JURNAL BIOLOGI UDAYANA

P-ISSN: 1410-5292 E-ISSN: 2599-2856

Volume 27 | Nomor 1 | Juni 2023

DOI: https://doi.org/10.24843/JBIOUNUD.2023.v27.i01.p10

Etnobotani pewarna alami kain tenun futus Suku Dawan di Kabupaten Timor Tengah

Utara

Ethnobotany of natural dyes of futus woven fabrics used by Dawan Tribe in North Central Timor Regency

Emilia Juliyanti Bria1,*, Polikarpia Wilhelmina Bani1, Dicky Frengky Hanas1, Elinora Naikteas Bano2, Yofrida Tefa1

  • 1)    Program Studi Biologi, Fakultas Pertanian, Universitas Timor, Jl. Km. 09 Sasi, Kefamenanu, NTT, Indonesia – 85616

  • 2)    Program Studi Matematika, Fakultas Pertanian, Universitas Timor, Jl. Km. 09 Sasi, Kefamenanu, NTT, Indonesia – 85616

*Email: [email protected]

Diterima 6 Juli 2022


Disetujui 14 Juni 2023


INTISARI

Futus merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Suku Dawan merujuk pada kain tenun yang dihasilkan dengan teknik ikat yang diaplikasikan dalam proses pewarnaan benang. Kain tenun ini merupakan salah satu kearifan lokal turun temurun di Suku Dawan Kabupaten Timor Tengah Utara. Proses pewarnaan adalah tahap penting dalam proses pengolahan kain tenun tersebut yang menggunakan tumbuhan sebagai zat pewarna. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan jenis tumbuhan pewarna alami kain tenun ikat, organ tumbuhan yang digunakan dan bagaimana proses pengolahannya. Metode wawancara semi-terstruktur digunakan dalam diskusi kelompok terarah pada 38 responden yang merupakan pengrajin tenun. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat 17 spesies dari 12 famili tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pewarna kain tenun ikat masyarakat suku Dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Kunyit (Curcuma longa L.) adalah tumbuhan yang paling banyak digunakan. Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai bahan pewarna yaitu daun, diikuti rimpang, akar, kulit batang, buah dan biji. Pengolahan tumbuhan menjadi pewarna kain tenun ikat terdiri atas dua cara yakni direbus dan tanpa perebusan yang masing-masing menghasilkan warna berbeda dengan campuran fiksatif yang berbeda pula.

Kata kunci: pewarna alami, kain tenun futus, Suku Dawan, etnobotani

ABSTRACT

Futus is a term used by the Dawan people to refer to woven fabrics produced by the ikat technique which is applied in the yarn dyeing process. This woven cloth is one of the local pearls of wisdom passed down from generation to generation in the Dawan Tribe, North Central Timor District. The dyeing process is an important stage in the processing of woven fabrics that use plants as dyes. This study aims to reveal the types of natural coloring plants for woven fabrics, the plant organs used, and how they are processed. The semi-structured interview method was used in focus group discussions with 38 respondents who are weavers. This study revealed that there are 17 species from 12 plant families that are used as dyes for woven fabrics of the Dawan tribe in the North Central Timor District. Turmeric (Curcuma longa L.) is the most widely used plant. The part of the plant most used as a dye is the leaves, followed by rhizomes, roots, bark, fruit, and seeds. The processing of plants into dyes for woven fabrics consists of two ways, namely boiling and without boiling, each of which produces a different color with a different fixative mixture.

Keywords: natural dyes, futus woven fabric, Dawan tribe, ethnobotany

PENDAHULUAN

Zat pewarna sangat berperan penting dalam industri tekstil. Berdasarkan asalnya, zat pewarna tekstil dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu zat pewarna sintesis (ZPS) dan zat pewarna alam (ZPA). Zat pewarna sintesis adalah zat pewarna buatan yang dibuat dengan cara sintesis yang diproses secara kimia, sedangkan zat pewarna alam merupakan zat warna alami yang berasal dari tanaman atau pun hewan. Secara umum, pewarna alam yang berasal dari tumbuhan memiliki kandungan zat berbeda-beda dan ditandai dengan warna yang dihasilkan (Rizeki & Achir, 2015). Zat pewarna alam mempunyai warna yang indah dan khas yang sulit ditiru dengan zat pewarna sintetis, sehingga banyak disukai. Sebagian besar bahan baku pewarna alami diperoleh dari tumbuh-tumbuhan merupakan pewarna yang mudah terdegradasi. Pewarna ini bersifat tidak beracun, mudah terurai, dan ramah lingkungan. Tanaman yang mengandung zat pewarna telah banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Harbelubun et al. (2005) menemukan tujuh spesies tumbuhan penghasil pewarna alami yang dimanfaatkan oleh Suku Marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke. Selain itu, Santa et al. (2015) juga mengungkapkan bahwa terdapat tujuh spesies tumbuhan sebagai bahan pewarna alami oleh Suku Dayak Iban di Kabupaten Kapuas Hulu.

Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masyarakatnya didominasi oleh suku Dawan. Suku ini dapat dibedakan lagi menjadi beberapa sub-suku berdasarkan beberapa ciri, antara lain dialek bahasa, bentuk rumah adat, tahapan upacara adat dan corak/warna kain adat. Penggunaan kain adat di kabupaten ini menjadi identitas masyarakat lokal dan dijadikan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Salah satu kain adat yang biasa digunakan di Kabupaten TTU adalah tenun ikat atau yang disebut futus. Menurut Sukanadi (2018), tenun ikat adalah tenun yang pembuatan motifnya menggunakan teknik ikat, yaitu mengikat atau menutup motif pada bagian-bagian benang yang tidak akan diberi pewarna pada saat dilakukan proses pewarnaan. Masyarakat dalam pembuatan tenun ini menggunakan benang yang biasanya diwarnai dengan pewarna baik sintetik maupun alami.

Pewarna alami sebagai bahan pewarna kain tenun di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sudah banyak diteliti. Siombo (2019) mengungkapkan tiga spesies tanaman pewarna yang digunakan untuk pewarnaan benang oleh kelompok penenun tenun ikat Timor di Atambua- NTT yakni kunyit (Curcuma domestica L.), mengkudu (Morinda citrofolia L.), dan tarum (Indigofera tinctoria L). Selanjutnya, Atti et al. (2018) juga mendokumentasikan enam spesies tanaman yang digunakan untuk pewarna kain tenun oleh masyarakat Desa Boti Kecamatan Kie Kabupaten Timor Tengah Selatan, antara lain, mengkudu (Morinda citrofolia L.), loba (Symplocos fasciculate Zoll), tarum (Indigofera tinctoria L.), kunyit (Curcuma domestica L.), mahoni (Swietenia macrophylla Kingg.), dan cabai merah (Capsicum annum L.). Selain itu, Nomleni et al. (2019) menemukan lima spesies tumbuhan pewarna alami oleh Suku Meto di Kecamatan Nunkolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan yakni kunyit (Curcuma domestica L.), kratok/arbila/koto (Phaseolus lunatus L.), mengkudu (Morinda citrifolia L.), tarum (Indigofera tinctoria L), buah tinta (Phylantus reticulatus Poir). Di Kabupaten Timor Tengah Utara juga telah ada penelitian tentang pewarna alami kain tenun, tetapi terbatas pada kain tenun buna yang dibuat dengan teknik timbul (Naisumu et al., 2022). Data tentang pewarna alami kain tenun ikat masih sangat kurang dan terbatas di Kabupaten Timor Tengah Utara. Hal ini berimplikasi pada menurunnya nilai kearifan lokal

yang merupakan identitas suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, sebelum kearifan, kelestarian dan, pengetahuan lokal ini hilang maka perlu diadakan dokumentasi tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai pewarna alami kain tenun futus di Kabupaten Timor Tengah Utara oleh Suku Dawan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan jenis tumbuhan pewarna alami kain tenun ikat, bagian atau organ tumbuhan yang digunakan dan bagaimana proses pengolahan kain tenun futus Suku Dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur pada bulan Maret 2021 sampai Juni 2021. Desa yang dijadikan wilayah penelitian yaitu Desa Tokbesi, Desa Amol, Desa Fatuneno, dan Desa Manikin (Gambar 1). Keempat desa tersebut ditentukan secara purposive sampling karena masyarakat pada empat wilayah ini yang menggunakan kain tenun futus.

Gambar 1. Lokasi penelitian.

Keterangan: (1) Desa Tokbesi, (2) Desa Amol, (3) Desa Fatuneno, (4) Desa Manikin. (Sumber: Peta Kabupaten Timor dengan Google Earth).

Bahan dan alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera, alat tulis, perekam suara, daftar pertanyaan dalam bentuk kuisioner, aplikasi PlantNet dalam smartphone, dan aplikasi untuk identifikasi dan tatanama tumbuhan seperti Integrated Taxonomic Information System – web service (https://www.itis.gov/web_service.html), dan World Flora Online (http://www.worldfloraonline.org).

Metode

Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara semi-terstruktur menggunakan kuesioner sebagai pemandu diskusi kelompok terarah (focused group discussion/FGD) (Murniati & Takandjandji, 2015). Responden yang diwawancarai berjumlah 38 orang yang merupakan anggota kelompok wanita penenun yang berada di masing-masing wilayah penelitian. Proses identifikasi dilakukan secara langsung di lapangan.

Analisis data

Tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna kain futus diinventarisasi dan diidentifikasi dengan cara memotret tumbuhan dengan aplikasi PlantNet kemudian mengkonfirmasi pemberian nama tumbuhan yang benar pada website itis.gov dan worlfloraonline.org. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar. Perhitungan persentase penggunaan spesies dan juga persentase bagian tumbuhan menggunakan formula (Obenu & Bria, 2021; dengan sedikit modifikasi) sebagai berikut:

% penggunaan spesies =


∑ spesies tumbuhan ke-i tiap lokasi ∑ lokasi sampel

X 100


,   .   ,   1 . ∑bagian tumbuhan ke-i

% bagian tumbuhan= —---------------X 100

∑ bagian tumbuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini berhasil mengungkapkan keragaman spesies tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna benang, organ/ bagian tumbuhan yang digunakan sebagai sumber pewarna, dan cara pengolahan dan fiksatif yang digunakan dalam proses pewarnaan benang. Adapun tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna ini oleh masyarakat diperoleh baik dari pekarangan sekitar (ditanam sendiri) maupun dari hutan yang hidup liar.

Spesies dan bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pewarna kain futus

Tujuh belas spesies dan dua belas famili tumbuhan dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara (Tabel 1). Jumlah tumbuhan per masing-masing desa berbeda-beda. Hal ini juga berimplikasi pada persentase jumlah tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Suku Dawan (Gambar 2). Persentase tumbuhan paling tinggi yang digunakan sebagai perwarna kain tenun adalah kunyit (Curcuma longa L.), dan diikuti oleh mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.), kratok (Phaseolus lunatus L.), dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah gewang (Corypha utan Lam.), turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), asam (Tamarindus indica L.), pinang (Areca catechu L.), baluntas (Pluchea indica (L.) Less.), merkuri anjing (Mercurialis perennis L.), kepuh (Sterculia foetida L.) dan koro benguk (Mucuna pruriens (L) DC.).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat suku dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara memiliki variasi kain tenun berdasarkan wilayahnya dan masih mempertahankan kearifan lokal yang menunjukkan kekhasan dari suku tersebut. Persentase tumbuhan pewarna yang paling banyak digunakan oleh masyarakat suku dawan dalam pengolahan warna benang kain tenun adalah kunyit (Curcuma longa L.). Tingginya persentase tumbuhan ini juga sangat berkaitan dengan warna kain tenun ikat dari keempat daerah yang diambil yakni harus ada warna kuning dan turunannya berdasarkan fiksatif yang digunakan (Gambar 3).

Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pada umumnya Suku Dawan menggunakan kunyit sebagai bahan pewarna kain tenun. Hal ini dikemukakan oleh Atti et al. (2018), bahwa suku Dawan Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan juga memanfaatkan kunyit sebagai pewarna kain tenun.

Selain Suku Dawan, kunyit juga telah lama diketahui sebagai salah satu tumbuhan sumber warna yang dimanfaatkan oleh masyarakat pulau Jawa sebagai pewarna batik (Pujilestari, 2015), dan juga oleh masyarakat Kabupaten Sambas dan Kabupaten Sintang Kalimantan Barat sebagai pewarna kuning (Muflihati et al., 2019).

Tabel 1. Spesies dan bagian tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna alami kain tenun futus Kab. Timor Tengah Utara

No

Famili

Nama Ilmiah

Nama

Indonesia

Nama Daerah (Dawan)

Bagian/organ yang digunakan

Lokasi

1

Anacardiaceae

Mangifera indica L.

Mangga

Upun

Kulit batang, Daun

Fatuneno, Tokbesi

2

Arecaceae

Corypha utan Lam.

Gewang

Tune

Daun

Amol

3

Arecaceae

Areca catechu L.

Pinang

Puah

Daun

Tokbesi

4

Asteraceae

Pluchea indica (L.) Less.

Baluntas

Beluntas

Daun

Fatuneno

5

Euphorbiaceae

Mercurialis perennis L.

Merkuri anjing

Maumuna

Daun

Tokbesi

6

Fabaceae

Indigofera tinctoria L.

Tarum

Taum

Daun

Manikin, Tokbesi

7

Fabaceae

Mucuna pruriens (L) DC.

Koro benguk

Nipe

Biji

Manikin

8

Fabaceae

Phaseolus lunatus L.

Kratok

Koto/ arbila

Daun

Manikin, Fatuneno, Tokbesi

9

Fabaceae

Sesbania grandiflora (L.) Pers.

Turi

Kane

Daun

Amol

10

Fabaceae

Tamarindus indica L.

Asam

Kiub

Daun, Buah

Manikin

11

Lamiaceae

Tectona grandis L.f

Jati

Jati

Daun

Amol, Fatuneno

12

Malvaceae

Sterculia foetida L.

Kepuh

Nites

Kulit batang

Tokbesi

13

Meliaceae

Swietenia mahagoni (L.) Jacq.

Mahoni

Mahoni

Kulit batang

Tokbesi Amol, Fatuneno, Tokbesi

14

Oxalidaceae

Averrhoa bilimbi L.

Belimbing wuluh

Blimbing

Buah

Tokbesi

15

Rubiaceae

Morinda citrifolia L.

Mengkudu

Baok ulu

Akar

Amol, Tokbesi

16

Ruscaceae

Dracaena angustifolia (Medic.)Roxb.

Suji

Suji

Daun

Amol, Tokbesi

17

Zingiberaceae

Curcuma longa L.

Kunyit

Huki

Rimpang

Amol, Fatuneno, Manikin, Tokbesi

Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan untuk pewarna alami kain tenun futus adalah akar, rimpang, kulit batang, akar, buah, biji dan daun dengan persentase tertinggi (Gambar 4). Hasil persentase ini menggambarkan bahwa spesies tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah tumbuhan yang memiliki daun berwarna hijau dan mudah diperoleh di lingkungan sekitar. Warna hijau dihasilkan oleh kandungan klorofil yang merupakan kandungan utama daun (Efendi et al., 2017). Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat suku dawan di Kabupaten ini, mengambil daun tumbuhan yang berwarna hijau dari spesies

tumbuhan yang berada di sekitar lingkungan tempat tinggal. Selanjutnya, ada spesies tumbuhan yang dalam pemanfaatannya digunakan lebih dari satu bagian, yaitu mangga (M. indica) digunakan baik kulit batang maupun daunnya dan asam (T. indica) juga digunakan batang dan buahnya.

Gambar 2. Persentase tumbuhan pewarna kain tenun futus.

Gambar 3. Keragaman motif Kain Tenun Futus Suku Dawan TTU. Ket. a) Kain Tenun Fatuneno; b) Kain Tenun Manikin; c) Kain Tenun Tunbaba, d) Kain Tenun Biboki. (Sumber: dokumen pribadi).

Gambar 4. Jumlah dan Persentase bagian tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna kain tenun futus.

Hidayat & Saati (2006) menyatakan bahwa warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan, karena pada jaringan tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda. Golongan pigmen tumbuhan dapat berbentuk klorofil, karotenoid, antosianin, dan tanin. Klorofil adalah kelompok pigmen fotosintesis yang terdapat dalam tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu, serta merefleksikan cahaya hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri warnanya yang umumnya terdapat pada bagian daun. Karotenoid adalah pigmen tumbuhan yang menghasilkan warna kuning, sampai merah terdapat pada akar, dan kulit kayu. Selanjutnya, antosianin yaitu pigmen yang dapat memberikan warna merah, biru, atau keunguan kebanyakan terdapat pada bunga dan kulit kayu sedangkan tanin ialah pigmen pembentuk warna gelap biasa terdapat pada akar dan daun tumbuhan.

Warna merah biasa dihasilkan oleh pigmen karotenoid dan antosianin yang banyak ditemukan pada bagian akar, batang, bunga, buah dan jarang ditemukan di daun (Hasidah et al., 2017). Warna kuning dihasilkan oleh pigmen karotenoid dan kurkumin. Menurut (Hartati & Balittro, 2013), kunyit banyak mengandung senyawa pigmen. Rimpangnya banyak mengandung zat metabolit sekunder seperti kurkuminoid, alkaloid, flavonoid, saponin, dan minyak atsiri yang sangat banyak dimanfaatkan sebagai pewarna alami dan pengobatan (Marnoto et al., 2012). Warna biru banyak dihasilkan dari tanaman Indigofera dengan pigmen indigotina. Warna ungu dihasilkan dari senyawa antosianin. Warna hijau biasanya diperoleh dari pigmen klorofil yang juga digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman. Warna hitam banyak diperoleh dari kulit batang dan buah (Siva, 2007; Efendi et al., 2017).

Akar, batang dan kulit kayu memiliki kandungan tanin tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna. Buah dan biji merupakan sumber warna yang juga dapat ditemukan pada tumbuhan (Efendi et al., 2017). Daun jati merupakan salah satu tanaman yang mengandung tanin dan antosianin. Dalam pewarnaan tanin dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna dan perekat zat warna pada kain. Selain tanin, daun jati juga mengandung antosianin, yang merupakan pigmen larut dalam air dan dapat memberi warna biru, ungu, kuning, violet, mangenta, merah dan oranye (Puspaningtyas, 2013). Mengkudu juga digunakan sebagai bahan penghasil warna merah untuk mewarnai benang sebelum ke proses penenunan. Bagian dari tumbuhan ini yang dimanfaatkan sebagai bahan penghasil warna adalah akarnya. Karotenoid yang terkandung dalam akar mengkudu dimanfaatkan menjadi pewarna alami tekstil, yang melalui proses yang cukup lama serta campuran bahan lain akar ini dapat membuat benang putih menjadi berwarna merah alami (Priangga et al., 2017).

Cara pengolahan tumbuhan menjadi pewarna benang

Secara umum, cara pengolahan dari 17 spesies tumbuhan oleh masyarakat Suku Dawan Kabupaten Timor Tengah Utara terdiri dua jenis pengolahan yakni direbus dan tanpa direbus. Proses pengolahan ini sangat sederhana dan masih tergolong tradisional yang masih menggunakan alat-alat seperti tungku dan lesung (Gambar 5 dan Gambar 6). Adanya perbedaan cara pengolahan tumbuhan ini merupakan salah satu tradisi dari setiap wilayah. Menurut hasil wawancara, teknik pengolahan tanpa direbus akan menghasilkan warna yang lebih bagus, sedangkan teknik pengolahan dengan perebusan menghasilkan zat warna yang dihasilkan tidak akan meresap dengan baik pada benang karena masih tercampur dengan air.

Gambar 5. Cara pengolahan tumbuhan tanpa direbus (A dan B) tumbuhan ditumbuk dalam lesung; (C) Proses perendaman daun tarum; (D) Rimpang kunyit dicampur dengan detergen. (Sumber: dokumen pribadi).

Tahapan tanpa direbus dan direbus terdiri atas ekstraksi, pencelupan, dan fiksasi. Tahap ekstraksi inilah yang membedakan cara pengolahannya. Ledoh et al. (2021) menyatakan bahwa tujuan tahapan ekstraksi adalah agar cairan yang terdapat di dalam organ tumbuhan tersebut keluar dan diserap oleh benang. Pada cara pengolahan yang tidak direbus, bagian tumbuhan ditumbuk dan langsung dicampur dengan benang. Sebaliknya untuk cara perebusan, bagian tumbuhan direbus bersama dengan benang (Tabel 2).

Warna yang dihasilkan didasarkan pada tumbuhan utama, tumbuhan tambahan, zat fiksatif, dan cara pengolahan. Hal ini dapat dilihat pada rimpang kunyit dengan bahan tambahan kulit batang mangga tanpa zat fiksatif menghasilkan warna kuning (Tabel 2 no.1a), rimpang kunyit dengan fiksatif menghasilkan merah maroon (Tabel 2 no.1b) sedangkan rimpang kunyit direbus dengan fiksatif menghasilkan degradasi warna yang berbeda (Tabel 2 no. 1c). Begitu pula pada campuran daun beberapa tumbuhan (suji, pinang, kratok, dan asam) tanpa tambahan dan fiksatif menghasilkan warna hijau (Tabel 2 no.2a) sedangkan campuran daun beberapa tumbuhan (suji, gewang, turi, kratok, manga dan baluntas) direbus dengan fiksatif menghasilkan warna hijau tua (Tabel 2 no.2b).

Pada tahap akhir, agar zat warna yang dipakai untuk mencelup memiliki kekuatan warna yang baik maka perlu dilakukan proses fiksasi atau mordan. Tujuan tahapan ini adalah untuk mencegah benang agar tidak luntur dan warna lain tidak ikut campur pada benang tersebut (Angendari, 2014). Proses fiksasi pada prinsipnya adalah mengondisikan zat pewarna yang telah terserap dalam waktu tertentu agar terjadi reaksi antara bahan yang diwarnai dengan zat warna dan bahan yang digunakan untuk fiksasi (Muflihati et al., 2019; Pujilestari, 2014).

Masyarakat Kabupaten TTU menggunakan beberapa zat fiksatif seperti kapur sirih, tunjung, tawas, cuka, noba, detergen dan lumpur. Dalam pengerjaannya masyarakat biasa memodifikasi fiksatif sendiri jika tidak ada. Misalnya, besi karat yang direndam selama satu malam lalu disaring airnya digunakan untuk pewarnaan benang hal ini dilakukan untuk mengganti tunjung apabila tidak ada, juga dapat menghemat biaya. Tunjung atau fero sulfat (FeSO4) merupakan jenis garam yang bersifat higroskopis, artinya mudah menyerap uap air dari udara. Salah satu sifat tunjung adalah larut dalam air. Sebagai fixer tunjung cenderung menghasilkan warna-warna gelap. Semakin banyak takaran tunjung yang digunakan semakin pekat warna yang dihasilkan (Nilamsari & Giari, 2018). Selain itu, buah asam (T. indica) dan belimbing wuluh (A. bilimbi) juga bisa digunakan sebagai pengganti cuka (C2H402) sebagai fiksatif atau pewarna tambahan. Noba merupakan istilah dari masyarakat lokal untuk menyebut bagian kulit batang tumbuhan yang didapatkan dari toko lokal sebagai fiksatif. Namun, dalam penelitian ini tumbuhan tersebut belum teridentifikasi karena organ lainnya tidak ada.

Gambar 6. Cara pengolahan tumbuhan dengan perebusan (A) Benang yang sudah diikat motif; (B) Proses perebusan kulit batang mahoni; (C) pencelupan benang dalam fiksatif kapur sirih; (D) benang dicampur dalam fiksatif lumpur (sumber: dokumen pribadi).

Dalam proses pengolahannya, proses pemberian warna secara merata pada bahan tekstil baik berupa serat, benang, dan kain dengan zat warna tertentu yang sesuai dengan jenis bahan dengan cara dicelupkan akan menghasilkan produk yang tahan luntur warna. Abu et al. (2017) menyatakan bahwa tahapan pencelupan dalam zat warna alam biasanya dilakukan dengan berulang-ulang untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Corak atau motif tertentu dapat ditimbulkan dari proses pencelupan apabila benang atau kain memiliki komposisi yang berbeda dari dua jenis atau lebih serat tekstil. Hal ini disebabkan oleh daya dukung celup dan adanya efek dari warna yang berbeda-beda oleh masing-masing jenis serat terhadap setiap jenis zat warna yang digunakan (Melati et al., 2019).

Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh data bahwa masyarakat Suku Dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara masih memanfaatkan tumbuhan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, masyarakat suku ini juga memiliki pengetahuan yang tinggi dalam memanfaatkan secara maksimal semua organ tumbuhan seperti akar, kulit batang, daun, buah, dan biji. Proses pengolahan kain tenun futus ini dapat dipandang sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Suku Dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, diketahui bahwa tumbuhan sebagai sumber pewarna diperoleh dari lingkungan sekitar tanpa mengambil semua bagian tumbuhan dan tidak merusak habitatnya. Hal ini dapat menjadi salah satu tindakan konservasi tradisional dari masyarakat suku ini. Walaupun demikian, ada juga beberapa tumbuhan yang susah diperoleh seperti noba (salah satu bahan fiksatif) sehingga proses identifikasi tidak dapat dilakukan. Hal ini dapat menjadi perhatian dalam usaha konservasi sehingga kearifan lokal Suku Dawan Kabupaten Timor Tengah Utara tidak hilang seiring perkembangan zaman.

Tabel 2. Cara pengolahan tumbuhan menjadi pewarna benang

No


Organ yang Digunakan

Bahan

Tumbuhan Tumbuhan Tambahan


Cara Pengolahan


Warna yang Dihasilkan


Utama Tambahan

1a Rimpang     Kulit batang Air, benang Untuk memperoleh benang berwarna

kunyit        mangga       putih,         kuning, kedua bahan dibersihkan lalu

ditumbuk dalam lesung, kemudian benang dimasukkan ke dalam lesung ditumbuk bersama hingga benang berwarna kuning. Selanjutnya, benang dicuci bersih dan dijemur di tempat yang tidak terkena sinar matahari.


Kuning


1b Rimpang kunyit


Benang putih, Detergen


Untuk memperoleh benang berwarna merah maroon masukan detergen dalam rimpang kunyit, kemudian masukan benang ke dalam rimpang yang sudah dicampur dengan detergen diremas-remas hingga warna meresap pada benang setelah benang berwarna merah maroon dicuci hingga bersih dijemur di tempat yang tidak terkena sinar matahari.


Merah maroon


1c Rimpang kunyit


Air, benang Rimpang kunyit dibersihkan dari akar putih, Kapur dan tanah yang masih menempel. sirih, tawas, Selanjutnya direbus selama 1-2 jam. tunjung       Airnya disaring kemudian benang putih

dicelup selama 1-2 jam. Setelah itu, benang dicelup lagi dalam larutan kapur sirih, tawas, tunjung masing-masing selama 30 menit. Benang kemudian dicuci dengan air bersih dan dijemur di tempat yang tidak terkena cahaya matahari.


Kuning- lilac


Kuning-cream


Organ yang Digunakan

Bahan

Tumbuhan Tumbuhan Tambahan

Utama Tambahan

Cara Pengolahan


Warna yang Dihasilkan


2a Daun suji, daun arbila, daun asam, daun pinang,


Air, benang Keempat bahan dibersihkan dari putih         batangnya kemudian ditumbuk hingga

halus, kemudian masukan benang ditumbuk bersama-sama dengan keempat bahan apabila warna telah meresap merata pada benang keluarkan dicuci hingga bersih dijemur di tempat yang tidak terkena cahaya matahari


Kuning- ivory


Hijau terang


2b Daun suji, daun gewang, daun turi, daun arbila, daun baluntas


Air, benang Kelima bahan dibersihkan dan direbus putih, tawas dalam satu wadah selama 1-2 jam.

Airnya disaring kemudian benang dicelup selama 2 jam. Lalu benang dicelup lagi dalam larutan tawas selama 30 menit kemudian dicuci dijemur di tempat yang tidak terkena cahaya matahari.


Biru kehiajaun


3 Daun tarum


Air, benang putih, kapur sirih


Daun tarum dibersihkan dari batangnya, kemudian masukan dalam wadah isi air beserta kapur sirih biarkan terendam selama satu malam. Lalu disaring airnya dicelup apabila benang sudah meresap warna benang dicuci dijemur di tempat yang tidak terkena cahaya matahari.


Biru


4 Kulit batang mahoni


Air, benang putih, kapur sirih, tawas, tunjung, cuka


Kulit mahoni dibersihkan dan direbus dalam satu wadah selama 1-2 jam. Disaring airnya, lalu benang dicelup selama 1-2 jam. Selanjutnya, benang dicelup ke dalam larutan kapur sirih, larutan tawas, larutan tunjung, dan larutan cuka masing-masing selama 30 menit. Setelah itu, benang dicuci dan dijemur di tempat yang tidak terkena cahaya matahari.


Merah darah


Merah kecoklatan


Merah bata


Organ yang Digunakan

Bahan

Tumbuhan Tumbuhan Tambahan

Utama Tambahan

Cara Pengolahan


Warna yang Dihasilkan


Coklat kemerahan


5 Daun jati


Air, benang putih, tawas, tunjung


Daun jati dibersihkan lalu direbus selama 1-2 jam saring airnya celup benang ke dalam larutan daun jati selama 1 – 2 jam. Setelah itu benang dicelup dalam larutan tawas dan larutan tunjung masing-masing selama 15 – 30 menit. Benang dicuci dan dijemur di tempat yang tidak terkena cahaya matahari

Ungu-lavender


Ungu-lilac gelap


6


Daun tarum


Kepuh, koro benguk, merkuri anjing


Air, benang putih, lumpur


Keempat bahan dibersihkan lalu direbus selama 1-2 jam. Setelah itu, air rebusan disaring selanjutnya, benang dicelup ke dalam air rebusan tadi (larutan tarum, kepuh, koro benguk, merkuri anjing). Kemudian, benang dimasukkan ke dalam lumpur kali selama 1-3 jam. Setelah itu, benang dikebas-kebas agar tidak terdapat lumpur yang menempel, kemudian benang dicuci dijemur di tempat yang tidak terkena cahaya matahari.


Hitam


7

Akar

Benang

Akar mengkudu dibersihkan akarnya

mengkudu

putih, Noba

lalu direbus selama 1-2 jam saring airnya masukan noba, kemudian benang dicelup selama 1- 2 jam hingga warna terserap merata ke benang kemudian dicuci dengan air bersih dan benang dijemur di tempat yang tidak terkena cahaya matahari

Pink

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 17 spesies dari 12 famili tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai spesies pewarna utama dan spesies pewarna tambahan kain tenun futus oleh masyarakat Suku Dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Spesies pewarna utama yaitu: kunyit (Curcuma longa L.), mahoni (Swietenie mahagoni L.), tarum (Indigofera tinctoria L.), mengkudu (Morinda Citrifolia L.), suji (Dracaena angustifolia) (Medic.) Roxb, kratok (Phaseolus lunatus L.) gewang (Corypha utan Lam.), turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), jati (Tectona grandis L.f), asam (Tamarindus indica L.), mangga

(Mangifera indica L.), baluntas (Pluchea indica L.), pinang (Arace catechu L.), merkuri anjing (Mercurialis perennis L.), kepuh (Sterculia foetida L.), dan koro benguk (Mucuna pruriens L.). Spesies pewarna tambahan yang berfungsi sebagai pengganti fiksatif kimia yakni asam (Tamarindus indica L.), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dan noba. Bagian-bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pewarna yaitu: rimpang, akar, kulit batang, daun, dan biji. Pengolahan tumbuhan menjadi pewarna kain tenun ikat terdiri atas dua cara yakni direbus dan tanpa perebusan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Timor yang telah mendanai penelitian ini dalam Kontrak Program Penelitian Dosen Pemula Nomor: 15/UN60/LPPM/PP/2021.

KEPUSTAKAAN

Abu A, Kurniati, Hading A. 2016. Pewarnaan tumbuhan alami kain sutera dengan menggunakan fiksator tawas, tunjung dan kapur tohor. Indonesian Journal of Fundamental Science 2(2): 86–91.

Angendari MD. 2014. Pengaruh jumlah tawas terhadap pewarnaan kain katunmenggunakan ekstrak kulit bawang merah. Seminar Nasional 2014 “Prospek Pendidikan Vokasi Dan Industri Kreatif Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN” Jurusan PTBB FT UNY, 83–92.

Atti AH, Boro TL, Mauboy RS. 2018. The inventory species of natural producing herbs and their use traditionally in community lives in boti Village of Kie Subdistrict at South Central Timor. Jurnal Biotropikal Sains 15(1): 44–56.

Efendi M, Hapitasari IG, Rustandi, Supriyatna A. 2016. Inventarisasi tumbuhan penghasil pewarna alami di kebun raya cibodas. Jurnal Bumi Lestari 16(1): 50–58.

Harbelubun AE, Kesaulija EM, Rahawarin YY. 2005. Tumbuhan Pewarna Alami dan Pemanfaatannya secara Tradisional oleh Suku Marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke Natural colourant plant and the use of traditionally by tribe of Marori Men-Gey in. 6(282): 281–284.

Hartati SY, Balittro. 2013. Perkebunan_KhasiatKunyit.pdf. In Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 19(2): 5–9.

Hasidah, Mukarlina, Rousdy DW. 2017. Kandungan pigmen klorofil, karotenoid dan antosianin Daun Caladium. Protobiont 6(2): 29–36.

Hidayat N, Saati EA. 2006. Membuat pewarna alami. Surabaya: Trubus Agrisarana.

https://opac. perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=659440

Ledoh DY, Sabuna ACH, Daud Y. 2021. Pemanfaatan tumbuhan dalam proses pewarnaan kain tenun ikat di Pulau Ndao, Desa Ndao Nuse, Kabupaten Rote Ndao. Indigenous Biologi 4(2): 37–45.

Marnoto T, Haryono G, Gustinah D, Putra FA. 2012. Ekstraksi tannin sebagai bahan pewarna alami dari tanaman putrimalu (Mimosa pudica) menggunakan pelarut organik. Reaktor 14(1): 39–45.

Melati HA, Ratih Y, Kartika M. 2019. Pelatihan Teknik Pencelupan Dan Pengikatan Warna Benang Kepada Perajin Tenun Corak Insang Di Kota Pontianak. International Journal of Community Service Learning 3(3): 138–144.

Muflihati, Wahdina, Kartikawati SM, & Wulandari RS. 2019. Natural Dye Plants for Traditional Weaving in Sintang and Sambas Regencies, West Kalimantan. Media Konservasi 24(3): 225–236.

Murniati, Takandjandji M. 2015. Tingkat pemanfaatan tumbuhan penghasil warna pada usaha tenun ikat di Kabupaten Sumba Timur. Jurnal Penelitian Tanaman Hutan 12(3): 223–237.

Naisumu YG, Bria EJ, Obenu NM. 2022. Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Pewarna Alami Kain Tenun Buna Di Desa Fafinesu Kecamatan Insana Fafinesu , Kabupaten Timor Tengah Utara. Jurnal Biologi Indonesia 18(1): 11–18.

Nilamsari Z, Giari N. 2018. Uji coba pewarna alami campuran buah secang dan daun mangga pada kain katun prima. Jurnal Seni Rupa 6(01): 839–847.

Nomleni FT, Sabuna AC, Sanam, SD. 2019. Tumbuhan Pewarna Alami Kain Tenun Ikat Suku Meto Di Kecamatan Nunkolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Indigenous Biologi: Jurnal Pendidikan dan Sains Biologi 2(1): 34–41.

Obenu NM, Bria EJ..2021.. Ethnobotany medicinal plants of dawan ethnic in North Central Timor Regency. BIOTROPIKA 9(3): 246-252.

Priangga IKS, Sudarmawan A, Sura IGN. 2016. Pewarna alami kain tenun Desa Seraya Timur, Karangasem. Jurnal Pendidikan Seni Rupa 6(1): 1-12.

Pujilestari T. 2014. Pengaruh ekstraksi zat warna alam dan fiksasi terhadap ketahanan luntur warna pada kain batik katun. Dinamika Kerajinan Dan Batik 31(1): 31-40.

Pujilestari T. 2015. Review : sumber dan pemanfaatan zat warna alam untuk keperluan industri.

Dinamika Kerajinan Dan Batik 32(2): 93-106.

Puspaningtyas D E. 2013. The Miracle of Fruits (N. Opi (ed.)). Agromedia Pustaka.

Rizeki C, Achir S. 2015. Pengaruh tingkat komposisi bubuk biji pepaya dan bubuk kulit manggis terhadap hasil pewarnaan rambut beruban. Jurnal Tata Rias 4(1): 25-32.

Santa EK, Mukarlina, Linda R. 2015. Kajian etnobotani tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna alami oleh Suku Dayak Iban di Desa Mension, Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Protobiont 4(1): 58-61.

Siombo MR. 2019. Kearifan Lokal Dalam Proses Pembuatan Tenun Ikat Timor (Studi Pada Kelompok Penenun Di Atambua-Ntt). Bina Hukum Lingkungan 4(1): 97-112. h

Siva R. 2007. Status of natural dyes and dye-yielding plants in India. Current Science 92(7): 916–925.

Sukanadi IM. 2018. Teknik dan pengembangan desain tenun lurik. BP ISI Yogyakarta.

108