Alkaloid and flavonoid content of tree orchid species with potential medicine from the Gumitir Mountain Area, Jember Regency
on
JURNAL BIOLOGI UDAYANA 26(1): 11-20
P ISSN: 1410-5292 E ISSN: 2599-2856
Kandungan alkaloid dan flavonoid tiga spesies anggrek berpotensi obat dari Kawasan Gunung Gumitir Kabupaten Jember
Alkaloid and flavonoid content of tree orchid species with potential medicine from the Gumitir Mountain Area, Jember Regency
Dwi Setyati *, Desy Lutfianasari, Tri Ratnasari
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember
Kampus Tegalboto Jember, Indosnesia, Kode Pos 68121
*Email: [email protected]
Diterima 8 Februari 2021 Disetujui 23 Juli 2021
INTISARI
Tumbuhan anggrek dikenal sebagai tumbuhan hias, selain itu juga berpotensi sebagai obat diantaranya adalah Dendrobium linearifolium Teijs & Binn., Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl., dan Vanda tricolor Lindl. Khasiat obat pada tumbuhan adalah karena adanya metabolit sekunder, antara lain alkaloid dan flavonoid. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan alkaloid dan flavonoid pada tiga spesies anggrek berpotensi obat dari kawasan Gunung Gumitir Kabupaten Jember. Sampel ketiga spesies anggrek dipisahkan antara batang, pseudobulb dan daunnya kemudian dikeringanginkan dan dihaluskan sampai mendapat serbuk. Serbuk anggrek di ekstraksi dan diuji secara kuantitatif dengan spektrofotometri. Rata- rata kandungan alkaloid dan flavonoid tertinggi terdapat pada daun. Kandungan alkaloid tiga tertinggi berturut-turut adalah daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. (43,84 mgBE/g), pseudobulb dan daun Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. (21,91 mgBE/g) dan (18,01 mgBE/g, sedang terendah daun Vanda tricolor Lindl (9,35 mgBE/g). Kandungan flavonoid tertinggi terdapat pada daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. (219,59 mgQE/g) diikuti daun Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. (132,21 mgQE/g) dan daun Vanda tricolor Lindl. (122,69 mgQE/g) dan terendah batang Dendrobium linearifolium Teijs & Binn (56,26 mgQE/g).
Kata kunci: alkaloids, anggrek, flavonoid, gunung gumitir, potensi obat
ABSTRACT
Orchid plants are known as ornamental plants, and also as a potential medicine including Dendrobium linearifolium Teijs & Binn., Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl., and Vanda tricolor Lindl. Medicinal properties in plants are due to the presence of secondary metabolites, including alkaloids and flavonoids. This study aims to determine the alkaloid and flavonoid content of three species that are considered as potential medicine from the Gumitir Mountain area, Jember Regency. Three types of orchids was separated between the stems, pseudobulbs and leaves were then dried and mashed until they got a powder. Extraction of orchid powder and quantitatively measured by spectrophotometry. The average alkaloid and flavonoid content in the leaves. The alkaloid content of three species is Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. (43.84 mgBE/g), pseudobulb and leaves Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. (21.91 mgBE/g) and (18.01 mgBE/g, the lowest was Vanda tricolor Lindl (9.35 mgBE/g). The highest flavonoid content was found in the leaves of Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. (219.59 mgQE/g) followed by leaves
Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. (132.21 mgQE/g) and Vanda tricolor Lindl leaves (122.69 mgQE/g) and the lowest was stem Dendrobium linearifolium Teijs & Binn (56.26 mgQE/g).
Keywords: alkaloid, orchid, flavonoid, gumiti mountain, medicinal potential
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya akan sumber daya hayati tumbuhan dengan jumlah sekitar 30.000 jenis (Rahayu & Arista, 2019). Tumbuhan tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan ekonomi (Rahayu & Arista, 2019) antara lain sebagai bahan pangan dan obat (Hasairin, 2010; Setiawan et al., 2019). Pengetahuan tentang tumbuhan yang berpotensi sebagai obat ini merupakan warisan budaya secara turun-temurun (Evizal et al., 2013). Tumbuhan yang berpotensi sebagai obat di Indonesia diketahui berjumlah 940 jenis (Rahayu & Arista, 2019), dan banyak diantara tumbuhan tersebut yang ditemukan sehingga tumbuh liar di hutan (Mais et al., 2018).
Tumbuhan obat merupakan suatu hasil alam yang memiliki khasiat untuk menjaga, mencegah dan mengobati suatu penyakit atau keluhan rasa sakit (Christomo et al., 2018). Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat ini diketahui memiliki kandungan bahan kimia (fitokimia atau metabolit sekunder) tertentu dengan nilai terapeutik yang besar (Pandey et al., 2012). Nilai terapeutik merupakan suatu nilai yang mendorong untuk meningkatkan penyembuhan penyakit (Siti et al, 2012) dan salah satu tumbuhan yang mempunyai nilai terapeutik adalah tumbuhan anggrek (Gutierrez, 2010).Tumbuhan anggrek umumnya dimanfaatkan sebagai tanaman hias karena memiliki nilai estetika yang tinggi dengan bunga yang indah dan berbagai macam bentuk serta warna yang bervariasi (Sabran et al., 2003). Dalam perkembangannya pemanfaatan tumbuhan anggrek tidak hanya sebagai tanaman hias, namun juga dimanfaatkan sebagai obat (Silalahi & Nisyawati, 2015). Anggrek memiliki senyawa bioaktif atau metabolit sekunder diantaranya adalah alkaloid, flavonoid, karotenoid, antosianin (Maridass et al., 2008) dan sterol (Hossaon, 2011). Kelompok tumbuhan anggrek yang
berkhasiat sebagai obat diantaranya adalah dari genus Dendrobium, Vanda, dan Bulbophyllum (Silalahi & Nisyawati, 2015). Genus Dendrobium sebanyak 20 spesies diketahui dapat bermanfaat sebagai obat untuk antikanker, sebagai tonik untuk memelihara kesehatan perut, meningkatkan cairan tubuh, mengurangi demam (Wahyudiningsih et al., 2017), dan obat penyakit telinga (Sujarwo & Lestari, 2019).
Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam anggrek Dendrobium yaitu alkaloid, phenanthren, bibenzil, fluorenone dan sesquiterpene (Lo et al., 2004). Pada anggrek Bulbophyluum memiliki kandungan metabolit sekunder seperti flavonoid, terpenoid, saponin, tannin, phlobatannin, steroid, glikosida dan antroquinon (Akter et al., 2018), sedangkan genus Vanda mengandung flavonoid, tannin, dan terpenoid (Maridass et al., 2008). Penelitian ini difokuskan pada kandungan alkaloid dan flavonoid pada tiga spesies anggrek yang akan diteliti dikarenakan alkaloid merupakan senyawa basa organik nitrogen berperan sebagai pengatur tumbuh yang memasok nitrogen ke tanaman dan antimikroba. Sedangkan flavonoid merupakan metabolit sekunder dengan struktur tetrasiklik siklopentanoperhidrofenantren. Flavonoid berperan melindungi tanaman dari radiasi UV, tekanan suhu, antikanker, antimikroba dan antivirus, toleransi terhadap logam berat, pertahanan terhadap serangga dan sinyal kimia untuk menarik serangga. (Kristanti & Woro, 2013). Genus yang berbeda memiliki kandungan metabolit sekunder yang berbeda pula (Sahoo et al., 2010). Kandungan metabolit sekunder pada anggrek dipengaruhi oleh beberapa faktor pada habitatnya diantaranya ketersediaan hara dan kelembapan, selain itu juga tergantung pada waktu pemanenan, penyimpanan, pengeringan, dan estraksi (Sahoo et al., 2010). Habitat dari anggrek Dendrobium, Bulbophyllum dan Vanda adalah epifit. Anggrek epifit hidup pada daerah
yang memiliki kelembaban dan curah hujan yang tinggi (Musa et al., 2013) serta intensitas cahaya matahari yang sedang (Tirta & sutomo, 2014). Salah satu habitat anggrek di Jawa Timur adalah gunung Gumitir yang terletak di Kabupaten Jember. Kawasan gunung Gumitir juga merupakan perkebunan kopi yang luas. Perkebunan kopi di kawasan gunung Gumitir memiliki luas 1.165,730 ha. Perkebunan tersebut dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) (Susilowati, 2018). Di Gunung Gumitir terdapat tiga spesies yaitu Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl., Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn, dan Vanda tricolor Lindl. populasinya melimpah dan diketahui berkhasiat sebagai obat. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui kandungan alkaloid dan flavonoid pada tiga spesies anggrek berpotensi obat dari kawasan gunung Gumitir Kabupaten Jember.
MATERI DAN METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2020 di Laboratorium Botani dan Laboratorium Bioteknologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember.
Bahan dan alat
Alat dan bahan yang dugunakan adalah, tampah, nampan, pisau, gunting, timbangan, blender, timbangan analitik, kuas,botol kaca, kertas saring Whatman No.1, Erlenmeyer, tabung reaksi, gelas ukur, mikropipet, gelas beker, pipet tetes, spatula, rotary evaporator, spektrofotometer, ayakan, GPS (Global Positioning System) GARMIN GPSMAP 64s, oven, Termohygrometer UNI-T UT333, lux meter LUTRON LX-107, Tanaman anggrek Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. Dendrobium linearifolium Teijs & Binn., dan Vanda tricolor Lindl. yang diperoleh dari kawasan gunung Gumitir, air, metanol , asam klorida, berberin, dapar pospat ph 4,7; BCG
(Bromocresol Green), kloroform, kuersetin,
AlCl3 10%, kalium asetat 1 M, dan aquades.
Preparasi sampel
Sampel ketiga spesies tumbuhan anggrek dicuci dengan air kemudian dipisahkan antara organ batang, daun dan pesudobulb-nya selanjutnya diiris tipis dan ditimbang sebagai berat basah sampel. Sampel yang telah ditimbang kemudian dikeringkan dengan cara dikering anginkan. Masing-masing sampel yang telah kering diblender sampai halus kemudian diayak sampai didapatkan serbuk simplisia dari masing-masing organ tumbuhan anggrek. Serbuk simplisia tersebut kemudian ditimbang dan disimpan dalam botol kaca. Serbuk simplisia tersebut siap digunakan untuk uji metabolit sekunder.
Maserasi
Simplisia dari Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl., Dendrobium linearifolium Teijs & Binn., dan Vanda tricolor Lindl, masing-masing direndam dengan metanol perbandingan simplisia : metanol (1:100) atau 1 g dalam 100 mL metanol selama 3x24 jam dengan pengadukan setiap 24 jam sekali sampai larutan tercampur secara homogen. Larutan yang sudah direndam kemudian di saring menggunakan kertas saring Whatman, selanjutnya di uapkan dengan rotary evaporator selama 20 menit pada suhu 70°C.Hasil dari penguapan berupa ekstrak kasar (crude extract) yang selanjutnya akan digunakan untuk uji kuantitatif metabolit sekunder alkaloid dan flavonoid.
Uji Kuantitatif Alkaloid dan Flavonoid
Penentuan Panjang Gelombang maximum (ƛ maks) Berberin dan Kuersetin
Penentuan panjang gelombang maksimum Berberin dilakukan dengan 25 µg berberin dilarutkan 5 mL dapar fosfat pH 4,7 dan 5 mL larutan BCG. Selanjutnya larutan diekstraksi dengan 5 mL kloroform dan kemudian diambil fase kloroform. Fase kloroform tersebut kemudian ditambahkan 5 mL kloroform.
Absorbansi larutan tersebut diukur pada panjang gelombang 200-400 nm. Hasil running tersebut menunjukkan panjang gelombang maksimum standar berberin (Salamah et al., 2017).
Penentuan panjang gelombang maksimum (λ max) kuersetin dapat dilakukan dengan running larutan kuersetin pada range panjang gelombang 400-450 nm. Hasil running tersebut selanjutnya akan ditentukan panjang gelombang maksimum yang digunakan untuk mengukur serapan (Aminah et al., 2017)
Pembuatan Kurva Standart Berberin
Pembuatan kurva standar dilakukan dengan 10 mg berberin dilarutkan dengan 10 mL metanol sehingga konsentrasi yang diperoleh 1000 ppm. Larutan selanjutnya diambil 1 mL dan ditambahkan 10 mL metanol untuk menurunkan konsentrasinya menjadi 100 ppm, selanjutnya di buat dengan seri konsentrasinya menjadi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, 70 ppm, 80 ppm, 90 ppm, dan 100 ppm. Larutan standar berberin masing- masing konsentrasi tersebut di ambil 1 mL dan ditambahkan dengan 5 mL dapar fosfat pH 4,7 dan 5 mL BCG. Masing-masing kemudian diekstraksi dengan 5 mL kloroform dan diambil fase kloroform, fase kloroform tersebut kemudian ditambahkan kembali 5 mL kloroform. Hasil larutan tersebut kemudian diukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum (Salamah et al., 2017).
Pembuatan Kurva Standart Kuersetin
Pembuatan kurva standar dengan melarutkan 10 mg kuersetin dalam metanol 10 mL sehingga konsentrasi yang diperoleh 1000 ppm (larutan stok). Larutan stok tersebut diturunkan konsentrasinya dengan cara pengenceran untuk mendapatkan seri konsentrasi kuersetin. Larutan stok diambil 1 mL dan dilarutkan dalam 10 mL metanol sehingga konsentrasi yang diperoleh menjadi 100 ppm, selanjutnya dibuat seri konsentrasi kuersetin 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, 70 ppm, 80 ppm, 90 ppm, dan 100 ppm (Aminah et al., 2017). Larutan standar kuersetin dengan seri konsentrasi yang
berbeda tersebut masing-masing di ambil 0,5 mL kemudian ditambahkan alumunium klorida (AlCl3) 10% 0,1 mL; 0,1 kalium asetat 1 M dan 2,8 mL aquades. Masing-masing sampel larutan tersebut diinkubasi selama 30 menit dalam suhu ruang. Absorbansi ditentukan dengan metode spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum (Desmiaty et al., 2009; Aminah et al., 2017).
Penetapan Kandungan Total Alkaloid
Penetapan kandungan alkaloid pada masing-masing spesies yaitu Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl (pseudobulb dan daun), Dendrobium linearifolium Teijs & Binn (pseudobulb, batang dan daun) dan Vanda tricolor Lindl. (daun) dilakukan dengan melarutkan 50 mg ekstrak kasar dengan 3 mL HCl 2 N. Larutan tersebut dipipet 1 mL kemudian ditambahkan 5 mL dapar fosfat ph 4,7 dan 5 mL BCG. Selanjutnya diekstraksi dengan menambahkan kloroform 5 mL dan diambil fase kloroform, kemudian di tambahkan 5 mL kloroform kembali. Hasil larutan kemudian diukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum (Salamah et al., 2017).
Penetapan Kandungan Total Flavonoid
Penetapan kandungan flavonoid pada tiga spesies anggrek yaitu Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl (pseudobulb dan daun), Dendrobium linearifolium Teijs & Binn (pseudobulb, batang & daun) dan Vanda tricolor Lindl. (daun) dilakukan sama seperti penentuan kurva standar kuersetin. Ekstrak kasar dari masing-masing anggrek diambil 10 mg dilarutkan dalam 10 mL metanol sehingga konsentrasi yang diperoleh 1000 ppm. Larutan tersebut dipipet 0,5 mL; ditambahkan 1,5 metanol; 0,1 mL (AlCl3) 10% dan 0,1 mL kalium asetat 1 M dan aquades 2,8 mL. Absorbansi ditentukan dengan metode spektofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum. Sampel dibuat dalam tiga replikasi untuk setiap analisis untuk memperoleh rata-rata absorbansi (Desmiaty et al., 2009; Aminah et al., 2017).
Pengukuran Faktor Abiotik
Pengukuran faktor abiotik pada lokasi pengambilan sempel di kawasan Gunung Gumitir Kabupaten Jember dilakukan dengan pengukuran ketinggian tempat, suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya. Setiap pengukuran faktor abiotik tersebut dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali untuk diambil rata-rata pengukuran
Analisis data
Data hasil penelitian uji kuantitatif yang berupa nilai absorbansi dari masing masing sampel anggrek untuk mengetahui kandungan alkaloid dan flavonoid yang dihitung menggunakan rumus seperti di bawah ini. Data pengukuran faktor abiotik berupa data rata-rata yang disusun ke dalam bentuk tabel. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif yang menggambarkan kondisi lingkungan pada saat penelitian.
Kadar mg(BE∕QE)∕g ekstrak =
Konsentrasi alkaloid atau flavonoid dalam volume ekstrak sampel (mg)
massa ekstrak (g)
HASIL
Hasil pengukuran serapan panjang gelombang maksimum menunjukkan bahwa panjang gelombang maksimum standar baku berberin berada pada panjang gelombang 346 nm sedangkan kuarsetin pada panjang gelombang 435 nm. Hal ini sesuai dengan penelitian Setyati et al. (2020) yang menyatakan bahwa panjang gelombang maksimum berberin adalah 346 nm dan kuersetin adalah 435 nm. Kurva standar berberin (Gambar 1) didapatkan kalibrasi kurva dengan persamaan regresi absorbansi y = 0.0031x-0.0138, hasil dari kurva kalibrasi pelarut standart berberin diperoleh hubungan linier antara absorbansi dengan konsentrasi ditunjukkan dengan nilai dari koefisien korelasi (R2) 0.9902. Sedangkan untuk kurva standart kuersetin (Gambar 2) didapatkan persamaan absorbansi y = 0.0042x-0.0033, dengan nilai koefisien korelasi (R2) 0.9847.
Berdasarkan Tabel 1, organ ketiga spesies anggrek yang dianalisis kandungan alkaloid dan flavonoid berbeda. Hal ini didasarkan pada kelengkapan organ yang dimiliki oleh ketiga spesies anggrek yang digunakan. Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. organ vegetatifnya hanya berupa pseudobulb dan daun, Dendrobium linearifolium Teijs & Binn mempunyai batang, pseudobulb, dan daun sedangkan Vanda tricolor Lindl. memiliki daun dan batang tetapi struktur batangnya keras serta tidak dijumpai pseudobulb.
Kurva Standart Berberin
y = 0.0031x - 0.0138 R² = 0.9902
Gambar 1. Kurva Standart Berberin
Kurva Standart Kuersetin
Gambar 2. Kurva Standar Kuersetin
Berdasarkan pertimbangan hal tersebut maka organ vegetatif ketiga spesies anggrek yang dianalisis alkaloid dan flavonoid ada perbedaan. Rata-rata kandungan alkaloid tertinggi (Tabel 1) dijumpai pada daun (Dendrobium linearifolium Teijsm & Binn. sebesar (43,84 mgBE/g), diikuti pseudobulb Bulbophyllum odoratum (Blume)
Lindl. (21,91 mgBE/g) dan daun Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. (18,01 mgBE/g), sedangkan kandungan alkaloid terendah terdapat pada daun Vanda tricolor (9,35 mgBE/gr). Rata-rata kandungan flavonoid tertinggi (Tabel 2) dijumpai pada daun Dendrobium linearifolium
Teijsm. & Binn sebesar (219,59 mgQE/g), diikuti daun Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl (132,21 mgQE/g) dan daun Vanda tricolor Lindl. (122,69mgQE/g).
Tabel 1. Rata-rata kandungan alkaloid tiga spesies anggrek dari kawasan Gunung Gumitir Kabupaten Jember
Spesies |
Bagian tumbuhan Kandungan alkaloid (mgBE/gr) |
Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl |
Pseudobulb 21,91 ± 3,01 Daun 18,01 ± 0,91 |
Dendrobium linearifolium Teijs & Binn |
Pseudobulb 16,37 ± 0,89 Batang 10,06 ± 0,24 Daun 43,84 ± 4,81 |
Vanda tricolor Lindl. |
Daun 9,35 ± 0,216 |
Keterangan: mgBE/g: milligram Berberin/ gram
Tabel 2. Rata-rata kandungan flavonoid tiga spesies anggrek dari kawasan Gunung Gumitir Kabupaten Jember
Spesies |
Bagian tumbuhan |
Kandungan flavonoid mgQE/g |
Bulbophyllum odoratum (Blume) Lin |
Pseudobulb |
57,45 ± 9,64 |
Daun |
132,21 ± 6,20 | |
Dendrobium linearifolium Teijs & Bin |
Pseudobulb |
66,97 ± 1,71 |
Batang |
56,26 ± 0,36 | |
Daun |
219,59 ± 10,47 | |
Vanda tricolor Lindl. |
Daun |
122,69 ± 3,69 |
Keterangan: mgQE/g: milligram Kuersetin/ gram
Berdasarkan hasil pengukuran faktor abiotik pada didapatkan nilai rata-rata ketinggian di gunung Gumitir (755,63 mdpl). Nilai kelembaban dan suhu berturut-turut di kawasan gunung Gumitir adalah (52,93 %rh) dan 32,85 ºC ), sedangkan nilai intensitas cahayanya (654,3 lux). Data pengukuran faktor abiotik tersebut diukur di lokasi ditemukannya ketiga spesies anggrek yaitu Bulbophyllum odoratum (Blume) Lin, Dendrobium linearifolium Teijs & Bin dan Vanda tricolor Lindl. di kawasan gunung Gumitir kabupaten Jember.
Tabel 3. Rata-rata pengukuran faktor abiotik kawasan gunung Gumitir kabupaten Jember
No |
Faktor abiotik |
Rata-rata |
1 |
Ketinggian (mdpl) |
755,63 ± 22,89 |
2 |
Kelembaban udara (% rh) |
52,93 ± 7,25 |
3 |
Suhu (ºC) |
32,85 ± 4,11 |
4 |
Intensitas cahaya (lux) |
654,3 ± 5,68 |
PEMBAHASAN
Berdasarkan nilai koefisien korelasi berberin (R2) 0.9902 (Gambar 1) dan kuersetin (R2) 0.9847 (Gambar 2), nilai (R2) tersebut dinyatakan sangat kuat, sehingga nilai koefisien relasi tersebut dapat digunakan dalam menghitung kandungan alkaloid dan flavonoid. Sesuai dengan pernyataan (Padmaningrum & Siti, 2015) yang menyatakan jika nilai sangat kuat apabila nilai (r) yang diperoleh diatas 0.9 namun kurang dari 1.0
Berdasarkan (Tabel 1) rata-rata kandungan alkaloid antar spesies anggrek berbeda. Perbedaan ini menunjukkan bahwa setiap organ tumbuhan jumlah alkaloidnya tidak sama satu dengan yang lainnya. Sesuai dengan pernyataan Bribi (2018) yang menyatakan bahwa pada tumbuhan tertentu memiliki konsentrasi alkaloid yang berbeda/ bervariasi, begitupula pada setiap
organ tumbuhannya. Perbedaan kandungan metabolit sekunder (alkaloid) antar organ tumbuhan berkaitan dengan peran pentingnya organ tumbuhan untuk pertahanan dan perbanyakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wink et al. (2010) bahwa mekanisme akumulasi metabolit sekunder tergantung pada tempat dan waktu penyimpanan. Lebih lanjut menurut Wink et al. (2010) kandungan alkaloid (Quinolizidine alkaloid/QA) tumbuhan Lupinus pada daun < 4% QA, batang (epidermis 6%QA), bunga 4%QA, buah 3,9% dan biji 4-8%. Hal ini menunjukkan tidak meratanya distribusi metaboli sekunder (alkaloid) pada setiap organ tumbuhan. Rata-rata kandungan alkaloid tertinggi dijumpai pada daun (Dendrobium linearifolium Teijsm & Binn. sebesar (43,84 mgBE/gr), sedangkan kandungan alkaloid terendah terdapat pada daun Vanda tricolor (9,35 mgBE/gr). Perbedaan kandungan metabolit sekunder pada (Tabel 1) ini juga dipengaruhi oleh fungsi metabolit sekunder tersebut bagi tumbuhan. Sesuai dengan pernyataan Ncube et al. (2012) yang menyatakan tanaman telah memperoleh berbagai mekanisme untuk menghadapi lingkungan mereka dan memodifikasi pertumbuhan dan perkembangan mereka sesuai kebutuhan. Mekanisme pertahanan konstitutif dalam menanggapinya pun berbeda-beda. Sepertihalnya tumbuhan yang mengalami stress biotik seperti gangguan dari organisme lain yang kemudian akan mengaktivasi sistem pertahanan mereka dengan meningkatkan produksi metabolit sekunder yang dibutuhkan. Wink (2008) menyatakan senyawa alkaloid dalam tumbuhan berfungsi sebagai pertahanan kimiawi untuk melawan herbivora atau predator lain. Diketahui senyawa alkaloid pada tumbuhan di tahun pertama pertumbuhan didistribusikan di berbagai organ tumbuhan, namun apabila tumbuhan tersebut bertambah tua maka distribusi alkaloid hanya terdapat di beberapa bagian tumbuhan saja, sesuai dengan kebutuhan terhadap tumbuhan tersebut (Djoronga et al., 2014). Senyawa alkaloid diketahui memiliki aktivitas mutagenik atau karsinogenik, antibakteri, antijamur, antioksidan, antiinflamasi dan antivirus. Banyak senyawa alkaloid yang bersifat
racun bagi hewan yang memakannya sehingga dapat menyebabkan hewan tersebut mati, hal ini merupakan perlindungan bagi tanaman dari hewan lain, selain itu senyawa alkaloid juga dimanfaatkan untuk insektisida (Bribi, 2018).
Berdasarkan (Tabel 2) rata-rata kandungan flavonoid berbeda antar spesies anggrek dan antar organ yang diamati. Hal ini menunjukan bahwa perbedaan kandungan flavonoid pada tiap organ anggrek tersebut dikarenakan distribusi senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan tidak merata. Sesuai dengan pernyataan Manurung et al. (2017) yang meneliti tentang kandungan flavonoid dan aktivitas antioksidan tumbuhan tabat Barito (Ficus deltoidea Jack.) pada perbedaan organ tumbuhan dan umur menunjukkan bahwa pada umur 6 bulan setelah tanam kandungan flavonoid batang 138,67 µgCE/mg, daun segar 206,67 µgCE/mg dan buah 328,21 µgCE/mg.. Rata-rata kandungan flavonoid tertinggi dijumpai pada daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn sebesar (219,59 mgQE/gr), diikuti daun Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl (132,21 mgQE/gr ) dan daun Vanda tricolor Lindl. (122,69 mgQE/gr). Perbedaan kandungan ini dikarenakan lokasi penimbunan senyawa metabolit sekunder tersebut dipengaruhi dari fungsi metabolit sekunder tersebut bagi tumbuhan (Hermawan, 2008). Daun adalah organ yang rentan terhadap hama dan penyakit dibanding batang ataupun pseudobulb, oleh karena itu penimbuhan senyawa metabolit sekunder (flavonoid) lebih tinggi pada bagian daun dibandingkan bagian tumbuhan yang lain. Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk pertahanan tumbuhan terhadap lingkungannya. Flavonoid melindungi tumbuhan dari berbagai cekaman abiotik seperti radiasi sinar UV yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan biotik seperti hama, mikroba dan serangga (Samanta et al., 2011). Tingginya kandungan flavonoid di daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. dimaksudkan untuk pertahanan diri tumbuhan mengingat daun adalah organ penting yang berfungsi sebagai tempat terjadinya fotosintesis, transpirasi dan respirasi bagi tumbuhan yang merupakan proses penting dalam memproduksi
metabolit sekunder (Syukriah & Liuvita, 2016). Tingginya kandungan flavonoid di daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. juga dipengaruhi oleh morfologi tumbuhannya. Seperti yang dinyatakan oleh Felicia et al. (2016) bahwa perbedaan kandungan flavonoid dipengaruhi oleh morfologi dan bertambahnya umur masing-masing organ tumbuhan. Daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. memiliki daun yang lebih tipis dibandingkan dengan daun Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. dan daun Vanda tricolor Lindl., sehingga daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. lebih rentan terhadap serangan ulat maupun serangga lain yang memangsanya, ini membuat daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. memproduksi flavonoid lebih besar/ banyak dibandingkan dengan spesies lainnya.
Berdasarkan hasil pengukuran faktor abiotik kawasan gunung Gumitir pada (Tabel 3) kondisi lingkungan tersebut sesuai dengan habitat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anggrek Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl., Dendrobium linearifolium Teijs & Binn dan Vanda tricolor Lindl. Menurut penelitian Fitriany et al. (2019) yang menyatakan bahwa dari aspek suhu, anggrek terbagi atas tiga jenis yaitu: (1) Anggrek suhu dingin yang tumbuh di daerah pegunungan pada ketinggian 2000 – 4000 m dpl. Anggrek jenis ini tumbuh baik pada suhu 15 – 21 ºC saat siang hari dan 10 – 13 ºC saat malam hari; (2) Anggrek suhu sedang yang tumbuh pada ketinggian 750 – 2000 m dpl. Anggrek jenis ini tumbuh baik pada suhu 21 – 32 ºC saat siang hari dan 13 – 18 ºC saat malam hari; (3) Anggrek suhu panas yang tumbuh di dataran rendah pada ketinggian antara 0 – 750 m dpl. Anggrek jenis ini tumbuh baik pada suhu 26 – 35 ºC saat siang hari dan 18 – 24 ºC saat malam hari. Sehingga berdasarkan pengukuran faktor abiotik di kawasan gunung Gumitir yang mempunyai ketinggian 755,63± 22,89 mdpl sesuai untuk pertumbuhan anggrek dan ketiga spesies anggrek tersebut termasuk dalam kategori anggrek suhu sedang dengan kondisi normal untuk lingkungan tempat hidupnya.
Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anggrek, sesuai dengan Tirta (2004) yang menyatakan bahwa anggrek tidak dapat hidup pada kondisi lingkungan yang buruk, karena intensitas cahaya matahari, kelembaban dan nutrisi yang tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing jenis anggrek maka anggrek tidak bisa tumbuh dan berkembang di habitatnya dengan baik. Faktor lain seperti suhu juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, karena suhu mempengaruhi proses fisiologis seperti fotosintesis, respirasi dan transpirasi tumbuhan (Pratama et al., 2017). Apabila kondisi lingkungan tempat hidupnya sesuai maka anggrek dapat melakukan proses fotosintesis dengan baik, sehingga produk yang dihasilkan dari proses fotositesis juga meningkat, yang tentunya akan meningkatkan kandungan metabolit sekunder seperti alkaloid dan flavonoid, dikarenakan metabolit sekunder seperti alkaloid dan flavonoid secara tidak langsung merupakan produk dari proses fotosintesis.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis tumbuhan anggrek dan organ yang berbeda memiliki kandungan alkaloid dan flavonoid yang berbeda. Kandungan alkaloid dan flavonoid anggrek Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. pada pseudobulb adalah (21,91 mgBE/g) dan (57,45 mgQE/g), pada daun (18,01 mgBE/g) dan (132,21 mgQE/g). Anggrek Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. pada pseudobulb adalah (16,37 mgBE/g) dan (66,97 mgQE/g), batang (10,06 mgBE/g) dan (56,26 mgQE/g), daun ( 43,84 mgBE/g) dan (219,59 mgQE/g). Sedangkan anggrek Vanda tricolor Lindl pada daun adalah (9,35 mgBE/g) dan (122,59 mgQE/g), sehingga kandungan alkaloid dan flavonid tertinggi terdapat pada daun Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. sebesar (43,84 mgBE/g) dan (219,59 mgQE/g). Sedangkan kandungan alkaloid dan flavonoid terendah terdapat pada daun Vanda tricolor Lindl.
(9,35 mgBE/g) dan batang Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn (56,26 mgQE/g).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jember yang telah membiayai penelitian KERIS SYMPLAST.
KEPUSTAKAAN
Akter M, Huda MK, Hoque MM. 2018.
Investigation of Secondary Metabolites of Nine Medicinally Important Orchids of Bangladesh. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 7(5): 602-606.
Aminah A, Tomayahu N, Abidin Z. 2017. Penetapan kadar flavonoid total ekstrak etanol kulit buah alpukat (Persea AmericanaMill.) dengan metode
spektrofotometri Uv - Vis. Jurnal Fitofarmaka Indonesia 4(2): 226-230.
Bribi N. 2018. Pharmacological activity of Alkaloids: A Review. Asian Journal of Botany 1(1): 1-6.
Chistomo LY, Budi IM, Karim AK. 2018.
Pemanfaatan dan Cara Meracik Herbal Tumbuhan Obat Antidiabetes Daun Afrika (Vernonia amygdalina DELILE) di Kabupaten Keerom Papua. Jurnal Pengabdian Papua 2(3): 2018.
Desmiaty Y, Ratnawati J, Andini P. 2009. Penentuan Jumlah Flavonoid Total Ekstrak Etanol Daun Buah Merah (Pandanus
conoideus Lamk.) Secara Kolorimetri Komplementer. In Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI (Vol. 36, pp. 1-8).
Djoronga MI, Pandiangana D, Kandou FEF, Tangapo AM. 2014. Penapisan Alkaloid
Pada Tumbuhan Paku dari Halmahera Utara. Jurnal MIPA Unsrat Online 3(2): 102-107.
Evizal R, Setyaningrum E, Ardian, Wibawa A, Aprilani D. 2013. Keanekaragaman Tumbuhan dan Ramuan Etnomedisisn Lampung Timur. Prosiding Seminar FMIPA Universitas Lampung: 279-286.
Fitriany M, Sumaryono M, Suhardiman A. 2019. Pola Sebaran Alami Anggrek (Orchidaceae) Di Cagar Alam Padang Luway Kabupaten
Kutai Barat. Jurnal AGRIFOR 18(2): 241252
Gutiérrez RMP. 2010. Orchids: A review of uses in traditional medicine, its phytochemistry and pharmacology. Journal of medicinal plants research 4(8): 592-638.
Hasairin A. 2010. Keberadaan Tumbuhan yang Memiliki Botani Ekonomi di Indonesia. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 16(60).
Hermawan SE. 2008. Peran Anatomi Dalam Studi Biosintesis Dan Akumulasi Metabolit Sekunder Pada Tumbuhan. Jurnal Natur Indonesia 10(2).
Hossain MM. 2011. Therapeutic Orchids: Traditional Uses and Recent Advances-An Overview. Fitoterapia 82: 102-140.
Kristanti, Handriani, Anindito STW. 2013. Detection of Alkaloid, Flavonoid, and Terpenoid Compounds in Bread (Artocarpus communis Forst.) Leaves and Pulps. Biological Science 2: 129-133.
Lo S, Mulabagal V, Kuo C, Chen C, Tsay H. 2004. Bioguided Fractionation and Isolation of Free Radical Scavenging Components from in Vitro Propagated Chinese Medicinal Plants Dendrobium tosaense Makino and Dendrobium moniliforme Sw. Journal Agricultural and Food Chemistry 52: 69166919.
Mais M, Simbala HEI, Koneri R. 2018. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Etnis Sahu dan Loloda di Halmahera Barat, Maluku Utara. Jurnal MIPA Unsrat Online. 7(1): 8-11.
Manurung H, Kustiawan W, Kusuma IW, Marjenah. 2017. Total flavonoid content and antioxidant activity of tabat Barito (Ficus deltoidea Jack) on different plant organs and ages. Journal of Medicinal Plants Studies 5 (6): 120-125
Maridass M, Hussain MIZ, Raju G. 2008. Phytochemical Survey of Orchids in the Tirunelveli Hills of South India.
Etnobotanical Leaflets 12: 705-712.
Musa FF, Syamsuardi, Arbain A.
Keanekaragaman Jenis Orchidaceae (Anggrek- anggrekan) Di Kawasan Hutan Lindung Gunung Talang Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas 2(2): 153-160.
Ncube B, Finnie JF, Staden JV. 2012. Quality from the field: The impact of environmental faktors as quality determinants in medicinal plants. South African Journal of Botany 82: 11-20
Padmaningrum RT, Marwati S. 2015. Validasi Metode Analisis Siklamat Secara Spektrofotometr Dan Turbidimetri. Jurnal. Sains Dasar 4(1): 23-29.
Pandey K, Sharma PK, Dudhe R. 2012. Anticancer Activity of Parthenium
hysterophorus Linn and Oldenlandia
corymbosa Lam by Srb Method. 1: 325.
Pratama FF, Nahayati E, Barunawati N. 2017. Pengaruh Ketinggian Tempat Dan Aplikasi Boron TerhadapFertilitas Polen Dan Hasil Gandum (Triticum aestivum L.). Jurnal Produksi Tanaman 5(2): 307-315.
Rahayu SM, Andini AS. 2019. Tumbuhan
Antipiretik di Desa Sesaot, Kecamatan Nermada, Kabupaten Lombok Barat. Jurnal of Pharmaceutical Science and Medical Research 2(2): 42-49.
Sabran M, Krismawati A, Galingging YR, Firmansyah MA. 200). Eksplorasi dan karakterisasi tanaman anggrek di Kalimantan Tengah. Buletin Plasma Nutfah 9(1): 1-6.
Sahoo N, Manchikanti P, Dey S. 2010. Herbal drugs: standards and regulation.
Fitoterapia 81(6): 462-471.
Salamah N, Rozak M, Al Abror M. 2017. Pengaruh metode penyarian terhadap kadar alkaloid total daun jembirit
(Tabernaemontana sphaerocarpa BL) dengan metode Spektrofotometri Visibel. Pharmaciana 7(1): 113-22.
Samanta A, Das G, Das SK. 2011. Roles of Flavonoids In Plants. Int. Journal. Pharm. Sci. Tech. 6(1): 12-35.
Setiawan A, Listiani, Abrori FM. 2019. Kajian Etnobotani Tumbuhan Obat Suku Dayak Lundayeh di Desa Kaliamok Kecamatan Malianu Utara Kabupaten Malianu Sebagai Booklet untuk Masyarakat. Borneo Journal of Biology Education 1(1): 1-20.
Setyati D, Sulistiyowati H, Erizcy MP, Ratnasari T. The Flavonoid and Alkaloid Content of Cyclosorus parasiticus (Linn.) Farwell Ferns at The Plantation Areas of Jember Regency. Jurnal Biologi Lingkungan, Industri, Kesehatan 7(1): 23-37.
Silalahi M, Nisyawati. 2015. Pemanfaatan Anggrek sebagai Bahan Obat Tradisional pada Etnis Batak Sumatera Utara. Berita Biologi 14(2): 187-193.
Siti M, Zulpahiyana, Indrayana S. 2016. Komunikasi Terapeutik Perawat
Berhubungan dengan Kepuasan Pasien. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia 4(1): 30-34.
Sujarwo W, Lestari SG. 2018. Studi Etnobotani Tumbuhan Obat dan Upacara Adat Hindu Bali. Buletin Kebun Raya 21(2): 117-139.
Susilowati L. 2018. Inventarisari Jenis Anggrek di Gumutir. Skripsi. Universitas Jember: Jember.
Syukriah Fivi, Pranggarani L. 2016.Implementasi Teknologi Augmented Reality 3D Pada Pembuatan Organologi Tumbuhan. Jurnal Ilmiah Fifo 8(1): 23-32.
Tirta, Sutomo. 2014. Inventarisasi Anggrek Epifit di Kebun Raya Eka Karya Bali. Widyariset 17(2): 245-250.
Tirta G. 2004. Keanekaragaman dan habitat anggrek epifit di Kebun Raya Eka Karya Bali. BioSMART 6(2): 113-116.
Wahyudiningsih TS, Nion YA, Pahawang. 2017. Pemanfaatan Anggrek Spesies Kalimantan Tengah Berbasis Kearifan Lokal yang Berpotensi sebagai Bahan Obat Herbal. Jurnal Biodjati 2(2): 149-158.
Wink M. 2008. Ecological Roles of Alkaloids. Wink, M. (Eds.)Modern Alkaloids, Structure, Isolation Synthesis and Biology. Wiley, Jerman: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA.
Wink M. 2010. Introduction: Biochemistry, Physiology and Ecological Functions of Secondary Metabolites. Journal Annual Plant Reviews 40(1): 1-19.
20
Discussion and feedback