Analysis of the Distribution of Volcanic Ash from the Eruption of Mount Kelud Based on Wind (Case Study of the Eruption Mount Kelud on 13 February 2014)
on
Analysis of the Distribution of Volcanic Ash from the Eruption of Mount Kelud ……
(Romadhon Ilham Imani, dkk)
Analisis Sebaran Debu Vulkanik Erupsi Gunung Kelud Berdasarkan Pergerakan Angin di Wilayah Jawa (Studi Kasus Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014)
Analysis of the Distribution of Volcanic Ash from the Eruption of Mount Kelud Based on Wind (Case Study of the Eruption Mount Kelud on 13 February 2014)
Romadhon Ilham Imani 1*, I Ketut Sukarasa1, Kadek Sumaja2, Komang Ngurah Suarbawa1, Ida Bagus Alit Paramartha1, Ngurah Sutapa1
1Prodi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Indonesia 80361
2Stasiun Meteorologi Kelas I I Gusti Ngurah Rai, Gedung GOI Lt. II Bandara I Gusti Ngurah Rai Tuban, Badung, Bali, Indonesia 80362
Email: *romadhonilham21@gmail.com; sukarasafisika@unud.ac.id; kadek.sumaja@gmail.com;
suarbawa@unud.ac.id; paramarta@unud.ac.id; sutapafis97@unud.ac.id
Abstrak – Sebaran debu vulkanik dari kejadian erupsi Gunung Kelud tanggal 13 Februari 2014 mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap kondisi atmosfer di wilayah Pulau Jawa. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi trajectory lintasan debu vulkanik, besarnya nilai massa partikel, dan jangkauan sebaran di atmosfer yang dipengaruhi oleh kondisi angin. Pengaruh angin tersebut didasarkan pada arah dan kecepatan angin dengan melakukan pemodelan wind streamline. Selanjutnya, identifikasi sebaran debu vulkanik dilakukan dengan metode citra komposit Red, Green, Blue (RGB), serta massa partikel dan jangkauan sebaran debu vulkanik dilakukan menggunakan pemodelan hysplit. Lapisan atmosfer yang dianalisis pada flight level area di 16 ketinggian yaitu pada ketinggian 1,5-16,1 km. Dari hasil analisis, diperoleh bahwa nilai kecepatan angin maksimum 38 m/s, yang berada pada ketinggian 16,1 km. Trajectory sebaran debu vulkanik menuju arah Timur Laut dan kemudian sebagian besar berbelok menuju Barat Daya yang disebabkan oleh arah dan kecepatan angin. Nilai massa partikel maksimum tertinggi berada di ketinggian 16,1 km yaitu sebesar 580.000 mg/m2 dengan jangkauan sebaran partikel sejauh 2.600 km dari posisi Gunung Kelud.
Kata kunci: Erupsi; wind streamline; hysplit; RGB; trajectory.
Abstract – The distribution of volcanic ash from the eruption of Mount Kelud on 13 February 2014 had a significant impact on atmospheric conditions in the Java Island region. This research was conducted to identify the trajectory of volcanic dust, the mass value of the particles, and the range of distribution in the atmosphere which is affected by wind conditions. The influence of the wind is based on wind direction and speed by doing wind streamline modelling. Furthermore, the assistance of volcanic ash distribution was carried out using the Red, Green, Blue (RGB) composite image method, and the particle mass and distribution range of volcanic dust was carried out using hysplit modelling. The atmospheric layer analysed at the flight level area at 16 altitudes, namely at an altitude of 1.5-16.1 km. From the results of the analysis, it was found that the maximum wind speed is 38 m/s, which is at an altitude of 16.1 km. The trajectory of the distribution of volcanic ash heads to the Northeast and then most of it turns to the Southwest due to wind direction and speed. The highest maximum particle mass value is at an altitude of 16.1 km, which is 580,000 mg/m2 with a particle distribution range of 2,600 km from the position of Mount Kelud.
Key words: Eruption; wind streamline; hysplit; RGB; trajectory.
Erupsi Gunung Kelud terjadi pada tanggal 13 Februari 2014 dengan melontarkan debu vulkanik berbentuk butiran halus dan berdiameter kurang dari 0,002 mm [1]. Material debu vulkanik yang terlontar ke atmosfer tersebut akan mudah bergerak dan tersebar akibat hembusan angin di atmosfer, sehingga dapat menjadi ancaman bagi keselamatan aktivitas penerbangan. Debu vulkanik dapat mengandung senyawa silika (SiO2)
yang dapat terhisap melalui turbin pesawat kemudian terbakar dan meleleh pada suhu 1.100 oC [2]. Debu vulkanik yang terus menerus masuk dapat mengakibatkan pembekuan dan menyebabkan aliran udara menjadi terhambat sehingga mesin pesawat kehilangan daya dorong.
Informasi tentang sebaran debu vulkanik sangat penting untuk diketahui dalam pelayanan operasional meteorologi penerbangan karena sebagai dasar pembuatan Significant Meteorological Information dan Volcano Ash Activity Report. Selain dengan mengidentifikasi trajectory debu vulkanik dengan analisis pergerakan angin, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh seperti satelit juga dapat digunakan untuk mengamati distribusi sebaran debu vulkanik di atmosfer. Satelit dapat digunakan untuk melihat sebaran debu vulkanik dan mendapatkan informasi mengenai ketinggian kolom erupsi dengan resolusi spasial dan temporal [3]. Salah satu jenis satelit untuk mendeteksi sebaran debu vulkanik dengan baik yaitu Satelit Multifunctional Transport Satellites (MTSAT) Himawari-8 dengan metode RGB [4-5]. Sedangkan untuk arah trajectory dan massa sebaran debu vulkanik dapat dideteksi menggunakan model hysplit [6-7]. Model hysplit merupakan model yang dapat digunakan untuk menghitung lintasan parsel udara, dristibusi partikel, transformasi kimia, dan simulasi deposisi dari fenomena di atmosfer.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian ini untuk melihat besar kecepatan angin maksimum, arah trajectory dan massa partikel maksimum sebaran debu vulkanik erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan referensi mengenai sebaran debu vulkanik yang dapat dipengaruhi oleh angin di atmosfer.
Silika adalah suatu senyawa semikonduktor yang memiliki massa jenis sebesar 2,65 g/cm3 dengan rumus molekul SiO2 [8]. Silika terbentuk dengan cara ikatan kovalen yang kuat dan memiliki struktur empat atom oksigen terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom pusat silikon. Pada umumya, silika berbentuk amorf terhidrat, namun apabila terjadi pembakaran pada suhu di atas 650 oC, maka tingkat kristalisasinya akan berubah dan membentuk fasa quartz, crytobalitem dan tridymite. Silika dapat ditemukan seperti hasil erupsi gunungapi dengan memiliki 3 bentuk kristal utama seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1. Bentuk kristal silika [8].
No |
Bentuk |
Rentang Stabilitas (oC) |
1 |
Kristabolat |
1.470-1.723 |
2 |
Tridmit |
870-1.470 |
3 |
Kuarsa |
<870 |
-
2.2 Gerak aliran massa udara di atmosfer
Pergerakan massa udara di atmosfer dapat dibagi menjadi dua arah, yaitu secara horizontal (gerak horizontal) dan secara vertikal (gerak vertikal). Gerakan horizontal sejajar dengan permukaan daratan atau air, sedangkan gerakan vertikal berkaitan dengan gerak udara yang mengarah ke atas (updraft, upmotion, rising motion) atau ke bawah (downdraft, sinking motion). Dalam skala pergerakannya, gerak horizontal memiliki skala yang lebih besar dibandingkan dengan gerak vertikal, yaitu mencapai 100 - 1.000 kali. Orde dari gerak horizontal dinyatakan dalam meter per detik (m/s), sementara untuk gerak vertikal dinyatakan dalam sentimeter per detik (cm/s) [9].
Pendeteksian gerak vertikal dapat digunakan menggunakan metode vortisitas relatif yang selanjutnya akan diterapkan pada bentuk koordinat isentropic dari vortisitas potensial Ertel. Penentuan nilai vortisitas relatif tersebut dapat diperoleh dengan memanfaatkan Persamaan 1 yang dinyatakan sebagai sirkulasi di sekeliling area per satuan luas [10].
dcttaMs- s)=ζ (1)
Dimana ∂u dan ∂v merupakan perubahan dari komponen angin arah horizontal, dan u adalah arah angin dari Timur menuju Barat, v untuk arah dari Utara menuju Selatan, dan ϛ merupakan vortisitas vertikal.
Gerak aliran udara arah horizontal berkaitan dengan resultan angin dari komponen angin u (zonal) dan komponen angin v (meridional). Nilai u merupakan angin dari Timur menuju Barat dalam arah sumbu x. Sedangkan nilai v merupakan angin dari Utara menuju Selatan dalam arah sumbu y. Kecepatan resultan angin dapat ditentukan dengan persamaan berikut [11].
C = √u2 + v2 (2)
Dimana C adalah kecepatan resultan angin (m/s), u adalah angin arah dari Timur menuju Barat pada sumbu x dalam m/s, dan v adalah arah angin dari Utara menuju Selatan pada sumbu y dalam m/s.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Jawa dengan koordinat 105° BT - 115° BT dan 5° LS - 10° LS. Lapisan atmosfer yang dianalisis pada flight level area yaitu di ketinggian 1,5 km, 2,4 km, 3,0 km, 4,3 km, 5,5 km, 6,4 km, 7,3 km, 8,2 km, 9,1 km, 10,4 km, 11,0 km, 11,9 km, 12,5 km, 13,7 km, 14,6 km, dan 16,1 km. Selanjutnya, data dalam penelitian ini menggunakan data hasil pengamatan satelit MTSAT dan Global Data Assimilation System (GDAS) pada tanggal 13-14 Februari 2014.
Data debu vulkanik dari MTSAT yang digunakan diperoleh dari satelit pengamatan Himawari-7 kanal IR1, IR2, dan IR4. Seluruh data kemudian diolah menggunakan software SATAID GMSLPW dengan metode ash RGB. Metode ash RGB adalah suatu teknik yang digunakan untuk menampilkan citra satelit dengan melakukan overlapping atau menggabungan beberapa kanal. Formulasi citra yang digunakan untuk mengetahui sebaran debu vulkanik ditunjukkan oleh Tabel 2, yang selanjutnya dilakukan pengolahan dan identifikasi dimana warna kemerahan dengan kode #FD0040 menunjukkan sebaran debu vulkanik hasil erupsi Gunung Kelud.
Tabel 2. Formulasi metode ash RGB [12].
No |
Citra |
Kanal |
Warna |
1 |
SP |
IR1-IR2 |
Merah |
2 |
S2 |
IR1-IR4 |
hijau |
3 |
I4 |
IR4 |
biru |
Data kedua yang digunakan yaitu data sebaran angin MTSAT komponen u dan v setiap lapisan atmosfer flight level area pada tanggal 13-14 Februari 2014. Data diolah menggunakan software OpenGrads dengan model wind streamline untuk mengetahui kecepatan dan arah angin secara horizontal. Model wind streamline merupakan model untuk menggambarkan pola angin dengan formulasi script dan Persamaan 2.
Data debu vulkanik lain yang digunakan yaitu data GDAS dari hasil keluaran oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada tanggal 13-14 Februari 2014. Pengolahan data GDAS dilakukan menggunakan website NOAA (run hysplit) untuk mengetahui massa partikel dari debu vulkanik yang menyebar pada setiap ketinggian flight level dalam ukuran mg/m2. Selain hal tersebut, model hysplit juga digunakan untuk mengetahui trajectory sebaran debu vulkanik.
Angin memiliki peran sebagai media pengangkut dan deposisi dari sebaran debu vulkanik di atmosfer. Analisis arah angin dapat digunakan untuk verifikasi arah sebaran debu vulkanik, sedangkan analisis kecepatan angin dapat digunakan untuk mengidentifikasi jangkauan sebaran debu vulkanik di atmosfer. Hasil pengolahan data wind streamline ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1 merupakan hasil pengolahan data model wind streamline yang dilakukan pada tanggal 13 Februari 2014 jam 18.00-00.00 UTC di ketinggian 3,0 km (Gambar 1a), 6,4 km (Gambar 1b), dan 16,1 km (Gambar 1c). Pada gambar tersebut, simbol segitiga hitam merupakan titik Gunung Kelud, garis dan simbol panah warna hitam menggambarkan arah angin, serta gradiasi warna menunjukkan nilai kecepatan angin. Analisis Gambar 1a di ketinggian 3,0 km, menunjukkan angin dominan mengarah dari Barat Daya menuju Timur Laut dan kecepatan anginnya sebesar 3-10 m/s. Kemudian pada Gambar 1b di ketinggian 6,4 km, menunjukkan angin dominan mengarah dari Tenggara menuju Barat Laut dan kecepatan anginnya sebesar 3-12 m/s. Serta pada Gambar 1c di ketinggian 16,1 km, menunjukkan arah angin dominan mengarah dari Timur Laut menuju Barat Daya dan kecepatan anginnya sebesar 12-36 m/s.
Hasil pemodelan citra wind streamline di wilayah Jawa pada tanggal 13-14 Februari 2014, menunjukkan 3 pola arah angin yang berbeda. Disamping itu, hasil pemodelan juga menunjukkan adanya perbedaan nilai kecepatan angin pada setiap level ketinggian. Analisis ini diperkuat oleh penelitian terdahulu bahwa perbedaan nilai kecepatan angin pada setiap ketinggian, dipengaruhi oleh keadaan stabilitas atmosfer akibat dari perbedaan tekanan udara yang disebabkan oleh suhu udara di atmosfer, topografi wilayah, dan ketidaksamaan radiasi yang diterima oleh bumi [13].

a)
c)
Gambar 1. Hasil citra wind streamline 13 Februari 2014 jam 18.00 – 00.00 UTC. [a]. 3 km, [b]. 6 km, dan [c]. 16 km.
-
4.2. Analisis citra ash RGB
Erupsi Gunung Kelud terdeteksi dari tanggal 13 Februari 2014 pada jam 18.00 UTC hingga tanggal 14 Februari 2014 pada jam 18.00 UTC. Lontaran material yang menyembur ke atmosfer, kemudian terdistribusi ke berbagai arah mengikuti arah angin di sekitarnya. Hasil dari pengolahan citra ash RGB ditunjukkan oleh Gambar 2 sebagai berikut.

a)

b)


c) d)
Gambar 2. Citra satelit Ash RGB. [a]. 18.00 UTC 13 Feb 2014, [b]. 00.00 UTC 14 Feb 2014, [c]. 10.00 UTC 14 Feb 2014, dan [d]. 18.00 UTC 14 Feb 2014.
Gambar 2 merupakan hasil pengolahan citra komposit ash RGB. Tanda “x” merupakan posisi Gunung Kelud, warna merah yang dibatasi oleh garis kuning merupakan sebaran debu vulkanik erupsi Gunung Kelud. Pada Gambar 2a menunjukkan awal terdeteksinya debu vulkanik yaitu pada jam 18.00 UTC dengan arah sebarannya menuju Timur Laut, Utara, dan Barat Daya. Kemudian Gambar 1b menunjukkan pada jam 00.00 UTC, reflektivitas citra komposit ash RGB berubah sangat pekat dengan arah sebaran debu vulkaniknya cenderung mengarah ke Barat Daya. Selanjutnya pada Gambar 1c menunjukkan pada jam
-
10.00 UTC, reflektivitasnya mulai berkurang hingga hampir tidak terdeteksi pada jam 18.00 UTC yang ditunjukkan oleh Gambar 1d.
Pergerakan sebaran debu vulkanik yang terdeteksi melalui metode ash RGB dengan verifikasi pemodelan wind streamline, membuktikan bahwa sebaran debu vulkanik dapat dipengaruhi oleh arah angin di atmosfer. Hasil keluaran model ash RGB juga dapat menggambarkan reflektivitas sebaran debu vulkanik yang mulai berkurang pada jam 10.00 UTC hingga tidak terdeteksi pada jam 19.00 UTC tanggal 14 Februari 2014. Selain karena faktor kondisi angin, berkurangnya reflektivitas hasil pemodelan RGB juga disebabkan oleh faktor tutupan awan konvektif dan faktor hujan. Awan konvektif dapat mengganggu pancaran gelombang yang dipancarkan oleh satelit Himawari sehingga dapat mempengaruhi hasil keluaran citra komposit RGB [7, 14]. Sedangkan faktor hujan, debu vukanik yang berada di atmosfer dapat terbawa oleh hujan yang kemudian jatuh ke daratan [15]. Diketahui pada tanggal 14 Februari 2014 jam 08.00-02.00 UTC, sebagian besar daerah di Pulau Jawa mengalami curah hujan dengan intensitas maksimum sebesar 10-20 mm/jam [16].
-
4.3. Analisis citra hysplit
Analisis citra hysplit dilakukan untuk mengetahui nilai massa partikel dan jangkauan sebaran debu vulkanik secara Horizontal. Perbedaan warna hasil pengolahan menunjukkan tingkat kepekatan massa partikel debu vulkanik. Hasil pengolahan citra hysplit ditunjukkan oleh oleh Gambar 3.


b)
a)

c)
Gambar 3. Pemodelan hysplit (14 Februari 2014 jam 00.00-06.00 UTC). [a]. 3 km, [b]. 6,4 km, dan [c]. 16,1 km.
Gambar 3a menunjukkan sebaran debu vulkanik yang mengarah dari Barat Daya menuju Timur Laut pada ketinggian 3,0 km dengan massa partikel maksimum sebesar 1.700 mg/m2 dan jangkauan sebaran maksimumnya 300-600 km. Gambar 3b menunjukkan sebaran debu vulkanik yang mengarah dari Selatan menuju Utara hingga Barat Laut pada ketinggian 6,4 km dengan massa partikel maksimum sebesar 61.000 mg/m2 dan jangkauan sebaran maksimumnya 300-600 km. Gambar 3c menunjukkan sebaran debu vulkanik yang mengarah dari Timur Laut menuju Barat Daya pada ketinggian 16,1 km dengan massa maksimumnya 580.000 mg/m2 dan jangkauan sebaran maksimumnya 900-1.200 km.
Erupsi Gunung Kelud yang bersifat eksplosif mengakibatkan material debu vulkanik yang memiliki ukuran lebih kecil berada pada ketinggian 7,3-16,1 km, mengakibatkan arah sebaran debu vulkaniknya menuju Barat Daya, sedangkan debu vulkanik yang memiliki ukuran lebih besar, berada pada ketinggian yang lebih rendah yaitu 1,5-6,4 km dengan arah sebarannya menuju Timur Laut dan Utara hingga Barat
Laut. Hasil ini membuktikan bahwa arah dan jangkauan sebaran debu vulkanik dapat dipengaruhi oleh arah dan kecepatan angin. Analisis ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang juga menjelaskan bahwa arah dan jangkauan sebaran debu vulkanik dipengaruhi oleh kondisi angin di atmosfer [4-6,13].
-
4.4. Trajectory sebaran debu vulkanik
Hasil keluaran hysplit trajectory berupa citra dimana lintasan debu vulkanik tergambarkan oleh area dengan warna yang berbeda untuk membedakan suatu ketinggian dan cakupan luasannya. Lintasan debu vulkanik erupsi Gunung Kelud tahun 2014 dominan mengarah ke arah Barat Daya. Hasil pengolahan citra hysplit trajectory ditunjukkan oleh Gambar 4
Gambar 4. Trajectory sebaran debu vulkanik.
Gambar 4 menunjukkan trajectory sebaran debu vulkanik erupsi Gunung Kelud tahun 2014 pada flight level area. Pada interval waktu awal erupsi dengan lintasan berwarna hitam, trajectory sebaran debu vulkanik cenderung mengarah ke Timur Laut yang kemudian berbelok dan mengarah menuju Barat Daya. Lintasan dengan warna biru tua, biru muda, hijau, dan orange, mengindikasikan bahwa distribusi sebaran debu vulkanik konsisten bergerak menuju Barat Daya hingga keluar dari wilayah Pulau Jawa yang selanjutnya menyebar dari formasi sebarannya. Trajectory arah sebaran debu vulkanik juga telah diverifikasi oleh adanya penutupan Bandara Juanda Surabaya, Abdurrahman Saleh Malang, Adisucipto Yogyakarta, Ahmad Yani Semarang, Adi Sumarmo Solo, Husein Sastranegara Bandung, dan Tunggul Wulung Cilacap [14].
Besarnya kecepatan angin maksimum pada saat erupsi Gunung Kelud tanggal 13-14 Februari 2014 adalah sebesar 38 m/s yang berada pada ketinggian 16,1 km. Trajectory sebaran debu vulkanik menuju arah Timur Laut dan kemudian sebagian besar berbelok menuju Barat Daya yang disebabkan oleh arah dan kecepatan angin. Nilai massa partikel maksimum berada di ketinggian 16,1 km yaitu 580.000 mg/m2 dengan jangkauan sebaran partikelnya sejauh 2.600 km dari posisi Gunung Kelud.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak Stasiun Meteorologi Kelas I I Gusti Ngurah Rai yang telah memberikan izin, bantuan fasilitas, dan bimbingan dalam menyelesaikan penelitian ini, serta seluruh dosen Program Studi Fisika, FMIPA Universitas Udayana yang telah membimbing dan memberikan saran masukan terkait penelitian ini.
Pustaka
-
[1] G. Budiyanto, Abu Letusan Gunung Tidak Membahayakan. Available from: https://www.umy.ac.id/abu-letusan-gunung-tidak-membahayakan, diakses 11 Maret 2023.
-
[2] T. J. Grindle and F. Burcham, Engine damage to a NASA DC-8-72 airplane from a high-altitude encounter with a diffuse volcanic ash cloud. National Aeronautics and Space Administration Research Center, California, 2003, pp. 1-23.
-
[3] A. A. Azani, C. N. Tata, Kuntinah, I. R. Nugraheni, dan A. Abdullah, Pemanfaatan produk radar cuaca dan satelit untuk mengidentifikasi abu vulkanik (studi kasus letusan Gunung Agung tanggal 26 November 2018). Seminar Nasional Pendidikan Fisika, 2019, pp. 195-203.
-
[4] A. H. Habibie, I. W. G. Giriharta, C. M. Lestari, dan R. M. Putra, Identifikasi Pengaruh Fenomena Siklon Tropis Cempaka terhadap Sebaran Abu Vulkanik Gunung Agung menggunakan Model PUFF dengan Inputan Data Radar dan Visual, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, vol. 19, no. 1, 2018, pp. 1-11.
-
[5] D. A. Pratama, M. F. Islam, M. B. Saputro, N. D. Pamungkas, R. Fajarianti, dan R. Margiono, Deteksi Sebaran Debu Vulkanik menggunakan Citra Satelit Himawari-8 (Studi Kasus Gunung Sinabung 9 Juni 2019). Bulletin of Scientific Contribution Geologi, vol. 17, no. 3, 2019, pp 187-192.
-
[6] A. L. Gaol dan Y. P. Serhalwan, Simulasi Dispersi dan Trayektori Abu Vulkanik Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda (Studi kasus: 23-28 Desember 2018). Buletin Meteorologi dan Geofisika, vol. 9, no. 8, 2019, pp. 31-37.
-
[7] A. S. Prabu, I. J. A. Saragih, M. P. Rosyady, dan A. Kristianto, Deteksi Sebaran Debu Vulkanik menggunakan Citra Satelit Himawari-8 (Studi kasus: Gunung Raung, Gunung Rinjani, dan Gunung Bromo). Seminar Nasional Penginderaan Jauh, vol. 5, 2018, pp. 711-715.
-
[8] R. E. Smallman dan R. J. Bishop. Modern Physical Metallurgy and Materials Engineering, Butterworth Heinemann, New York, 1999, pp. 24-25.
-
[9] J. R. Holton and G. J. Hakim, An Introduction to Dynamic Meteorology. Washington, 2019.
-
[10] Endarwin, Deteksi Potensi Gerak Vertikal Atmosfer Di Atas Wilayah Bandung dan Sekitarnya. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, vol. 11, no. 1, 2010, pp. 44-53.
-
[11] S. Himran, Energi angin. Andi Offset, Yogyakarta, 2019.
-
[12] Japan Meteorological Agency, Ash RGB Detection of Volcanic Ash, Meteorological Satellite Center, Tokyo, 2015, pp. 1-10.
-
[13] M. Ryan dan K. R. Pratama, Identifikasi Trajektori Debu Vulkanik Letusan Gunung Gamalama dengan Hysplit dan Metode RGB pada Citra Satelit Himawari-8. Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, vol 4, no. 2. 2017, pp. 29-35.
-
[14] Angkasa Pura 1 Airport. Empat bandara ditutup sementara, 2014. Available from:
https://ap1.co.id/id/information/news/detail/breaking-news-empat-bandara-ditutup-sementara, diakses pada 1 Maret 2023.
-
[15] Tim Analisis Kebencanaan Lingkungan LAPAN. Potensi Sebaran Abu Vulkanik Letusan Gunung Raung (Analisis Dampak Sebaran Abu Vulkanik Erupsi Gunung Raung 20 Februari 2021). 2021. Available from: http://pusfatja.lapan.go.id/siaran-pers/186/potensi-sebaran-abu-vulkanik-letusan-gunung-raung, diakses pada 1 Maret 2023.
-
[16] Japan Aerospace Exploration (JAXA). Jaxa Global Raindall Watch. 2014. Available from:
https://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP, diakses pada 1 Maret 2023.
148
Discussion and feedback