Sosio Regligious Teks Persubakan Anggabaya Denpasar Timur Dalam Perspektif Ekolinguistik
on
Jurnal Bumi Lestari, Volume 24, Nomor 1, Tahun 2024, Halaman 85-94
Sosio Regligious Teks Persubakan Anggabaya Denpasar Timur Dalam Perspektif Ekolinguistik
Ni Made Suwari Antari a*, I Nyoman Suparwa b, I Nengah Sudipa a, Made Sri Satyawati b
-
a Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Jl. Nias, Kota Denpasar, Bali-Indonesia
-
b Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Jl. Nias, Kota Denpasar, Bali-Indonesia
*Email: [email protected]
Diterima (received) 1 Februari 2024; disetujui (accepted) 10 Februari 2024; tersedia secara online (available online) 14 Februari 2024
Abstract
Activities in the subak area display close integration between ritual patterns and agricultural procedures. This research aims to reveal socio-religious ideology in the Anggabaya East Denpasar subak’s texts. Research methods include the matching method and the agih method, with data obtained through interviews and direct observation of several respondents taken by sampling. In this subak, farmers practice high respect for God Vishnu and Dewi Sri, considered to be the givers of prosperity in the rice fields. Work in the rice fields is not only done physically but is also based on a religious aspect full of offerings and prayers. For example, farmers pray to Ratu Betara Sri, asking for safety when working in the rice fields by offering biukukung offerings. The agricultural process is directed through ritual stages, including ceremonies for rat pests. The farmer conveyed a prayer to Jero Ketut, begging the rats not to disturb him and asking for safety, "niki tiang nawegang ring jero ketut niki, ampunang ngusak asik, titiang nunas keselametan, mangde mekaon." Overall, the existence of religious and ritual elements in subak reflects the strong connection between spirituality and agricultural activities, creating harmony in the life of an agricultural society.
Keywords: ideology; rice fields; Betara Sri; rice prayers
Abstrak
Kegiatan di kawasan subak menunjukkan keterpaduan yang erat antara pola ritual dan tata cara pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ideologi sosial keagamaan dalam teks Subak Anggabaya Denpasar Timur. Metode penelitian meliputi metode pencocokan dan metode pengumpulan, dengan data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung terhadap beberapa responden yang diambil secara sampling. Dalam subak ini, para petani memberikan penghormatan yang tinggi kepada Dewa Wisnu dan Dewi Sri yang dianggap sebagai pemberi kemakmuran di sawah. Pekerjaan di sawah tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi juga didasari oleh aspek keagamaan yang penuh dengan sesaji dan doa. Misalnya, para petani berdoa kepada Ratu Betara Sri, memohon keselamatan saat bekerja di sawah dengan mempersembahkan sesajen biukukung. Proses pertanian diarahkan melalui tahapan ritual, termasuk upacara hama tikus. Petani itu menyampaikan doa kepada Jero Ketut, memohon agar tikus-tikus itu tidak mengganggunya dan meminta keselamatan, “niki tiang nawegang ring jero ketut niki, ampunang ngusak asik, titiang nunas keselametan, mangde mekaon”. Secara keseluruhan, keberadaan unsur religi dan ritual dalam subak mencerminkan keterkaitan yang kuat antara spiritualitas dan aktivitas pertanian sehingga menciptakan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat agraris.
Kata Kunci: ideologi; sawah; Betara Sri; doa
doi: https://doi.org/10.24843/blje.2024.v24.i01.p09
© 2019 by the authors; Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by Udayana University, Indonesia.
Perhatian dan fokus pada tulisan ini diarahkan ke dalam lingkup bahasa serta dokumentasi sosial dan budaya yang dilakoni sehari-hari oleh komunitas tutur Bahasa Bali, khususnya pada ranah budaya dan ritual persubakan Anggabaya. Menurut Windia (2008), “Komunitas petani di Bali adalah masyarakat hukum adat yang sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah”. Perkumpulan petani Bali yang disebut subak ini dibentuk untuk mewadahi dan mewujudkan harapan –harapan sederhana masyarakat agraris. Seperti misalnya lahan persawahan tetap subur, kebutuhan air irigasi terpanuhi, masalah hama terkendali, sehingga panennya bagus. Ternyata harapan-harapan yang sederhana itu memerlukan aktivitas dan sarana yang demikian variatif, seperti misalnya penyesuaian jenis tanaman dengan musim tanam yang berorientasi pada musim hujan dan musim panas (Putra et al., 2018). Sarana upacara/ ritual tertentu dilaksanakan secara runut. Semua aktifitas sebagai praktik sosial itu menggunakan bahasa, yaitu bahasa Bali.
Ada leksikon–leksikon/istilah bahasa Bali sebagai yang utama, maupun bahasa Indonesia ranah persubakan yang khusus digunakan mulai dari memilih hari baik sesuai perhitungan wariga/ kalender Bali. Kemudian memilih hari baik untuk menyemai bibit, mengolah tanah misalnya membajak sawah, merapikan dan lain sebagainya. Selanjutnya menanam dan menjemput air. Bibit yang ditanam dipantau dari saat pembentukan bulir sampai tumbuh bulir-bulir padi dan berlanjut pada saat panen. Semua aktivitas memiliki leksikon dan teks tertentu dalam bahasa Bali (Aridawati, 2020). Demikian pula saat dilakukan aktivitas nangluk merana (mengusir hama), ada rincian leksikon dan filisofinya. Filosofi yang dimaksud bahwa hama tersebut tidak dibasmi tetapi disupat / didoakan semoga roh hama itu reinkarnasi menjadi makhluk hidup yang bermanfaat positif terhadap kesinambungan umat manusia dan lingkungan sekitar.
Komunitas petani di Subak Anggabaya yang berbahasa dan berbudaya Hindu Bali ini mempunyai keunikan adat istiadat dan budaya yang melatarbelakangi kegiatan pertanian, perladangan dan peternakan yang mereka lakukan sehari-hari. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan ideologi ternyata berdampak pada rendahnya minat generasi muda terhadap profesi sebagai petani, karena mulai terjadi perubahan pemanfaatan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri pariwisata dan sarana penunjang industri pariwisata yang lebih menjanjikan secara komersil. Kondisi sosio-religious dari aktivitas persubakan lambat laun akan terkikis berikut dengan leksikok-leksikonnya.
Penelitian tentang sosio religious teks Subak Anggabaya Denpasar Timur dalam perspektif ekolinguistik belum pernah dilakukan. Penelitian yang mendekati dengan topik sosio religious ada beberapa diantaranya terkait dengan penerapan Tri Hita Karana di perkotaan (kasus Subak Anggabaya), memperoleh hasil bahwa penerapan Tri Hita Karana di Subak Anggabaya, termasuk kategori sangat baik dengan tata-rata pencapaian skor sebesar 87,03 %. Rata-rata pencapaian skor unsur parahyangan 86,66 %, unsur pawongan 90,00 % dan unsur palemalan 84,44 %. (Sudarta, 2009). Penelitian yang hampir senada tentang implementasi filsafat Tri Hita Karana untuk keberlanjutan Subak Anggabaya sebagai subak lestari, mendapatkan bahwa implementasi Parhyangan atau nilai-nilai, khususnya implementasi awig-awig subak (peraturan subak), memegang peranan paling penting dalam menopang eksistensi Subak Anggabaya sebagai subak lestari di Denpasar (Wijayanti dan Windia, 2021). Kondisi sosio religious ini membentuk cara pandang tersendiri bagi petani terhadap keberadaan subak.
Cara pandang masyarakat subak pada jaman dahulu berbeda dengan sekarang. Hal itu disebabkan oleh karena dahulu sebagian besar masyarakat subak menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian, sehingga pola ritual dan tata cara pertanian tidak dapat dipisahkan (Artajaya et al., 2016). Kondisi ekologisnya juga mendukung yang mana kesuburan lahan pertanian dan hasil panen yang berlimpah sejalan dengan ketersediaan air yang teratur dan memadai. Oleh sebab itu, secara spiritual dilakukan ritual pemujaan terhadap Dewa Wisnu dan saktinya Dewi Sri. Konsep Sakti bermakna ilmu yang diamalkan dalam kerja. Secara nyata dirancang suatu sistem pengairan yaitu sistem Subak. Variasi bahasa yang digunakan pada saat melaksanakan aktifitas pemujaan ini juga khas, yang merupakan apresiasi agraris dan sekaligus merupakan tindakan konservasi terhadap lingkungan. Spirit kearifan agraris ini kemudian melahirkan peradaban air dalam sistem pengairan pada aktifitas pertanian tradisional Bali. Selain unsur air, kearifan agraris juga menyangkut objek vital lain yaitu unsur tanah atau ibu Pertiwi dan unsur
matahari atau Surya. Disamping memuja dewa-dewa, krama subak di Subak Anggabaya secara periodik pada sasih tertentu melaksanakan upacara mecaru untuk mengatasi hama. Upacara ini dilakukan bersama-sama dengan subak lain yang masih dalam satu krama desa yaitu Desa Anggabaya. Melihat keunikan dari aktivitas di Subak Anggabaya maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap ideologi sosio-religius dalam teks-teks persubakan Anggabaya Denpasar Timur.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data yang dihimpun melalui penelitian lapangan, semuanya merupakan data verbal berupa kata-kata, tidak dalam bentuk angka (Miles dan Huberman, 1992). Karena penelitian ini merupakan penelitian bidang linguistik, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang lazim digunakan dalam penelitian kelinguistikan, khususnya dalam menganalisis data, yaitu metode padan dan metode agih. Analisis dilakukan terhadap data yang telah dipilih, menggunakan teknik-teknik analisis yang bersifat deskriptif-argumentatif dan kualitatif. Konsepsi metodologis kualitatif dalam penelitian ini mengacu pada konsepsi epistemologis fenomenologi versi Husserl sebagai landasan filosofisnya, yang menyatakan bahwa objek ilmu tidak hanya terbatas pada data sensual (empirik), tetapi mencakup fenomena yang tidak lain daripada persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek tentang sesuatu di luar subjek, ada sesuatu yang transenden di samping yang aposteriorik (Muhadjir, 1996.
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu data lisan dari hasil wawancara dengan sejumlah narasumber dan penutur di Subak Anggabaya yang mengetahui dan memahami pola, sistem, dan tradisi persubakan menggunakan metode sampling yaitu informan dipilih berdasarkan tujuan penelitian. Dengan metode sampling ini tidak semua masyarakat subak Anggabaya dijadikan informan, tetapi beberapa orang ditetapkan sebagai informan sebagai wakil seluruh populasi yang diteliti. Pengumpulan data diakhiri bila peneliti menganggap tidak memperoleh informasi baru. Ada data tertulis yang didapat dari artikel-artikel, buku-buku, yang berkaitan dengan persubakan dan budaya di Bali.
Areal persubakan sejak zaman dahulu di Bali terkenal keramat/angker (tenget), konsep tenget ini juga secara tidak langsung bermanfaat menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Selain subak, makam juga dikenal angker seperti Makam Keramat Agung Pemecutan (Adnyani et al., 2016; Hudaningsih et al., 2014). Misalnya petani tidak berani menebang pohon sembarangan, dan jika terpaksa harus menebang kayu, petani akan menanam pohon lain yang tidak mengganggu dan lebih bermanfaats. Menjaga kebersihan lahan pertanian sangat penting di lahan persawahan, karena petani sangat mengormati Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Sehingga upacara keagamaan selalu dilakukan untuk merencanakan dalam memilih hari baik untuk mulai penanaman. Demikian juga saat akan mulai membuat bibit, bulir padi mulai muncul hingga saat panen. Masyarakat mempercayainya karena hal tersebut merupakan warisan turun temurun yang membentuk kebudayaan dan kebiasaan. Oleh karena itu secara filosofis subak adalah wujud dari adat istiadat dalam bungkus kebudayaan. Kebudayaan menjadi penting bagi kehidupan manusia untuk mengatur kehidupan yang harmonis dalam berinteraksi di masyarakat tak terkecuali interaksi yang terjadi dalam budaya agraris di lahan persawahan. Seiring dengan perjalanan waktu, kebudayaan suatu daerah lambat laun berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat pemahaman masyarakat, sejalan dengan perubahan peralatan yang digunakan serta sejalan dengan cara masyarakat dalam memanfaatkan teknologi yang ada. Oleh karena itu masyarakat akan terus melakukan tindakan yang sifatnya eksploratif dan eksploitatif guna menemukan hal-hal, baik cara maupun alat yang lebih efisien agar dapat mencapai hasil yang optimal.
Konsep petani subak dalam bekerja sangat sederhana serta menganggap pekerjaan di sawah itu tidaklah rumit. Mereka mengungkapkan dengan pernyataan “disawah nike ten je munapi, ngurus toye, ngurus traktor, bibit, pupuk” yang artinya di sawah itu tidak sulit, mengurus air, traktor, bibit, pupuk.
Tabel 1. Pemahaman Bahasa
Bahasa Bali |
Bahasa Indonesia |
Jenis Bahasa |
Di sawah |
Di sawah |
Biasa |
Nike |
Itu |
Biasa |
Ten je |
Tidaklah |
Biasa |
Munapi |
Seberapa/Sulit |
Halus |
Ngurus |
Ngurus |
Biasa |
Toye |
Air |
Halus |
Traktor |
Traktor |
Biasa |
Bibit |
Bibit |
Biasa |
Pupuk |
Pupuk |
Biasa |
Ungkapan ini mengandung makna bahwa pekerjaan di sawah sudah rutin dilakukan sehingga permasalahan yang mungkin akan timbul sudah dapat diduga dan diperhitungkan oleh para petani. Di samping itu, ada kesan pula bahwa pekerjaan di sawah dari dulu hanya begitu-begitu saja, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Apabila dibutuhkan melebihi dari kebutuhan dasar maka pekerjaan hanya dengan mengolah sawah saja akan sulit memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini mengingat luas garapan sawah petani subak Anggabaya rata-rata hanya seperempat hektar (25 are). Ungkapan tersebut juga mengindikasikan bahwa mengandalkan pekerjaan bertani saja tidaklah cukup dan perlu adanya substansi pekerjaan lain untuk meningkatkan penghasilan. Salah satu upayanya dengan menanam bunga-bungaan untuk bahan sesajen sehari-hari baik untuk diri sendiri maupun dijual. Keberadaan tanaman bung aini sangat menunjang aktivitas ritual untuk menjaga kondisi sosio-religious masyarakatnya tetap berlangsung.
Subak sebagai bagian dari satu kawasan ekologis, adalah sebuah kawasan yang menghasilkan oksigen yang segar mampu menampung air yang berlebih untuk mencegah banjir menghadirkan pemandangan alam yang menyejukkan dan menjadi media bagi kehidupan aktivitas kultural dan spiritual. Kombinasi dari semua itu menghasilkan kondisi yang lebih nyaman bagi penghuninya. Kondisi religiousnya ditunjang oleh keberadaan Pura Subaknya.
Kehadiran subak lestari di desa Anggabaya bisa menjadi kawasan yang sangat penting bagi masyarakat, guna mempertahankan pura subak, awig-awig subak serta aktivitas religius kemasyarakatan dan potensi ini lebih lanjut akan memiliki nilai jual seperti menjadi objek pariwisata “supaya tidak cepat alih fungsi” begitu pernyataan informan. “Tiang menginginkan subak niki tetap adanya” katanya lebih lanjut yang artinya ‘saya ingin agar subak ini tetap lestari’. Sempat ada rencana pengembang yang mau melakukan alih fungsi lahan lewat jalur belakang dengan membangun jembatan lalu kata informan “tombang tiang” yang artinya ‘tidak saya berikan’. Pernyataan ini sangat tegas menunjukkan kepedulian masyarakat akan kelestarian kegeradaan subak beserta lingkungan religiusnya.
Tabel 2. Pemahaman Bahasa
Bahasa Bali |
Bahasa Indonesia |
Jenis Bahasa |
Tiang |
Saya |
Halus |
Niki |
Ini |
Halus |
Tombang |
Larang |
Biasa |
Perkembangan subak di Bali khususnya subak Anggabaya tidak lepas dari pengaruh kekuatan Barat yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan, seni serta filsafat. Akan tetapi, seberapapun kuatnya masyarakat Bali dalam menjalankan tradisi secara turun temurun maka kekuatan tersebut tidak serta
merta dapat mengubah substansi dan tata nilai yang berlaku di persubakan. Dunia Barat malah cenderung berupaya melestarikan budaya unik ini sehingga beberapa subak di Bali diakui sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Hal ini dilakukan untuk melestarikan kondisi adat serta sosio-religius areal persubakan.
Sudah terbukti sejak 10 Abad yang lalu hingga kini sistem subak masih tetap dipelihara oleh masyarakat, meski dengan berbagai tantangan. Oleh karena itu, generasi masa kini harus mampu melestarikannya. Hal ini agar masyarakat yang bergabung dalam sistem subak dapat tetap mempersembahkan nilai-nilai budayanya. Untuk dapat tercapai hal tersebut, masyarakat perlu melakukan berbagai tindakan strategis. Seperti pemberdayaan masyarakat sangat penting secara terus menerus dilakukan sehingga sistem subak bisa lestari dan bahkan semakin kuat.
Pembangunan fisik di Kota Denpasar tidak serta merta menjadi kanibal bagi sawah dan subak di kawasan Anggabaya. Jangkauan pengaturan subak lestari adalah dalam rangka memberi jaminan agar sistem subak di Kota Denpasar tetap lestari sekaligus melestarikan sosio religious nuansa subak. Dengan demikian, maka apa yang kini dinikmati oleh generasi sekarang, dapat juga masih dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dalam hal ini petani yang bahagia sebagai petani perlu terus diupayakan. Apabila tidak, subak akan sulit untuk dipertahankan karena inti dari sistem subak adalah petani.
Pekerjaan di sawah di samping dilakukan secara fisik, juga secara religious penuh dengan sesajen dan doa-doa. Doa-doa ini ada yang dilakukan secara kolektif dan ada juga dilakukan perorangan. Hal yang sama juga dilakukan di Subak Wangaya Beten misalnya, yang mana aktivitas keagamaan di subak dikelompokkan menjadi dua yaitu upacara yang bersifat kolektif dan yang dilakukan oleh perseorangan (Lestari et al., 2015). Aktifitas keagamaan kolektif dilakukan dalam bentuk Ngusaba Nini yang diselenggarakan oleh krama subak dan krama desa adat Anggabaya. Aktivitas keagamaan perseorangan (individual) dilakukan oleh pemilik sawah dan penggarap sawah sebagai krama subak. Doa yang digunakan oleh seorang petani diataranya “ratu betare sri titiang nunas keselametan mekarye ring sawahe niki titiang ngaturang banten sesayut, yang artinya, Ratu Betara Sri (Dewa Padi) saya minta keselamatan bekerja di sawah ini, dengan ini saya menghaturkan banten sesayut. Permohonan ini dilakukan sesuai dengan tahapan dalam bekerja di sawah. Demikian juga ketika menghalau hama tikus yang sering membuat petani gagal panen, juga mengunakan sarana upacara dengan doa seperti “niki tiang nawegang ring jero ketut niki, ampunang ngusak asik, titiang nunas keselametan, mangde mekaon” yang artinya dengan ini “saya mohon kepada Jero Ketut (panggilan halus kepada tikus), jangan mengganggu, saya mohon keselamatan, supaya pergi”. Sesajen yang digunakan berupa “segehan cacahan poleng medaging bawang jahe sabilang bucu, nganggen kau bulu tatakanne” kata seorang petani. Artinya, sesajian berupa nasi putih hitam berisi bawang, jahe di setiap sudut, mengunakan tempurung kelapa sebagai alasnya. Semua itu dilakukan oleh petani karena sawah merupakan tempat yang sakral.
Handayani, (2018) yang melakukan penelitian tentang slametan musim tanam padi di Ngemplak, Sambikerep, Surabaya menulis bahwa sawah tidak hanya menjadi tempat bekerja bagi masyarakat petani, tetapi juga menjadi tempat sakral yang diyakini dikuasai oleh makhluk gaib, yang mereka sebut dayang (Mbok Sri atau Dewi Sri). Dayang ini yang diyakini memberikan kesuburan pada sawah serta tanaman (padi khususnya sebagai tanaman pokok yang mereka tanam). Selametan atau ritual ini akan terus dilestarikan seperti ritual budidaya padi ladang Rion-rion dan Orom Sasadu masih dimaknai dan dilestarikan oleh suku Sahu Jio Tala’i Padusua karena memiliki nilai-nilai historis, kerja sama, kekeluargaan, kerukunan dan perayaan syukuran panen padi ladang (Nindatu et al., 2018). Demikian juga Sedekah bumi masih dirayakan di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Namun proses pelaksanaan sedekah bumi tersebut sudah mengalami transformasi dengan digabungkan dengan perayaan hari besar kegamaan (Nugraha dan Supriatna, 2020).
Tradisi ritual sengkelan padi dilaksanakan di Desa Telaga Dua Kecamatan Binjai Hulu. Ritual yang dilaksanakan satu kali dalam satu tahun, memohon agar hasil padi bisa maksimal (Karolina et al., 2018). Sementara Ritual ala baloe (makan baru padi) yang dilakukan oleh masyarakat adat Bampalola Kecamatan Alor Barat Laut Kabupaten Alor diyakini dapat mempererat hubungan antara manusia dengan Tuhan (urfet lahtal), alam, dan sesama manusia karena pekerjaan bertanam padi merupakan pilar utama masyarakatnya (Langkameng, 2015). Kemudian penerapan budaya-budaya lokal atau kebiasaan yang diyakini, maka hal ini dapat mempertahankan budaya dahulu dan juga dapat menumbuhkan rasa persaudaraan, kebersamaan, dan saling menolong antar sesame (Widan et al., 2012).
Di kawasan Subak Anggabaya ada pura subak, atau ulun suwi atau beraban atau bedugul. Pada zaman dahulu pura subak ini ada di pura desa kemudian dipindah ke utara 15 tahun yang lalu. Sehubungan dengan adanya subak lestari, ada bantuan dari pemerintah Kota Madya Denpasar untuk memugar pura subak yang ada di Desa Anggabaya. Karena itu dilaksanakan lagi upacara memungkah. Dalam upacara memungkah ini seorang petani mengatakan “gede bantenne nike” yang artinya “besar biaya upacaranya itu”. Di pura subak yang baru ini terdapat pelinggih Betara Wisnu, Betara Sri dan Anglurah. Ungkapan gede bantenne mengindikasikan bahwa dalam menjaga kondisi sisio religious di areal persubakan Anggabaya, besar biayanya dan juga besar kontribusi tenaga yang diperlukan. Kalau hal ini ke depan tidak ditunjang oleh kemajuan perekonomian masyarakat, maka akan sulit untuk dipertahankan.
Tabel 3. Pemahaman Bahasa
Bahasa Bali |
Bahasa Indonesia |
Jenis Bahasa |
Gede |
Besar |
Biasa |
Bantenne |
Upacaranya |
Biasa |
Nike |
Itu |
Halus |
Terkait dengan ritual pada proses penanaman padi, selalu didahului oleh acara magpag toya di empelan oleh seluruh krama subak dengan sarana “mapekeling mepejati” yang artinya melakukan upacara pemberitahuan dengan sarana pejati (nama sebuah bingkisan upacara). Acara ini dibarengi dengan suatu ritual dengan dipuput oleh salah satu mangku kayangan tiga dengan mantra, sedangkan masing-masing petani atau krama subak juga melakukan upacara magpag toye di pengalapan sawahnya masing-masing, dibarengi pula dengan ritual mendak toya yang dilakukan oleh masing-masing pemilik sawah dengan pengucapan sehe sebagai mantra dengan bahasa Bali sehari-hari. Rangkaian kegiatan ritual ini sangat erat kaitannya dengan usaha masyarakat dalam menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan juga manusia dengan Tuhan (Aridawati, 2020).
Sehe adalah mantra yang dilafalkan oleh petani dalam berdoa dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh banyak orang. Sehe atau mantra ini ternyata sedikit berbeda dari satu tempat dengan tempat lain. Mahyuni dan Sudartomo (2017) yang melakukan penalitian di Riau mendapatkan bahwa bentuk mantra dukun beranak berupa pantun, prosa lirik dan puisi bebas yang difungsikan untuk mempercepat proses kelahiran, mengatasi kesulitan saat melahirkan, mengatasi kelahiran yang menyimpang, dan keselamatan bagi perempuan dan bayinya serta pewarisan mantra terbuka untuk umum. Ratna (2013) mendapatkan bahwa pantun yang digunakan terdiri atas empat baris dengan sajak a-b-a-b. Setiap baris terdiri atas delapan hingga dua belas suku kata, dengan kiasan atau sampiran dan isi. Lebih lanjut Ratna (2013) menambahkan bahwa prosa liris diartikan sebagai bentuk karya sastra yang relatif bebas tetapi didominasi oleh ciri-ciri puisi seperti irama, rima dan dengan sendirinya perasaan pengarang secara subjektif. Sedangkan sehe di Bali, khususnya di subak Anggabaya hanya berupa permohonan keselamatan dan keberhasilan panen dengan kata-kata bahasa Bali halus. Ada sesuatu yang khas di subak Anggabaya, yaitu bahasa Bali halus hanya digunakan saat acara ritual keagamaan, dan saat berkomunikasi dengan tamu. Sedangkan saat berkomunikasi dengan sesama krama Subak, mereka menggunakan bahasa Bali biasa.
Sudarta dan Dharma (2013) mengungkapkan bahwa kegiatan ritual dalam subak berfungsi sebagai penguat organisasi subak, sedangkan pura dianggap sebagai pengawas atau kontrol sosial secara alam gaib atau niskala. Lebih lanjut Windia et al., (2015) menulis bahwa aspek ritual memegang peranan penting dalam aktivitas fungsi sistem subak yang diterapkan petani secara turun temurun di Bali. Pelaksanaan ritual usahatani padi salah satu indikator yang dapat dijadikan sebagai parameter penilaian terhadap keberlanjutan organisasi subak dan pertanian Bali. Dalam pelaksanaan lebih lanjut, ada pergeseran makna yang terjadi antara subak di kota dengan subak di desa dalam hal ritual. Artajaya et al., (2016) mendapatkan bahwa pelaksanaan ritual bertani padi pada subak kawasan perdesaan lebih baik
dibandingkan pelaksanaan ritual bertani padi sawah pada subak kawasan perkotaan dengan selisih perbandingan sebesar 6,35%.
Setelah ritual mendak toya ada kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh sekan jelinjingan selama tiga kali. Sekan jelinjingan ini merapikan saluran air, memperbaiki empelan, karena empelan ini seringkali rusak akibat dirusak oleh yuyu dan kakul. Dalam kegiatan gotong-royong yang dilakukan sebanyak tiga kali, idealnya seluruh sekan jelinjingan hadir dan aktif bergotong-royong memperbaiki saluran air dan empelan. Jika salah satu anggota sekan jelinjingan hanya hadir dua kali, mereka harus membayar pengoot atau denda sebesar Rp. 5000 per are sawah (di Subak Anggabaya). Setelah membayar denda, maka mereka sudah bisa diterima menjadi anggota subak. Besaran denda berbeda antara daerah satu dan daerah lainnya sehingga denda di Subak Melayu sebesar Rp. 25.000 per are. Perbedaan ini bergantung pada berat ringannya kegiatan perbaikan saluran air dan empelan.
Rapat paruman dilakukan oleh krama subak untuk menentukan saat atau waktu nanceb, ngewiwit atau menanam bibit padi. Juga untuk memastikan jenis atau varietas padi yang ditanam sesuai dengan musim dan permintaan oleh tukang pajeg padi atau tukang tebas. Terkait dengan permintaan pembeli yang dalam hal ini tukang tebas, seorang petani berkomentar “anggon gene nanem yen sing nyak beline” artinya “untuk apa menanam kalau tidak mau dibeli”. Pemajeg ini bisa datang dari luar desa atau dari dalam desa.
Tabel 4. Pemahaman Bahasa
Bahasa Bali |
Bahasa Indonesia |
Jenis Bahasa |
Anggon |
Untuk |
Biasa |
Gene |
Apa |
Biasa |
Nanem |
Menanam |
Biasa |
Yen |
Kalau |
Biasa |
Sing |
Tidak |
Biasa |
Nyak |
Mau |
Biasa |
Beline |
Dibeli |
Biasa |
Duapuluh lima hari sebelum saat nanceb atau menanam, dilakukan langkah mewinih atau ngewiwit atau membuat benih yang didahului dengan upacara tertentu. Yang bertugas untuk membuat banten yang dihaturkan di Pura Bedugul adalah pangliman. Sehubungan dengan tugas-tugas persubakan, mangku kahyangan tiga yang bertugas nganteb di Pura Ulun Suwi dapat keringanan tidak melakukan pengayah ayah. Di areal sawah masing-masing krama subak menghaturkan canang dan segehan di pelinggih yang namanya Bedugul Carik atau Sanggah Tutuan. Setelah padi berumur 42 hari atau abulan pitung dine, ada upacara melupus atau biu kukung menjelang padi hamil. Pada kenyataan di lapangan, padi cicih hamil saat berumur tanam 55-60 hari yang mana lebih cepat dibandingkan dengan jenis padi del yang mencapai usia hamil saat berumur tanam 70 hari meskipun telah dilakukan pemupukan.
Sistem pemeliharaan padi dilakukan dengan pemupukan kimia atau dengan sistem anorganik. Sejalan dengan perkembangan jaman dimana tingkat pemahaman masyarakat meningkat, maka sistim pertanian organik akan lebih menguntungkan. Sugarda et al., 2008 dan Mayrowani, 2012 mengungkapkan bahwa pada hakikatnya pertanian padi organik metode SRI (system of rice intensification) lebih menguntungkan dibanding anorganik sekaligus berwawasan lingkungan seiring peningkatan kesadaran masyarakat akan bahayanya makanan non organik.
Saat setelah mebiu kukung, saat padi mulai berbulir, ada acara nuduk nini berupa mengambil beberapa tangkai padi dengan upacaranya diikatkan di pohon padi. Kalau sudah panen, ikatan padi itu atau nini ditaruh di Bedugul Carik. Kemudian dibawa pulang ke rumah petani masing-masing dan diletakkan di gedong pemrajan masing-masing (bagi yang tidak punya jineng). Tapi bagi yang punya
jineng, diletakkan di jinengnya. Setelah itu dipilih hari baik yang terdekat dengan saat ngelinggihang untuk melakukan upacara ngulapin nini atau Dewi Sri dengan banten tertentu sesuai kemampuan dan saat nyiratin tirta dipakai bongkol batang padi, tidak pakai bunga.
Setelah panen ada masa jeda satu bulan yang disebut ngeneng. Siklus penanaman padi di Subak Anggabaya ini adalah dua kali menanam padi dan sekali menanam palawija. Palawija yang ditanam biasanya kedelai dan semangka. Saat penaman palawija ini, pembagian air tetap berlangsung walau debit airnya berskala kecil, sesuai dengan jenis palawija yang ditanam.
Pada setiap kali panen, sebenarnya ada upacara ngusaba nini, walaupun dengan sekala kecil. Upacara ngusaba nini berskala besar tidak dimungkinkan dilaksanakan karena kondisi perekonomian saat ini yang tidak terjangkau oleh petani. Ada keinginan masyarakat untuk menyederhanakan semua aktivitas beryadnya yang lain karena waktu dan tenaga yang terbatas. Karena kalau dijumlahkan, pelaksanaan semua jenis upacara yadnya itu mengambil 80% dari waktu petani dalam sebulan. Masyarakat berkomentar “sing nyidang ekonomine maju yen terus kene” yang artinya “ekonomi tidak bisa berkembang kalau terus begini”.
Tabel 5. Pemahaman Bahasa
Bahasa Bali |
Bahasa Indonesia |
Jenis Bahasa |
Sing |
Tidak |
Biasa |
Nyidang |
Bisa |
Biasa |
Ekonomine |
Ekonominya |
Biasa |
Maju |
Maju |
Biasa |
Yen |
Kalau |
Biasa |
Terus |
Terus |
Biasa |
Kene |
Begini |
Biasa |
Hasil panen padi di subak Angabaya tidak setiap saat dapat menghasilkan panen yang optimal. Hasil panen padi akan maksimal pada musim tanam bulan April atau sasih kedase untuk sistem kalender Bali. “Yen peanyine sane becik, kedase wawu” kata petani yang artinya “kalau hasil panen yang baik adalah pada bulan April”.
Tabel 6. Pemahaman Bahasa
Bahasa bali |
Bahasa indonesia |
Jenis Bahasa |
Yen |
Kalau |
Biasa |
Peanyine |
Panen |
Biasa |
Sane becik, |
Yang bagus |
Halus |
Kedase |
Bulan sepuluh kalender bali atau sama dengan bulan april |
Biasa |
Wawu |
Barulah |
Halus |
Dalam kalender masehi, pada bulan April adalah bulan setelah berhentinya musim hujan yang mana alam sedang subur-suburnya dan intensitas matahari juga sedang maksimal. Subur berarti intensitas hujan sebelumnya masih tersedia dengan cukup stoknya di alam untuk mengairi sawah. Danau, embung, DAM dan mata air masih menyediakan air yang cukup sebagai kebutuhan vital bagi sistem pertanian di subak Angabaya.
Di Desa Pematang Sikek, penanaman padi dilaksanakan di bulan Januari tiap tahunnya yang disebut oleh masyarakat petani dengan kata “sadon” atau juga yang lebih dikenal dengan istilah “nyadon”. Nyadon biasanya dilakukan setelah panen tanam tahunan berakhir dan dalam kurun waktu sebulan para petani vakum dari kegiatan bertani. Nyadon ini dilakukan karena meningkatnya hasil pertanian dengan menggunakan bibit varietas unggul (Karmila, 2014).
Kalau ada musim panen yang baik, maka juga ada musim panen yang kurang baik karena beberapa faktor. Seperti di Desa Wonojati, penurunan kualitas hasil panen padi disebabkan oleh serangan hama dan penyakit, pemupukan berlebihan, penyempitan saluran air dan pendidikan masyarakat yang tergolong rendah. Dampak yang terjadi berupa pendapatan petani semakin berkurang, dan hubungan yang kurang baik antar masyarakat (Harun et al., 2019). Padahal kerjasama dan hubungan antar masyarakat di tingkat petani sangat penting. Hikmah dan Maruf, (2020) yang melakukan penelitian di Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, mendapatkan bahwa tingkat kepercayaan, partisipasi, jaringan, dan norma sosial berpengaruh positif terhadap produktivitas usahatani padi.
Kehidupan petani di areal persubakan Anggabaya Denpasar Timur menunjukkan kesatuan yang erat antara aspek religius dan pertanian. Penghormatan yang tinggi terhadap Dewa Wisnu dan Dewi Sri tercermin dalam praktek sehari-hari, di mana pekerjaan di sawah tidak hanya merupakan kegiatan fisik semata, tetapi juga sarat dengan unsur keagamaan. Doa-doa, seperti “ratu betare sri titiang nunas keselametan mekarye ring sawahe niki titiang ngaturang banten biukukung”, mencerminkan kesadaran spiritual petani dalam memohon keselamatan dan kemakmuran saat bertani. Proses pertanian juga melibatkan tahapan ritual, seperti upacara untuk menghalau hama tikus dengan doa kepada Jero Ketut, yaitu “niki tiang nawegang ring jero ketut niki, ampunang ngusak asik, titiang nunas keselametan, mangde mekaon” yang artinya “dengan ini saya mohon kepada Jero Ketut (panggilan halus kepada tikus), jangan mengganggu, saya mohon keselamatan, supaya pergi”. Keseluruhan, praktik yang ada menciptakan keselarasan antara aktivitas pertanian dan kehidupan spiritual, menggambarkan keseimbangan yang kokoh antara kehidupan sehari-hari dan nilai-nilai keagamaan dalam komunitas persubakan Anggabaya.
Daftar Pustaka
Adnyani, N. L. P. S., Margi, I. K., Sugiartha, W., & Si, M. (2016). Makam Keramat Agung Pemecutan Di Kelurahan Pemecutan, Kota Denpasar (Studi Tentang Latar Belakang Sejarah, Struktur, Fungsi dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal). Widya Winayata: Jurnal Pendidikan Sejarah, 4(1).
Aridawati, I. A. P. (2020). Makna Ritual Budaya Pertanian Yang Berkaitan Dengan Leksikon Bidang Persawahan Pada Masyarakat Bali. Jurnal Ilmu Agama, 3(3), 384-402.
Artajaya, D. P., Sutjipta, I. N., & Suardi, I. D. P. O. (2016). Pelaksanaan Ritual Usahatani Padi Sawah pada Subak Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan Kasus: Subak Ayung, Desa Buduk, Kecamatan Mengwi dan Subak Sulangai, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Journal of Agribusiness and Agritourism, 5(4): 790-800.
Handayani, S. (2018). Agriculture and Ritual: Pola komunikasi ritual slametan musim tanam padi di ngemplak, sambikerep, surabaya. J-IKA: Jurnal Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas BSI Bandung, 5(1), 40-50.
Harun, S. A. M., Pradhipta, M. I., & Achmad, U. (2019). Perubahan Sosial Masyarakat Akibat Penurunan Kualitas Padi Di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember. Journal on SocioEconomics of Agriculture and Agribusiness, 13(1), 38-50.
Hikmah, N., & Maruf, A. (2020). Analisis Pengaruh Modal Sosial terhadap Produktivitas Usahatani Padi: Studi Kasus Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Journal of Economics Research and Social Sciences, 4(1), 110-117.
Hudaningsih, A., Karini, N. M. O., & Dewi, L. G. L. K. (2014). Studi Kelayakan Makam Keramat Agung Pemecutan Sebagai Daya Tarik Wisata Pilgrim di Denpasar (Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran). Jurnal IPTA (Industri Perjalanan Wisata), 2(1).
Tantoro, S., & Karmila, K. (2014). Stratifikasi Sosial Petani Padi di Desa Pematang Sikek Kecamatan Rimba Melintang Kabupaten Rokan Hilir. JOM Fisip, 1(2), 1-14.
Karolina, A., Astuti, S., & Oktaviani, U. D. (2018). Proses Ritual Dan Simbol Sengkelan Padi Suku Sebaruk Desa Telaga Dua Kecamatan Binjai Hulu Kabupaten Sintang. Jurnal KANSASI, 3(1), 19-23.
Langkameng, O. A. (2015). Konteks Situasi Teks Ritual Ala Baloe (Makan Baru Padi) Masyarakat Bampalola. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1(1), 201-219.
Astiti, S., Wayan, N., Windia, W., & Lestari, P. F. K. (2015). Penerapan Tri Hita Karana untuk Keberlanjutan Sistem Subak yang Menjadi Warisan Budaya Dunia: Kasus Subak Wangaya Betan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Jurnal Manajemen Agribisnis, 3(1), 22-33.
Mahyuni, I., & Macaryus, S. (2017). Wacana Mantra Dukun Beranak Melayu Riau. Caraka: Jurnal Ilmu Kebahasaan, Kesastraan, dan Pembelajarannya, 4(1), 156-170.
Mayrowani H. (2012). Pengembangan pertanian organik di Indonesia. Dalam Prosiding Forum Penelitian Agro Ekonomi 2012. Bandung, Indonesia, Desember 2012 (pp. 91-108).
Miles, M. B., & Huberman, M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta, Indonesia: Universitas Indonesia.
Muhadjir, H. N. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. (1st ed). Yogyakarta, Indonesia: Rake Sarasisn.
Nindatu, P. I., Sarwoprasodjo, S., Hubeis, M., & Amanah, S. (2018). Pemaknaan Ritual Budi Daya Padi Ladang Suku Sahu Jio Tala’i Padusua. Jurnal PIKOM (Penelitian Komunikasi dan Pembangunan), 19(2), 85-99.
Nugraha, Y., & Supriatna, R. (2020). Peran Teman Sepermainan dalam Membentuk Sikap Pemuda Pedesaan terhadap Pekerjaan di Sektor Pertanian Padi (Kasus Pemuda di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor). Jurnal Agribisnis dan Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, 5(1), 12-23.
Putra, I. G. N. B. S., Diarta, I. K. S., & Sudarta, W. (2018). Strategi Bertahan Subak di Daerah Pariwisata (Kasus Subak Semujan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar). Jurnal Agribisnis dan Agrowisata, 7(4), 582-591.
Ratna, N. K. (2013). Kajian Sastra, Seni dan Sosial Budaya. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.
Sudarta, W., & Dharma, I. P. (2013). Memperkuat Subak Anggabaya dari Segi Kelembagaan. Laporan Pengabdian Masyarakat. Bali, Indonesia: Kerjasama Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Program Ekstensi Fakultas Pertanian UNUD.
Sudarta, W. (2009). Penerapan Tri Hita Karana di Perkotaan (Kasus Subak Anggabaya, Kelurahan Penatih, Kota Denpasar). SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 9(2), 254-259.
Sugarda J. G., Charina, A., Setiagustina L., & Setiawan I. (2008). Kajian pengembangan usahatani padi organik SRI (Sistim of Rice Intensification) berwawasan agribisnis dalam mendukung program ketahanan pangan secara berkelanjutan. Jurnal Agrikultura, 19(1), 15-25.
Widan, M., Rosyani, & Emy, K. (2012). Hubungan Unsur-Unsur Sosial Budaya Dengan Pengelolaan Usahatani Padi Sawah (Studi Kasus Di Desa Semurung Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun). Jurnal Sosio Ekonomika Bisnis, 15(1), 45-53.
Wijayanti, P.U., & Windia, W. (2021). Implementasi Filsafat Tri Hita Karana Untuk Keberlanjutan Subak Anggabaya Sebagai Subak Lestari di Kota Denpasar. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 35(1), 4660.
Windia, W. (2008). Menuju Sistem Irigasi Subak yang Berkelanjutan di Bali. Orasi Ilmiah. Bali, Indonesia: Disampaikan dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar dalam Bidang Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Windia, W., Sumiyati, & Sedana, G. (2015). Aspek Ritual pada Sistem Irigasi Subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Jurnal Kajian Bali, 5(1), 23-38.
94
Discussion and feedback