova pada hari ke 21 nilai EC didapatkan sangat berbeda signifikan dimana nilai sig < 0,01. Karena uji Anova menunjukan hasil pengaruh sangat signifikan maka dilanjutkan dengan uji BNT, dimana pada Uji BNT semua sampel berpengaruh signifikan antara satu sampel dengan sampel yang lainnya.
C-Organik
Menurut (Kusuma et al., 2017), penambahan molasses dapat mempengaruhi jumlah C-Organik. Meskipun pada hari pertama nilai C-organik mengalami peningkatan namun menurut Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No: 261/KPTS/SR.310/M/4/2019 menyatakan nilai minimal C-Organik yaitu 10 % ini sangat jauh dari kata standar, agar mendapatkan kualitas pupuk organik cair sesuai dengan SNI. Nilai rata – rata seperti Gambar 4. Selama 21 hari proses.
—♦—MN1
—■— MN2
—⅛- MN3
MN4
MN5
Gambar 3. EC biomas yang difermentasi
—■— MN2
—⅛- MN3
Waktu fermentasi, hari
Gambar 4. C-Organik
Berdasarkan gambar 4 dapat dilihat grafik rata-rata nilai C-Organik yang dicari pada hari ke 0, 1, 8, 15, dan 21. Pada grafik dapat dilihat nilai rata-rata C-Organik paling tinggi yaitu pada hari ke-1, ini dikarenakan penambahan molasses, namun antara kelima sampel perbedaan nilai C-Organik tidak terlalu jauh. Pada hari ke 0 rata-rata nilai C-Organik adalah 1,197 %. Penurunan nilai C-Organik terjadi setelah hari ke 1, ini terjadi karena adanya proses dekomposisi dari mikroorganisme dimana kandungan karbon sendiri dijadikan sebagai nutrisi. (Parwati et al., 2008) selama proses pengomposan akan terjadi pelepasan CO2 karena adanya aktifitas mikroorganisme pengurai yang memanfaatkan unsur karbon sebagai energi dalam mengurai bahan
organik, ini menyebabkan pengaruh terhadap nilai dari C-Organik itu sendiri. Pada hari ke 21 nilai C-Organik tertinggi pada sampel MN2 dan MN3, dan MN4 pada MN5 didapatkan nilai terendah yaitu berkisar 0,52. Jika dilihat dari uji Anova mendapatkan hasil sangat berbeda signifikan dengan nilai sig < 0,01. Karena hasil menunjukan sangat berbeda signifikan maka dilanjutkan dengan uji BNT dimana mendapatkan hasil sampel MN1, MN2, MN3, MN4 berbeda signifikan dengan sampel MN5.
N-total
Pada gambar 5 dapat dilihat rata-rata nilai N-Total mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar. Ini terjadi karena penambahan molasses. Menurut
(Huda, 2013) peningkatan N-Total akibat penambahan molasses dikarenakan kandungan pada tetes tebu mengandung komponen nitrogen yang sangat diperlukan untuk menambah kandungan unsur hara yang nantinya dapat mendukung proses
komposting agar berlangsung dengan sempurna. Dapat dilihat dari hasil N-total pada hari 1 peningkatan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Rata-rata nilai N-Total seperti pada Gambar 5.
—♦—MN1
—■— MN2
—⅛- MN3
MN4
MN5
Dari uji anova yang dilakukan pada hari ke 21 menunjukan nilai N-total yang diperoleh sig>0,05, dimana hasil ini hasil tidak berbeda nyata. Karena hasil uji anova tidak menunjukan perbedaan nyata maka tidak perlu dilanjutkan dengan uji BNT. Ini disebabkan karena kandungan tetes tebu yang diberikan tidak dapat perbedaan. Jika dilihat nilai N-total pada hari ke 0 sangat rendah, yaitu hanya 0,028%. Untuk mendapatkan kualitas menurut Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No: 261/KPTS/SR.310/M/4/2019 sangat sulit untuk
dilakukan, ini karena pada saat proses fermentasi urin sapi tidak adanya penambahan sumber nitrogen dan hanya mengandalkan nitrogen dari molasses yang tidak terlalu besar.
C/N Rasio
Peningkatan C/N rasio terjadi pada hari pertama saja, hari ke delapan C/N ratio mengalami penurunan, dan pada hari terakhir C/N rasio terus mengalami penurunan. Seperti pada tabel 1 nilai rata – rata C/N ratio.
—♦—MN1
—■— MN2
-*- MN3
MN4
MN5
Dari hasil tabel 1 nilai C/N rasio tertinggi terjadi pada hari pertama, dimana hari pertama peningkatan C sangat signifikan, namun untuk N pada hari pertama peningkatan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Pada hari ke 8 dan ke 15 C/N ratio mengalami penurunan, dimana bakteri mulai menggunakan C sebagai sumber energi, sehingga karbon akan mengalami penurunan. Apabila C/N ratio ini terlalu tinggi maka akan menghambat proses dekomposisi, karena mikroba akan kekurangan N untuk proses sintesis protein (Isroi, 2008). Menurut (Harada & Haga, 1993), C/N ratio yang terlalu rendah dapat menyebabkan terbentuknya gas amoniak, dimana gas ini sangat mudah untuk hilang ke udara.
Populasi Bakteri
Pada Gambar 7 dilihat grafik rata-rata perkembangan populasi bakteri pada hari ke 1, 8, 15 dan 21. Dari grafik diatas terlihat perbedaan populasi bateri secara
signifikan terjadi di hari ke 21. Pada hari pertama nilai populasi bakteri paling banyak pada sampel MN5 yaitu 226.667, ini dikarenakan kandungan inokulum yang dicampurkan paling banyak pada sampel MN5 yaitu sebanyak 5%. Pada hari ke 8 perkembangan bakteri dapat dilihat sampel MN1 mengalami peningkatan lebih banyak dibandingkan dengan sampel yang lainnya. Ini dikarenakan jumlah populasi pada sampel MN1 yang awalnya sedikit sehingga kebutuhan nutrisinya tercukupi, dan perkembangan bakteri bisa secara maksimal. Pada hari ke 15, sampel MN4 dan MN5 nilai populasi bakteri rendah dibandingkan dengan sampel MN1, MN2, dan MN3. Pada perjalanan dari Hari ke 8 menuju ke 15 jumlah bakteri MN4 dan MN5 mengalami fase perlambatan perkembangan yang disebabkan kurangnya nutrisi yang tersedia pada sampel.
—■— MN-2
MN-4
Waktu fermentasi
Gambar 7. Populasi Mikroba
Jika dilihat dari uji anova pada hari ke 21 mendapatkan hasil sangat berbeda signifikan dimana sig < 0,01. Dari uji anova ini dilanjutkan dengan uji BNT, dari uji BNT didapatkan hanya sampel MN1 yang berpengaruh nyata terhadap sampel yang lainnya.
KESIMPULAN
Interaksi antara penambahn molasses sebanyak 2% dengan bakteri nitrifikasi dengan taraf yang berbeda pada hari ke 21. Untuk suhu, pH, dan N-total tidak ada pengaruh signifikan. Sedangkan untuk TDS berpengaruh signifikan, dan untuk EC, C-Organik, dan populasi bakteri mendapatkan hasil berpengaruh sangat signifikan. Hasil dari proses fermentasi urin
sapi menunjukan peningkatan pada setiap parameternya, namun belum memenuhi SNI sesuai keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No: 261/KPTS/SR.310/M/4/2019. Selama proses fermentasi 21 hari hasil terbaik terjadi pada sampel MN2 (molasses 2% dan bakteri nitrifikasi 2%). Jika dilihat dari nilai akhir TDS, EC dan C-Organik.
DAFTAR PUSTAKA
Adijaya, N., Sudaratmaja, I., Mahaputra, K., Trisnawati, W., Suharyanto, S. G., Rinaldi, J., Elizabeth, D. A. A., Priningsih, P. Y., & Rachim, A. (2008). Prima Tani LKDRIK Desa Sanggalangit.(Laporan Akhir). Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.
Adriani, A., & Novra, A. (2018). Peningkatan
Kualitas Biourin Dari Ternak Sapi Yang Mendapat Perlakuan Trychoderma harzianum The Increase of Biourine Quality From Cow Treated With Trychoderma harzianum. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 20(2), 77–84. https://doi.org/10.22437/jiiip.v20i2.4716
Aritonang, M., Setiyo, Y., & Gunadnya, I. B. P. (2013). Optimalisasi proses fermentasi urin sapi menjadi biourin. Beta E-Journal, 1(2).
Basmal, J., Chori, V. A., & Nurhayati, N. (2017). Pemanfaatan Limbah Cair Produksi Alkali Treated Sargassum sebagai Bahan Baku Pupuk Cair. Jurnal Pascapanen Dan Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, 12(2), 135–148.
Darjamuni. (2003). Siklus nitrogen di laut. Institut Pertanian Bogor, 1–13.
Desiana, C., Banuwa, I. S., Evizal, R., & Yusnaini, S. (2013). Pengaruh pupuk organik cair urin sapi dan limbah tahu terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.). Jurnal Agrotek Tropika, 1(1).
Gitadevarsa, T., Handayani, S., & Warnaen, A. (2019). Rancangan Penyuluhan Tentang Proses Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Urine Sapi Potong Menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL) Bongkol Pisang Di Desa Wonorejo Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Jurnal Penyuluhan Pembangunan, 1(1), 44–52.
Harada, Y. K., & Haga, T. (1993). Osada. & Kashinoa, M.(1993). Quality of Compost from Animal Waste. JAQR, 26(4), 238–246.
Huda, M. K. (2013). Pembuatan pupuk organik cair dari urin sapi dengan aditif tetes tebu (molasses) metode fermentasi. Universitas
Negeri Semarang.
Indriani., F., Sutrisno, E., & Sumiyati, S. (2013). Studi Pengaruh Penambahan Limbah Ikan Pada Proses Pembuatan Pupuk Cair Dari Urin Sapi Terhadap Kandungan Unsur Hara Makro (CNPK). Jurnal Teknik Lingkungan, 2(2), 1–8.
Isroi, M. (2008). Makalah Kompos. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Bogor. Bogor.
Jainurti, E. V. (2016). Oleh: Emilia Vianney Jainurti Nim: 121434035. Skripsi.
Kiding, A., Khotimah, S., & Linda, R. (2015). Karakterisasi dan kepadatan bakteri nitrifikasi pada tingkat kematangan tanah gambut yang berbeda di kawasan hutan lindung Gunung Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Protobiont, 4(1).
Kusmiati, S. R. T., Eddy, J., & Ria, I. (2007). Produksi Glukan dari dua Galur Agrobacterium sp. Pada Media Mengandung Kombinasi Molase dan Urasi. Biodiversitas. Online.
Kusuma, A. P., Istirokhatun, T., & Purwono, P. (2017). Pengaruh Penambahan Urin Sapi dan Molase Terhadap Kandungan C Organik dan Nitrogen Total dalam Pengolahan Limbah Padat Isi Rumen Rph dengan Pengomposan Aerobik. Diponegoro University.
Leonanda, B. D., & Zolanda, Y. (2018). Reaktor Nitrifikasi Biofilter Untuk Air Limbah Sisa Makanan Dan Feses Ikan. METAL: Jurnal Sistem Mekanik Dan Termal, 2(1), 9–14.
Mappanganro, R., Kiramang, K., & Kurniawan, M. D. (2019). Pemberian Pupuk Organik Cair (Urin Sapi) terhadap Tinggi Pennisetum purpureum cv. Mott. Jurnal Ilmu Dan Industri Peternakan, 4(1), 23–31.
Marsidi, R. (2002). Proses Nitrifikasi Dengan Sistem Biofilter untuk Pengolahan Air Limbah Yang Mengandung Amoniak Konsentrasi Tinggi. Jurnal Teknologi Lingkungan, 3(3).
Mudiarta, I. M., Setiyo, Y., & Widia, I. W. (2018). Kajian Proses Fermentasi Bioslurry Kotoran Sapi dengan Penambahan Molase. Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian Agrotechno, 3(1), 277–283.
Parwati, I. A. P., Sudaratmaja, I., Trisnawati, N. W., Suratmini, P., Suyasa, N., Sunanjaya, W., & Budiari, L. (2008). Pardi, 2008. Laporan Prima Tani LKDTIB Desa Belanga, Kintamani, Bangli, Bali.
Pramana, K. S., Setiyo, Y., & Aviantara, I. G. N. A. (2019). Optimalisasi Proses Fermentasi Urin Sapi. Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 7(1), 153–158.
Rasyid, W. (2017). Kandungan Fosfor Pupuk Oganik Cair (POC) Asal Urin Sapi dengan
Penambahan Akar Serai (Cymbopogon
citratus) Melalui Fermentasi. Univeritas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Rizki, K., Rasyad, A., & Murniati, M. (2014). Pengaruh pemberian urin sapi yang difermentasi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi hijau (Brassica rafa). Riau University.
Setyoningrum, T. M., Viska, A. W., Annisaturraihan,
A., Putra, N. I., & Nur, M. M. A. (2014). Evaluation of C/N Ratio in Spirulina platensis Cultivation using Molasses Addition as Organic Carbon Source. Eksergi, 11(2), 30–34.
Sutiyoso, Y. (2009). Hidroponik. Penebar Swadaya, Jakarta.
20
Discussion and feedback