HARGA AIR UNTUK IRIGASI PADI SAWAH DI KABUPATEN BADUNG
on
I Made Sudarma : Harga Air Untuk Irigasi Padi Sawah di Kabupaten Badung
HARGA AIR UNTUK IRIGASI PADI SAWAH
DI KABUPATEN BADUNG
I Made Sudarma
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Email: [email protected]
Abstract
Water Pricing For Irrigation At Badung Regency
The research was conducted at Badung Regency from May to August 2012. Badung Regency determined as the study sites intentionally (purposive sampling) with consideration Badung Regency is utilizing the highest Ayung river water for irrigation than another regencies/city in Bali. Water pricing were analyzed by the Value Marginal Product (VMP) which derived from equation of the Cobb- Douglas production function. The analysis showed that the size of area plantation, seed, fertilizer, pesticide, labor and water (irrigation) have real impact on rice production and by using the VMP analysis found that the price of water for irrigation is Rp 314.000/ha/season. The price paid is higher than the water fee for Subak, that is Rp 100,000/ha/season for active members and two-time for inactive members. Even the results of the calculations show that the maximum water price paid by farmers is greater than subak fees, the government can not impose the maximum water pricing approach to the farmers. It is based on the consideration that the agricultural sector is still the sector that needs to be subsidized because it involves the interests of a political, economic, social, cultural and religious.
Keywords: sustainability, paddy rice, production factor, water pricing
Upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem melalui berbagai mekanisme penetapan peraturan dan kebijakan merupakan suatu keharusan dalam menuju pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan dalam mendorong investasi pembangunan jangka panjang. Prinsip-prinsip tersebut saling sinergis dan melengkapi dengan pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance) berdasar pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas yang mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Produk dan jasa yang dihasilkan dari ekosistem haruslah diletakkan pada satu pemahaman yang mendorong terjaganya kelestarian ekosistem secara
berkelanjutan, berkeadilan (fairness) dan proporsional. Pemberian kompensasi atas pemanfaatan jasa lingkungan adalah merupakan suatu bentuk penghargaan atas jasa lingkungan. Membayar untuk penyediaan jasa lingkungan merupakan kebijakan inovatif yang menarik perhatian bagi banyak negara maju dan berkembang. Inovasi yang disebut sebagai “pembayaran jasa ekosistem” (ketika penekanannya pada peningkatan layanan alam) atau pembayaran jasa lingkungan (PJL) dapat memanfaatkan kekuatan pasar untuk mendapatkan hasil lingkungan yang lebih efisien. Dalam perspektif empiris menunjukkan bahwa kinerja dan potensi PJL memberikan hasil yang baik sebagai sebuah mekanisme untuk perlindungan lingkungan dan penanggulangan kemiskinan.
Air merupakan salah satu jasa ekosistem yang ketersediaannya semakin terbatas dan terjadi persaingan yang semakin sengit dalam pemanfaatannya di masa depan. Di sisi lain,
penggunaan sumberdaya air di sektor pertanian, khususnya dalam budidaya padi sawah (Oryza sativa), petani masih cenderung boros. Hal ini dikarenakan budidaya padi sawah menggunakan sistem penggenangan dan air dipandang sebagai barang public (public goods) yang pemanfaatannya bisa dilakukan oleh siapa saja dan tidak terbatas. Efisiensi air untuk irigasi yang ditempuh pemerintah selama ini adalah melalui pendekatan pengelolaan pasokan (suplly management) seperti penerapan sistem pergiliran air terbatas (low flow management) atau pola alir-putus-alir (intermittent) dalam kondisi air terbatas. Dalam jangka pendek kebijakan ini masih bisa dipertahankan, namun dalam jangka panjang pendekatan seperti ini dirasakan kurang efektif sehingga pola pengelolaannya harus diubah menjadi pengelolaan permintaan (demand manaagement) melalui penerapan harga air (Sumaryanto, 2006). Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa di masa depan ketersediaan air semakin langka dan kompetisi penggunaan air untuk berbagai sektor semakin meningkat. Meskipun secara teoritis volumetric pricing efektif untuk mendorong efisiensi, tetapi penerapannya di bidang irigasi sampai saat ini masih sangat terbatas karena infrastruktur pendukung dan kelembagaan pendukungnya seringkali tidak memadai (Boss and Walters, 1990; Tsur and Dinar, 1995).
Beberapa hasil studi di Asia dan Amerika Latin menunjukkan keberhasilan konservasi biodiversitas dan pengurangan pencemaran serta memperbaiki taraf hidup masyarakat sekitarnya adalah karena adanya kompensasi yang diberikan dalam pelestarian dan keberlanjutan jasa eksosistem (Pagiola, et al., 2005; Bulte, et al., 2008; Wunder, 2008; Cole, 2010). Studi yang dilakukan oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Bank Dunia memperoleh kesimpulan bahwa jasa ekosistem dalam bentuk penentuan harga air (water pricing) sangat diperlukan dalam perumusan instrumen kebijakan yang efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi maupun perbaikan kinerja irigasi (Johansson, 2000).
Membayar air yang dimanfaatkan sebagai irigasi padi sawah adalah merupakan kebijakan inovatif yang menarik perhatian bagi banyak negara maju dan berkembang. Inovasi yang disebut sebagai “pembayaran jasa ekosistem” atau pembayaran jasa lingkungan (PJL) dapat memanfaatkan kekuatan
pasar untuk mendapatkan hasil lingkungan yang lebih efisien. Temuan studi mendukung analisis yang menyatakan bahwa program PJL memiliki efek menguntungkan pada upaya konservasi sumberdaya alam dan juga dalam penanggulangan kemiskinan. McAfee, et al,(2010), dalam studinya di Mexico menunjukkan bahwa mekanisme PJL melalui penghargaan atas keberadaan ekosistem menjadi instrument yang baik dalam upaya menuju pelestarian pembangunan berkelanjutan di Meksiko. Pereira (2010), dalam studinya di Amazon menunjukkan kemampuan PJL untuk mendorong konservasi hutan melalui mekanisme pasar yang melibatkan pembayaran langsung untuk menghindari deforestasi.
Sungai Ayung adalah sungai terpanjang (68,5 km) di Provinsi Bali yang airnya dapat mengairi 3.723 Ha sawah beririgasi, tersebar di tiga wilayah kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Badung adalah pemanfaatan terbesar air Sungai Ayung karena dapat mengairi sawah seluas 2.575 Ha, sedangkan Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar memanfaatakan air Sungai Ayung untuk irigasi masing-masing seluas 20 Ha dan 1.128 Ha (BPDAS Unda Anyar, 2009). Disamping sebagai air untuk irigasi, air Sungai Ayung juga dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik masyarakat sekitar, air baku PDAM Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, kegiatan rafting, dan untuk aktivitas sosial budaya dan religious (melasti, nganyut, melukat, dan lainnya).
Menjadikan air Sungai Ayung sebagai sumberdaya yang gratis (free) dalam budidaya padi sawah cendrung akan membuat petani boros dan inefisien dalam pemafaatannya. Pemahaman bahwa air merupakan “produk” dari ekosistem sumberdaya alam dan lingkungan sehingga menjadi barang publik (public goods) perlu diluruskan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa air untuk irigasi tidak lagi sebagai barang yang bersifat non-exdudeable dan non-rivalry in consumption. Non-exdudeable artinya tidak ada orang yang dikecualikan untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari barang tersebut, sedangkan non-rivalry in consumption adalah tidak ada persaingan dalam pemanfaatan barang tersebut, Adanya sifat barang publik yang melekat pada air menyebabkan penggunaan air tidak efisien dan tidak ada batasan penggunaannya
Karena itu rumusan penentuan harga air untuk irigasi perlu dilakukan dalam upaya memberikan penghargaan atas jasa ekosistem hutan dan DAS dalam fungsinya menjaga siklus hidrologis dan terwujudnya penggunaan air untuk irigasi semakin efisien.
Berdasar atas latar belakang masalah di atas maka tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan besarnya harga air yang dimanfaatkan petani dalam berusahatani padi sawah di Kabupaten Badung. Untuk menjawab tujuan utama, sebelumnya akan dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah di Kabupaten Badung.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung yang ditetapkan secara purposive dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Badung adalah pemanfaat terbesar air irigasi yang mengalir di Sungai Ayung. Di Kabupaten Badung dipilih dua subak sebagai lokasi penelitian, yaitu Subak Mambal dan dan Subak Ayung yang diasumsikan dapat mewakili keberadaan usahatani padi sawah di Kabupaten Badung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – Agustus 2012 dengan data yang dikumpulkan adalah kegiatan usahatani padi sawah dalam dua musim tanam terakhir.
Berdasarkan jenis data, data yang akan dikumpulkan untuk penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berwujud angka, seperti : tingkat penggunaan input, harga masing-masing input, besarnya produksi, harga produksi, biaya usahatani, pendapatan usahatani padi, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian. Data kualitatif adalah data yang berwujud bukan angka tetapi informasi verbal, seperti, identitas responden, dan masalah air yang terjadi di daerah penelitian (Antara, 2010).
Data berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang di kumpulkan langsung
dari hasil wawancara, observasi dan pengukuran langsung di lapangan. Wawancara dilakukan dengan petani sampel, pengurus subak, tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh pertanian yang dapat di pertanggungjawabkan. Data skunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya yang mampu memberikan informasi terkait dengan penelitian ini, seperti data dokumentasi, arsip-arsip resmi dari pemerintah setempat, literatur serta data melalui internet (Soedjiono, 2008).
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan dua metode yaitu sebagai berikut : 1. Library research yaitu penelitian yang di lakukan dengan membaca berbagai buku-buku pustaka yang berhubungan dengan penelitin ini.
-
2. Field reseach yaitu pengumpulan data yang di peroleh secara langsung pada waktu penelitian dengan menggunakan metode sebagai berikut:
-
a) Observasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian mengenai kegiatan yang berhubungan dengan usahatani padi, masalah-masalah pengairan dan lainnya.
-
b) Wawancara, yaitu berupa tanyajawab langsung dengan responden dalam hal ini petani pengguna air di kedua subak tersebut.
-
c) Wawancara mendalam, yaitu wawancara yang di lakukan secara spesifik dan mendalam kepada responden dengan menggunakan pedoman wawancara. (Bungin, 2007)
Populasi merupakan kumpulan individu yang memiliki kualitas dan ciri-ciri yang telah di tetapkan. Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi serta respresentatif bagi populasi (Antara, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota Subak Mambal dan Subak Ayung yang menggunakan air irigasi dari Sungai Ayung. Jumlah populasi masing-masing subak adalah 462 orang untuk Subak Mambal dan 325 orang untuk Subak Ayung. Jumlah petani responden yang diambil di masing-masing
subak adalah 10 persen sehingga jumlah responden secara keseluruhan adalah sebanyak 78,70 atau dibulatkan menjadi 80 responden. Penentuan responden di masing-masing subak ditetapkan dengan menggunakan metode Simple Random Sampling.
Analisis nilai produktivitas marginal air (Marginal Value Product of Water)
Analisis harga air dengan menggunakan pendekatan nilai produktivitas marginal (NPM) dipergunakan untuk menentukan nilai atau harga air maksimum untuk tanaman padi sawah dengan asumsi bahwa petani berusahatani untuk tujuan mencapai keuntungan maksimum (maximize profit).
Untuk mendapatkan nilai air dengan metode ini dipergunakan pendekatan fungsi produksi Cobb Douglas (Gujarati, 2003), dengan model persamaannya sebagai berikut :
Y = b0 X1b1 X2b2 X3b3 X4b4 X5b5 X6b6 µ .....................(1)
Keterangan :
Y = Produksi padi (ton)
-
X1 = Luas tanam (ha)
X2 = Benih (kg)
X3 = Pupuk (kg)
X4 = Obat obatan/pestisida (lt)
X5 = Tenaga Kerja (HOK)
X6 = Air (Lt/dt)
b0 = Konstanta
b1, b2... b6 = Koefisien elastisitas µ = Kesalahan model
Fungsi produksi tersebut di atas ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural (ln) sehingga didapat model persamaan linier sebagai berikut : Ln Y = lnb0 + b1 lnX1+ b2 lnX2 + b3 lnX3 + b4lnX4 + b5 lnX5 + b6 lnX6+ µ.............................. (2)
Dengan menggunakan program perangkat lunak Eviews akan didapatkan nilai koefisien regresi (bi) dari masing masing faktor input, yang sekaligus menunjukkan besaran nilai elastisitas. Dengan mengasumsikan bahwa setiap petani akan selalu berusaha untuk memaksimumkan keuntungannya, maka harga dari setiap tambahan unit faktor input air yang digunakan adalah sama dengan nilai produk marginal air (NPMAir), yang secara matematis dapat
diturunkan sebagai berikut :
HAir, = NPMAir .........(3), oleh karena
NPMAir = PMAir x Hy .........(4), dimana
PMAir = ε . PR ......................(5)
Keterangan :
HAir = Harga air (Rp/M3)
PMAir = Produk Marginal air yaitu tambahnya produksi padi akibat tambahan satu satuan unit air.
PR = Produksi rata-rata
Hy = Harga padi (Rp)
ε = Elastisitas permintaan air
Analisis NPM digunakan sebagai “proxy” dalam menghitung nilai atau harga air maksimum untuk tanaman padi sawah dalam satu musim di Kabupaten Badung.
Subak Mambal terletak terletak di wilayah Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung dengan luas areal persawah 178 ha, terbagi ke dalam lima munduk, yaitu Munduk Semana (46,97 ha), Munduk Batuangsut (45,33 ha), Munduk Bedugul (47,25 ha), Munduk Kedampal (17,50 ha), dan Munduk Cungkub (20,95 ha). Subak ini mendapat aliran air Sungai Ayung dari Daerah Irigasi (DI) Kedewatan.
Pada tahun 2009 Subak Mambal mewakili Kecamatan Abiansemal dalam lomba P3A/Subak tingkat Kabupaten Badung dan Lomba Ketahanan Pangan Kabupaten Badung serta berhasil keluar sebagai juara I dengan predikat “Adi Kerta”. Pada tahun 2011 Subak Mambal kembali mewakili Kabupaten Badung dalam Evaluasi P3A/Subak tingkat Provinsi Bali dan berhasil menjadi Juara I sehingga Subak Mambal berhak mewakili Provinsi Bali dalam lomba P3A/Subak tingkat nasional di Jogjakarta. Jumlah anggota Subak Mambar adalah 462 orang yang terdiri dari anggota pasif dan anggota aktif. Penggolongan dua jenis keanggotaan ini didasarkan atas keterlibatan mereka dalam kegiatan subak dan besarnya iuran yang dibayarkan kepada subak.
Subak Ayung terletak Desa Buduk Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung mendapat aliran air irigasi Sungai Ayung dari DI Mambal. Subak ini
terbagi kedalam 10 munduk, yaitu Munduk Conto, Dualang, Dumpil, Uma Buwug, Tegal Peja, Tiyib, Batan Buana, Ganda Wangi, Pagpag, dan Culag Calig. Luas areal subak keseluruhan adalah 120 ha dengan jumlah anggota subak sebanyak 325 orang.
Secara keseluruhan karakteristik responden petani padi sawah di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik Responden Petani Padi Sawah, Tahun 2012
No. |
Karakteristik Responden |
Satuan |
Besaran |
1. |
Rata-rata umur |
Tahun |
51,94 |
2. |
Rata-rata pendidikan |
Tahun |
8,51 |
3. |
Rata-rata jumlah keluarga |
Orang |
3,94 |
4. |
Rata-rata luas kepemilikan tanah |
Ha |
0.30 |
5. |
Rata-rata pendapatan dari usatani |
Rp/th |
9.106.860 |
6. |
Rata pendapatan dari non usahatani |
Rp/th |
9.839.630 |
Sumber : Data Hasil Penelitian, 2012
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata umur responden adalah mendekati 52 tahun dengan kisaran usia antara 45-67 tahun. Petani dengan usia di bawah 50 tahun banyak ditemui pada responden di subak Mambal, sedangkan petani di atas 50 tahun banyak dijumpai pada responden di subak Ayung. Hal ini mengindikasikan bahwa generasi muda di daerah perkotaan tidak begitu tertarik untuk menggeluti sektor pertanian sebagai matapencaharian dan merasa lebih “terhormat” untuk bekerja di sektor jasa khususnya berkaitan dengan sektor perdagangan, hotel, restoran dan jasa lainnya. Alasan ini dimungkinkan karena kesempatan kerja di sektor jasa di daerah perkotaan lebih terbuka sedangkan profesi di sektor pertanian dipandang tidak layak karena tidak memberikan jaminan kemapanan ekonomi di masa depan. Bahkan banyak fakta menunjukkan generasi muda lebih memilih “menganggur” dibandingkan diminta bekerja di sektor pertanian. Hal ini dibuktikan dari sulitnya mendapatkan tenaga kerja buruh tani untuk bekerja
di sawah mulai dari saat pengolahan tanah sampai panen. Peluang kerja ini banyak diisi oleh tenaga kerja luar daerah yang lebih mampu beradaptasi dengan berbagai jenis pekerjaan yang tersedia di Bali.
Petani dengan usia relatif lebih muda banyak dijumpai di Subak Mambal. Bahkan salah satu pekaseh subak di daerah tengah, yaitu Subak Mambal adalah seorang sarjana pertanian yang berusia muda dan menekuni secara penuh profesi di sektor pertanian. Dia menyatakan profesi di sektor pertanian tidak lagi seperti dulu yang penuh keterbatasan dan saat ini tersedia banyak peluang yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dari olah tanah di sawah. Hanya memang diperlukan kerja keras dan tantangan, namun dari kerja keras ini nantinya akan diperoleh hasil yang sepadan. Banyaknya generasi muda bekerja di sektor pertanian di daerah pedesaan juga disebabkan karena akses untuk bekerja di sektor nonpertanian relatif terbatas. Di samping itu dengan rata-rata pendidikan setara SMP (9 tahun) mereka juga mempunyai ketrampilan lain yang bisa mendatangkan pendapatan disaat tidak banyak pekerjaan di sawah. Dengan rata-rata luas sawah garapan yang tidak terlalu luas (0,30 ha) mereka punya cukup banyak waktu untuk bekerja di sektor nonpertanian dengan mengambil berbagai pekerjaan sesuai ketrampilan yang dimiliki. Misalnya sebagai tukang atau buruh tukang, membuat anyaman dan lainnya ynag ternyata memberikan kontribusi pendapatan yang tidak kecil terhadap rumah tangga mereka. Secara umum di daerah penelitian menunjukkan bahwa tidak banyak perbedaan pendapatan responden yang bersumber dari sektor pertanian dan nonpertanian. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak lagi bersifat “inferior” dari sisi pendapatan dibandingkan sektor nonpertanian..
Kebutuhan air untuk padi sawah merupakan jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman padi dalam suatu periode siklus produksi mulai dari fase penyiapan lahan, pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan generatif dan proses pemasakan tanaman sampai panen. Penentuan harga air dengan pendekatan MVP atau nilai produk marginal (NPM) dipergunakan untuk menentukan harga input air yang dipergunakan oleh petani dalam satu siklus
proses produksi padi sawah dengan asumsi petani bertujuan memaksimumkan keuntungan. Jenis input yang dipergunakan dalam proses produksi padi sawah selain air adalah lahan, benih, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja, dan input ini adalah sebagai peubah tidak bebas.
Hasil analisis regresi dengan mempergunakan model Cobb-Douglas dimana produksi padi (Y) dipengaruhi oleh luas tanam (X1), jumlah benih (X2), jumlah atau dosis pupuk yang diberikan (X3), jumlah obat-obatan yang dipakai (X4), jumlah tenaga kerja yang dipergunakan (X5) dan besaran debit irigasi (X6) disajikan pada Tabel 2..
Berdasarkan hasil analisis regresi seperti terlihat pada Tabel 2, maka model persamaan penduga regresi adalah sebagai berikut.
LNY = 3,782 + 0,167 LNX1 +0,180 LNX2 + 0,284
LNX3 + 0,109 LNX4 + 0,173 LNX5 + 0,145
LNX6 ………………………………..(6)
Dari Tabel 2, juga dapat dilihat bahwa besarnya koefisien determinasi (R2) dari model adalah sebesar 0,772, yang artinya bahwa 77,20 persen peubah produksi padi dijelaskan atau ditentukan oleh peubah luas tanam, jumlah benih, jumlah pupuk,
jumlah obat-obatan, tenaga kerja dan air, sedangkan sisanya sebesar 22,80 persen ditentukan atau dijelaskan oleh peubah bebas yang lain. Berdasarkan uji parsial (uji t) seperti terlihat pada Tabel 2, menunjukkan bahwa semua peubah bebas yaitu peubah luas tanam, jumlah benih, jumlah pupuk, jumlah obat-obatan, tenaga kerja dan air berpengaruh sangat nyata terhadap produksi padi dengan taraf signifikansi kurang dari 0,01.
Koefesien regresi dari luas tanam sebesar 0,167 mempunyai arti bahwa apabila luas tanam ditingkatkan sebesar 10 persen akan menyebabkan terjadinya kenaikan produksi padi sebesar 1,67 persen . Kenaikan 10 persen terhadap penggunaan benih akan menyebabkan kenaikan produksi padi sebesar 1,80 persen, kenaikan penggunaan pupuk sebesar 10 persen mengakibatkan peningkatan produksi padi 2,84 persen, kenaikan penggunaan obat-obatan pemberantas hama dan penyakit tanaman sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan produksi padi sawah sebesar 1,09 persen, peningkatan penggunaan tenaga kerja 10 persen menyebabkan peningkatan produksi padi sebesar 1,73 persen dan apabila kebutuhan air ditambah 10 persen akan menyebabkan produksi padi sawah meningkat sebesar 1,45 persen. Besaran peningkatan
Tabel 2 Hasil Analisis Regresi
Variable |
Coefficient |
Std. Error t-Statistic |
Prob. |
C |
3.782 |
0.206 18.331 |
0.0000 |
LNX1 |
0.167 |
0.056 2.978 |
0.0034 |
LNX2 |
0.180 |
0.057 3.151 |
0.0020 |
LNX3 |
0.284 |
0.051 5.570 |
0.0000 |
LNX4 |
0.109 |
0.029 3.709 |
0.0003 |
LNX5 |
0.173 |
0.062 2.765 |
0.0064 |
LNX6 |
0.145 |
0.051 2.809 |
0.0057 |
R-squared |
0.772 |
Mean dependent var |
7.438400 |
Adjusted R-squared |
0.763 |
S.D. dependent var |
0.603958 |
F hitung |
80,958 | ||
Sumber: Hasil Analisis Data | |||
Keterangan: | |||
C = konstanta |
X4 = Obat-obatan/pestisida (Lt) | ||
X1 = Luas tanam (Ha) |
X5 = Tenaga Kerja (HOK) | ||
X2 = Benih (Kg) |
X6 = Air (Lt/dt) | ||
X3 = Pupuk (Kg) |
LN = Logaritma natural |
produksi padi sebesar nilai elastisitas itu terjadi dengan asumsi bahwa penggunaan input-input lainnya bersifat tetap. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari enam jenis penggunaan input untuk usahatani padi sawah, kontribusi pupuk dalam meningkatkan produksi padi sawah adalah paling tinggi dibandingkan dengan penggunaan inputinput lainnya.
Penjumlahan atas keenam koefisen elastisitas dari peubah bebas tersebut menunjukkan tingkat skala usaha dari usahatani padi sawah. Hasil penjumlahan koefisien adalah sebesar 1,058, yang berarti bahwa usaha tani padi sawah ini memiliki karakteristik atau kondisi increasing return to scale (IRS) dan sudah mendekati ke kondisi constant return to scale (CRS). Dengan kenaikan input sebesar 10 persen akan menyebabkan produksi padi sawah meningkat hanya sebesar 10,58 persen. Kondisi IRS yang hampir mendekati CRS ini menunjukkan bahwa penggunaan input masih bisa ditambah lagi dalam jumlah yang amat terbatas untuk mencapai produksi padi yang maksimal.
Dalam pengaturan masalah pembagian air irigasi untuk pertanian di Bali terdapat satu institusi yang bersifat otonom dan sosial religius yang disebut Subak. Subak merupakan sebuah multifacetted institution atau lembaga multifaset, karena subak dapat dilihat dari aspek hukum, aspek teknologi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek sosio-agraris, ekologi dan lainnya (Sutawan, 2008). Beberapa ciri penting dari subak adalah : (1) mempunyai batas wilayah yang jelas dan pasti, (2) merupakan lembaga irigasi yang bersifat formal, (3), adanya kegiatan ritual yang tidak terpisahkan dari manajemen irigasi subak, (4) mempunyai hak otonomi mengurus rumah tangganya sendiri, (5) memiliki sumber mata air bersama, dan (6) tiap anggota subak memiliki one inlet dan one outlet.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga air untuk irigasi yang dibayarkan oleh petani anggota subak atas pemanfaatan air irigasi dalam bentuk iuran subak adalah berbeda-beda untuk di masing-masing subak dan sepenuhnya ditetapkan melalui rapat anggota subak. Besaran iuran subak ini tidak sepenuhnya merefleksikan harga air yang sesungguhnya karena iuran subak yang dibayar
tidak sepenuhnya mencerminkan biaya pengadaan air. Demikian juga besaran volume air yang diterima petani tidak sepenuhnya didasarkan atas luas tanam padi sawah karena model pembagian air di masing-masing subak berbeda. Sebagai misal untuk luasan sawah 0,20-0,25 ha volume air yang diterima petani adalah sama, yaitu satu tetktek atau kecoran. Adnyana (2007), menyatakan bahwa setiap subak di Bali mengatur pembagian air irigasi dengan model dan istilah yang berbeda-beda. Misalnya untuk sawah seluas 0,25-0,35 are (satu bit tenah) berhak memperoleh air irigasi dengan model yang berbeda-beda, yaitu model temuku, memperoleh air dengan kisaran lebar saluran bagi air antara dua sampai empat nyari (jari), model blagbag (mendapat air dua jari), model langki (mendapat air dua jari), model bungbung (memperoleh air empat jari) dan model cakangan, juga memperoleh air empat nyari. Pengaturan pembagian air ini ditetapkan lewat rapat anggota subak dengan pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh kelian subak (pekaseh).
Dengan menggunakan pendekatan keuntungan maksimum (nilai produksi marginal atau NPM), hasil penelitian menunjukkan bahwa harga air untuk irigasi padis sawah adalah sebesar Rp 314.000/ha/musim. Harga air ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Ratnaningsih (2008), yang mendapatkan bahwa harga air untuk padi sawah berdasarkan pendekatan NPM adalah sebesar Rp 570/m3 atau Rp 285.000/ha/ musim. Harga air yang lebih besar ini disebabkan karena nilai marginal produk atas air di daerah penelitian (DAS Ayung) lebih besar dibandingkan dengan hasil nilai produksi penelitian di DAS Cimanuk.
Penelitian yang dilakukan oleh Sumaryanto dan Bonar Sinaga (2004) di wilayah irigasi teknis DI Brantas, Provinsi Jawa Timur menunjukkan secara agregat rata-rata bulanan harga bayangan air irigasi di pesawahan irigasi teknis Daerah Irigasi Brantas ad3alah sekitar Rp. 40.700/l/ dt atau sekitar Rp. 15,75/ m3. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa air irigasi merupakan barang ekonomi sehingga hukum-hukum ekonomi dapat diterapkan untuk mengestimasi “harga” sumberdaya tersebut. Asumsi lain adalah: (1) petani rasional, (2) air merupakan masukan dalam usahatani, dan (3) fungsi produksi komoditas pertanian adalah fungsi homogen sehingga teorema Euler berlaku. Siwi (2006), dalam penelitiannya di DI Van Der Wijce, Kecamatan
Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mempergunakan metode RIA (Residual Imputation Approach) mendapatkan nilai rata-rata air dalam setahun di daerah hulu adalah Rp 44/m3, di tengah dan di hilir masing Rp 32/m3 dan Rp 23/m3.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa selama ini rata-rata besarnya iuran subak yang dibayarkan petani kepada subak adalah sebesar Rp 100.000/ha untuk anggota aktif dan dua kalinya untuk anggota tidak aktif, yaitu Rp 200.000/ha pada untuk musim tanam padi. Pada dasarnya iuran subak yang mereka bayar tidak sepenuhnya merupakan kompensasi atas harga air yang dipergunakan, tetapi juga dimanfaatkan untuk keperluan yang lain seperti untuk biaya upacara di pura ulun suwi/ulun subak, perbaikan dugul atau pura subak, biaya konsumsi untuk kegiatan gotong royong perbaikan saluran air, dan kepentingan lainnya.
-
1. Hasil analisis fungsi produksi mendapatkan bahwa bahwa semua faktor produksi yaitu luas tanam, jumlah benih, jumlah pupuk, jumlah obat-obatan, tenaga kerja dan air berpengaruh sangat nyata terhadap produksi padi.
-
2. Berdasar hasil analaisis harga air dengan menggunakan pendekatan NPM didapatkan bahwa harga air maksimum untuk irigasi adalah sebesar Rp 314.000/ha/musim.
-
1. Sekalipun hasil perhitungan menunjukkan bahwa harga air maksimum yang dibayarkan petani untuk irigasi lebih besar dari iuran subak yang selama ini mereka bayarkan ke lembaga subak, namun pemerintah tidak dapat memberlakukan pendekatan harga air maksimum tersebut kepada petani. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor yang perlu disubsidi karena menyangkut kepentingan politis, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Sektor pertanian secara langsung dan tidak langsung juga telah memberikan kontribusi terhadap sektor pariwisata melalui sejumlah jasa lingkungan yang dihasilkannya.
-
2. Penentuan harga air dalam analisis ini lebih bersifat kajian ekonomi semata dengan memandang proses produksi padi sawah sebagai suatu kegiatan bisnis yang utuh. Dari pendekatan harga air ini memberikan gambaran bahwa sektor pertanian khususnya padi sawah dengan sistem irigasi konvensional (penggenangan) yang diterapkan selama ini cendrung mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar dan tidak efisien. Karena itu teknologi budidaya padi sawah yang hemat air perlu dikembangkan dan disosialisasikan secara terus menerus ke masa depan. Budidaya tanaman padi sawah dengan sistem SRI (System Rice Intensification) yang telah diperkenalkan kepada petani perlu terus dikembangkan.
-
3. Bantuan pemerintah provinsi dan pemerintah daerah yang selama ini untuk memperkuat eksistensi subak kiranya dimasa depan perlu juga diberikan kepada masyarakat hulu yang berperan dalam menjaga fungsi hidrologis hutan dan DAS Ayung. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa subak hanya bisa eksis apabila keberadaan air Sungai Ayung tetap berlanjut.
Daftar Pustaka
Adnyana, N. Sura. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Air Berbasis Subak. Makalah disampaikan pada Lokakarya Peningkatan Efektifitas Pengelolaan SDA Berbasis pada Lembaga Subak Provinsi Bali, 12 Desember 2007.
Antara, Made. 2010. Bahan Ajar Metodologi Penelitian Sosial. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
BPDAS Unda Anyar. 2009. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu SWP DAS Pangi Ayung. Buku I. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Denpasar.
Boss, M. G. and W. Walters.1990. Water Charges and Irrigataion Efficiencies. Irrigation and Drainage Systems. 4: 267 – 278.
Bulte, Erwin H, Leslie Lipper, Randy Stringer, David Zilberman, 2008. Payments for Ecosystem Services and Poverty Reduction: Concepts, Issues, and Empirical Perspectives. Environment and Development Economics 13: 245 254. Cambridge University Press.
Bungin, M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Cole, Rebecca J, 2010. Social and Environmental Impacts of Payments for Environmental Services for Agroforestry on Small Scale Farms in Southern Costa Rica. International Journal of Sustainable Development and World Ecology. London: Jun 2010. Vol. 17, Iss. 3; pg. 208.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics.. McGraw Hill Book Company. New York. Fourth Edition.
Johansson, R.C. 2000. Pricing Irrigation Water: A Literature Survey. The World Bank, Washington, D.C.
McAfee, Kathleen, Elizabeth N Shapiro. 2010. Payments for Ecosystem Services in Mexico: Nature, Neoliberalism, Social Movements, and the State. Association of American Geographers. Annals of the Association of American Geographers. Washington: Jul 2010. Vol. 100, Iss. 3; pg. 579.
Pagiola, S., A. Arcenas, and G. Platais (2005). ‘Can Paymentsfor Environmental Services Help Reduce Poverty? An exploration of the issues and the evidence to date from Latin America’, World Development 3 3: 23 7 25 3.
Pereira, S.N.C., 2010. Payment for Environmental Services in the Amazon Forest: How Can
Conservation and Development Be Reconciled? Journal of Environment & Development. La Jolla: Jun 20 10. Vol. 19, Iss. 2.
Ratnaningsih (2008). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk Terpadu Dengan Pendekatan Pembayaran Jasa Lingkungan. Disertasi. Jenjang Doktor Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta.
Siwi, A.J. Nilam, 2006. Penentuan Tarif Air Irigasi Sebagai Upaya Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Pada Usahatani Padi Sawah. Di Daerah Irigasi Van Der Wijce, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Soedijono. 2008. Suplemen Kuliah: “Metode Riset Bisnis”. Universitas Gunadarma. Jakarta.
Sumaryanto. 2006. Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Melalui Penerapan Iuran Irigasi Berbasis Nilai Ekonomi Air Irigasi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. 2, Desember 2006.
Sumaryanto, Bonar M. Sinaga. 2004. Estimasi Nilai Ekonomi Air Irigasi Dan Strategi Pemanfaatnanya Dalam Penentuan Iuran Irigasi. Pusat Penelitian Sosek Badan Litbang Pertanian, Bogor
Tsur, Y.and A. Dinar. 1995. Efficiency and Equity Considerations in Pricing and Allocating Irrigation Water. Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington, D.C.
Wunder, S., 2008. Payments for Environmental Services and Tthe Poor: Concepts and Preliminary Evidence. Environment and Development Economics 13: 279 297.
9
Discussion and feedback