Aimie Sulaiman, dkk. : Model Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dalam Perspektif

MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN DALAM PERSPEKTIF RESOLUSI KONFLIK

(Studi Kasus Nelayan Teluk Limau Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Aimie Sulaiman1), Iskandar Zulkarnain2), Yulian Fakhrurrozi3)

Universitas Bangka Belitung

e-mail: [email protected]m, [email protected], [email protected]

Abstrack

Research aimed at mapping the dynamics of conflict and conflict resolution, to analyze the fishery potension and estates, as well as government policy areas West Bangka district about efforts to protect the marine ecosystem in Teluk Limau Kecamatan Parit Tiga threat of degradation. A policy in the mining sector that issued the draft local regulations which do not favor the interests of the community, a grass-roots rejection of Community fishermen harvest that ended in open conflict across the community. By applying the model of integrative policy approaches through conflict resolution, regulation which is accommodating and local wisdom-based ethnotechnology, development is expected to be sustainable economic development can be realized in the future.

Keywords: fishery potension, policy, regulation, conflict resolution, ethnotechnology

  • 1.    Pendahuluan

Konflik di sektor kelautan merupakan fenomena yang kerap terjadi sebagai konsekuensi laut sebagai sumberdaya yang bersifat open acces yang mengakibatkan terbukanya ruang untuk perbedaan kepentingan (Annisa, Satria, dan Kinseng, 2009). Perbedaan kepentingan itu tak jarang dipicu oleh persoalan kebijakan sektor kelautan yang ditengarai tidak berpihak pada kepentingan masyarakat khususnya nelayan, sehingga terkadang dapat berujung pada tindakan anarki. Hal ini yang memicu konflik antara komunitas nelayan desa Teluk Limau dan korporasi kapal isap milik PT Timah dan mitranya yang beroperasi di perairan Teluk Limau serta melibatkan pemerintah daerah kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Konflik yang terjadi telah merusak tatanan sosial masyarakat dimana awalnya masyarakat hidup rukun dengan tingkat solidaritas terjaga seolah terkoyak yang menyebabkan kecurigaan di antara anggota masyarakat. Pasca konflik, pihak pemerintah kabupaten Bangka Barat dan aparat keamanan belum mampu menciptakan keseimbangan. Kondisi ini terlihat dengan masih terpeliharanya perasaan saling

curiga terutama bagi kelompok yang mendukung penambangan laut dan kelompok yang menolak penambangan laut.

Pemicu konflik dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan warga terhadap aturan pertambangan yang tertera dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) kabupaten Bangka Barat yang mengatur pertambangan kapal isap. Dalam raperda tersebut kebijakan pemerintah daerah mengizinkan kapal isap beroperasi mulai dari wilayah 0 mil laut (Kompas, 8/8 2011). Bagi komunitas nelayan, raperda tersebut akan semakin merusak perairan Teluk Limau yang selama ini menjadi sumber pencaharian nelayan dan hanya menguntungkan pemilik serta penambang kapal isap. Aspirasi warga nelayan yang tidak diakomodasi oleh pemerintah daerah menyebabkan pecahnya konflik yang diawali dari desa Cupat (Bangka Pos, 7/9 2011 dan Kompas, 7/9 2011) dan meluas ke Teluk Limau yang berakhir dengan aksi anarkisme: pengrusakan dan pembakaran (Bangka Pos, 2011).

Konflik yang disertai anarkisme, menurut Ostrom (Satria, 2009) disebabkan oleh marginalisasi hak-hak komunal nelayan yang meliputi: hak akses (access right), hak menangkap atau berproduksi

(withdrawal right), hak mengelola (management right), dan hak mengeluarkan (exclusion right). Permasalahannya, hukum baru mengakomodasi secara tegas dua hak, yakni hak akses dan hak menangkap, tetapi belum memenuhi hak mengelola sumberdaya kelautan. Keterbatasan dalam mengelola sumberdaya perairan dan kelautan tersebut menyebabkan terjadinya konflik kepentingan dalam memperebutkan sumberdaya kelautan (Kusnadi, 2002). Hal inilah yang memicu konflik di Teluk Limau.

Berdasarkan uraian latar belakang, permasalahan difokuskan pada upaya memetakan dinamika konflik, resolusi konflik, dan kebijakan pemerintah daerah yang dapat menjamin keberlangsungan pengembangan sektor kelautan berbasis kearifan lokal.

Studi pendahuluan yang melatarbelakangi munculnya gagasan awal penelitian bersumber dari penelitian Merry Christina tentang gerakan sosial terhadap keberadaan kapal isap oleh komunitas nelayan desa Teluk Limau kecamatan Parit Tiga Bangka Barat tahun 2011. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang dianalisis dengan analisa kualitatif.

Hasil penelitian menemukan tiga faktor yang mendorong terjadinya gerakan penolakan terhadap keberadaan kapal isap, yaitu: pertama, perebutan sumberdaya ekonomi yang menyebabkan sebagian nelayan mulai beralih profesi dari nelayan ke petambang timah apung untuk menambah pendapatan keluarga. Kedua, adanya kesenjangan persepsi dan komunikasi antara masyarakat dan aparatur desa terkait akses imbalan (fee) dari pihak korporasi kapal isap. Ketiga, kerusakan lingkungan di perairan yang kian tak terkendali. Keberadaan kapal isap yang beroperasi di pantai dan lepas pantai Teluk Limau tentu membawa konsekuensi bagi terciptanya kerusakan ekosistem laut. Hal itu terlihat dari kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi lumpur yang menyebabkan air laut menjadi keruh. Dampak kerusakan lingkungan itu tentu mempengaruhi hasil tangkapan nelayan dan memperbesar angka pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari.

Selain penelitian Merry Christina, penelitian yang dilakukan oleh Antony Wijaya tentang konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan modern di Kota Bengkulu pada tahun 2009 cukup menarik untuk bahan kajian. Penelitian Wijaya menggunakan metode analisis data dari Strauss-Corbin melalui 3

tahapan analisis yaitu: Kode Pembuka (Open Coding), Kode Analisis (Axial Coding) dan Pemilihan Kode (Selective Coding).

Hasil penelitian menunjukkan dua hal yang menarik jika dikaitkan dengan penelitian, yaitu: pertama, belajar dari konflik yang dikaji oleh Wijaya menunjukkan bahwa faktor kebijakan yang tegas dan terarah dapat mendorong rekonsiliasi antarpihak yang berkonflik. Kedua, diperlukan model kebijakan yang terintegrasi yang mensinergikan antara proses penyelesaian konflik yang melahirkan resolusi konflik yang berkelanjutan serta kebijakan riil yang menyangkut keberlangsungan peri-kehidupan masyarakat atau komunitas. Keberadaan kebijakan yang terintegrasi di sektor kelautan menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki political will terhadap distribusi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari model integratif kebijakan di sektor kelautan pascakonflik antara korporasi kapal isap dan komunitas nelayan Teluk Limau melalui integrasi antardisiplin ilmu, yaitu sosiologi, teknokelautan dan etnoteknologi. Model integratif kebijakan meliputi: kebijakan menentukan model resolusi konflik yang tepat agar tercipta resolusi konflik yang berkelanjutan dengan fokus mengoptimalkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perairan dan kebijakan integrasi etnoteknologi berbasis kearifan lokal.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus diarahkan untuk melihat hubungan dialektik antara individu dengan masyarakat/komunitas sebagai sebuah sistem secara lebih dalam yang memungkinkan untuk menghasilkan temuan-temuan baru atau memperluas temuan baru dalam masyarakat atau komunitas yang diteliti (Abdullah, 2007). Selain itu, studi kasus dapat diarahkan dalam menunjukkan “contoh” dari pengaruh konteks sosial budaya maupun sosial ekonomi terhadap kehidupan orang atau sekelompok orang.

Kasus konflik penolakan kapal isap oleh komunitas nelayan di desa Teluk Limau menemukan relevansinya dengan pengaruh konteks sosial budaya di mana dinamika konflik mengarah kepada gejala hancurnya modal sosial (social capital) masyarakat pesisir seperti interaksi, komunikasi, kerja

sama dan jaringan antarpemangku kepentingan. Gejala hancurnya modal sosial tersebut berimplikasi terhadap proses melambatnya dinamika pembangunan dan pemenuhan kesejahteraan hidup komunitas. Melalui studi kasus yang dilakukan secara mendalam, diharapkan semua pihak yang terlibat dan tidak terlibat dapat menuju ke upaya resolusi konflik yang berkelanjutan. Pada intinya, pendekatan studi kasus difokuskan pada usaha mengurai dinamika konflik dan mendorong segera ke tahap resolusi konflik yang menghasilkan berbagai terobosan baru yang konstruktif bagi terciptanya rekonsiliasi.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menitikberatkan pada pengamatan terlibat (participant observation), wawancara mendalam (depth interview), focus group discussion (FGD), dan dokumentasi. Pengamatan difokuskan pada motivasi, sikap, perilaku, tindakan serta makna di balik simbol-simbol yang dapat diamati dari setiap individu ataupun kelompok (Abdullah, 2007). Wawancara mendalam mencoba mengeksplorasi secara lebih dalam persepsi-persepsi, pandangan serta pengalaman-pengalaman individu maupun kolektif terhadap fenomena yang sedang dan telah terjadi. Adapun FGD diorientasikan untuk menghimpun aspirasi-aspirasi secara alamiah terkait keinginan dan kebutuhan individu atau kelompok. Sedangkan dokumentasi dijadikan alat pendukung bagi validitas data dan informasi seperti data profil desa, potensi desa, proposal menuju desa mandiri, buku-buku, jurnal, surat kabat, dan dokumen lain yang terkait dengan penelitian.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Gambaran Umum Desa Teluk Limau

Desa Teluk Limau merupakan suatu desa pesisir yang penduduknya mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan. Desa terletak di sebelah Timur dari ibu kota kabupaten dengan jarak ± 100 km. Desa Teluk Limau terdiri atas 3 (tiga) dusun mencakup 15 rukun tetangga (RT) dengan luas wilayah ± 34,28 km². Jumlah penduduknya 3.047 jiwa, dengan jumlah laki-laki 1.639 jiwa, perempuan 1.408 jiwa, dan 989 kepala keluarga (KK). Adapun batas wilayah desa, yakni sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cupat, sebelah barat berbatasan dengan Laut Cina Selatan, dan sebelah timur berbatasan dengan Perairan Teluk Kelabat.

Berdasarkan data desa, kondisi pendidikan penduduk desa Teluk Limau lebih banyak berasal dari tamatan sekolah dasar (SD) atau sederajat, dan hanya sedikit dari penduduknya yang tamatan sarjana stratra 1. Secara detail penduduk yang tamatan SD atau sederajat berjumlah 921 jiwa dan tamatan sarjana sebanyak 23 jiwa (Proposal, 2011)

Berdasarkan jenis pekerjaan yang digeluti penduduk, nelayan merupakan pekerjaan yang terbanyak dengan 350 jiwa, buruh harian menempati jenis pekerjaan kedua terbanyak dengan 303 jiwa, dan petani terbanyak ketiga dengan 270 jiwa, serta montir merupakan pekerjaan yang paling sedikit digeluti oleh warga di Teluk Limau (Profil Desa, 2011).

Komunitas nelayan Teluk Limau memiliki karakteristik budaya dengan tingkat solidaritas yang tinggi yang diikat oleh rasa senasib sepenanggungan dan kesamaan profesi sebagai nelayan. Hal ini yang membuat anggota komunitas saling membantu jika terdapat permasalahan-permasalahan yang dihadapi setiap warga atau anggota. Kebiasaan gotong-royong tetap terpelihara. Dari segi sifat, nelayan Teluk Limau yang kebanyakan berasal dari keturunan Buton memiliki karakter yang keras, kasar, dan sukar untuk memaafkan.

Karakteristik secara kelembagaan, komunitas nelayan terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu nelayan yang terorganisir dan nelayan yang tidak terorganisir. Nelayan yang terorganisir adalah nelayan yang tergabung dalam wadah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), sementara nelayan yang tidak terorganisir adalah nelayan yang bersifat perorangan yang memiliki aspirasi untuk menjaga kelestarian lingkungan dan nilai-nilai tradisionalisme. Secara kelembagaan terjadi dualisme pandangan yang berbeda antara yang mendukung kelestarian lingkungan dan kontra kelestarian. Hal ini yang memunculkan dinamika konflik terhadap keberaaan kapal isap di Teluk Limau.

  • 3.2.    Pemetaan Konflik

Pemetaan konflik secara harfiah menurut Lambang Trijono (2009) adalah proses memetakan, menggambarkan, dan menjelaskan realitas konflik yang terjadi untuk kemudian mengatasinya secara sistematis. Sedangkan secara istilah pemetaan adalah suatu teknik untuk merepresentasikan konflik dalam bentuk gambar (grafis) dengan menempatkan para pihak yang terlibat dalam konflik baik dalam hubungannya dengan masalah maupun antar para

pihak sendiri. Dengan demikian, pemetaan konflik merupakan salah satu teknik dari sederetan teknik dan alat yang sangat membantu dalam menganalisa dan memecahkan konflik.

Tujuan pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi konflik secara lebih baik, melihat dengan lebih jelas hubungan antara para pihak yang terlibat atau terkait dalam konflik, mengklarifikasi di mana kekuatan (utama) itu terletak, mengecek keseimbangan aktifitas atau kontak seseorang (intensitas komunikasi), melihat di mana sekutu atau aliansi atau sekutu potensial berada, mengidentifikasi pembukaan untuk intervensi atau pengambilan tindakan.

Elemen-elemen penting dalam proses pemetaan konflik terdiri atas 5 (lima) elemen, yaitu: (1) situasi atau setting konflik, (2) isu konflik (masalah yang dikonflikkan), (3) pihak-pihak yang berkonflik, (4) dinamika konflik, (5) alternatif penyelesaian konflik.

Merujuk pada konsep-konsep pemetaan konflik tersebut, konflik yang terjadi antara korporasi pertambangan dan komunitas nelayan di Teluk Limau Kecamatan Parit Tiga Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang terjadi tahun 2011 lalu akan dibahas secara detail.

  • 3.2.1    Setting Konflik

Elemen ini merupakan fase awal dalam memahami latar belakang penyebab konflik yang akan mempengaruhi situasi dan kondisi. Setting konflik terdiri atas: kondisi geografis dan ekologis, perkembangan demografis atau populasi, kehidupan sosial ekonomi, realitas struktur dan relasi kekuasaan, dan kehidupan kultur masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian di Teluk Limau situasi yang menyebabkan konflik lebih ditekankan pada keterkaitan antarkondisi yang bersifat kompleks, yaitu kondisi ekologis, kehidupan sosial ekonomi, realitas struktur dan relasi kekuasaan, dan kehidupan kultur masyarakat. Berbagai kondisi tersebut saling terhubung dan membentuk dinamika konflik yang semakin rumit dan dilematis.

Kondisi ekologis laut Teluk Limau mengalami degradasi yang cukup mengkhawatirkan. Kondisi ini terlihat dari hasil pengamatan di lapangan yang menunjukkan pemandangan yang kontras dengan keinginan masyarakat pada umumnya. Secara empiris, perairan Teluk Limau dipenuhi oleh pontonponton kecil untuk aktivitas penambangan timah inkonvensional (TI) apung oleh komunitas warga

setempat yang beroperasi di sepanjang perairan Teluk Limau, Cupat, dan Penganak. Ponton-ponton itu dimiliki oleh warga setempat yang mempunyai modal besar dan sebagian lagi merupakan hasil patungan kelompok warga nelayan yang dioperasikan oleh sebagian besar buruh TI. Aktivitas penambangan TI apung berlangsung sejak pagi hingga sore bahkan malam hari.

Penambangan TI apung yang berlangsung setiap hari oleh para buruh dalam jumlah yang cukup banyak, waktu dan lokasi yang sama menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan laut. Fenomena kerusakan itu tampak dari air laut yang keruh, kotor dan terkesan tidak terawat di sebagian pantai Teluk Limau. Padahal pemandangan di sekitar pantai begitu indah dan alami.

Aktivitas penambangan itu berdampak pada terjadinya peralihan mata pencaharian di kalangan komunitas warga dari semula sebagai nelayan ke buruh petambang TI apung secara perlahan-lahan. Peralihan mata pencaharian di sebagian komunitas nelayan baik bersifat tentatif maupun permanen menunjukkan terjadinya perubahan rasio di kalangan komunitas dari rasio tradisional ke rasio yang rasional. Perubahan rasio ke rasional bertujuan terlihat dari adanya motivasi kuat untuk mendapatkan keuntungan atau proses mencapai hidup sejahtera di sebagian komunitas dengan cara-cara yang mudah, efektif, dan efisien serta mulai mengabaikan aspek-aspek budaya tradisional, seperti menjaga kelestarian ekosistem laut. Rasio yang bersifat rasional bertujuan yang ditunjukkan dari motivasi dan tindakan sebagian komunitas warga Teluk Limau tersebut menurut Francisco Budi Hardiman sebagai rasionalitas instrumental (Hardiman, 2010). Artinya, perubahan dorongon motivasi untuk mencapai hidup yang lebih baik dengan cara-cara yang mudah, tidak mengeluarkan biaya banyak, resiko kerugian yang bisa diminimalisir dan mengabaikan kelestarian ekosistem laut menyebabkan proses peralihan mata pencaharian itu semakin cepat dan kuat.

Selain keberadaan TI apung, kondisi ekologis di perairan Teluk Limau dan sekitarnya dipengaruhi oleh keberadaan kapal isap produksi (KIP) PT Timah beserta mitranya. Rencana beroperasinya kapal isap di perairan Teluk Limau berawal sejak tahun 2008, di mana KIP Asia I milik seorang pengusaha swasta (mitra PT Timah) beserta 8 KIP lainnya ingin beroperasi di perairan Teluk Limau. Namun, keinginan itu ditolak oleh warga. Penolakan itu berlangsung

sampai sebelum pertengahan tahun 2010. Pada pertengahan tahun 2010, beberapa KIP mendapat izin operasi dari Bupati dan Camat Parit Tiga untuk melakukan eksplorasi penambangan timah lepas pantai hingga tahun 2011. Eksplorasi kapal isap sejak pertengahan tahun 2010 berdampak pada kerusakan ekosistem laut. Kerusakan tersebut terlihat dari rusaknya terumbu karang, keruhnya air laut akibat sedimentasi lumpur, beralihnya lintas ikan (fishing ground) yang kemudian berdampak langsung pada penurunan hasil tangkapan ikan para nelayan di kecamatan Jebus, Bangka Barat. Penurunan hasil tangkapan ikan nelayan dapat dilihat dari data hasil tangkapan nelayan tahun 2007 sejumlah 2.031.40 ton, tahun 2008 2.580.04 ton, tahun 2009 2.587.47 ton dan tahun 2010 menurun menjadi 1.675.05 ton (Christina, 2011). Artinya, beroperasinya kapal isap milik PT Timah dan mitranya di perairan Teluk Limau menjadi salah satu faktor yang menyebabkan turunnya jumlah hasil tangkapan nelayan pada tahun 2010. Diagram penurunan hasil produksi hasil tangkapan ikan nelayan di Kecamatan Jebus dapat dilihat dalam tabel 1.

Data statistik tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan hasil produksi tangkapan nelayan di Kecamatan Jebus yang cukup signifikan. Hasil produksi tangkapan ikan nelayan di tahun 2009 di mana KIP belum beroperasi di perairan Jebus

termasuk Teluk Limau menghasilkan angka yang fantastis yakni 2.587,47 ton. Tetapi setelah KIP beroperasi sejak pertengahan tahun 2010 terjadi penurunan drastis menjadi 1.675,05 ton. Hal ini dapat dimaknai bahwa kerusakan ekosistem laut pascaberoperasinya KIP di perairan Teluk Limau turut mempengaruhi hasil produksi tangkapan ikan oleh nelayan.

  • 3.2.2    Isu, Aktor dan Dinamika Konflik

Kondisi ekologis laut Teluk Limau dan sekitarnya yang mengalami degradasi melahirkan isu konflik, yaitu persaingan akses sumberdaya ekonomi, kecemburuan sosial, kesenjangan budaya, dan masalah politik. Isu ekonomi menjadi awal masalah yang dikonflikkan. Sebab persaingan dalam mengakses sumberdaya ekonomi membuka peluang bagi terlibatnya banyak aktor yang memiliki beragam kepentingan.

Aktor-aktor yang terlibat dalam persaingan ekonomi di Teluk Limau adalah nelayan, petambang TI apung, dan pengusaha KIP. Para nelayan di Teluk Limau khususnya nelayan tradisional merupakan pihak yang paling dirugikan. Kelompok nelayan tradisional relatif tidak terorganisir, bersifat personal yang mata pencahariannya sebagai nelayan sangat tergantung pada kondisi alam dan ekosistem laut. Mereka hanya mengandalkan hasil tangkapan laut

Tabel 1. Diagram Hasil Produksi Perikanan Laut Kecamatan Jebus Tahun 2005 - 2010


Sumber Data : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka Barat 2011 (Dikutip dari Penelitian Merry Christina, 2011)


untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, sejak beroperasinya TI apung dan KIP di perairan Teluk Limau dan sekitarnya, hasil tangkapan mereka mengalami penurunan drastis.

Dengan hasil tangkapan yang fluktuatif, nelayan tradisional juga mengalami keterbatasan dalam menjual hasil tangkapan. Selama ini mereka langsung menjual hasil tangkapan kepada tengkulak dengan harga lebih murah disebabkan oleh ketergantungan yang terjadi selama ini. Ketiadaan mekanisme pemasaran alternatif seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) semakin membuat nelayan tradisional sulit untuk keluar dari jerat tengkulak (Proposal Desa Mandiri, 2011). Sementara nelayan yang terorganisir dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Teluk Limau memiliki mata pencaharian yang fleksibel. Artinya, selain sebagai nelayan sebagian mereka bekerja di TI apung, membuka tambak, dan berkebun sehingga relatif tidak tergantung sepenuhnya kepada hasil tangkapan.

Kondisi itu menguntungkan bagi sebagian nelayan HNSI, pemilik TI apung dan para buruh TI apung di Teluk Limau. Dengan memiliki modal yang lebih pemilik TI apung, baik kepemilikan personal maupun kolektif, mereka cukup leluasa mengoperasikan ponton-ponton di perairan Teluk Limau dan sekitarnya. Tetapi dengan kehadiran KIP, hasil timah yang diperoleh dari TI apung semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh kecanggihan teknologi (daya hisap) KIP yang tidak sebanding dengan TI apung.

Keresahan petambang TI apung terhadap keberadaan KIP di sekitar perairan Teluk Limau dianggap sebagai ancaman ekonomi yang cukup serius. Apalagi terdapat warga yang melihat satu unit KIP beroperasi di kawasan TI apung, sebuah kawasan di luar batas normal perjanjian operasi KIP, membuat keresahan itu semakin meningkat. Di tengah kesulitan ekonomi akibat hasil produksi TI apung yang kian menurun dan upaya petambang TI apung untuk mencari lokasi baru di perairan Cupat, terembus isu bahwa bagi warga Teluk Limau yang mencoba menambang TI apung di perairan desa Cupat, mereka akan dikenakan biaya 5 juta rupiah per-unit (Christina, 2011). Hal ini membuat keresahan warga terutama petambang TI apung semakin memuncak, karena kesempatan untuk memproduksi timah semakin terbatas. Ini tentu akan mempengaruhi pendapatan dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dampak persaingan dalam mengakses sumberdaya ekonomi di perairan Teluk Limau melahirkan dinamika konflik yang semakin tidak terkendali. Bermula dari isu ekonomi, konflik pun menyebar ke masalah kecemburuan sosial. Faktor kecemburuan sosial disebabkan oleh persoalan transparansi aparatur desa yang tidak mensosialisasikan keberadaan dana sumbangan dari pihak KIP. Menurut informasi yang dimuat dalam media Bangka Pos, terdapat 4 (empat) desa yang memperoleh dana sumbangan dari KIP, yaitu Desa Air Gantang, Kelabat, Cupat, dan Teluk Limau. Sumbangan dari pihak KIP kepada desa-desa tersebut senilai Rp 1.500 per-kg per-SN timah, dengan perincian: Rp 1.000 untuk pihak desa dan Rp 500 untuk pihak kecamatan (Christina, 2011).

Informasi dan pengelolaan dana sumbangan yang tidak transparan, mengakibatkan munculnya dugaan-dugaan yang diarahkan kepada aparatur desa khususnya Kepala Desa, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM). Dalam perkembangannya, dana sumbangan dari pihak KIP tidak dikelola oleh aparatur desa melainkan oleh Forum Komunikasi Akselerasi Pembangunan Desa (FKAPD) yang juga diketuai oleh Ketua LPM. Sementara di tingkat kecamatan juga dikelola oleh Forum Komunikasi Akselerasi Pembangunan Parit Tiga (FKAPP) yang diketuai oleh Ketua BPD Teluk Limau. Keterlibatan aparatur desa dalam mengelola dana sumbangan di tingkat desa dan kecamatan semakin membuat warga yang menolak KIP bertanya-tanya. Hal ini diperkuat dengan ketiadaan informasi yang jelas sehingga memungkinkan pihak-pihak tertentu memainkan isu yang bersifat tendensi seperti isu Kepala Desa dan aparatur desa memperoleh bagian dari dana sumbangan pihak KIP. Isu yang berkembang dan mengarah pada munculnya prasangka yang kemudian melahirkan kecemburuan sosial di tingkat warga.

Hasil penelitian menemukan bahwa isu-isu mengenai kerusakan ekosistem laut, perebutan akses sumberdaya ekonomi, dan kecemburuan sosial bukanlah menjadi faktor dominan sebagai penyebab konflik, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor politik terkait dengan realitas struktur dan relasi kekuasaan yang bersifat hierarkhis. Penyebab konflik yang terjadi bersifat struktural. Konflik struktural melibatkan dimensi vertikal dan horizontal yang bersifat kausalitas.

Dimensi vertikal konflik disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) Bangka Barat yang memberi izin usaha pertambangan KIP kepada PT Timah dan mitranya dengan mengacu pada UU Minerba No. 4 tahun 2009 dan diperkuat oleh SKEP Bupati Bangka Barat nomor 188.45/2.03.02/VII/2011 tentang Persetujuan Penyesuaian Kuasa Pertambangan Eksploitasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Bahan Galian Mineral Non-Logam (Zirkon). Kedua produk hukum tersebut memberi kewenangan kepada Bupati Bangka Barat untuk menetapkan wilayah pertambangan umum yang meliputi wilayah daratan dan wilayah laut mulai jarak 1 sampai 4 mil dari garis pantai. Selain itu, terdapat sebuah rancangan peraturan daerah (raperda) yang sedang dirancang Pemda Kabupaten Bangka Barat yang mengatur pertambangan kapal isap. Dalam raperda tersebut kebijakan pemerintah daerah mengizinkan kapal isap beroperasi mulai dari wilayah 0 mil laut (Kompas, 8/8 2011). Bagi komunitas nelayan tradisional, Ranperda tersebut akan semakin merusak perairan Teluk Limau yang selama ini menjadi sumber pencaharian nelayan dan hanya menguntungkan pemilik serta penambang KIP. Aspirasi warga nelayan yang tidak diakomodasi oleh pemerintah daerah menyebabkan konflik terbuka di Teluk Limau.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidakberpihakan raperda kepada kepentingan kelestarian ekologi pesisir Teluk Limau pada satu sisi, dan disisi lain raperda yang cenderung menguntungkan pihak korporasi, menyebabkan timbulnya kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Kepentingan politik itu pada hakekatnya dapat mempercepat proses terjadinya konflik terbuka (manivest conflict) di Teluk Limau disebabkan oleh konflik antara korporasi, komunitas lokal dan pemerintah daerah sebagai sebuah lembaga negara, lebih merupakan konflik yang bersifat rasional dan oportunistik (Prayogo, 2008). Konflik yang rasional menunjukkan adanya kecenderungan antarpihak untuk saling memperhitungkan untung-rugi yang akan didapat dari dampak konflik. Sedangkan konflik bersifat oportunistik, di mana konflik sengaja diciptakan demi usaha memenuhi kepentingan individu atau kelompok tertentu termasuk untuk kepentingan memperkuat dan memperbesar kekuasaan.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan terhadap sikap atau motivasi para aktor dapat

dianalisis hubungan antara isu konflik politik dengan aspek kepentingan antarpihak yang berkonflik. Pertama, adanya kolaborasi antara berbagai pihak dalam isu atau kepentingan tertentu. Ini tampak dari bersatunya para aktor yang tergabung dalam FKAPD dan FKAPPT yang juga merangkap sebagai aparat desa Teluk Limau dengan kepentingan politik mempertahankan dukungan suara pemilih dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Secara faktual, menurut keterangan informan, aparatur desa Teluk Limau terutama Kepala Desa dan Ketua LPM adalah kader dari PKS, sementara Ketua BPD adalah simpatisan yang mendukung PKS. Adapun PKS merupakan parpol yang mengusung Zuhri M Syazali sebagai Bupati Bangka Barat saat ini. Berdasarkan data desa, pemilih pada pemilihan umum (pemilu) terakhir di Teluk Limau dari PKS berjumlah 550 orang, jumlah pemilih terbesar di antara parpol yang ada, disusul Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P) dengan 235 orang, dan ketiga Partai Demokrat dengan 215 orang (Profil Desa, 2011).

Kepentingan politik itu dijalankan lewat mekanisme pengemasan isu-isu tertentu seperti isu pertambangan (ekologi) khususnya TI apung dan KIP guna memenuhi kepentingan para kader atau simpatisan. Kebanyakan warga yang mendukung PKS terlibat dalam aktivitas penambangan TI apung. Akibatnya, persaingan dalam memperebutkan sumberdaya ekonomi terkesan kurang berimbang, karena satu pihak yang mendapat akses lebih sebagai akibat dukungan dari pemilik kekuasaan, sementara pihak lain, tidak mendapat akses menguasai sumberdaya ekonomi seperti nelayan tradisional dan anggota HNSI. Pada akhirnya, terjadilah kecemburuan sosial antarpihak yang berkonflik.

Kedua, polarisasi berbagai pihak dalam isu atau kepentingan tertentu. Akibat akses yang tidak berimbang atas sektor kelautan, sosial dan ekonomi menjadikan pihak-pihak yang tidak terakomodir dalam struktur kekuasaan, membentuk kelompok sendiri dengan tujuan memperkuat barisan yang memposisikan diri sebagai kelompok tandingan. Kelompok tandingan ini mengusung tema perbedaan sebagai ciri khas sehingga gerakannya bersifat oposisi binner. Oposisi binner cenderung mengedepankan kritik (ofensif) terhadap kelompok lawan, tanpa menyiapkan alternatif atau solusi atas masalah.

Kepentingan yang ingin dicapai yaitu bagaimana meruntuhkan tatanan kepentingan

kelompok lain, dan kemudian beralih menjadi kepentingan kelompoknya. Cara-cara memobilisasi massa dalam jumlah yang cukup besar merupakan strategi yang seringkali dipilih. Ini dapat diketahui dari pengemasan isu dan tuntutan yang disampaikan pihak yang menolak KIP antara lain: menghentikan operasi KIP di perairan Teluk Limau, membubarkan FKAPD dan FKAPPT, mengembalikan dana sumbangan dari pihak KIP kepada desa, dan adanya tuntutan untuk menurunkan Kepala Desa beserta aparaturnya. Tuntutan tersebut dapat terpenuhi selain poin terakhir. Bahkan pengembalian dana sumbangan KIP kepada pihak desa masih dipegang oleh salah satu anggota dari kelompok yang menolak KIP. Intinya, polarisasi itu masih terjadi sampai saat ini di mana pola-pola interaksi masih belum terbangun antara kedua pihak yang berkonflik.

Ketiga, terdapat pihak-pihak yang tidak terlibat langsung tapi berkepentingan atas sesuatu. Ini diketahui dari keberadaan oknum anggota DPRD Bangka Barat asal desa Teluk Limau yang coba mempengaruhi pihak yang menolak keberadaan KIP untuk memperkuat posisi partai politik (PDI-P) di mata warga. PDI-P merupakan parpol pilihan terbanyak kedua warga Teluk Limau dalam pemilu 2009 lalu. Selain itu, kepentingan pecitraan menjadi sesuatu yang penting guna memperkuat citra positif di kalangan masyarakat.

Dinamika konflik tersebut menandai telah terjadinya perubahan dinamika struktur sosial dalam masyarakat pesisir. Dalam struktur sosial masyarakat pesisir memungkinkan terbukanya sebuah ruang bagi setiap individu maupun kelompok untuk “menjalankan pertukaran sosial-ekonomi” (Susilo, 2010). Pertukaran itu dapat terjadi melalui interaksi internal dan lingkungan sosial luar yang bersifat fluktuatif. Pada satu sisi ikatan itu menguat dan disisi lain ikatan itu melemah bahkan dapat mencapai titik kritis. Hal inilah yang terjadi dalam dinamika struktur sosial masyarakat pesisir di Teluk Limau yang berdampak pada hilangnya rasa saling percaya, saling curiga, dan sakit hati.

  • 3.2.3    Alternatif Resolusi Konflik

Beerdasarkan pemetaan konflik yang ada dan berdasarkan identifikasi data lapangan diketahui bahwa proses rekonsiliasi konflik di Teluk Limau selama ini berjalan statis/pasif. Terdapat dua indikator yang dapat mendukung hal tersebut, yaitu: pertama,

perdamaian yang digagas oleh unsur-unsur terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat Dearah (DPRD) Kabupaten Bangka Barat, Kepala Kepolisian Resort (Kaplores) Bangka Barat, dan Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Jebus yang melahirkan beberapa kesepakatan tidak berjalan efektif. Ketidakefektifan proses perdamaian terlihat dari tidak berlanjutnya proses perdamaian ke tahap yang lebih menguatkan seperti proses negosiasi atau mediasi. Perdamaian yang digagas di masjid besar Teluk Limau hanya bersifat sementara untuk meredakan ketegangan, tetapi tidak bersifat komprehensif.

Kedua, terjadi polarisasi dalam hubungan sosial antarpihak yang berkonflik. Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa nuansa konflik masih terasa, meskipun di atas permukaan tidak tampak. Benih-benih konflik itu terasa dari masing-masing pihak yang berkonflik saling membentuk kelompok-kelompok dan beraktivitas secara eksklusif tanpa melibatkan pihak lain. Hal ini mengundang rasa saling curiga dan saling tidak percaya. Secara empiris terdapat sekelompok warga di sebuah RT yang menolak untuk memasang listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN), karena pihak yang mengelolanya berasal dari aparatur desa, sehingga sampai saat ini sebagian besar warga tersebut masih menggunakan genset atau diesel sebagai sarana penerangan. Bahkan dapat terlihat beberapa slogan anti-kapal isap di rumah-rumah warga dan di depan sebuah mushalla. Ini menunjukkan bahwa polarisasi terjadi dan menyebabkan kendala dalam berkomunikasi antarpihak yang berbeda ditandai dengan tidak terjadinya interaksi antarpihak, muncul gejala saling dendam, marah, dan sakit hati. Berdasarkan hasil observasi, terlihat antaraparatur desa seperti Kepala Desa, Ketua BPD, dan Ketua LPM hanya berinteraksi antarsesama dan tidak melibatkan pihak-pihak lain. Hal yang cukup ironis, Kepala Desa sampai saat ini tidak lagi menetap di Desa Teluk Limau pascaperistiwa pembakaran rumah tahun 2011.

Melihat situasi dan kondisi hubungan antarpihak yang belum normal, upaya resolusi konflik yang dapat diimplementasikan sebagai alternatif penyelesaian konflik berkelanjutan adalah pendekatan intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik melalui mediasi. Mediasi menurut John W. Head adalah “suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antarpihak, sehingga pandangan

mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri” (Soemartono, 2006).

Dalam penelitian ini, proses mediasi tersebut telah berlangsung antarpihak secara simultan dan bersifat rahasia. Artinya, dalam proses mediasi, mediator berbicara secara rahasia dengan masing-masing pihak untuk keperluan membangun kepercayaan para pihak yang berkonflik. Secara praktis, kegiatan mediasi dijalankan oleh tim peneliti dengan memperkenalkan diri dan melakukan penelusuran kesamaan-kesamaan berupa ide, gagasan, dan keinginan untuk mengembangkan potensi sumberdaya alam berbasis kearifan lokal di Desa Teluk Limau. Dengan penelusuran itu diharapkan setiap orang/pihak yang berkonflik dapat memperdekat jarak dan disatukan oleh ide-ide, gagasan atau keinginan untuk berbuat demi kepentingan bersama dan masa depan.

  • 3.2.3    Resolusi Konflik

Hasil mediasi yang berjalan simultan menemukan ide-ide dan gagasan yang bersumber dari antarpihak yang berkonflik dengan menitikberatkan pada dua metode pengelolaan sumberdaya alam di Teluk Limau, yaitu pengembangan pariwisata pantai dan pengembangan sumberdaya perkebunan berbasis etnoteknologi.

Pengembangan pariwisata Pantai Tanjung Siangau menjadi suatu ide dan gagasan yang relatif sama antarpihak yang berkonflik. Potensi keindahan alam yang dimilikinya membuat objek wisata ini perlu untuk dikembangkan sebagai alternatif sumber penggerak perekonomian berbasis nilai-nilai kearifan lokal. Pengembangan Tanjung Siangau sebagai destinasi wisata difokuskan pada dua hal, yaitu wisata alam pantai dan wisata budaya. Diperlukan penataan, pengembangan, dan pengendalian daerah pantai dari kerusakan akibat dampak eksplorasi pertambangan di sepanjang perairan, sehingga panorama alam pantai yang indah, sejuk dan alami dapat terjaga dan terpelihara.

Sebagai destinasi wisata budaya, Tanjung Siangau dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan ritual adat seperti Rebo Kasan yang berlangsung setiap tahun dan berhasil menarik minat para

pengunjung dari luar daerah Bangka Barat. Guna menunjang wisata budaya, diperlukan pengembangan kawasan pemancingan, kawasan terumbu karang sebagai sorga bagi para penyelam (snorekeling) dan kawasan kuliner yang menyediakan berbagai pilihan citra rasa masakan/ makanan khas seperti kerupuk, tripang, siput laut, dan cacing laut yang biasa disebut oleh penduduk setempat dengan kekuak atau wak-wak. Hewan molusca ini cukup banyak terdapat di sekitar perairan Teluk Limau dan biasanya diolah dalam bentuk keripik yang hanya dikonsumsi untuk keperluan sendiri. Aneka kuliner khas yang terkenal enak dan gurih itu dapat diolah menjadi produk lain, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan alternatif masyarakat khususnya nelayan di masa mendatang.

Potensi lain yang dapat dikembangkan guna menunjang sektor wisata budaya yaitu pemanfaatan buah kelapa. Sejak dulu, Desa Teluk Limau dikenal sebagai pemasok buah kelapa ke pasar Parit Tiga, Toboali, Puding Besar, dan Bakam serta beberapa desa di kecamatan Kelapa dan Muntok. Selama ini, para petani baru memanfaatkan buah kelapa untuk meningkatkan sumber pendapatan dengan cara menjualnya dan belum dikembangkan ke pengelolaan limbah kelapa yang dapat dijadikan pernak-pernik yang khas dan unik (handycraft). Pernak-pernik yang berbahan baku dari limbah buah kelapa dapat dijadikan berbagai produk seperti asbak, gantungan kunci, piring, sendok, bingkai foto dan produk lainnya yang bernilai seni dan berdaya jual tinggi, sehingga dapat mendorong daya tarik pengunjung. Apalagi bahan baku yang ada tersedia di Desa Teluk Limau yang memiliki areal perkebunan kelapa milik warga yang cukup luas sekitar 30 ha. Kearifan lokal yang ada dapat dikembangkan guna mendukung pembangunan ekonomi kreatif masyarakat berbasis etnoteknologi, sehingga Pantai Tanjung Siangau dijadikan destinasi wisata Kabupaten Bangka Barat di masa mendatang.

  • 3.2.4    Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah

Terkait kebijakan yang diharapkan dapat mendorong terintegrasinya resolusi konflik berkelanjutan berbasis pengelolaan perairan dan integrasi etnoteknologi di Teluk Limau, berdasarkan perkembangan saat ini, telah terdapat kebijakan yang termuat dalam peraturan daerah (perda) tentang pengelolaan pertambangan yang disahkan oleh

DPRD Bangka Barat dan peraturan bupati (perbup) tentang pertambangan yang sedang dalam proses pengesahan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bupati Bangka Barat yang menyatakan bahwa keberadaan perda tentang pengelolaan pertambangan diharapkan mampu mengatur wilayah laut di bawah satu mil dari bibir pantai. Dengan kata lain, keberadaan perda tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dari beberapa sektor yang menggantungkan hidupnya dari laut seperti nelayan, pelayaran, dan pariwisata. Hal ini tentu membuka peluang bagi pengembangan sektor pariwisata Pantai Tanjung Siangau di Teluk Limau.

Pascapengesahan perda tentang pengelolaan pertambangan muncul harapan besar di kalangan masyarakat terutama nelayan agar perda tersebut diterapkan secara adil terhadap seluruh aktivitas masyarakat di laut termasuk di Teluk Limau. Harapan terbesar nelayan dengan keberadaan perda pertambangan itu adalah terpenuhinya aspek distribusi keadilan terutama aspek pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut yang sampai saat ini dianggap belum optimal. Dimensi keadilan dalam mengelola sumberdaya laut menunjukkan apakah pemerintah daerah berpihak kepada masyarakat kecil (nelayan) atau pemilik modal yang selama ini bergelut di sektor pertambangan di perairan Teluk Limau dan sekitarnya.

Sebuah catatan penting, implementasi kebijakan melalui perda dan perbup yang mengatur wilayah laut di bawah satu mil dari bibir pantai, dapat disosialisasikan kepada segenap lapisan masyarakat sampai ke tingkat bawah khususnya nelayan. Dalam hal ini, perda atau perbup tersebut akan menemukan substansinya. Jika tidak, bisa jadi separangkat aturan itu dapat memunculkan resistansi baru dari kalangan masyarakat. Dalam konteks inilah, implementasi kebijakan yang termuat dalam perda atau perbup dapat menemukan relevansinya bagi kepentingan penelitian ini, guna mendorong terwujudnya model integratif sektor kelautan di desa Teluk Limau.

  • 4.    Simpulan dan Saran

Konflik politik yang berawal dari kebijakan pemerintah daerah yang menyusun raperda tentang pertambangan di wilayah laut yang tidak mengakomodasi pihak-pihak terkait seperti nelayan,

dapat menghancurkan modal sosial. Sebuah kebijakan yang tidak populer akan melahirkan dinamika struktur di tingkat akar rumput yang saling bertarung memperebutkan akses kepentingan, di mana pihak yang mempunyai relasi dan berkolaborasi dengan pusat kekuasaan menjadi pemenangnya. Di sisi lain, pihak yang tidak diakomodasi terpolarisasi melalui mekanisme oposisi binner. Hal inilah yang membuat dinamika resolusi konflik semakin runyam.

Proses resolusi konflik yang berjalan statis/pasif menjadikan antarpihak semakin menjauh dan terpolarisasi dalam kelompok yang cenderung eksklusif. Peran mediasi yang efektif dapat menyatukan keinginan-keinginan antarpihak yang berseberangan, sehingga dapat menguatkan kembali solidaritas berbasis mutual understanding guna mengelola sumberdaya di sektor kelautan khususnya pengembangan wisata pantai dan wisata budaya. Pengembangan sektor pariwisata dengan pendekatan etnoteknologi yang memanfaatkan potensi kearifan lokal harus didukung oleh ketersediaan perangkat kebijakan seperti perda/perbup yang mengakomodasi kepentingan akar rumput. Dengan kebijakan yang tegas dan berorientasi pada pengelolaan sumberdaya kelautan yang partisipatif, pembangunan ekonomi berkelanjutan akan dapat terwujud di masa mendatang.

Beberapa saran tindak lanjut pascapenelitian :

  • 1)    Diperlukan sosialisasi yang baik, efektif dan transparan tentang isi dan substansi perda tentang pengelolaan pertambangan di Bangka Barat.

  • 2)    Diperlukan pendekatan khusus kepada para nelayan di wilayah pesisir pantai Teluk Limau berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan.

  • 3)    Komunitas nelayan memerlukan kegiatan pemberdayaan yang bersifat partisipatif melalui penyuluhan, pendampingan, dan pelatihan intensif tentang pengelolaan pariwisata berbasis etnoteknologi

  • 4)    Diperlukan kajian mendalam di sekitar perairan Tanjung Siangau untuk memetakan potensi pariwisata yang dapat dikembangkan demi meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Daftar Pustaka

Annisa, Luluk, dan Satria, Arif dan Kinseng Rilus A, 2009. Konflik Nelayan di Jawa Timur: Studi Kasus Perubahan Struktur dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Nelayan di Lekok, Pasuruan. Jurnal Sodality, Vol. 03, No. 01, hal. 113-127

Abdullah, Irwan, 2007. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Handout Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Bangka Pos, 7 September 2011. Cupat Memanas 4 Rumah Rusak. hal. 1 & 7

_________, 9 September 2011. Kapolda Tenangkan Massa. hal. 1 & 7

Christina, Merry.2011. Gerakan Sosial Terhadap Penolakan Keberadaan Kapal Isap Oleh Komunitas Nelayan Desa Teluk Limau, Kecamatan Parit Tiga, Bangka Barat. Skripsi Program Sarjana Universitas Bangka Belitung, Pangkalpinang.

Hardiman, F. Budi.2010. Kritik Ideologi. Buku Baik, Yogyakarta.

Kusnadi.2006. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Alam. LKiS, Yogyakarta.

Kompas, Warga Protes Aturan Pertambangan, Senin, 8 Agustus 2011, hal. 22

_______, Penolakan Kapal Isap, Rabu, 7 September 2011, hal. 24

Prayogo, Dody. 2008. Konflik Antara Korporasi Dengan Komunitas Lokal. Fisip UI Press, Jakarta.

Profil Desa, 2011. Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan. Pemerintahan Desa, Teluk Limau.

Proposal. 2011. Teluk Limau Menuju Desa Mandiri. Pemerintah Desa, Teluk Limau.

Satria, Arif. 2009. “Konflik Nelayan dan Pengkavlingan Laut”. Ekologi Politik Nelayan (pp. 359-363), LKiS, Yogyakarta.

Soemartono, Gatot. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Gramedia, Jakarta.

Susilo, Edi. 2010. Dinamika Struktur Sosial Dalam Ekosistem Pesisir. Universitas Brawijaya Press, Malang.

Trijono, Lambang.2009. Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian. Handout Kuliah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wijaya, Anthony, 2009. Manajemen Konflik Sosial Dalam Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Pertentangan dan Pertikaian Nelayan Tradisional di Kelurahan Pasar Bengkulu dengan Nelayan Modern di Kelurahan Kandang Kota Bengkulu). Jurnal Wacana, Vol. 12 No. 02, hal. 351

102