Jurnal Bumi Lestari, Volume 15 No. 1, Pebaruari 2015, hlm. 20 - 30

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEKERINGAN DI BALI-NUSA TENGGARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ENSO

MENGGUNAKAN APLIKASI DATA PENGINDERAAN JAUH

I Wayan Nuarsa1)2)*, I Wayan Sandi Adnyana1)2), Abd. Rahman As-syakur2)

  • 1)    Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman. Denpasar, Bali

  • 2)    Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman. Denpasar, Bali *E-mail: [email protected]

Abstract

In this study, the use of SPI (Standardized Precipitation Index) combined with remote sensing data is performed to map vulnerable drought areas in Bali-Nusa Tenggara regions. Analysis also carried out to find the relationship between Vulnerable drought areas in Bali-Nusa Tenggara with El Niño phenomena. Bali-Nusa Tenggara islands are a chain of islands that has a semi-arid climate type and resulted vulnerable to meteorological drought. Therefore, mapping of vulnerable drought areas in the region necessary to be carried out. The spatial pattern of the annual average value of SPI-6 in Bali Nusa Tenggara areas in 1998-2010 indicates the spatial distribution follows the ENSO events. It also indicated in the spatial pattern relationship between ENSO and SPI in Bali-Nusa Tenggara islands. This study indicates that remote sensing data such as TRMM 3B43 has the capability to be used as a data source to analyze the spatial patterns of vulnerable drought areas, particularly in the Bali-Nusa Tenggara Islands. In addition, the TRMM data also possible to be used as a data source to analyze the vulnerable drought areas in other parts of Indonesia.

Keywords: SPI; drought; remote sensing; Bali-Nusa Tenggara; TRMM

  • 1.    Pendahuluan

Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan, berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan). Kekeringan adalah salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak sirkulasi musiman ataupun penyimpangan iklim global seperti El Nino dan IOD positif. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan saja pada episode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam kondisi iklim normal. Fakta menunjukkan bahwa kemarau yang terjadi terus meningkat besarannya (magnitude), baik intensitas, periode ulang, dan lamanya. Karena itu, dampak dan risiko yang ditimbulkan cenderung meningkat menurut ruang (spasial) maupun waktu (temporal).

Salah satu problem yang sangat serius di Indonesia adalah kekeringan. Kekeringan di

Indonesia biasanya berhubungan dengan kejadian anomali iklim seperti El Nino dan IOD (Indian Ocean Dipole) positif. Dari 43 kejadian kekeringan di Indonesia antara tahun 1884 – 1998, hanya 6 kejadian kekeringan yang tidak berhubungan dengan fenomena El Nino (Irawan, 2003). Kekeringan di Indonesia memiliki dampak serius terhadap sektor pertanian seperti terbatasnya air irigasi, berkurangnya areal tanam, berkurangnya produktivitas lahan, berkurangnya produksi tanaman, serta berkurangnya pendapatan petani (Indonesian MoE, 2007). Kekeringan dapat menimbulkan dampak yang amat luas, kompleks, dan juga rentang waktu yang panjang setelah berakhirnya kekeringan. Dampak yang luas dan berlangsung lama tersebut disebabkan karena air merupakan kebutuhan pokok dan vital seluruh mahluk hidup yang tidak dapat digantikan dengan sumberdaya lainnya.

Anomali interaksi antara laut dan atmosfer di sekitar perairan Indonesia juga berpengaruh terhadap variabilitas hujan di Indonesia. Interaksi-interaksi tersebut seperti kejadian ENSO dan IOD. Kedua fenomena tersebut berperan penting terhadap kondisi ekstrim variabilitas hujan yang berdampak terhadap kondisi lingkungan dan sosial baik secara global maupun regional (Lou et al., 2010). ENSO merupakan pola berulang dari variabilitas iklim di bagian timur samudera Pasifik yang ditandai dengan anomali temperatur permukaan laut (penghangatan permukaan laut menggambarkan kejadian El Nino sedangkan pendinginan permukaan laut menggambarkan kejadian La Nina) dan anomali Sea level pressure (Southern Oscillation) (Philander, 1990). Sedangkan IOD adalah beda temperatur permukaan laut pantai timur Afrika dan pantai barat Sumatera (Saji et al., 1999). Fluktuasi kejadian ENSO di Samudra Pasifik sangat berhubungan dengan curah hujan di Indonesia (Aldrian et al., 2007; Hendon, 2003; Nicholls, 1988; Ropelewski and Halpert, 1989; As-syakur, 2012; As-syakur et l., 2014). Hal yang sama juga terjadi pada fluktuasi kejadian IOD di Samudra Hindia (Saji et al., 1999; Saji and Yamagata, 2003; As-syakur, 2012; As-syakur et l., 2014). Kondisi ENSO baik El Nino atau La Nina menyebabkan penurunan atau peningkatan curah hujan di sebagian Indonesia yang berdampak pada makin panjang atau pendeknya musim kemarau (As-syakur, 2010; As-syakur and Prasetia, 2010; Bell et al., 1999; Bell et al., 2000; Hendon, 2003; Hamada et al., 2002; Philander, 1990; Tjasyono et al., 2008). Kondisi yang sama juga terjadi bila kejadian IOD juga berlangsung. IOD positif (negatif) berdampak pada semakin panjang (pendek) dan keringnya (basahnya) musim kemarau di sebagian Indonesia (Saji et al., 1999; Saji and Yamagata, 2003; Tjasyono et al., 2008).

Kekeringan tidak memiliki definisi universal karena standar tingkat kekeringan yang berbeda-beda dari setiap bidang ilmu (Dracup, 1991). Akan tetapi secara umum kekeringan adalah periode masa kering yang lebih lama dari kondisi normal dan menyebabkan ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air (Nagarajan, 2009). Kekeringan dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik dan dampak yang ditimbulkan. Terdapat empat kategori kekeringan, yaitu kekeringan meteorologis, kekeringan pertanian, kekeringan hidrologi, dan kekeringan sosial-ekonomi (Boken, 2005; Nagarajan, 2009; Wang et al., 2011).

Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim dimana kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan (Bappenas, 2003). Disisi lain, kekeringan hidrologi dan pertanian merupakan manifestasi fisik dari kekeringan meteorologis (Boken, 2005). Dalam penelitian ini, kekeringan hanya dibatasi pada kekeringan meteorologis.

Pemantauan kondisi kekeringan meteorologis dapat dilakukan dengan menggunakan data hujan dari pos pengamat hujan (Rhee et al., 2010). yang efektif dan relatif akurat dalam menggambarkan kondisi hujan pada suatu tempat. Akan tetapi sebaran pos penakar hujan tidak merata khususnya di daerah tidak berpenghuni dan di sekitar lautan yang mengakibatkan berkurangnya tingkat keakuratannya (Xie and Arkin, 1996; Petty and Krajewski, 1996). Saat ini, kemungkinan memperoleh data curah hujan yang diperlukan dalam berbagai aplikasi ilmiah dapat diperoleh dari satelit meteorologi (Petty and Krajewski, 1996). Satelit meteorologi yang merupakan sumber data penginderaan dapat menyediakan data hujan dengan sebaran yang lebih baik dan waktu yang kontinyu (Xie et al., 2007). Keberadaan data yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang baik diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih kuantitatif tentang hubungan curah hujan di Indonesia dengan kondisi iklim pada skala yang lebih luas. Data penginderaan jauh dapat digunakan secara luas, simultan, dan dinamis dalam pemantauan kekeringan (Rhee et al., 2010). Data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) merupakan salah satu data penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk memantau kekeringan meteorologis. Penambahan aplikasi sistem Informasi geografi (Geographic Information System) dalam pengolahan data penginderaan jauh akan menghasilkan peta sebaran kekeringan meteorologis yang akurat dan efisien.

Telah banyak metode yang digunakan untuk memetakan daerah rawan kekeringan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Di antaranya adalah yaitu penggunaan VCI (Vegetation Condition Index) dan NMDI (Normalized Multi-band Drought Index) yang merupakan kondisi kekeringan berdasarkan keadaan vegetasi serta pemanfaatan SPI (Standardized Precipitation Index) yang merupakan analisis kekeringan berdasarkan data curah hujan. Dalam penelitian ini pengunaan SPI yang di analisis dari data penginderaan jauh dan dikombinasikan

dengan aplikasi SIG dilakukan untuk memetakan daerah rawan kekeringan di Bali-Nusa Tenggara. Daerah rawan kekeringan di Bali-Nusa Tenggara juga di analisis hubungannya dengan kondisi El Nino.

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola sebaran daerah rawan kekeringan di gugusan kepulauan Bali-Nusa Tenggara dan hubungannya dengan perubahan iklim khususnya kejadian El Nino dengan menggunakan data penginderaan jauh dan sistem Informasi geografi. Secara khusus studi ini ditujukan untuk menjajagi dan menguraikan tentang pemnafaatan data penginderaan jauh TRMM untuk memetakan daerah rawan kekeringan. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk menjajagi dan menguraikan dugaan adanya hubungan antara El Nino dengan kejadian kekeringan di Bali-Nusa Tenggara yang di deteksi dengan data penginderaan jauh serta di analisis dengan menggunakan sistem informasi geografi

  • 2.    Lokasi Studi

Lokasi penelitian adalah seluruh wilayah gugusan pulau Bali Nusa Tenggara yang meliputi Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berada diantara 7.80° LS sampai 11.20° LS dan 114.40° BT sampai 126.90° BT (Gambar 1). Iklim di wilayah ini sangat dipengaruhi oleh Benua Australia, khususnya saat musim kemarau. Musim kemarau di wilayah ini dipengaruhi oleh angin monsoon tenggara yang kering (Oldeman et al., 1980). Menurut Aldrian and Susanto (2003) wilayah Bali-Nusa Tenggara memiliki tipe hujan berpola munson dimana pola hujan memiliki satu puncak musim hujan pada bulan Januari dan satu lembah musim kemarau pada bulan Agustus. Di

wilayah ini, jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 13 Juta Jiwa atau 5,50% dari total penduduk Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan penduduk mencapai 1,59% per tahun.

  • 3.    Data dan Metode

    • 3.1    Data

Data curah hujan bulanan dari tahun 1998 sampai 2010 dari TRMM 3B43 dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) digunakan dalam penelitian ini untuk memetakan daerah rawan kekeringan di gugusan kepulauan Bali-Nusa Tenggara dan mengetahui pola spasial hubungan antara indeks kekeringan dengan perubahan iklim. Cakupan area penelitian adalah 7.80° LS sampai 11.20° LS dan 114.40° BT sampai 126.90° BT dengan jumlah piksel TRMM 3B43 yang dianalisis sebanyak 714 piksel. Peristiwa El Nino dan La Nina serta siklusnya diasumsikan sebagai gambaran dari peritiwa perubahan iklim yang memiliki dampak terhadap Indonesia (Irawan, 2003). Nilai SOI (Southern Oscillation Index) digunakan untuk menjelaskan peristiwa El Nino dan La Nina di Samudra Pasifik (Ropelewski and Jones, 1987; Ropelewski and Halpert, 1989). SOI adalah indeks yang didasarkan pada perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin (Ropelewski and Jones, 1987) dan didefinisikan sebagai perbedaan standar antara tekanan standar bulanan di Tahiti dan Darwin (Können et al., 1998).

TRMM disponsori oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency, yang dulu di sebut NASDA-National Space Development Agency), dan telah mengumpulkan data dari

Gambar 1. Lokasi penelitian beserta peta topografi wilayah Bali Nusa Tenggara.


G(x)


November 1997 sampai saat ini (Kummerow et al., 2000). TRMM merupakan program penelitian jangka panjang yang didesain untuk studi tentang tanah, laut, udara, es, dan sistem total kehidupan di Bumi (Islam and Uyeda, 2007). TRMM 3B43 merupakan bagian dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA). TMPA adalah data kalibrasi berbasis skema berurut yang mengkombinasikan perkiraan hujan dari beberapa jenis satelit dan data penakar hujan. TMPA menyediakan cakupan data hujan global pada sabuk lintang 50° LU sampai 50° LS dengan resolusi spasial 0.25°× 0.25° serta resolusi temporal tiga jam-an untuk TRMM 3B42 dan resolusi temporal bulanan untuk TRMM 3B43 (Huffman et al., 2007; Huffman et al., 2010). Algoritma yang digunakan untuk menghasilkan data TMPA didasarkan pada teknik dari Huffman et al. (1995, 1997) dan Huffman (1997).

Produk TRMM 3B43 merupakan data kombinasi atau data hasil analisis penggabungan. TRMM 3B43 sudah diterapkan dalam berbagai aplikasi seperti pengamatan iklim/cuaca, analisis iklim, verifikasi model iklim, dan studi hidrologi (Xie et al., 2007). Data TRMM 3B43 merupakan yang pertama mengkombinasikan TRMM Precipitation Radar (PR) dan TRMM Microwave Imager (TMI) untuk mengkalibrasi perkiraan jumlah curah hujan dari pengukuran data Microwave dan Infrared (IR) (Huffman et al., 2007). Data TRMM 3B43 sangat baik digunakan untuk saat ini, karena di dalamnya terdapat hasil kalibrasi dari data penakar hujan (Mehta and Yang, 2008). Pada saat ini, beberapa kelompok peneliti telah melakukan validasi terhadap keakuratan data ini, seperti As-syakur et al., (2011) yang membandingkan TMPA dengan data pengukuran curah hujan di Bali; Suryantoro et al. (2008) yang menvalidasi data TRMM 3B43 di kota Padang, Pontianak, Jakarta, dan Manado; Chokngamwong and Chiu (2008) yang membandingkan TRMM dengan data pengukuran curah hujan di Thailand; dan Islam and Uyeda (2007) yang memanfaatkan data TRMM untuk menjelaskan karakteristik iklim, khususnya hujan di Bangladesh. Hasil-hasil penelitian tersebut menggarisbawahi tentang keunggulan TRMM 3B43 dan menyarankan untuk memanfaatkan data satelit ini secara lebih luas. Di Indonesia, data TRMM 3B43 memiliki tingkat keakurasian yang sangat baik dalam menginformasikan pola hujan, akan tetapi belum bisa

menginformasikan jumlah hujan karena masih dibawah estimasi hujan alat penakar (As-syakur et al., 2010; As-syakur, 2011).

Data TRMM 3B43 diperoleh dari website ftp:// disc2.nascom.nasa.gov/data/s4pa/TRMM_L3/. Sedangkan data SOI diperoleh dari website http:// www.bom.gov.au/.

  • 3.2    Analisis

Analisis tingkat kerawanan kekeringan menggunakan metode SPI. Perhitungan nilai SPI berdasarkan jumlah sebaran gamma yang didefinisikan sebagai fungsi frekuensi atau peluang kejadian sebagai berikut (McKee et al. 2005; Edwards and McKee, 1997):

g(x) =--------xa~ e ^T(α)


untuk x > 0 (1)


Nilai α dan β diestimasi untuk setiap stasiun hujan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(2)


(3)

Γ(cz) = jxff^'e xdx

O


(4)


Dimana g(x) adalah fungsi dari sebaran gamma, x adalah jumlah curah hujan (mm/bulan), adalah fungsi gamma, e adalah eksponensial, α adalah parameter shape (α > 0), β adalah parameter skala (β > 0), n jumlah data hujan yang di observasi dan x adalah rata-rata curah hujan.

Parameter yang dihasilkan kemudian digunakan untuk mengetahui kemungkinan komulatif selama rentang waktu penelitian. Kemungkinan komulatif

dihitung dengan menggunakan persamaan:

Cr (x) =       dx =--------^xaλ P dx      (6)

v 7 f'7 isτω0j

Dimana t = x / β, fungsi gamma dapat ditulis secara lengkap dengan:


(7)


Fungsi gamma tidak terdefinisi bila x = 0 dan distribusi curah hujan bisa berisi angka nol, maka kemungkinan komulatif dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

H(x) = q + (l-q)G(x)              (8)

dimana q kemungkinan kejadian tanpa hujan. Jika m adalah jumlah bulan tanpa kejadian hujan selama rentang waktu penelitian, maka q dapat diestimasi dengan m/n. kemungkinan komulatif H(x) kemudian ditransformasikan ke standar normal acak variabel Z dengan rata-rata nol dan varian satu, yang didefinisikan sebagai nilai SPI. 2 A

Cn + C, I + C-,t i

Z = SPI ^ - t--?---1---^----τ

1 + dj + d1t + dq J

untuk 0 < H(x) 0.5 (9)

untuk 0.5 < H(x) 1.0 (10)

Dimana:


untuk 0 < H(x) 0.5 (11)

f=Jin(,, ^           untuk 0.5 < H(x) 1.0 (12)

'y (i.o-H(χ))2

C0 =2.515517 √l = 1.432788 cl =0.802853 √2 =0.189269 c2 = 0.010328 d3 =0.001308

(13)


SPI dihitung pada skala skala 6-bulan (SPI-6) pada setiap piksel (cell) hujan dan pos penakar hujan. Klasifikasi kejadian kering dan basah dari SPI dapat dilihat pada Tabel 1. Klasifikasi SPI tersebut berdasarkan McKee et al. (1993)

Analisis data dilakukan pada tiap piksel dengan koordinat sebagai identitas. Data diekstrak dari TRMM 3B43 pada setiap piksel untuk mendapatkan data per point/titik. Tiap point/titik memiliki informasi

koordinat, bulan, tahun, dan nilai curah hujan. Kemudian data diurutkan sesuai dengan tujuan analisis. Setelah diperoleh hasil analisis kekeringan dengan metode SPI, data point/titik di konversi ke format data raster yang memiliki resolusi spasial yang sama dengan data aslinya (0.25°× 0.25°). Data dalam format raster tersebut digunakan untuk membuat peta kerawanan kekeringan. Metode yang sama juga digunakan untuk menghitung tingkat korelasi antara indeks SOI sebagai manifestasi dari perubahan iklim dengan data kekeringan.

Tabel 1. Kelas klasifikasi SPI.

Kelas

Nilai SPI

Kekeringan tinggi

–2.00

Kekeringan sedang

–1.99 - –1.50

Kekeringan ringan

–1.49 - –1.00

Normal

–0.99 – 0.99

Kebasahan ringan

1.00 – 1.49

Kebasahan sedang

1.50 – 1.99

Kebasahan tinggi

2.00

Metode untuk mendapatkan hubungan antara nilai indeks SPI yang merupakan manifestasi dari kerawanan kekeringan dengan nilai SOI adalah menggunakan analisis statistik. Pengukuran hubungan antara indeks SPI dengan SOI adalah mencari nilai koefisien korelasi linier (r) yang didefinisikan berdasarkan persamaan berikut (von Storch and Zwiers, 1999):

(14)

Dimana Zij adalah nilai SPI pada piksel i dan waktu j, Yj adalah nilai indeks SOI pada bulan j, dan n adalah jumlah data yang digunakan. Dari sudut pandang statistik, analisis korelasi digunakan untuk menggambarkan hubungan statistik linear antara dua variabel acak, dimana hal ini menunjukkan sepasang variabel yang berbeda bervariasi sama persis, satu variabel yang terkait dengan yang lain dapat diskalakan dalam bentuk positif atau negatif (von Storch and Zwiers, 1999).

  • 4.  Hasil dan Pembahasan

    • 4.1    Pola Spasial Kekeringan di Bali Nusa

Tenggara

Hasil pertama dari penelitian ini adalah pola spasial sebaran kekeringan di Bali Nusa Tenggara. Kekeringan di wilayah ini ditunjukan oleh nilai SPI yang klasifikasi tingkat kekeringannya dapat di lihat di Tabel 1. Berdasarkan hasil validasi pada bagian pertama, maka analisis pola spasial dari tingkat

kekeringan di bali Nusa Tenggara hanya untuk skala waktu 6-bulan karena memiliki tingkat kekaurasian paling tinggi dibandingkan dengan analisis SPI pada skala waktu yang lainnya.

Gambar 2 memperlihatkan pola spasial sebaran rata-rata tahunan nilai SPI-6 di Bali Nusa Tenggara dari tahun 1998-2010. Secara umum, tahun normal (tahun yang tidak mengalami kekeringan dan ataupun kondisi basah) terjadi pada tahun 2006 sampai 2009. Sedangkan tahun-tahun yang mengami kondisi

Gambar 2. Pola spasial sebaran rata-rata tahunan nilai SPI-6 di Bali Nusa Tenggara dari tahun1998-2010.


basah terjadi pada tahun 1998 sampai 2000 dan tahun 2010. tahun-tahun yang mengalami kondisi kekeringan terjadi pada tahun 2001 sampai 2005. Kondisi basah Pola kejadian basah pada tahun 19982000 dan 2010 memperlihatkan kondisi yang tidak merata. Pada tahun 1998 kondisi basah di sebagian

Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Tahun 1999 memperlihatkan kondisi basah yang lebih luas di bandingkan tahun 1998, dimana Pulau Bali, Pulau Lombok dan bagian timur Provinsi Nusa Tenggara Timur terjadi kondisi basah. Sebaran yang lebih luas kondisi basah terjadi pada tahun

Gambar 3. Pola spasial sebaran nilai korelasi antara SPI-6 dengan SOI indeks di wilayah Bali Nusa Tenggara


2000, akan tetapi sebrannya sebagian besar terjadi di wilayah lautan. Pada tahun 2010 kondisi basah sebagian besar terjadi di bagian barat Pulau Flores Nusa Tenggara Timur. Secara umum kejadian kekeringan hanya terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Flores dan Pulau Sumba mengalami kekeringan pada tahun 2001 sampai 2004. sedangkan pada tahun 2005, kondisi kekeringan sebagain besar tersebar di wilayah lautan.

  • 4.2    Hubungan Kekeringan dengan ENSO

Hubungan antara kekeringan di Bali- Nusa Tenggara dengan kejadian perubahan iklim yang merupakan manifestasi dari nilai SOI disajikan pada Gambar 3. Peta tersebut menyajikan hubungan kekeringan yang di tunjukkan oleh nilai SPI-6 dengan nilai SOI secara bulanan dari bulan Januari sampai Desember. Nilai tertinggi hubungan antara nilai SPI-6 dengan indeks SOI terjadi pada bulan Agustus dengan nilai -0,93 yang terjadi di bagian utara Pulau Flores (Koordinat 119,875° BT dan -7,625° LS). Untuk wilayah darat, nilai korelasinya tertinggi terjadi di Wilayah Nusa Tenggara Barat yang juga terjadi pada bulan Agustus, tepatnya di bagian selatan Kabupaten Bima dengan nilai -0,87 (Koordinat 118,875° BT dan -8,875° LS).

Secara umum gambar tersebut memperlihatkan hubungan yang sangat tinggi kecuali untuk bulan April dan Mei. Hubungan tertinggi terjadi pada bulan-bulan musim kemarau yaitu Juni sampai Oktober sedangkan pada bulan April dan Mei menujukkan tingkat korelasi yang kurang jelas. Nilai korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas kejadia El Nino maka kerawanan terhadap kejadian kekeringan akan semakin tinggi. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ENSO sangat mempengaruhi tingkat kekeringan di lokasi penelitian.

Berdasarkan pola tahunan tingkat kekeringan di lokasi penelitian, terlihat bahwa pada tahun-tahun terjadinya El Nino maka kemungkinan terjadinya kekeringan sangat besar. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat fenomena La Nina berlangsung dimana keadaan basah dan normal berlangsung di sebagian wilayah penelitian. Akan tetapi kondisi sebarak kekerinagn dan kondis basah meiliki sebaran yang tidak merata. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kondisi lokal seperti sebaran topografi wilayah penelitian yang heterogen.

Tingkat kekeringan dan hubungannya dengan ENSO yang dalam hal ini adalah kejadian El Nino

atau La Nina memperlihatkan sebaran yang tidak merata serta terjadi pada musim kemarau. Hubungan yang tinggi antara kekeringan dengan ENSO saat musim kemarau terjadi karena fenomena ENSO mempengaruhi kondisi suhu permukaan laut (SPL) di perairan Indonesia (Aldrian and Susanto, 2003). SPL di sebagian wilayah Indonesia memiliki korelasi yang negatif dengan dengan kejadian ENSO saat musim kemarau (Hendon, 2003). Saat terjadi penghangatan SPL di bagian tengah samudra pasifik, maka kondisi SPL di lautan Indonesia mengalami pendinginan yang lebih dingin dari kondisi normalnya. Kondisi ini mengakibatkan melemahnya angin monsun tenggara dan angin zonal timur-barat yang merupakan sumber konveksi di wilayah Indonesia. Pendingan SPL ini juga menghambat proses evapotranspirasi yang merupakan sumber uap air untuk proses terjadinya awan. Kondisi sebaliknya akan terjadi saat penghangatan SPL di bagian tengah Samudra Pasifik.

Berebeda-bedanya pengaruh Nilai SOI terhadap besaran intensitas kekeringan di daerah penelitian bisa dimungkinkan oleh sebab keberadaan topografi yang berbeda-beda. Pengaruh anomali iklim terhadap besaran curah hujan dan kekeringan akibat hujan sangat tergantung posisi wilayah/daerah terhadap ekuatorial, pengaruh monsunal, serta pengaruh lokal seperti topografi, penggunaan lahan, sistem hidrologi dan lain-lain.

  • 5.    Simpulan dan Saran

    • 5.1    Simpulan

Pola spasial sebaran rata-rata tahunan nilai SPI-6 di Bali Nusa Tenggara dari tahun 1998-2010 pola sebarang mengikuti kondisi pola kejadian ENSO. Hal ini juga terindikasi dari pola spasial hubungan antara ENSO dengan SPI yang terjadi di Wilaya Bali-Nusa Tenggara. Penelitian ini mengidikasikan bahwa data penginderaan jauh seperti TRMM 3B43 memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai sumber data dalam menganalisis pola spasial kondisi kekeringan, khususnya di wilayah Bali-Nusa Tenggara. Selain itu data TRMM juga sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai sumber data dalam menganalisis kekeringan di wilayah lain di Indonesia.

  • 5.2    Saran

Wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan data penginderaan jauh TRMM 3B43 memiliki resolusi

Pemetaan wilayah kekeringan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh TRMM 3B43 serta hubungannya dengan perubahan iklim perlu dilakukan untuk wilayah yang lebih luas seperti dengan lokasi kajian seluruh spasial yang besar dan sangat cocok untuk wilayah regional Indonesia. Untuk memdapatkan tingkat keakurasian yang lebih baik dengan tingkat kedetailan hasil yang lebih bagus, maka penggunaan data citra satelit seperti GSMaP yang memiliki resolusi spasial 10 km × 10 km sangat disarankan.

Daftar Pustaka

Aldrian, E., and R.D. Susanto. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal of Climatology, 23. 1435–1452.

Aldrian, E., L.D. Gates, and F.H.Widodo. 2007. Seasonal variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations and in the reanalyses: The role of ENSO. Theoretical and Applied Climatology, 87. 41–59.

As-syakur, A.R. 2010. Pola spasial pengaruh kejadian La Nina terhadap curah hujan di Indonesia tahun 1998/1999; observasi menggunakan data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43. Dalam prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XVII dan Kongres Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) V. Institut Pertanian Bogor, 9 Agustus 2010. Bogor-Indonesia. pp. 230-234.

As-syakur, A.R. 2011. Status of the TRMM Level 3 in Indonesia. Paper in the 2nd CReSOS international symposium on South East Asia environmental problems and satellite remote sensing on 21 to 22 February 2011 at Udayana University. Denpasar, Bali–Indonesia.

As-syakur, A.R. 2012. Analisis pola spasial hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia melalui observasi data TRMM 3B43. Dalam Wikantika, K. dan L. Fajri (editor) “Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia; (Seri-1)”. Pusat Penginderaan Jauh Institut Tekhnologi Bandung (ITB). Bandung, Indonesia. pp. 92-107.

As-syakur, A.R., and R. Prasetia. 2010. Pola spasial anomali curah hujan selama Maret sampai Juni 2010 Di Indonesia; Komparasi data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan stasiun pengamat hujan. Prosiding Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010; Buku 2. 29 Juli 2010, Universitas Udayana, Denpasar-Indonesia: pp. 505-516.

As-syakur, A.R., T. Tanaka, R. Prasetia, I.K. Swardika, and I.W. Kasa. 2011. Comparison of TRMM multisatellite precipitation analysis (TMPA) products and daily-monthly gauge data over Bali. International Journal of Remote Sensing, 32. 8969–8982.

As-syakur, A.R., I.W.S. Adnyana, M.S. Mahendra, I.W. Arthana, I.N. Merit, I.W. Kasa, N.W. Ekayanti, I.W. Nuarsa, & I.N. Sunarta. 2014. Observation of spatial patterns on the rainfall response to ENSO and IOD over Indonesia using TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA). International Journal of Climatology, 34. 3825–3839.

Bappenas. 2003. Pedoman Teknis Kekeringan. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Bell, G.D., M.S. Halpert, C.F. Ropelewski, V.E. Kousky, A.V. Douglas, R.C. Schnell, and M.E. Gelman. 1999. Climate assessment for 1998. Bulletin of the American Meteorological Society, 80(5). S1-S48.

Bell, G.D., M.S. Halpert, R.C. Schnell, R.W. Higgins, J. Lawrimore, V.E. Kousky, R. Tinker, W. Thiaw, M. Chelliah, and A. Artusa. 2000. Climate assessment for 1999. Bulletin of the American Meteorological Society, 81(6). S1-S50.

Boken, V.K. 2005. Agricultural Drought and Its Monitoring and Prediction: Some Concepts. In Monitoring and Predicting Agricultural Drought: A Global Study. Vijendra K. Boken, Arthur P. Cracknell, and Ronald L. Heathcote (Ed.): sponsored by the World Meteorological Organization. Oxford University Press, New York-USA.

Chokngamwong, R., and L.S. Chiu. 2008. Thailand daily rainfall and comparison with TRMM

products. Journal of Hydrometeorology, 9. 256–266.

Dracup, J.A. 1991. Drought monitoring. Stochastic Hydrology and Hydraulics 5: 261-266.

Edwards, D.C.; McKee, T.B. 1997. Characteristics of 20th century drought in the United States at multiple time scales. Atmospheric Science Paper No. 634, Climatology Report No. 97-2. Department of Atmospheric Science, Colorado State University. Fort Collins, Colorado-USA. 155 pp.

Hamada, J., M.D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P.A. Winarso, and T. Sribimawati. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan, 80. 285-310.

Hendon, H.H. 2003. Indonesian rainfall variability: impacts of ENSO and local air–sea interaction. Journal of Climate, 16, 1775–1790.

Huffman, G.J., R.F. Adler, B. Rudolf, U. Schneider, and P.R. Keehn. 1995. Global precipitation estimates based on a technique for combining satellite-based estimates, rain gauge analysis, and NWP model precipitation information. Journal of Climate, 8. 1284-1295.

Huffman, G.J. 1997. Estimates of root-mean-square random error for finite samples of estimated precipitation. Journal of Applied Meteorology, 36(9). 1191-1201.

Huffman, G.J., R.F. Adler, P. Arkin, A. Chang, R. Ferraro, A. Gruber, J. Janowiak, A. McNab, B. Rudolph, and U. Schneider. 1997. The global precipitation climatology project (GPCP) combined precipitation dataset. Bulletin of the American Meteorological Society, 78, 5-20.

Huffman, G.J., R.F. Adler, D.T. Bolvin, G. Gu, E.J. Nelkin, K.P. Bowman, Y. Hong, E.F. Stocker, and D.B. Wolff. 2007. The TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA): quasi-global, multiyear, combined-sensor precipitation estimates at fine scales. Journal of Hydrometeorology, 8 (1). 38-55.

Huffman, G.J., R.F. Adler, D.T. Bolvin, and E.J. Nelkin. 2010. The TRMM Multi-satellite Precipitation

Analysis (TMPA). In Satellite rainfall applications for surface hydrology, M. Gebremichael and F. Hossain (ed.), pp. 3-22 (Netherlands: Springer Verlag).

Indonesian MoE. 2007. Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate Change, and their Implication. Ministry of Environment, Republic of Indonesia, Jakarta.

Irawan, B. 2003. Multilevel impact assessment and coping strategies against El Nino: case of food crops in Indonesia. CGPRT Centre Working Paper No. 75, Regional Co-ordination Centre for Research and Development of Coarse Grains, Pulses, Roots and Tuber Crops in the Humid Tropics of Asia and the Pacific: United Nations, 105 pp.

Islam, M.N., and H. Uyeda. 2007. Use of TRMM in determining the climatic characteristics of rainfall over Bangladesh. Remote Sensing of Environment, 108. 264–276.

Können, G.P., P.D. Jones, M.H. Kaltofen, and R.J. Allan, 1998. Pre-1866 Extensions of the Southern Oscillation Index using early Indonesian and Tahitian Meteorological readings. Journal of Climate, 11. 2325–2339.

Kummerow, C., J. Simpson, O. Thiele, W. Barnes, A.T.C. Chang, and E. Stocker. 2000. The status of the Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) after two years in orbit. Journal of Applied Meteorology, 39. 1965"1982.

Luo, J-J., R. Zhang, S.K. Behera, Y. Masumoto, F.F. Jin, R. Lukas, and T. Yamagata. 2010. Interaction between El Niño and extreme Indian Ocean Dipole. Journal of Climate, 23. 726–742.

McKee, T.B.; Doesken N.J.; Kleist J. 1993. The relationship of drought frequency and duration to time scales. Preprints, 8th Conference on Applied Climatology, 17-22 January, Anaheim, CA, pp. 179-184. Eighth Conference on Applied Climatology, 17-22 January 1993, Anaheim, California

McKee, T.B., N.J. Doesken, and J. Kleist. 1995. Drought monitoring with multiple time scales. Proceedings of the 9th conference of applied climatology, American Meteorological

Society. 233"236. 9th AMS Conference on Applied Climatology, 15-20 January 1995, Dallas, Texas.

Mehta, A.V., and S. Yang. 2008. Precipitation climatology over Mediterranean Basin from ten years of TRMM measurements. Advanced Geosciences, 17. 87–91.

Nagarajan, R. 2009. Drought assessment. Springer, Dordrecht-Netherlands.

Nicholls, N. 1988. El Niño-Southern Oscillation and rainfall variability. Journal of Climate, 1. 418421.

Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. The Agroclimatic Maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Rest. Ins. Agric., Bogor, Indonesia.

Petty, G.W., and W.F. Krajewski. 1996. Satellite estimation of precipitation over land. Hidrological Science, 41(4). 433-451.

Philander, S.G. 1990. El Niño, La Niña, and the Southern Oscillation. Academic Press, San Diego, CA, 289 pp.

Rhee J., J. Im, G.J. Carbone. 2010. Monitoring agricultural drought for arid and humid regions using multi-sensor remote sensing data. Remote Sensing of Environment 114: 2875–2887.

Ropelewski, C.F., and P.D. Jones .1987. An extension of the Tahiti-Darwin Southern Oscillation Index. Monthly Weather Review, 115. 2161-2165.

Ropelewski, C.F., and M.S. Halpert. 1989. Precipitation patterns associated with the high index phase of the Southern Oscillation. Journal of Climate, 2. 268-284.

Saji, N.H., and T. Yamagata. 2003. Possible impacts of Indian Ocean dipole mode events on global climate. Climate Research, 25. 151–169.

Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata. 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363.

Suryantoro, A., Halimurrahman, and T. Harjana. 2008. Variasi Spasiotemporal Curah Hujan Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM. In proceedings of the National Workshop on Atmospheric Sciences and Climate Applications. 1 December 2008. Bandung-Indonesia.

Tjasyono, B., A. Lubis, I. Juaeni, Ruminta, and S.W.B. Harijono. 2008. Dampak variasi temperatur samudera pasifik dan hindia ekuatorial terhadap curah hujan di Indonesia. Jurnal sains dirgantara, 5(2). 83-95.

von Storch, H., and F.W. Zwiers. 1999. Statistical analysis in climate research. Cambridge University Press, UK. 484 pp.

Xie, P., and P.A. Arkin. 1996. Analyses of global monthly precipitation using gauge observations, satellite estimates and numerical model predictions. Journal of Climate, 9. 840– 858.

Xie, P., A. Yatagai, M. Chen, T. Hayasaka, Y. Fukushima, C. Liu, and S. Yang. 2007. A gaugebased analysis of daily precipitation over East Asia. Journal of Hydrometeorology, 8. 607–626.

Wang, A., D. P. Lettenmaier, and J. Sheffield. 2011. Characteristics of agriculture drought in China during 1950-2006. The 91st American Meteorological Society Annual Meeting, 23– 27 January 2011, Seattle, Washington-USA.

30