TEKNIK KONSERVASI TANAH LAHAN KERING UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN PADA DESA MOJOREJO, LAMONGAN
on
TEKNIK KONSERVASI TANAH LAHAN KERING UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN PADA DESA MOJOREJO, LAMONGAN
Deddy Erfandi
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12, Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor Email: [email protected]
Abstract
Soil conservation is one important aspect in supporting food security program. It is necessary to create an area that has a sustainable environment. Mojorejo Village, District Modo, Lamongan, East Java, has an area of ± 1,406 ha. Most of the area is dry land agro-ecosystem including upland lowland dry climate. Topography is undulating to hilly with deep and rocky limestone solum. In creating a sustainable environment, research has been conducted in the village on system conditions of dryland soil conservation techniques to address land degradation. The study aims to look at the soil conservation and soil conservation technologies recommended in situ, in order to address land degradation. Observations suitability for some commodities show that land can be developed for agricultural commodities in the village square Mojorejo 878.02 ha (92.56%), while the remaining area of 70.54 ha (7.22 %) could not be developed for agriculture because of the form settlement and land biophysical conditions do not allow. There is a potential source of water to irrigate rice fields allowed. On mixed farms that have slopes of 8-15%, the maximum proportion of annual crops is 50 % with a permanent stone terracing, while mixed farms on the slopes of 15-25%, the maximum proportion of annual crops is 30% with a permanent stone bench terraces.
Key words: Technique of soil conservation, land degradation, dryland, Lamongan
1.Pendahuluan
Otonomi Daerah menyebabkan penyelenggaraan pembangunan dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Salah satunya adalah pergeseran desentralisasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pembiayaan pembangunan pertanian. Seiring dengan perubahan paradigma pembangunan tersebut, maka manajemen pembangunan pertanian akan mengalami penyesuaian. Konsekuensi dari perubahan tersebut, semua pemerintah daerah dituntut untuk dapat merumuskan program dan strategi pembangunan pertanian yang tepat (Badan Litbang Pertanian, 2004). Dengan demikian sektor pertanian dapat berperan penting dalam pembangunan daerah.
Primatani merupakan suatu model atau konsep baru diseminasi yang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru, menggunakan pendekatan agroekosistem dan kondisi sosial masyarakat (Adimihardja 2006;
Adimihardja 2007). Konservasi tanah merupakan model teknologi inovasi yang dapat memberikan kontribusi menciptakan lingkungan yang lestari serta mendukung peningkatan ketahanan pangan. Hal ini karena dapat meningkatkan kualitas lahan dan mengatasi degradasi lahan (Rachman dan Dariah, 2007; Bie, 2005).
Pada lahan berlereng resiko terjadinya erosi dan aliran permukaan cukup besar. Dengan memberikan perlindungan pada tanah berupa pembuatan teras, menanam tanaman secara kontur, dan pemanfaatan pupuk organik secara insitu adalah suatu tindakan yang bijaksana dalam penyelamatan lingkungan dalam mengatasi degradasi lahan (Gardner and Gerrard. 2003; Andreas de Neergaard et al., 2008; Nyssen Jan et al., 2009; Nurida dan Undang Kurnia, 2009). Oleh karena itu aspek konservasi tanah sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang lestari dan berkesinambungan.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan
gambaran teknik konservasi tanah dan rekomendasi teknik konservasi tanah yang sesuai dengan agroekosistem dalam mencegah degradasi lahan dan mendukung ketahanan pangan. Dengan demikian diharapkan kawasan tersebut menjadi kawasan yang mampu menciptakan pertanian lestari.
Desa Mojorejo, Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan, Propinsi Jawa Timur seluas 976,977 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak pada koordinat antara 112o08’00"- 112o10’49" Bujur Timur dan 7o13’04" - 7o53’12" Lintang Selatan. Sebagian besar wilayahnya merupakan lahan kering dengan agroekosistem termasuk lahan kering dataran rendah iklim kering (LKDRIK). Lahan bertopografi bergelombang hingga berbukit dengan solum dalam dan berbatu gamping. Menurut klasifikasi Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2010), tanah-tanah di daerah penelitian diklasifikasikan dalam 2 ordo tanah,
yaitu: Entisols dan Inceptisols. Komoditas pertanian yang banyak diusahakan adalah padi, jagung, dan ubi kayu. Adapun rincian penggunaan lahan disajikan pada Tabel 1. Sedangkan peta penggunaan lahan Desa Mojorejo disajikan pada Gambar 1. Jumlah bulan hujan rata-rata 4 bulan pertahun dengan curah hujan 1933 mm dan 82 hari hujan pertahun. Data curah hujan 12 tahun Desa Mojo disajikan pada Gambar 2.
Tabel 1. Rincian penggunaan lahan Desa Mojorejo
Simbol |
Penggunaan lahan |
Luas Ha |
% |
Sw |
Sawah Irigasi |
260,1 |
26,6 |
Sth |
Sawah Tadah Hujan |
102,5 |
10,5 |
Tg |
Tegalan |
515,4 |
52,8 |
Ba |
Badan Air |
28,4 |
2,9 |
p |
Pemukiman |
70,5 |
7,2 |
Jumlah |
976,9 |
100.00 |
Gambar 1. Peta penggunaan lahan, Desa Mojorejo.
Parameter yang diamati adalah teknik konservasi tanah insitu, yaitu pengumpulan informasi teknologi konservasi tanah yang telah ada dan pengamatan biofisik untuk rekomendasi teknologi konservasi tanah.
Gambar 2. Data Curah hujan 12 tahun, Desa Mojorejo
Dari hasil evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa lahan yang dapat dikembangkan untuk komoditas pertanian di Desa Mojorejo seluas 878,02 ha (92,56 %). Sedangkan sisanya seluas 70,54 ha (7,22 %) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian. Hal ini karena berupa pemukiman dan kondisi biofisik lahan tidak memungkinkan untuk pengembangan komoditas pertanian. Lahan yang secara biofisik tidak sesuai diarahkan sebagai kawasan konservasi.
Lahan kering pada desa ini banyak tergantung dari curah hujan, dan hanya sebagian kecil sawah dapat diairi dari sumber air. Banyaknya sumber air menyebabkan desa ini sangat berpotensi untuk mengairi persawahan. Sebenarnya desa ini mempunyai waduk Bowo yang terletak disebelah Utara (Gambar 1), tetapi kurang potensial. Hal ini karena waduk tergantung dari curah hujan, dan letak waduk melebihi ketinggian desa.
Pengelolaan sumberdaya air masih sangat tergantung dari curah hujan. Ada beberapa petani yang melakukan pengairan pada persawahan dengan menggunakan pompanisasi serta dengan beberapa mata air. Pada Tabel 2 digambarkan pola tanam dan masa tanam dengan sumber air yang berbeda.
Tabel 2. Pengelolaan lahan dan sumberdaya air Desa Mojorejo.
Sumber Penggunaan air lahan |
Pola tanam Masa tanam | ||
Curah hujan/ Pompanisasi |
Sawah |
Padi-Jagung + Kc kedelai |
3 bulan (Nop-Feb) |
Curah hujan |
Tegalan |
Jagung + Kc Kedelai |
7 bulan (Nop-Mei) |
Curah hujan |
Kebun campuran |
Jagung + Ubi kaju Rumput Gajah Jati+ jagung |
12 bulan (Nop-Okt) 4 bulan (Nop-Mar) |
Mata air |
Tegalan |
Padi + Jagung Jagung+ R Gajah |
Sepanjang tahun |
-
3.2. Kondisi Teknik Konservasi Tanah yang Ada
Desa Mojorejo mempunyai tanaman unggulan padi dari sawah irigasi, dan jagung dari tegalan serta sapi perah. Namun tanaman-tanaman tersebut masih perlu ditingkatkan baik kualitas dan produksinya. Sedangkan pakan ternak untuk sapi perah masih minim tersedia. Selain itu varietas unggul perlu dibenahi dan yang lebih penting adalah masalah kesuburan dan teknik konservasi tanah.
Teknik konservasi tanah sudah banyak dikenal pada Desa ini yaitu dalam bentuk guludan dan teras bangku. Guludan dan teras di daerah ini banyak dibentuk dari batu. Namun masih banyak yang belum memenuhi syarat, seperti tanpa penguat gulud atau teras dan bahkan banyak guludan yang tidak permanen. Disamping itu masih kurangnya sisa panen yang dikembalikan pada lahan. Hal-hal seperti inilah yang dapat berdampak negatif pada keseimbangan hara tanah dan hasil tanaman.
Gambar 3. Ilustrasi teras irigasi/sawah tanpa saluran pembuangan air
-
3.2.1. Teras Irigasi/Sawah
Umumnya teras ini sudah cukup baik dan stabil (Gambar 3). Namun saluran pembuangan air (SPA) harus diperbaiki. Sawah tanpa SPA dapat menyebabkan sistim penggunaan air tidak efektif dan efisien.
-
3.2.2. Gulud Batu
Kondisi gulud batu yang ada masih kurang sempurna (Gambar 4). Hal ini karena penyusunan batu yang berasal dari batu gamping kurang teratur dan juga selalu berubah-ubah sesuai dengan musim tanam. Dengan adanya perubahan gulud pada setiap musim, resiko erosi tanah semakin besar pada lahan
tersebut. Disamping itu SPA belum dibuat, padahal aliran permukaan pada lahan ini cukup besar.
-
3.2.3. Teras Bangku Batu
Umumnya teras batu yang tersusun sudah cukup baik. Batu tersebut berasal dari batu gamping (Gambar 5). Pada musim penghujan lahan ini ditanamai padi gogo. Sedangkan musim kemarau ditanami jagung, namun biasanya lahan yang dekat sumber air.
Gambar 5. Ilustrasi teras bangku batu
Gambar 4. Ilustrasi Gulud batu tanpa saluran pembungan air
Tabel 3. Introduksi teknik konservasi tanah lahan kering pada Desa Mojorejo.
Lereng (%) |
Penggunaan lahan |
Konservasi tanah yang ada |
Introduksi Teknik konservasi tanah |
Keterangan | |
Maks proporsi tanaman semusim (%) |
Teknik konservasi tanah | ||||
0-3 |
Sawah Irigasi |
Teras irigasi |
100 |
Teras irigasi diperbaiki, agar penggunaan air lebih efisien |
Pembuatan SPA |
0-3 |
Sawah tadah hujan/ |
Teras sawah |
100 |
penggunaan air lebih efisien, pompanisasi | |
0-3 |
Kebun campuran |
- |
75 |
Penanaman tanaman penutup tanah |
Tanaman semusim ditanam dibawah tegakan jati |
3-8 |
Kebun campuran |
Gulud batu |
60 |
Dengan penguat teras rumput gajah |
Tanaman semusim ditanam dibawah tegakan tanaman hutan |
8-15 |
Kebun campuran |
Teras batu |
50 |
Perbaikan teras batu dan permanen, pembuatan embung (Depatemen Pertanian, 2006). |
Tanaman semusim ditanam dibawah tegakan tanaman hutan |
15-25 |
Kebun campuran |
Teras bangku batu |
30 |
Teras bangku batu permanen, pembuatan embung (Depatemen Pertanian, 2006). |
Tanaman semusim ditanam dibawah tegakan tanaman hutan. |
-
3.3. Introduksi Teknik Konservasi Tanah Lahan
Kering
Dalam mengatasi degradasi lahan dan memciptakan lingkungan yang berkelanjutan, diperlukan teknologi yang ramah lingkungan dan bersifat insitu. Teknologi yang diperlukan adalah kerapatan tanaman, karena kerapatan tanaman berhubungan dengan erosi dan longsor. Indonesia yang beriklim tropis tentu cenderung curah hujan yang tinggi menjadi penyebab bahaya banjir, erosi dan tanah longsor. Untuk itu berdasarkan pengamatan lapang disajikan introduksi teknik konservasi tanah pada Tabel 3.
-
3.3.1. Penanaman Tanaman Penutup Tanah
Teknik konservasi ini dimaksudkan selain untuk menambah bahan organik tanah, juga sebagai penghambat benturan langsung terhadap curah hujan. Dengan demikian erosi tanah pada lahan tegalan dan kebun campuran dapat dihambat. Tanaman penutup tanah dianjurkan menggunakan jenis legume (Gambar 6), karena bahan organik yang dihasilkan cukup baik untuk keseimbangan hara tanah (Dariah et al., 2007; Fattet et al., 2011). Jenis tanaman penutup tanah yang dapat diterapkan adalah Centrosema sp., Puraria javanica dan Arachis pintoi. Penanaman tanaman penutup tanah dapat dilakukan pada tegakan jati dan cengkeh.
Gambar 6. Ilustrasi penanaman tanaman penutup tanah
-
3.3.2. Gulud Batu
Perbaikan gulud batu dilakukan agar menjadi stabil dan permanen (Gambar 7). Untuk itu gulud perlu diperkokoh dengan tanaman penguat teras. Jenis tanaman yang dapat dijadikan tanaman penguat teras dan sangat diperlukan untuk ternak adalah jenis pakan ternak, seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum), Setaria sp dan Paspalum notatum.
Dengan demikian ketersediaan pakan ternak untuk Desa Mojorejo menjadi surplus. Penanaman tanaman penguat guludan ini ditanam secara zig zag dengan jarak 25 cm. Disamping itu setiap panjang guludan 25 meter dibuat saluran pembuangan air (SPA).
Gambar 7. Ilustrasi penampang gulud batu
-
3.3.3. Teras Irigasi/Sawah
Teras irigasi diperbaiki dengan cara memperkuat pematang sawah dan tampingan dengan menanam rumput local.. Hal ini agar pematang lebih stabil dan efisien dalam penggunaan air.
Tumpukan i batu
Tampingan dengan rumputlokal
Gambar 8. Ilustrasi teras sawah dengan introduksinya.
-
3.3.4. Rorak/Slot Mulsa
Pembuatan lubang diantara tanaman tahunan yang berfungsi sebagai penyimpan air/resapan air. Disamping itu berfungsi untuk membuang serasah tanaman agar dapat digunakan sebagai mulsa atau pupuk pada tanaman tahunan dan tanaman semusim. Rorak dapat dibuat dekat guludan, selain berfungsi sebagai resapan air juga sebagai penghambat aliran permukaan (Gambar). Lubang rorak dibuat dengan ukuran panjang 2 meter, lebar 50 cm dan dalam 35 cm. Jarak antara rorak 3 meter.
-
3.3.5. Teras Bangku Batu
Teras bangku batu dengan tampingan rata-rata 0.5 -1 meter perlu dikombinasikan dengan rumput pakan ternak, agar bangunannya menjadi kokoh dan stabil. Dengan demikian teras batu tersebut mampu menahan longsor dan erosi. Rumput pakan ternak
Ro rak/slot mulsa
Gambar 9. Ilustrasi penampang rorak/slot mulsa.
yang tersedia secara insitu adalah rumput gajah. Disamping itu perlu dibuat terjunan air setiap 25 meter dan SPA. Pada kebun campuran lereng 15 – 25 persen dengan tanaman jati/mindi/mahoni yang masih kecil dengan tinggi rata-rata 0,5-1,5 m dapat ditanam tanaman semusin 30 % .
Lahan yang dapat dikembangkan untuk komoditas pertanian di desa Mojorejo seluas 878,02 ha (92,56 %). Sedangkan sisanya seluas 70,54 ha (7,22 %) tidak dapat dikembangkan untuk lahan pertanian. Lahan yang secara biofisik tidak sesuai diarahkan sebagai kawasan konservasi. Teknik konservasi tanah pada Desa Mojorejo dibuat dalam bentuk tumpukan batu yang menyerupai guludan
dan teras bangku. Introduksi teknik konservasi tanah lahan kering diarahkan pada kerapatan tanaman. Pada kebun campuran yang memiliki lereng 8-15 %, maksimum proposi tanaman semusim adalah 50 % dengan membuat teras batu yang permanent, sedangkan kebun campuran pada lereng 15-25 %, maksimum proporsi tanaman semusim adalah 30 % dengan teras bangku batu yang permanen. Teknik konservasi tanah vegetatif seperti menanam tanaman penguat teras rumput gajah dan menanam tanaman penutup tanah merupakan alternatif pencegah erosi tanah. Sumber air yang ada memiliki potensi untuk mengairi sawah. Pembuatan embung serta pompanisasi untuk mengantisipasi kekurangan air, terutama pada lahan tadah hujan.
Daftar Pustaka
Adimihardja, A. 23 Agustus 2006. “Primatani Membangun Agroindustri Pedesaan dengan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Agribisnis”. PT Gramedia, Tabloid Sinar Tani, hlm. 12.
Adimihardja, A. 2007 “Siapkah kita menghadapi eskalasi tantangan konservasi lahan pertanian di Indonesia?”. Dalam Fahmuddin Agus, Naik Sinukaban, A.Ngaloken Ginting, Harry Santoso, dan Sutadi (Ed), Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air (hlm. 76-84). Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007, Jakarta.
Andreas de Neergaard, J. Magid, and O. Mertz. 2008. “Soil erosion from shifting cultivation and other smallholder land use in Sarawak, Malaysia”. Agriculture, Ecosystems & Environment 125, 1–4. 182190.
Badan Litbang Pertanian. 2004. Pedoman Umum Prima Tani. Departemen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Bie de C.A.J.M. 2005 “Assessment of soil erosion indicator for maize-based agro-ecosystems in Kenya”. CATENA 59, No.3 : 231-251.
Dariah A., N.L. Nurida dan Sutono. 2007. Fomulasi bahan pembenah tanah untuk rehabilitasi lahan terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Bogor, 7 -8 November 2007. 289-297.
Departemen Pertanian. 2006. Lampiran Peraturan Menteri Pertanian no. 47/Permentan/OT.140/10/2006, Tgl 9 Oktober 2006. Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Fattet M., Y. Fu, M. Ghestem, W. Ma, M. Foulonneau, J. Nespoulous, Y. Le Bissonnais, and A. Stokes. 2011. “Effects of vegetation type on soil resistance to erosion: Relationship between aggregate stability and shear strength “. CATENA 87,1. 60-69.
Gardner R.A.M., and A.J. Gerrard. 2003.” Runoff and soil erosion on cultivated rainfed terraces in the Middle Hills of Nepal”. Applied Geography 23, 1. 23-45.
Nurida L.,N., dan Undang Kurnia. 2009. “Perubahan Agregat tanah pada tanah Ultisols Jasinga Terdegradasi Akibat Pengolahan tanah dan Pemeberian Bahan Organik”. Jurnal tanah dan Iklim, 30 . 37-48.Accepted 9 November 2011
Available online 27 December 2011
Nyssen Jan, Jean Poesen, and Jozef Deckers. 2009. “Land degradation and soil and water conservation in tropical highlands”. Soil and Tillage Research103, 2. 197-202
Rachman Achmad dan Ai Dariah. “Permodelan dalam Perencanaan Konservasi Tanah dan Air.. Dalam Fahmuddin Agus, Naik Sinukaban, A.Ngaloken Ginting, Harry Santoso, dan Sutadi (Ed). Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air (hlm. 28-33). Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007, Jakarta.
Soil Survey Staff. 2010. Keys to soil taxonomy, 11thed.USDA Natural Resources Conservation Service, Washington DC.
97
Discussion and feedback