PLASMA NUTFAH BABI BALI MUTIARA YANG TERPENDAM
on
I W. Suarna, dkk. : Plasma Nytfah Babi Bali Mutiara Yang Terpendam
PLASMA NUTFAH BABI BALI
MUTIARA YANG TERPENDAM
I W. Suarna, N.N. Suryani, dan A.A.A.S. Trisnadewi Puslitbang Tumbuhan Pakan Universitas Udayana [email protected], [email protected]
Abstrak
Tujuan Pembangunan Millenium telah mengamanatkan agar selalu diupayakan untuk mengurangi laju kehilangan keanekaragaman hayati sebagai sumberdaya genetik yang sangat berharga. Babi Bali merupakan plasma nutfah yang kondisinya semakin terancam dengan masuknya berbagai jenis babi yang memiliki kemampuan menghasilkan daging yang lebih banyak. Sejak lima tahun terakhir, populasi babi di Provinsi Bali terus mengalami penurunan hingga mencapai 30 persen (243.310 ekor) dari keseluruhan ternak babi yang ada di Bali (817.489 ekor). Didasarkan atas populasi babi yang ada di Bali, sebanyak 53 persen ada di Kabupaten Buleleng. Peranan babi Bali dalam aktivitas sosial budaya dan adanya peluang untuk merambah pasar kuliner mengharuskan ada upaya untuk meningkatkan produktivitas babi Bali secara berkelanjutan. Berbagai pendekatan strategis dalam pengembangan dan pelestarian babi Bali diuraikan dalam makalah ini sebagai salah satu upaya untuk mempercepat pencapaian pembangunan millenium.
Kata kunci: babi Bali, laju kepunahan, konservasi, sumberdaya genetik.
Abstract
Millennium Development Goals has been mandated to always strived to reduce the rate of loss of biodiversity as a very valuable genetic resources. Bali swine germplasm whose condition is increasingly threatened by the inclusion of various types of pigs that have the ability to produce more meat. Last post five years, Bali’s pig population in the province of Bali continued to decline and reached until 30 percent (243 310 head) of all pigs in Bali (817 489 head). Of the pig population in Bali as much as 53 percent in Buleleng. Bali pig role in socio-cultural activities and opportunities to explore the culinary market requires no effort to increase productivity in a sustainable pig Bali. Various strategic approach to the development and preservation of pig Bali described in this paper as an effort to accelerate the achievement of the millennium development.
Keywords: Bali pigs, the rate of extinction, conservation, genetic resources.
Babi Bali merupakan sumber plasma nutfah yang memiliki keunikan baik dari bentuk morfologisnya ataupun kemampuan adaptasinya tehadap pakan terutama dalam pemanfaatan limbah. Limbah domestik sangat banyak dan mengalami peningkatan terus seirama dengan peningkatan
jumlah penduduk dan jumlah hotel, restoran, dan berbagai bentuk kuliner lainnya yang dipastikan menghasilkan limbah domestik. Semestinya peningkatan sumber pakan akan dapat meningkatkan produktivitas babi Bali, namun sejak awal tahun 1980-an tekanan terhadap eksistensi babi Bali semakin besar sehingga populasinya menurun terus hingga
mencapai rata-rata 30% dari populasi ternak babi yang ada di Bali. Jumlah peternak babi Bali di perdesaan juga mengalamai penurunan drastis sebagaimana data yang ditunjukkan dalam Laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2014).
Dalam kehidupan masyarakat Bali, babi Bali memegang peranan penting untuk melengkapi berbagai kebutuhan upacara adat dan agama. Ternak babi Bali sangat mudah dipelihara baik dari manajemen kandang ataupun pakannya. Para peternak babi yang umumnya masih bersifat subsisten terkadang memelihara babi tidak dalam jumlah yang banyak, akan tetapi dipelihara dalam kurun waktu panjang sampai babi jantan yang dipelihara memiliki taring yang sangat panjang. Babi tersebut di Bali sering disebut “bangkal”. Pemelihara bangkal umumnya mempersiapkan babi tersebut untuk kepentingan upacara yang sudah direncanakan beberapa tahun sebelumnya. Saat ini sudah sangat langka dapat ditemui babi yang berstatus bangkal tersebut. Status babi Bali juga hampir mirip dengan ternak lain yang ada di Bali jika dilihat dari sisi konservasi plasma nutfah seperti: itik Bali, jalak Bali, rusa Bali, anjing kintamani, kambing gembrong, kera ekor panjang, kakatua jambul kuning, dan sapi putih taro (Suarna, et al. 2014). Hewan dan ternak tersebut sangat membutuhkan perlindungan dan upaya pelestarian secara sistematis sehingga kepunahannya dapat dihindari. Dalam konteks tersebut sangat diperlukan peran berbagai pemangku kepentingan dan dikeluarkannya regulasi dari pemerintah daerah sehingga upaya perlindungan tersebut memiliki dasar hukum dan mekanisme konservasi yang jelas. Sebelum terlambat, sudah seyogyanya babi Bali sebagai salah satu kekayaan sumberdaya genetikBali dan Indonesia pada umumnya mendapatkan perhatian yang serius sebagai layaknya mutiara yang terpendam. Mengangkat dan mengembangkan mutiara terpendam merupakan tugas mulia untuk kemaslahatan sumberdaya biodiversitas Indonesia.
Sumberdaya alam secara umum dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni sumberdaya alam hayati (biotik) dan sumberdaya alam non hayati (abiotik). Manusia sangat tergantung kepada kedua sumberdaya alam tersebut. Tempat tumbuh tegak,
berdirinya manusia, dan hidup matinya manusia akan sangat tergantung kepada keberadaan sumberdaya alam. Akal dan pikiran manusia berkembang terus karena adanya berbagai tuntutan untuk hidup lebih baik dan berkecukupan, terlebih lagi adanya pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat tanpa terkendali. Manusia mengelola sumberdaya alam hayati dan non hayati tersebut, diasosiasikan sesuai dengan karakteristik komponen lingkungan sumberdaya alam yang tersedia sehingga akan menghasilkan sumberdaya baru yang disebut sebagai sumberdaya buatan. Babi Bali juga mengalami nasib yang serupa, sebagai plasma nutfah babi Bali telah mengalami penurunan kualitas dan populasi yang sangat tajam.
Dalam melaksanakan konservasi seharusnya berpedoman pada kaidah atau prinsip-prinsip etika konservasi (Engels, 2005) seperti: 1) keharusan untuk melakukan perlindungan terhadap keanekaragaman spesies dan komunitas biologi. Keanekaragaman spesies dan komunitas sangat terkait dengan keanekaragaman genetik. Kekayaan sumberdaya genetik adalah modal besar bagi pembangunan bangsa dan negara. Keberagaman sumberdaya genetic harus selalu dipelihara dan dikembangkan untuk kesejahteraan manusia tanpa menghilangkan keaslian sumberdaya genetiknya; 2) kepunahan spesies dan populasi yang terlalu cepat harus dihindari. Hal tersebut sangat sesuai dengan amanat tujuan pembangunan millennium (MDG’s). Pemanfaatan sumberdaya alam harus dilakukan secara bijak dan diupayakan untuk tidak menyebabkan terjadinya kepunahan pada suatu individu sebagai sumber plasma nutfah asli. Program pemurnian terhadap mutu genetik babi Bali saat ini sudah menjadi keharusan agar kehilangan babi Bali sebagai sumber plasma nutfah dapat dihindari; 3) lingkungan hidup memiliki beberapa karakteristik; salah satu karakteristik diantaranya yaitu tingginya kompleksitas ekologis. Kompleksitas ekologi harus dipelihara supaya dinamika ekologis tetap berlanjut secara alamiah dan keberanekaragaman ekologis terpelihara dengan baik. Keberadaan dan tekanan terhadap kompleksitas sistem ekologis tidak akan mempengaruhi nilai penting dari konservasi plasma nutfah; 4) Peningkatan jumlah keragaman plasma nutfah dari pengembangan sumberdaya genetik sangat penting dalam upaya adaptasi plasma nutfah sehingga kelestariannya dapat terjaga. Persilangan
dapat menghasilkan individu baru sehingga keberagaman bertambah, namun individu asli harus tetap ada, dipertahankan, dan digunakan untuk pengembangan lebih lanjut. Itu berarti proses evolusijuga harus berkelanjutan; 5) Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa peranan keanekaragaman hayati dalam konservasi memiliki nilai yang sangat strategis dalam pengarusutamaan lingkungan terlebih keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik yang sangat penting.
Arah dan kebijakan pembangunan daerah Bali juga mengamanatkan agar flora dan fauna asli Bali dapat dilindungi, dipertahankan dan dikembangkan sehingga bermanfaat dalam berbagai aspek pembangunan daerah. Untuk menghambat laju penurunan populasi dan kualitas babi Bali, sangat perlu segera diupayakan langbkah-langkah konservasi baik in-situ maupun ex-situ. Keterlibatan para pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam konservasi babi Bali sangat menentukan akselerasi pelestarian plasma nutfah babi Bali.
Berkembangnya kuliner telah mendorong bertumbuhnya kembali berbagai makanan tradisional yang memiliki manfaat ganda, yakni selain dibutuhkan untuk kepentingan adat dan agama juga memiliki nilai diversifikasi yang sangat tinggi. Di samping itu, kebanyakan makanan tradisional memiliki keunggulan dalam bentuk dan nilai rasa (Suarna, et al. 2014). Perkembangan kebutuhan akan kuliner tradisional seperti babi guling yang semakin meningkat tersebut ternyata masih berbanding terbalik dengan keberadaan atau eksistensi babi Bali di lapangan, dimana populasinya mengalami penurunan. Kondisi dilematis tersebut dapat menjadi inspirasi untuk mengangkat dan mengembangkan kembali babi Bali sehingga akan mampu menciptakan bangkitan ekonomi baru pada masyarakat perdesaan dan pemangku kepentingan yang mengembangkan usaha peternakan. Pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai LQ yang tinggi untuk ternak babi adalah Kota Denpasar, Kabupaten Buleleng, dan Gianyar. Pada kota/ kabupaten tersebut sangat diperlukan upaya pengembangan babi karena banyak usaha peternakan babi yang telah ada dan berkembang baik. Hal tersebut sangat didukung oleh kebutuhan pasar dan prospek babi Bali sebagai penyedia bahan kuliner yang berkelanjutan.
Tabel 1. Nilai Location Quotiont (LQ) ternak babi di Provinsi Bali (Data tahun 2012)
Kabupaten |
LQ |
Denpasar |
2,52 |
Buleleng |
2,52 |
Gianyar |
1,65 |
Jembrana |
1,31 |
Badung |
1,12 |
Karangasem |
0,98 |
Klungkung |
0,68 |
Tabanan |
0,65 |
Bangli |
0,32 |
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Tahun 2012
Eksistensi babi Bali jika dicermati dalam kurun waktu lima tahun terahkir ternyata memiliki phenomena yang berbeda pada masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Bali. Kabupaten Buleleng, Klungkung, dan Karangasem memiliki nisbah jumlah babi Bali dengan total babi pada masing-masing kabupaten yang sangat signifikan terbanyak dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Tiga kabupaten tersebut merupakan “kantong-kantong” babi Bali yang harus mendapat perhatian di dalam pengembangannya. Persentase babi Bali di ketiga kabupaten tersebut (Buleleng, Klungkung, dan Karangasem) berturut-turut adalah: 65,88%, 64,91%, dan 50,57%, sedangkan persentase babi Bali terendah juga ada di tiga kabupaten/kota yakni berturut-turut 0,78%, 0,94%, dan 1,70% masing-masing untuk Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Kabupaten Gianyar (Tabel 2). Apabila dilihat dari persentase jumlah babi Bali secara keseluruhan di Provinsi Bali tampak bahwa terjadi fluktuasi dari tahun 2010 sampai dengan 2014. Namun deviasi setiap tahun tidak begitu besar dengan rata-rata persentase per tahun adalah 30,31%. Perkembangan kuliner yang semakin marak pada tahun-tahun berikutnya diharapkan mampu mendorong perkembangan jumlah peternak dan jumlah babi Bali yang dipelihara semakin meningkat.
Babi Bali bila dilihat dari potensi genetisnya menghasilkan banyak lemak sehingga babi Bali lebih mendekati kepada babi tipe lemak. Karakteristik babi Bali seperti tersebut sangat potensial untuk dijadikan
Tabel 2. Persentase populasi babi Bali terhadap total populasi babi di Bali pada tahun 2010 – 2014.
No |
Kabupaten/Kota |
Babi Bali |
Total Babi |
Nisbah |
…. ekor …. |
…. % …. | |||
1 |
Jembrana |
5127 |
64998 |
7,89 |
2 |
Tabanan |
5083 |
94537 |
5,38 |
3 |
Badung |
644 |
82479 |
0,78 |
4 |
Gianyar |
2186 |
128597 |
1,70 |
5 |
Klungkung |
17702 |
27272 |
64,91 |
6 |
Bangli |
10647 |
63881 |
16,67 |
7 |
Karangasem |
72309 |
142977 |
50,57 |
8 |
Buleleng |
129459 |
196497 |
65,88 |
9 |
Denpasar |
153 |
16251 |
0,94 |
Jumlah : 2014 |
243310 |
817489 |
29,76 | |
Jumlah : 2013 |
253959 |
847953 |
29,95 | |
Jumlah : 2012 |
284531 |
890197 |
31,96 | |
Jumlah : 2011 |
272528 |
922739 |
29,53 | |
Jumlah : 2010 |
278769 |
918087 |
30,36 | |
Nisbah rata-rata per tahun |
30,31 |
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Tahun 2014
babi guling karena komposisi lipatan lemak setelah kulit akan memberikan aroma dan tekstur babi guling yang sangat baik. Produk kuliner asal babi yang sangat digemari dan telah menjadi branding Kabupaten Gianyar adalah babi guling. Sementara, jenis (breed) babi yang paling baik untuk diguling adalah babi Bali yang menempati jumlah populasi paling kecil di Kabupaten Gianyar. Fenomena kontroversial tersebut perlu dicarikan solusi agar Gianyar tetap menjadi kabupaten yang terkenal dengan babi guling gianyar. Menurunya keaslian babi Bali terjadi akibat pelaksanaan up-grading babi Bali dengan babi saddle back yang dilakukan sangat intensif untuk mempercepat pemenuhan akan daging bagi masyarakat. Namun up-grading telah membuat babi Bali semakin terdesak populasinya termasuk produk olahan babi Bali tersebut. Jadi penomena tersebut seperti vicious circle yang segera memerlukan solusi. Suatu komuditas peternakan akan dapat berkembang baik apabila komuditas tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan budidayanya dapat memberikan keuntungan bagi peternak. Demikian pula halnya dengan tenak babi Bali, pencermatan terhadap peluang dan tantangan pengembangan babi Bali sangat penting untuk
menemukan sebuah strategi dan kebijakan pengembangan ternak babi Bali yang adaptif dan menguntungkan (Suarna dan Suryani, 2014).
Babi Bali memiliki status sosial yang sangat kuat di Bali, tidak saja dikalangan masyarakat tradisional tetapi juga dikalangan masyarakat perkotaan. Babi Bali selalu dibutuhkan oleh masyarakat Bali untuk melaksanakan upacara adat dan/atau agama sehingga babi Bali harus dilindungi, dipelihara dan dilestarikan. Kedekatan masyarakat Bali dengan alam, lingkungan beserta isinya dapat dicermati pada kitab Sarasamuscaya 135 yang menyatakan, bahwa untuk menyukseskan tercapainya tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha terlebih dahulu sejahterakanlah alam itu. Alam sejahtera dinyatakan dengan istilah bhuta hita. Kitab Sarasamuscaya tersebut menegaskan lagi “ aywa tan masih ring sarwaprani”. Artinya janganlah tidak menaruh belas kasihan pada semua makhluk hidup. Penggunaan hewan dalam upacara yadnya ini tidak sama di kalangan umat Hindu, meskipun tujuan utamanya sama yakni untuk melestarikannya.
Penggunaan itik dalam upacara agama Hindu
menurut Wiyana (2012) bertujuan untuk mengembangkan kemampuan wiweka jnyana atau kemampuan untuk membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas. Itik sebagai simbol guna sattwam. Ayam dan babi sebagai simbol guna rajah dan tamah. Penggunaan ayam dan babi sebagai simbol agar manusia dapat menguasai guna rajah dan tamah-nya agar jangan sombong dan rakus. Anjing sebagai simbol kesetiaan. Dalam kitab Cinakata atau fragmen ceritra anjing dinyatakan anjing amat taat dan setia membela majikannya. Berahi anjing juga tidak sembarangan. Kalau sedang Sasih Kesanga (bulan ke-9 menurut perhitungan Kalender Bali) barulah muncul berahinya.
Kedekatan masyarakat Bali dengan hewan atau ternak terlihat dari berbagai mitos yang telah ada sejak jaman dahulu kala. Dalam berbagai lagu rakyat (folksong) dan ceritera rakyat (folklore) kisah-kisah hewan dan ternak dirangkai dalam ceritera Tantri yang sangat mengagumkan. Demikian pula dengan mitos babi yang sangat spesifik disebut sebagai babi Bali. Kreativitas dalam seni budaya sering menampilkan babi dalam wujud babi besar yang berumur tua yang disebut bangkal. Sebagai contoh bangkal terdapat dalam mitos kelahiran Bhoma. Ketika Brahma dan Wisnu masing-masing saling menunujukkan kesaktiannya, Dewa Siwa menjatuhkan Lingga tepat d itengah-tengah antara Dewa Brahma dan Dewa Wisnu.Ujung atas lingga menembus langit dan pangkal bawahnya masuk ke dalam bumi. Brahma mencari ujung atasnya dalam wujud burung layang-layang dan Wisnu mencari ujung pangkalnya dengan berubah wujud menjadi seekor babi yang buas. Brahma selamanya ke atas
mencari ujung atas lingga, dan tidak bisa mencapainya sehingga api itu selalu muncul ke atas. Wisnu juga tidak berhasil mendapatkan pangkal lingga sehingga sampai saat ini air selalu mengalir ke bawah. Dalam seni pertunjukan bangkal diwujudkan dalam bentuk Barong Bangkal yang biasanya dipentaskan berkeliling desa (ngelawang) dalam rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan.
Eksistensi nilai-nilai budaya lokal seperti tersebut di atas telah memberikan inspirasi bagi masyarakat Bali untuk melestarikan babi Bali. Paling tidak masyarakat selalu mengupayakan mendapatkan babi Bali untuk kepentingan pelaksanaan upacara adat dan agama. Keberadaan dan status social babi Bali secara teknis akan mempermudah pelaksanaan konservasi dan sinergitasnya dengan kondisi objektif masyarakat terkait kuliner dapat membantu mempercepat pelaksanaan pelestarian babi Bali.
Mencermati berbagai kondisi terkini dan adanya tekanan terhadap keberadaan sebuah plasma nutfah, maka sangat perlu dibangun berbagai pendekatan strategis untuk pelestarian dan konservasi babi Bali, Di antaranya dengan :
-
1) melaksanakan pemurnian babi Bali sehingga plasma nutfah asli Bali dapat dipertahankan;
-
2) melaksanakan revitalisasi terhadap kearifan lokal yang terkait dengan kelestarian dan eksistensi babi;
-
3) melaksanakan penguatan terhadap para peternak babi Bali dan penyuluh pertanian lapangan agar dapat menerapkan Ipteks untuk
mempercepat pertambahan bobot badan babi tanpa mengesampingkan kaidah-kaidah konservasi;
-
4) melaksanakan diversifikasi horizontal dan vertikal terhadap produk babi Bali sehingga mampu meningkatkan ketahanan produk asal babi Bali;
-
5) melaksanakan sertifikasi, ISO, dan sebagainya untuk meningkatkan daya saing produk babi Bali;
-
6) Menjaga sanitasi kandang dan kesehatan ternak
babi Bali
-
7) mengembangkan kelembagaan peternak babi Bali sehingga dapat mendukung produktivitas babi Bali;
-
8) menyiapkan infrastruktur dan pasar;
-
9) meningkatkan kapasitas peternakan babi Bali melalui fasilitasi pendanaan dan perbibitan;
-
10) mengembangkan tumbuhan pakan untuk meningkatkan produktivitas peternakan babi Bali;
-
11) membangun pola kemitraan yang adaptif agar permasalahan pembangunan peternakan dapat diselesaikan dengan baik.
Pendekatan tersebut di atas akan sangat bermakna manakala dilakukan kerjasama dan uppaya yang sinergis antar pengusaha ternak, pecinta lingkungan, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya, serta masyarakat untuk bekerja secara terpadu melestarikan babi Bali sebagai plasma nutfah asli Bali.
6. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa : babi Bali adalah plasma nutfah yang harus dilindungi dan dikembangkan. Dalam perlindungan
tersebut diperlukan sebuah model skenario pengembangan babi Bali di implementasikan dalam kerangka melindungi babi Bali dari kepunahannya. Babi Bali memiliki peluang besar untuk dikembangkan, baik untuk kebutuhan pasar (kuliner) domestik ataupun pasar tunggal ASEAN. Komitmen pemda yang kuat sangat diperlukan untuk mengangkat dan mengembangkan babi Bali sebagai mutiara yang terpendam, sehingga memiliki daya saing yang tinggi dan unggul.
Daftar Pustaka
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali. 2014. Cacah Jiwa Ternak. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali.
Engels, F. 2005. Dialektika Alam. Diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen. Hasta Mitra.Bandung
Suarna, I.W. dan N.N. Suryani. 2014. “Peluang dan Tantangan Peternakan Babi Bali di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali” daalam Prosiding Semiloka Nasional Ternak Babi di Denpasar Bali. 51 – 59
Suarna, W., K.M. Budiasa, I W. Wirawan, dan N.L.G. Sumardani. 2014. “Daya Dukung Lahan dan Tumbuhan Pakan Dalam Pengembangan Komuditas Unggulan Peternakan Di Kabupaten Gianyar”, dalam Jurnal Pastura. 4 (1): 51 -55
Wiana, I K. 2012. “Makna Penggunaan Hewan dalam Upacara Panca Bali Krama” dalam Koran Tokoh No. 531/Tahun X, 15 – 21 Maret 2009. Diunggah tanggal 24 Agustus 2012 pukul 19:35. Diunduh tanggal 2 Agustus 2015.
108
Discussion and feedback