KESESUAIAN LAHAN UNTUK JENIS CENDANA (SANTALUM ALBUM LINN.) DI KABUPATEN ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
on
Hery Kurniawan : Kesesuaian Lahan Untuk Jenis Cendana (Santalum Album Linn) di Kabupaten
KESESUAIAN LAHAN UNTUK JENIS CENDANA (SANTALUM ALBUM LINN.) DI KABUPATEN ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Hery Kurniawan1)*, Sumardi1), Eko Pujiono1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Jln. Alfons Nisnoni No. 7 (Belakang), Airnona, Kupang 85115 NTT Tlp. (0380) 823357, Fax. (0380) 831068, *email : [email protected]
Abstract
Cendana (Santalum album L.) is an indigenous species of east nusa tenggara (Nusa Tenggara Timor/NTT) which has high economies value. The existency of this species in nature has almost extinct due to uncontrolled exploitation. It needs conservation and development efforts. The efforts needs data of land suitability endorsement to support the success of plantation. This research was aimed to set land suitability digital map for cultivating cendana as guidance in making plan cendana plantation in Alor Regency. The research used land suitability analysis method by field survey. Purposive sample was determined based on land variation by land cover and type of soil. The result showed the large of land suitability 2 is the largest with 126.810,73 Ha, followed by land suitability 1 with 58.893,2 Ha large of area, then land suitability 4 with 20.011,41 Ha, and land suitability 3 with 5.664,58 Ha large of area.
Key words : Alor, land suitability, map, Cendana
Sebagai tanaman unggulan lokal dan merupakan primadona sepanjang jaman, perkembangan populasi dan kualitas cendana belum “sewangi” kayunya. Saat ini, populasi cendana telah mengalami penurunan yang sangat drastis selama dua dekade terakhir (Rohadi et.al., 2010), International Union for Conservation of Natural Forest (IUCN), sejak tahun 1997 sudah memasukkan cendana (Santalum album Linn.) ke dalam jenis yang hampir punah (vulnerable). Bahkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah memasukkan cendana dalam jenis Appendix II (World Wide Fund for Nature (WWF) - Indonesia dalam anonim 2010).
Upaya pengembangan budidaya dan pemulihan cendana di NTT mulai dilakukan secara sistematis dan terencana dengan telah dirumuskannya “Master Plan dan Rencana Aksi Pengembangan dan Pelestarian Cendana di Propinsi NTT”. Untuk
mendukung tercapainya keberhasilan pengembangan budidaya cendana di NTT tersebut, perlu dilakukan langkah dan upaya untuk meminimalkan kemungkinan kegagalan penanaman di lapangan. Salah satu faktor yang berperan dalam menunjang keberhasilan pengembangan budidaya cendana di lapangan adalah target lokasi pengembangan yang tepat, yaitu lokasi yang memiliki lahan sesuai untuk pengembangan dan budidaya cendana.
Data dan informasi mengenai distribusi luasan dan lokasi lahan dengan kelas kesesuaian untuk pengembangan budidaya cendana yang di tuangkan dalam bentuk peta digital diharapkan akan dapat mendukung tercapainya keberhasilan pengembangan budidaya cendana di NTT. Dengan demikian target lokasi perencanaan pengembangan budidaya cendana akan lebih terarah dan terencana. Tujuan penelitian ini adalah membuat peta digital kesesuaian lahan untuk budidaya cendana guna perencanaan pengembangan budidaya cendana di Kabupaten Alor.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur, mulai Bulan April sampai dengan Bulan November Tahun 2013. Sedangkan untuk analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Pengambilan Data di lapangan dilakukan menggunakan bantuan peta Administrasi Kabupaten Alor Tahun 2010, Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi NTT, Peta RePPProT (Regional Physical Planning Project on Transmigration) Tahun 1989, Peta Penutupan Lahan Tahun 2011, dan Ground Check Tahun 2013. Kondisi Biofisik terutama jenis tanah dan tutupan lahan digunakan sebagai dasar awal untuk penentuan titik sampel. Setelah titik sampel ditentukan, selanjutnya dilakukan pengambilan sampel tanah mengikuti prosedur yang ada, yakni setiap variasi unit lahan yang ada dalam peta diambil sampel tanah secara komposit, penempatan titik sampel individu adalah sengaja pada variasi bentang lahan yang ada seperti di
lembah, tengah dan puncak. Atau pada lokasi yang tingkat tutupan vegetasinya rapat, sedang dan tinggi. Kemudian sampel tanah yang ada dikomposit dan dimasukkan kantung plastik dengan berat ± 1 Kg, sebagai bahan untuk analisis Laboratorium. Sampel tanah tak terusik guna analisis fisik tanah diambil menggunakan ring sample diameter 5 Cm dan ketebalan 5 Cm.
Analisis kesesuaian lahan merupakan bagian dari Evaluasi lahan. Dalam evaluasi lahan dapat berupa evaluasi kesesuaian lahan atau evaluasi kemampuan lahan. Berbeda dengan kemampuan lahan yang lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah, maka kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Sebagai contoh lahan sangat sesuai untuk irigasi, lahan cukup sesuai untuk pertanian tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim.
Kelas kesesuaian pada prinsipnya ditetapkan dengan mencocokkan (matching) antara data kualitas/karakteristik lahan dari setiap satuan peta dengan kriteria kelas kesesuaian lahan untuk masing-
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
masing komoditas yang dievaluasi. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh kualitas dan atau karakteristik lahan yang merupakan faktor pembatas yang paling sulit dan atau secara ekonomis tidak dapat diatasi atau diperbaiki (Djaenudin, 1995). Pembuatan peta kesesuaian lahan untuk jenis cendana dalam penelitian ini menggunakan metode matching, yang lebih menekankan pada persyaratan tumbuh tanaman cendana yang dicocokkan dengan kualitas lahannya. Sedangkan penentuan akhirnya diambil berdasarkan perangkingan nilai kumulatif dari indikator dan pengukur terpilih yang sejalan dengan metode scoring. Selain itu untuk mengetahui tingkat kemerataan kelas kesesuaian lahan dilakukan penghitungan koefisien variasi (CV) pada setiap kelas kesesuaian.
Penentuan indikator dan pengukur menggunakan pendekaan teori umum tentang kesuburan lahan serta berdasarkan studi pustaka mengenai karakteristik cendana. Indikator dan pengukur yang digunakan terdiri dari dua Indikator, dengan indikator I yakni Sifat Kimia Lahan yang
sesuai untuk cendana, menggunakan tiga pengukur (kandungan N, P2O5 dan K/Ca ratio) dan indikator II yakni sifat fisik, menggunakan dua pengukur (Kandungan bahan organik dan tekstur tanah). Dengan jumlah indikator dua dan jumlah pengukur lima, maka perbandingan terhadap indikator dan kriteria dalam rangka pembobotan dapat ditetapkan secara langsung, tanpa melalui suatu proses analisis hierarkis. Secara ringkas bobot indikator dan pengukur serta referensi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Kesesuaian Lahan untuk cendana harus dibuat berdasarkan karakteristik cendana dalam berinteraksi dengan lingkungannya, terutama sifat kima dan fisika tanah tempat tumbuhnya. Beberapa faktor lain kecuali ketinggian tempat tumbuh, seperti kelerengan atau topografi, serta iklim bukan merupakan faktor pembatas utama berdasarkan kondisi alam nyata di wilayah NTT. Berdasarkan hasil penelitian Kurniawan
Tabel 1. Bobot indikator dan pengukur serta referensi yang digunakan
No |
Indikator |
Pengukur |
Bobot Level I |
Bobot Level II |
Referensi | |
I |
Sifat Kimia |
a. |
Kandungan N |
0,6 |
0,5 |
Doran and Parkin (1994); Hamzah (1976) Iyengar (1960); Barret&Fox (1996); Doran and Parkin (1994); Winarso (2005); FAO (2002); Kurniawan (2010), Rahayu et al. (2002); |
b. |
Kandungan P2O5 |
0,3 |
Anonim (2010), Iyengar, (1960); Rangaswamy, Jain and Parthasarthi (1986); Barret&Fox (1996); Doran and Parkin (1994); FAO (2002); Winarso (2005); Hamzah (1976). | |||
c. |
K/Ca ratio |
0,2 |
Rangaswamy, Jain and Parthasarthi, (1986); Struthers et al., (1986); Barret&Fox (1996); Doran and Parkin (1994);; Winarso (2005); FAO (2002) | |||
II |
Sifat Fisik |
a. |
Kandungan |
0,4 |
0,6 |
Doran and Parkin (1994); Surata (2006) Doran and Parkin (1994); Winarso |
Bahan Organik |
(2005); Kurniawan (2010) | |||||
b. |
Tekstur Tanah |
0,4 |
Kurniawan (2010); Fox dan Surata (1990), Hamzah (1976) |
(2010), diketahui cendana dapat tumbuh dengan baik pada kelerengan hingga >40% (sangat curam, berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/ 11/1980 dan No. : 683/Kpts/Um/8/198, tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan Hutan Produksi).
Beberapa karakteristik cendana berdasarkan penelitian Barret dan Fox (1996) pada daun secara umum memiliki konsentrasi mineral yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh akar dan batang. Dibandingkan dengan tanaman yang dipupuk dengan baik, perlakuan tanpa N menghasilkan konsentrasi Ca lebih rendah, khususnya pada batang; konsentrasi Mg lebih rendah khususnya pada akar. Pada perlakuan tanpa K, konsentrasi Ca dan Na meningkat; Ca khususnya pada akar dan Na pada selain akar. Pada perlakuan tanpa P, konsentrasi K dan Ca menjadi lebih rendah khususnya pada daun; NO3- lebih rendah pada daun namun lebih tinggi pada akar dan batang. Menurut Struthers et al. (1986), rasio K/Ca untuk daun semai S. Album dan daun S. spicatum yang telah dewasa adalah sama. Tingginya rasio ini pada S. spicatum menandakan kecenderungan serapan nutrisi K daripada Ca yang berasal dari tanaman inang, hal ini adalah umum untuk tanaman angiosperm yang bersifat parasit (Struthers et al., 1986). Sedangkan menurut Kurniawan (2010), pada lokasi-lokasi yang memiliki pertumbuhan cendana yang baik, pada umumnya memiliki kandungan BO yang tinggi pula. Besarnya kandungan BO menandakan tingginya tingkat pelapukan. Tingkat pelapukan yang tinggi akan menghasilkan hara yang tersedia bagi tumbuhan atau tanaman cendana.
Parameter kesuburan tanah standar (pH tanah, kadar bahan organik, N, P dan K tersedia) merupakan faktor yang sangat penting dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman, produksi tanaman, serta fungsi dan keragaman mikroorganisme tanah. Parameter-parameter tanah tersebut umumnya sangat
sensitif terhadap pengelolaan tanah (Winarso, 2005). Sementara penambahan P2O5 pada tanah mampu meningkatkan jumlah P tersedia dalam tanah (Fitriatin, 2009). Kualitas fosfat alam yang baik adalah yang mengandung P2O5 total lebih dari 20% dan reaktivitasnya tinggi (anonim, 2011). Beberapa karakteristik ini dijadikan dasar dalam penentuan indikator dan pengukur terpilih dalam penyusunan kelas kesesuaian lahan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk data spasial (peta).
Setelah pembobotan dilakukan pada masing-masing indikator dan pengukur terpilih, selanjutnya dilakukan penghitungan skor akhir guna penetapan kelas kesesuaian lahan. Skor akhir merupakan penjumlahan dari seluruh nilai indikator dan pengukur yang telah terboboti. Berdasarkan indikator serta pengukur yang digunakan, maka dapat disajikan hasil berupa luasan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan cendana seperti pada tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan jumlah lahan untuk kelas kesesuaian 2 adalah paling banyak dengan luasan 126810,73 ha, diikuti oleh kelas kesesuaian 1 dengan luasan 58893,2 ha, kelas kesesuaian 4 dengan luasan 20011,41 ha, dan paling kecil adalah kelas kesesuaian lahan 3 dengan luasan 5664,58 ha. Kelas kesesuaian 0 merupakan kawasan konservasi yang sengaja dikeluarkan dari analisis.
Pembagian kriteria kelas kesesuaiannya ditentukan secara mutlak berdasarkan data yang ada. Pembagian skor ke dalam 4 kelas kesesuaian lahan mengikuti batasan sebagaimana disajikan dalam keterangan pada Tabel 2. Kelas kesesuaian 1 adalah paling sesuai, berikutnya secara berurutan hingga kelas kesesuaian 4 adalah paling kurang sesuai. Batasan sesuai dan kurang sesuai menunjukkan prioritas dalam setiap kegiatan budidaya cendana
Tabel 2. Distribusi Luas kesesuaian lahan untuk pengembangan cendana di Kabupaten Alor
Kelas Kesesuaian |
0 |
1 |
2 |
3 |
4 |
80 |
58 |
126 |
5 |
20 | |
Luas (Ha) |
860.50 |
893.20 |
810.73 |
664.58 |
011.41 |
Keterangan : Skor sesuai IV : <20; sesuai III : 20-<30; sesuai II : 30-<50; sesuai I : >50; Sesuai 0 : kawasan konservasi
Gambar 2. Persentase Distribusi Luas Lahan Berdasarkan Kelas Kesesuaian
berdasarkan hasil scoring dari indikator dan pengukur terpilih. Jadi pada kelas kesesuaian 4 bukan berarti tidak boleh atau tidak dapat dilakukan kegiatan budidaya cendana, namun merupakan prioritas akhir dalam penempatan kegiatan budidaya cendana secara massif.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan sebagian besar wilayah Alor merupakan daerah yang sesuai untuk budidaya cendana dapat diterima. Kajian mendalam mengenai variasi lahan yang dikaitkan dengan kesesuaian untuk budidaya cendana perlu dilakukan, terkait dengan efisiensi dan skala prioritas dalam
pelaksanaan kegiatan ataupun program-program pengembangan cendana di Kabupaten Alor. Pada tingkat analisis berdasarkan indikator dan pengukur terpilih, untuk Kabupaten Alor, kelas kesesuaian III adalah paling kecil yakni 5664.58 ha (7%). Sebaliknya kelas kesesuaian 2 memiliki luasan paling besar yakni 126810.73 ha (43%). Sekitar 28% dari total luasan dikeluarkan dari analisis karena merupakan kawasan konservasi. Persentase dan distribusi luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian dan Kecamatan secara terpisah dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
Lima besar lokasi Kecamatan yang masuk dalam kelas sesuai 1 (paling sesuai) secara administratif adalah Kecamatan Pantar Tengah, Alor Barat Laut, Pantar Barat Laut, Pantar dan Kabola. Untuk lima luasan terbesar kelas kesesuaian 2 terdapat pada Kecamatan Alor Barat Daya, Alor Timur, Alor Selatan, Pureman dan ALor Tengah Utara. Lima besar lokasi lahan dengan kelas kesesuaian 3 adalah Kecamatan Pantar Tengah, Alor Barat Laut, Alor Timur, Pantar dan Pantar Barat. Sedangkan lima luasan lokasi terbesar untuk kelas kesesuaian 4 meliputi Kecamatan Pantar Tengah, Alor Barat Daya, Alor Timur, Alor Selatan dan Kecamatan Mataru. Pada Gambar 4 dapat dilihat secara lebih jelas distribusi luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana, berdasarkan kelas kesesuaian lahan di Alor.
Gambar 3. Distribusi Luas Lahan Pada Tiap Kecamatan
Gambar 4. Peta Kesesuaian Lahan untuk Cendana di Kabupaten Alor Sumber : Kurniawan et al., 2013.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat dianalisis lebih lanjut tentang tingkat kemerataan sebaran masing-masing kesesuaian lahan dengan bantuan nilai koefisien variasi (CV). Nilai koefisien variasi ini merupakan ukuran penyebaran yang bergantung pada nilai yang diukur dan bersifat relatif (Almira, 2011). Koefisien variasi ini adalah hasil pembagian standard deviasi dengan rata-rata hitung data. Jadi, koefisien variasi pada dasarnya merupakan nilai yang menyatakan ukuran penyebaran relatif suatu set data terhadap nilai rata-rata data tersebut. Sehingga nilai ini dapat digunakan untuk membandingkan ukuran penyebaran dari beberapa kelompok data yang berbeda.
Berdasarkan hasil hitung yang disajikan dalam Gambar 5, diketahui nilai koefisien variasi berturut-turut dari yang paling kecil ke yang paling besar adalah kelas kesesuaian 2 (CV = 0,94), kelas kesesuaian 1 (CV = 0,99), kelas kesesuaian 3 (CV = 1,02) dan kelas kesesuaian 4 (CV=1,68). Nilai CV yang semakin kecil menunjukkan penyebaran datanya semakin merata di dekat nilai rata-ratanya. Namun
demikian, untuk kelas kesesuaian 1, 2 dan 3 nilai tersebut tidaklah berbeda jauh yakni 0,94; 0,99 dan 1,02. Hanya kelas kesesuaian 4 yang memiliki nilai CV yang cukup berbeda dengan ketiga nilai CV lainnya yakni 1,68.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi lahan untuk kelas sesuai 1 dan 2 cukup merata meskipun dengan luasan yang berbeda-beda dibandingkan distribusi kelas sesuai 3 dan 4. Hal ini sesuai dengan data pada Tabel 3, dimana pada kelas sesuai 3 dan 4 memang terlihat lebih variatif. Jadi, untuk kelas sesuai 1 dan 2 memiliki jumlah luasan terbesar (28 dan 43%) dengan tingkat sebarannya cukup merata dibandingkan dengan kelas sesuai 3 dan 4. Analisis tingkat kemerataan ini dapat berguna untuk menentukan perkiraan sebaran kegiatan pengembangan cendana dan dalam perencanaan pengalokasian sumber daya yang tersedia.
Apabila akan dibuat skala prioritas lebih lanjut, dimana pada kelas kesesuaian lahan 1 akan dicari tempat yang paling sesuai, maka dapat dilakukan analisis ulang berdasarkan skor yang ada, untuk kemudian diambil lokasi-lokasi paling sesuai saja.
Gambar 5. Tingkat kemerataan luasan lahan pada masing-masing kelas kesesuaian
Tabel 3. Luasan Lahan Berdasarkan kelas kesesuaian pada tingkat Kecamatan
KECAMATAN |
KELAS KESESUAIAN (Ha) Total 0 1 2 3 4 |
Kec. Alor Barat Daya Kec. Alor Barat Laut Kec. Alor Selatan Kec. Alor Tengah Utara Kec. Alor Timur Kec. Alor Timur Laut Kec. Kabola Kec. Lembur Kec. Mataru Kec. Pantar Kec. Pantar Barat Kec. Pantar Barat Laut Kec. Pantar Tengah Kec. Pantar Timur Kec. Pulau Pura Kec. Pureman Kec. Teluk Mutiara |
13347,28 1716,28 23652,67 72,13 5913,79 44702,16 1382,39 8244,28 160,05 951,86 0 10738,58 4464,48 0 14295,47 208,10 315,44 19283,49 961,60 17,38 11166,43 342,80 0 12488,21 33639,25 3559,04 17598,61 808,14 628,59 56233,63 16255,14 809,96 3392,08 389,20 0 20846,38 104,64 5924,46 1259,20 0,05 0 7288,35 0 1061,09 6450,75 61,91 0 7573,74 109,98 1482,18 8485,73 24,87 169,54 10272,30 65,98 6818,40 4428,83 622,53 0 11935,74 827,18 1600,61 2715,14 592,29 104,44 5839,65 2758,22 7401,38 4474,90 244,53 0 14879,03 2231,76 11448,98 2945,93 1012,87 12879,60 30519,14 34,48 4730,90 8996,80 333,31 0 14095,49 1191,92 1576,13 0 0 0 2768,05 1414,71 0 13363,85 0 0 14778,56 2071,50 2502,14 3424,29 0 0 7997,92 |
Total |
80860,50 58893,20 126810,73 5664,58 20011,41 292240,41 |
Sumber : Kurniawan et.al., 2013
Untuk pengembangan cendana dengan konsep atau pola yang berbeda, maka jumlah bibit yang dibutuhkan per hektarnya juga berbeda. Seperti pada pola agroforestry dan tumpang sari, jumlah bibit cendana yang diperlukan per hektarnya tentunya akan lebih sedikit. Demikian pula apabila cendana hanya ditanam sebagai tanaman pagar, atau batas antar tanah garapan, maka jumlah perhektarnya juga akan lebih sedikit.
Kelas kesesuaian lahan 2 merupakan kelas kesesuaian dengan jumlah paling besar di Kab. Alor dengan luasan 126810.73 Ha, diikuti oleh kelas kesesuaian 1 dengan luasan 58893,2 Ha, diikuti oleh kelas kesesuaian lahan 4 seluas 20011,41 Ha dan paling kecil adalah kelas kesesuaian lahan 3 dengan luasan 5664,58 Ha. Kecamatan dengan luas kesesuaian 1 paling besar berturut-turut adalah Kecamatan Pantar Tengah, Kecamatan Alor Barat Laut, Kecamatan Pantar Barat Laut. Kecamatan dengan luasan kesesuaian 4 terbesar berturut-turut adalah Kecamatan Pantar Tengah, Kecamatan Alor Barat Daya dan Kecamatan Alor Timur. Sedangkan untuk tingkat kemerataan kelas kesesuaian lahan, distribusi lahan untuk kelas sesuai 1 dan 2 lebih merata dibandingkan distribusi kelas sesuai 3 dan 4.
Program penanaman dan pengembangan cendana oleh Pemerintah dan masyarakat pada umumnya semestinya menggunakan basis kesesuaian lahan agar dapat dicapai hasil sesuai yang diharapkan. Pada tingkat operasional, dapat digunakan peta dengan skala yang lebih detil (besar) untuk meningkatkan ketelitian di lapangan. Pendekatan kesesuaian lahan untuk tata ruang pengembangan cendana dapat digunakan dengan memperhatikan aspek kepentingan lainnya, sesuai dengan perencanaan pengembangan wilayah di suatu daerah. Dalam tingkat perencanaan, penggunaan peta kesesuaian lahan untuk pengembangan cendana akan semakin mempermudah dalam pengalokasian dana dan sumber daya serta pendistribusian kegiatan, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Ir. Misto, M.P. (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang), Bapak Azis Rakhman, S.Hut. (Kepala Seksi Diseminasi dan Sarana Prasarana Penelitian) yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan, Dinas Kehutanan Kabupaten Alor yang telah banyak membantu di lapangan. Bapak Martinus Lalus, Teknisi Litkayasa yang telah banyak bekerja keras, serta seluruh pihak yang telah berperan dalam kegiatan penelitian ini.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. Master Plan Pengembangan dan Pelestarian Cendana Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010-2030.
Anonim. 2011. Fosfat Alam Sumber Pupuk P yang Murah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 33 Nomor 1, 2011. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Barrett DR and Fox JED, 1996. Santalum album: Kernel Composition, Morphological and Nutrient Characteristics of Pre-parasitic Seedlings under Various Nutrient Regimes.
Departemen Pertanian RI. 1980. Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No. : 683/Kpts/Um/8/198.
Djaenudin, D. 1995. Evaluasi Lahan untuk Arahan Pengembangan Komoditas Alternatif dalam Mendukung Kegiatan Agribisnis. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Djaenudin, D., Marwan, H., Subagjo, H., dan A.
Hidayat. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor. 36p.
Doran, J.W. and T.B. Parkin. 1999. Quantitative Indicators of Soil Quality : A Minimum Data Set. In: Doran, J.W. and A.J. Jones (Eds.) 1999. Methods for Assessing Soil Quality. Soil Science Society of America, Inc. Wisconsin.
Food and Agriculture Organization. 2002. Agriculture Statistics.
Fox, J.E.D., I K. Surata. 1990. Nursery Potting Mixure for Santalum album in Timor. Mulga Research Centre Journal 10: 38-44.
Fitriatin, B.N., A. Yuniarti, O. Mulyani, F.S. Fauziah, M. Dion Tiara. 2009. Pengaruh Mikroba Pelarut Fosfat dan Pupuk P terhadap P Tersedia, Aktivitas Fostafase, P Tanaman dan Hasil Padi Gogo (Oryza sativa L.) pada Ultisol.
Hadmoko, D.S. 2013. Evaluasi Sumber Daya Lahan, Prosedur dan Teknik Evaluasi Lahan : Aplikasi Teknik Skoring dan Matching.
www.slideshare.net. Diunduh tanggal 16 Februari 2014.
Hamzah, Z. 1976. Sifat silvika dan silvikultur cendana (Santalum album L.) di Pulau Timor. Laporan No.227. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.
Iyengar AV. 1960. The relation of soil nutrients to the incidence of spike disease in sandalwood (Santalum album Linn.). Indian Forester 86: 220±230.
Kurniawan, H., N.A. Prasetyo dan E. Windyarini. 2010. Laporan Hasil Penelitian : Eksplorasi Habitat, Populasi dan Sebaran Cendana (Santalum album Linn.) di pulau Timor (tidak dipublikasikan). Balai Penelitian Kehutanan Kupang. NTT.
Kurniawan, H., Sumardi dan E. Pujiono. 2013. Laporan Hasil Penelitian : Kajian Spasial Lahan secara Digital untuk Pengembangan Cendana (Santalum album Linn.) di Pulau Alor (tidak dipublikasikan). Balai Penelitian Kehutanan Kupang. NTT.
Rahayu, S., Wawo, A. H., van Noordwijk, M. and Hairiah, K., 2002. Cendana: deregulasi dan strategi pengembangannya (Sandalwood: deregulation and strategy of development), World Agroforestry Centre-ICRAF, Bogor.
Rangaswamy CR, Jain SH, Parthasarthi K. 1986. Soil properties of some sandalwood bearing areas. Van Vigyan 24 : 61±68.
Rohadi, D., Riwu Kaho, L.M., Don Gilmour, Setyawati, T., Maryani, R., Boroh, P. 2010. Analisa Kebijakan dan Insentif Ekonomi untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pelestarian Kayu Cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Proyek ITTO PD 459/07 Rev.1 (F). Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam.
Surata, I.K. 2006. Teknik Budidaya Cendana. Aisuli No. 21, 2006. ISSN : 1410-1009. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Struthers R, Lamont BB, Fox JED, Wijesuriya S, Crossland T. 1986. Mineral nutrition of sandalwood (Santalum spicatum). Journal of Experimental Botany 37: 1274±1284.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta.
39
Discussion and feedback