Analisis daya dukung ekowisata birdwatching di Taman Wisata Alam Gunung Tunak, Lombok, Nusa Tenggara Barat
on
JURNAL BIOLOGI UDAYANA
P-ISSN: 1410-5292 E-ISSN: 2599-2856
Volume 27 | Nomor 2 | Desember 2023 DOI: https://doi.org/10.24843/JBIOUNUD.2023.v27.i02.p02
Analisis daya dukung ekowisata birdwatching di Taman Wisata Alam Gunung Tunak, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Carrying capacity analysis of birdwatching ecotourism in the Gunung Tunak Nature Tourism Park, Lombok, West Nusa Tenggara
Sastia Sulastri1, Baiq Farista2, I Wayan Suana1*
-
1) Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mataram
Jalan Majapahit 62 Mataram, Nusat Tenggara Barat, Indonesia – 83125
-
2) Program Studi Ilmu Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mataram Jalan Majapahit 62 Mataram, Nusat tenggara Barat, Indonesia – 83125
*Email: [email protected]
Diterima 20 Juni 2023
INTISARI
Disetujui
28 Oktober 2023
Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tunak merupakan kawasan konservasi di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang digunakan untuk kegiatan wisata alam dan rekreasi. TWA Gunung Tunak memiliki keanekaragaman spesies burung yang tinggi, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi ekowisata birdwatching. Kegiatan ekowisata dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan jika jumlah wisatawan melampaui daya dukung wisata. Perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung cepat atau lambat akan menurunkan kualitas lingkungan dan kerusakan secara ekologis, sehingga mempengaruhi keberadaan burung dan kehidupan liar lainnya di lokasi tersebut. Perhitungan daya dukung perlu dilakukan untuk melindungi fungsi konservasi TWA Gunung Tunak dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya dukung ekowisata birdwatching berdasarkan aspek biofisik dan manajemen pengelolaan di TWA Gunung Tunak. Metode penilaian daya dukung wisata dilakukan melalui tiga tahap yaitu Physical Carrying Capacity (PCC), Real Carrying Capacity (RCC) dan Effective Carrying Capacity (ECC). Aspek biofisik yang dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah breeding session (musim berbiak) burung, curah hujan, kelerengan, dan sensitivitas tanah terhadap longsor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PCC jalur pengamatan Menuju Pintu Masuk (MPM) sebesar 2.527 pengunjung/hari, dan jalur pengamatan Menuju Pantai Teluk Ujung (MPTU) sebesar 1.408 pengunjung/per hari. RCC jalur pengamatan MPM sebesar 245 pengunjung/hari dan jalur MPTU sebesar 315 pengunjung/hari. ECC dengan memperhatikan aspek fisik, ekologi dan manajemen pada jalur pengamatan MPM sebesar 178 pengunjung/hari dan jalur MPTU sebesar 229 pengunjung/hari. Berdasar pada nilai ECC, maka pengembangan ekowisata birdwatching di TWA Gunung Tunak pada masa mendatang dapat dioptimalkan sebesar 84,38% (162 pengunjung/hari atau 4.860 pengunjung/bulan) untuk jalur MPM dan 93,01% untuk jalur MPTU (213 pengunjung/hari atau 6.390 pengunjung/bulan).
Kata kunci: Birdwatching, Daya Dukung Fisik, Daya Dukung Riil, Daya Dukung Efektif, Ekowisata
ABSTRACT
Gunung Tunak Nature Tourism Park (GTNTP) is a conservation area in Lombok, West Nusa Tenggara, used for nature tourism and recreation activities. GTNTP has a high diversity of bird species, so it has great potential to be developed into birdwatching ecotourism. Ecotourism activities have a negative impact on the environment if the number of tourists exceeds the carrying capacity. Tourism planning that does not pay attention to carrying capacity sooner or
later will lower environmental quality and cause ecological damage, affecting the presence of birds and other wildlife in that location. Carrying capacity calculations need to be carried out to protect the conservation function of GTNTP and maintain environmental sustainability. This research aims to analyze the carrying capacity of birdwatching ecotourism based on biophysical and management aspects at GTNTP. The tourism carrying capacity assessment method was carried out in three stages, namely physical carrying capacity (PCC), real carrying capacity (ECC), and effective carrying capacity (ECC). The biophysical aspects considered in this research were breeding sessions of birds, rainfall, slope, and soil sensitivity to landslides. The result showed that the PCC observation trail to the gateway (MPM) was 2,527 visitors/day and the observation trail to the Teluk Ujung Beach (MPTU) was 1,408 visitors/day. The RCC MPM observation trail has 245 visitors per day, and the MPTU trail has 315 visitors per day. The ECC, by paying attention to physical, ecological, and management aspects on the MPM observation trail was 178 visitors per day, and the MPTU trail is 229 visitors per day. Based on the ECC value, the future development of birdwatching ecotourism in GTNTP can be optimized by 83.38% (162 visitors per day or 4,860 visitors per month). For the MPM trail and 93.01% for the MPTU trail (213 visitors/day or 6,390 visitors/month).
Keywords: Birdwatching, Physical Carrying Capacity, Real Carrying Capacity, Effective Carrying Capacity, Ecoturism
PENDAHULUAN
Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tunak merupakan kawasan pelestarian alam dengan tingkat keanekaragaman spesies burung yang tinggi. Hadiprayitno et al. (2019) mencatat 32 spesies burung dengan komposisi 29 spesies burung darat dan 3 spesies burung air. Beberapa spesies seperti Megapodius reinwardt memiliki keunikan perkembangbiakan, serta Cinnyris jugularis yang meskipun status konservasinya tidak dilindungi dalam Permenlhk 106/2018 namun memiliki peran ekologis sebagai polinator, sehingga keberadaanya sangat penting bagi ekosistem (Iwanda et al., 2019). Dicrurus densus dan Lalage sueurii merupakan spesies endemik yang menjadi target bagi pengamat burung lokal maupun mancanegara. Keanekaragaman spesies burung di TWA Gunung Tunak lebih tinggi dibandingkan dengan TWA Kerandangan, dimana tahun 2020 tercatat sebanyak 16 spesies saja, sehingga keanekaragaman ini potensial dikembangkan untuk kegiatan ekowisata birdwatching (Octarin et al., 2021; Kartono et al., 2020). Birdwatching di alam terbuka merupakan bentuk kegiatan ekowisata yang dapat menjadi strategi pendukung kegiatan konservasi dan penyedia pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan lindung (Kurniawan, 2015).
Ekowisata sebagai salah satu produk dari konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan juga memberikan pendidikan bagi pengunjung mengenai perlindungan lingkungan dan sumberdaya (Haryanto, 2014). Kegiatan ekowisata dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan jika jumlah wisatawan melampaui daya dukung. Jumlah wisatawan yang melampaui daya dukung akan berpengaruh terhadap kondisi fisik kawasan dan satwa yang berada di lokasi tersebut. Pengembangan suatu kawasan untuk kegiatan ekowisata harus dikaji daya dukungnya untuk mengurangi gangguan yang ditimbulkan (Aryanto et al., 2017).
Menurut World Tourism Organization (WTO) daya dukung adalah jumlah maksimum wisatawan yang dapat mengunjungi area wisata saat bersamaaan tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan fisik, ekonomi, sosial budaya dan penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, jika melebihi daya dukung wisatawan tidak memperoleh kenyamanan dalam berwisata (Sasmita, 2014; Suana et al., 2020). Konsep daya dukung dikembangkan untuk mencegah kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan (Farista & Virgota, 2019). Untuk kawasan lindung, wisata budaya, dan lingkungan alami yang menjadi destinasi wisata
sebaiknya menerapkan konsep daya dukung karena berkaitan dengan kelestarian kawasan wisata dan kehidupan masyarakat lokal (Zelenka & Kacetl, 2014). Selain itu konsep daya dukung juga berguna dalam pengelolaan satwa liar dan lingkungannya. Penggunaan konsep daya dukung dalam mengelola satwa liar berkaitan dengan jumlah satwa yang dapat survive di habitatnya dengan luasan kawasan taman wisata alam yang dimanfaatkan untuk aktivitas wisata birdwatching (Suana et al., 2020).
Data jumlah wisatawan TWA Gunung Tunak periode 2017-2019 menunjukan kecenderungan meningkat, sehingga berpotensi merusak kawasan akibat tekanan lingkungan yang ikut meningkat, terlebih penelitian terkait daya dukung ekowisata di TWA Gunung Tunak belum pernah dilakukan. Untuk menunjang pengelolaan obyek wisata yang tepat, serta mengurangi dampak negatif terhadap kondisi biofisik lingkungan, kenyamanan wisatawan serta untuk mencapai prinsip ekowisata yang berkelanjutan (Yudhistira & Komarudin, 2021), maka kajian daya dukung ekowisata birdwatching di TWA Gunung Tunak perlu dilakukan. Terlebih TWA Gunung Tunak merupakan kawasan konservasi yang memiliki fungsi melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan.
MATERI DAN METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di jalur birdwatching TWA Gunung Tunak yang terletak di Desa Mertak, Kecematan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggar Barat pada bulan April – Mei 2023 (Gambar 1).
Gambar 1. Peta Jalur Birdwatching di TWA Gunung Tunak
Bahan dan alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah aplikasi ArcMap 10.8 yang digunakan untuk membuat peta, analisis terkait panjang jalur birdwatching, panjang jalur masing-masing kelas lereng dan menentukan jenis tanah di lokasi penelitian; alat tulis yang digunakan untuk mencatat semua informasi hasil
observasi lapangan; peta kawasan dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk di-overlay ke peta Rupa Bumi Indonesia (RBI); roll meter untuk mengukur lebar jalur penelitian dan kamera untuk mendokumentasikan kegiatan pengambilan data selama di lapangan.
Metode
Perhitungan daya dukung difokuskan pada blok pemanfaatan kawasan yaitu pada dua jalur pengamatan burung (birdwatching). Jalur tersebut terdiri dari jalur pengamatan menuju pintu masuk (MPM) dan jalur pengamatan menuju pantai Teluk Ujung (MPTU). Perhitungan daya dukung menggunakan metode yang dikembangkan oleh Cifuentes (1992), yang terbagi menjadi tiga tahapan yaitu Daya Dukung Fisik (Physical Carrying Capacity/PCC), Daya Dukung Riil (Real Carrying Capacity/RCC) dan Daya Dukung Efektif (Effevtive Carrying Capacity/ECC).
Sumber data meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengukuran langsung di lokasi penelitian, seperti menghitung lebar jalur birwatching, menghitung nilai Rotation Factor (RF) dengan melakukan wawancara kepada pihak pengelola TWA Gunung Tunak dan pemandu wisata birdwatching terkait jam operasional TWA Gunung Tunak, serta lama rata-rata waktu pengamatan burung pada masing-masing jalur. Berikutnya menghitung nilai Management Capacity (MC) dengan cara melakukan wawancara terkait jumlah staf yang ada dan jumlah staf yang aktif bekerja dalam satu minggu. Software ArcGIS 10.8 digunakan untuk menganalisis panjang jalur atau total area (A) yang digunakan untuk pengamatan burung. Data sekunder diperoleh dari BKSDA NTB, yakni data pengunjung TWA Gunung Tunak, serta Badan Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi (BMKG) Kelas I Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu data curah hujan 10 tahun terakhir. Nilai total area yang dibutuhkan per individu per m2 (B) diperoleh dari ketetapan yang ada di rumus daya dukung wisata yang dikembangkan Cifuentes (1992).
Analisis data
Perhitungan Daya Dukung Fisik (Physical Carrying Capacity/PCC) menggunakan rumus:
PCC = A x 1 x Rf B
PCC adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat mengisi suatu area dalam satu hari; A adalah total area yang digunakan untuk kegiatan pengamatan burung (birdwatching); B adalah total area yang dibutuhkan per individu per m2 dengan masih mendapatkan keleluasaan dalam bergerak; Rf adalah faktor rotasi atau jumlah kunjungan per hari. Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan jam operasional TWA Gunung Tunak dengan rata-rata lama waktu pengamatan burung (birdwatching).
Daya Dukung Riil (Real Carrying Capacity/RCC) adalah jumlah pengunjung yang diperbolehkan berkunjung ke suatu kawasan wisata dengan mempertimbangkan faktor koreksi (Correction Factor/CF) yang sesuai dengan karakteristik kawasan (Sofiyan et al., 2019). RCC dinyatakan dalam rumus:
RCC = PCC x Cf1 x Cf2 x Cf3… Cfn
Perhitungan Cf dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: Cfn = 1-(Mn/Mt), dimana Cfn adalah perbandingan antara kondisi nyata pada variabel fn
terhitung (Mn) dengan batas maksimum pada variabel fn (Mt). Faktor biofisik yang dipertimbangkan sebagai faktor koreksi adalah faktor pembatas yang diperkirakan menyebabkan resiko terhadap lingkungan dan ancaman keselamatan serta kenyamanan berwisata. Faktor koreksi yang dipertimbanngkan dalam penelitian ini adalah breeding season, kelerengan, sensitivitas lahan terhadap longsor, dan jumlah curah hujan. Breeding season (Cf1) didasarkan pada total bulan breeding season burung. Informasi terkait breeding session diperoleh dengan melakukan wawancara kepada pihak pemandu birdwatching di TWA Gunung Tunak dan salah satu pemandu birdwatching di Pulau Lombok. Kelerengan (Cf2) didasarkan pada klasifikasi kelas lereng menurut Keputusan Menteri Pertanian Indonesia No.837 / Kpts / UM / 11/1980. Sensitivitas lahan terhadap longsor (Cf3) didasarkan pada jenis tanah dan kelerengan lahan. Faktor koreksi curah hujan (Cf4) didasarkan pada klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson.
Daya Dukung Efektif (Effevtive Carrying Capacity/ECC) adalah jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung objek wisata dengan bergantung pada kapasitas manajemen dalam memberikan pelayanan. Nilai ECC diperoleh dengan menggunakan rumus:
ECC = RCC x MC
MC adalah keadaan manajemen kawasan yang berkaitan dengan jumlah pegawai yang tersedia dengan jumlah pegawai yang sebenarnya dibutuhkan, yang dihitung dengan rumus:
MC = — x 100% Rt
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya dukung fisik/Physical carrying capacity (PCC)
Daya dukung fisik dihitung untuk mengetahui jumlah maksimal wisatawan yang dapat berkunjung dalam satuan waktu satu hari (Hidayat et al., 2021). Pertimbangan dasar yang dipergunakan dalam melakukan perhitungan PCC adalah ruang yang dibutuhkan individu/m2 dengan masih mendapatkan keleluasaan dalam bergerak (1/B) adalah 1 m, lebar jalur pengamatan MPM 3,7 m, sehingga setiap pengunjung menempati 3,7 m2. Jarak antara rombongan/kelompok 50 m untuk menghindari kepadatan pengunjung di jalur pengamatan MPM, jumlah maksimum wisatawan dalam setiap kelompok yaitu 20 orang (Cifuentes, 1992). Namun dalam penelitian ini, setiap kelompok hanya diisi 6 orang wisatawan saja agar tidak menggangu keberadaan burung (Suana et al., 2020), total area MPM adalah 8.276 m2, periode buka TWA Gunung Tunak adalah pukul 08.00-17.00 (9 jam/hari) dengan rata-rata waktu pengamatan burung untuk jalur pengamatan MPM 2 jam, sehingga diperoleh nilai Rf untuk jalur pengamatan MPM sebesar 4,5. Untuk mengetahui total area yang digunakan dalam kegiatan pengamatan (A), setiap individu menempati 3,7 m2, setiap kelompok yang terdiri dari 6 orang membutuhkan 22 m2. Jarak antara kelompok 50 m, maka total area MPM sebesar 8.276 m2 dapat ditempati 115 kelompok sekaligus, sehingga total area yang digunakan untuk kegiatan pengamatan adalah 115 x 6 pengunjung/kelompok x 3,7 m2/individu = 2.553 m2. Perhitungan yang sama juga dilakukan pada jalur pengamatan MPTU. Penilaian daya dukung fisik untuk masing-masing jalur birdwatching disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai daya dukung fisik jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak
Jalur Pengamatan |
A (m2) |
B (m2) |
Rf |
PCC |
MPM |
2.553 |
3,7 |
4,5 |
2.527 |
MPTU |
2.898 |
3,5 |
1,8 |
1.408 |
Total |
7.704 |
7,2 |
6,3 |
3.935 |
Keterangan: A: Total area yang digunakan untuk kegiatan pengamatan burung (birdwatching); B: total area yang dibutuhkan per individu per m2 dengan masih mendapatkan keleluasaan dalam bergerak; Rf: faktor rotasi atau jumlah kunjungan perhari; PCC: Physical Carrying Capacity/Daya Dukung Fisik
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 1, PCC untuk jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak sebanyak 2.527 pengunjung/hari pada jalur pengamatan MPM dan 1.408 pengunjung/hari pada jalur pengamatan MPTU. Jika dibandingkan dengan jumlah aktual rata-rata kunjungan/hari tahun 2017-2019 yaitu 16 pengunjung/hari, maka jumlah wisatawan birdwatching di TWA Gunung Tunak belum melampaui daya dukung fisik. Nilai rata-rata pengunjung merupakan nilai rata-rata kunjungan harian secara teratur dalam kurun waktu 1 tahun dengan tidak mempertimbangkan waktu puncak (peak season) dan waktu sepi pengunjung (off-season). Nilai PCC merupakan perhitungan yang cukup krusial dalam merencanakan pengembangan obyek wisata karena penggunaaan standar PCC pada objek wisata dapat mencegah pembangunan yang berlebihan pada kawasan (Lucyanti et al., 2013).
Nilai PCC merupakan jumlah maksimum wisatawan yang dapat ditampung oleh luas jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak dengan mempertimbangkan kebutuhan area wisatawan untuk berwisata dengan nyaman. Nilai PCC ini masih mengabaikan faktor-faktor biofisik lokasi objek wisata, artinya pertimbangan kondisi lingkungan jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak belum digunakan dalam perhitungan PCC. Menurut Soemarwoto (2004) di dalam Farista & Virgota (2019) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi daya dukung lingkungan pariwisata adalah faktor geobiofisika lokasi wisata tersebut. Kekuatan dan kelemahan ekosistem sangat dipengaruhi oleh faktor geobiofisika.
Daya dukung riil/Real carrying capacity (RCC)
Daya dukung riil merupakan jumlah pengunjung yang diperbolehkan berkunjung ke suatu kawasan wisata dengan mempertimbangkan faktor koreksi (Correction Factor/CF) yang sesuai dengan karakteistik kawasan (Aswirna et al., 2023). Faktor biofisik yang dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah breeding season, kelerengan, kepekaan erosi tanah, dan curah hujan.
Breeding season menjadi faktor koreksi biotik karena burung dalam masa breeding (berbiak) lebih rentan terhadap aktivitas manusia. Aktivitas yang terlalu dekat dengan sarang dapat menjadi penyebab sarang ditinggal oleh induknya. Jika sarang ditinggalkan oleh induk bukan saja risiko predasi yang meningkat tetapi telur dan anakan tidak akan bisa bertahan hidup (Ardi et al., 2014). Breeding season terjadi pada awal musim hujan, yaitu bulan September hingga November (3 bulan). Nilai koreksi dari breeding season diperoleh dengan membagi jumlah bulan breeding season dengan jumlah bulan dalam satu
tahun (12 bulan), sehingga nilai faktor koreksi breeding season (Cf1) sebesar 0,75.
Kelerengan menjadi faktor koreksi karena berpengaruh terhadap pelestarian kawasan. Semakin curam lereng semakin tinggi risiko kerusakan dan gangguan yang akan terjadi. Kemiringan lereng juga merupakan unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap erosi (Rahmayanti, 2018). Selain itu, kelerengan berpengaruh terhadap keamanan dan keselamatan wisatawan dalam berwisata (Rukmana & Handiwati, 2020). Semakin curam lereng, semakin tinggi risiko kecelakaan. Mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian Indonesia No.837/Kpts/UM/11/1980, kelas lereng dibagi dalam 5 yaitu datar, landai, agak curam, curam, dan sangat curam. Nilai Cf2 diperoleh dengan membandingkan kelas lereng dengan total area masing-masing jalur pengamatan birdwatching (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai faktor koreksi kemiringan lereng (Cf3) masing-masing jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak
Jalur Pengamatan |
Lereng (%) |
Kelas Lereng |
Total Area (m2) |
% |
Skor Lereng |
Cf2 |
MPM |
0-8 |
Datar |
616 |
0,07 |
20 |
0,01 |
8-15 |
Landai |
2.428 |
0,29 |
40 |
0,12 | |
15-25 |
Agak curam |
2.612 |
0,31 |
60 |
0,19 | |
25-40 |
Curam |
1.316 |
0,15 |
80 |
0,12 | |
>40 |
Sangat curam |
1.304 |
0,15 |
100 |
0,15 | |
Total |
8.276 |
0,59 | ||||
MPTU |
0-8 |
Datar |
3.192 |
0,32 |
20 |
0,06 |
8-15 |
Landai |
4.380 |
0,44 |
40 |
0,18 | |
15-25 |
Agak curam |
1.304 |
0,13 |
60 |
0,08 | |
25-40 |
Curam |
460 |
0,04 |
80 |
0,03 | |
>40 |
Sangat curam |
440 |
0,04 |
100 |
0,04 | |
Total |
9.776 |
0,39 |
Sensitivitas tanah terhadap longsor digunakan sebagai faktor koreksi karena berpengaruh terhadap kegiatan wisata yang berlangsung. Kondisi kemiringan dan jenis tanah di TWA Gunung Tunak memberikan peluang terjadinya longsor (Nugroho & Nugroho, 2020). Apabila suatu area wisata memiliki tingkat erosivitas tanah yang tinggi maka semakin besar kemungkinan terjadi erosi atau tanah longsor (Raco et al., 2022). Jenis tanah di TWA Gunung Tunak adalah litosol. Berdasarkan klasifikasi jenis tanah di dalam Keputusan Menteri Pertanian No.837/Kpts/UM/11/1980, tanah litosol merupakan tanah yang sangat sensitif terhadap erosi. Nilai faktor koreksi terhadap tanah longsor dihitung berdasarkan perbandingan skor sensitivitas terhadap tanah longsor dengan persentase total area birdwatching (Tabel 3).
Curah hujan menjadi faktor koreksi karena berkaitan dengan kenyamanan dan risiko kecelakaan wisatawan (Pangestika et al., 2019). Jalur pengamatan MPTU hanya sebagian yang diaspal sedangkan bagian lain hanya jalan yang berstruktur tanah berlumpur. Saat hujan, akses jalur pengamatan MPTU akan sulit dilewati karena tekstur tanah yang lembek, sehingga licin dan rawan kecelakaan. Selain itu, curah hujan yang tinggi dapat memengaruhi keberadaan burung di suatu lokasi karena tidak banyak burung yang aktif saat hujan turun. Oleh karena itu ketika curah hujan tinggi, frekuensi penjumpaan burung akan menurun (Rumblat, 2020).
Tabel 3. Nilai faktor koreksi kemiringan lereng (Cf3) masing-masing jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak
Jalur Pengamatan |
Lereng (%) |
Kelas Lereng |
Total Area (m2) |
% |
Skor Kepekaan lahan terhadap longsor |
% |
Cf3 |
MPM |
0-8 |
Datar |
616 |
0,07 |
Rendah |
0,33 |
0,02 |
8-15 |
Landai |
2.428 |
0,29 |
Rendah |
0,33 |
0,09 | |
15-25 |
Agak curam |
2.612 |
0,31 |
Sedang |
0,67 |
0,21 | |
25-40 |
Curam |
1.316 |
0,15 |
Tinggi |
1 |
0,15 | |
>40 |
Sangat curam |
1.304 |
0,15 |
Tinggi |
1 |
0,15 | |
Total |
8.276 |
0,62 | |||||
MPTU |
0-8 |
Datar |
3.192 |
0,32 |
Rendah |
0,33 |
0,11 |
8-15 |
Landai |
4.380 |
0,44 |
Rendah |
0,33 |
0,14 | |
15-25 |
Agak curam |
1.304 |
0,13 |
Sedang |
0,67 |
0,08 | |
25-40 |
Curam |
460 |
0,04 |
Tinggi |
1 |
0,04 | |
>40 |
Sangat curam |
440 |
0,04 |
Tinggi |
1 |
0,04 | |
Total |
9.776 |
0,41 |
Faktor koreksi curah hujan diperoleh dengan membandingkan jumlah bulan kering dan bulan basah. Berdasarkan data curah hujan tahun 2013-2020 yang diperoleh dari Badan Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi (BMKG ) Kelas I NTB jumlah bulan kering yaitu 65 dan 55 bulan basah. Nilai indeks curah hujan sebesar 1,18 termasuk kategori agak kering menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson yang kemudian ditetapkan sebagai Mn dan nilai maksimum Mt adalah 7 (nilai indeks maksimal dalam klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson), sehingga diperoleh nilai faktor koreksi curah hujan sebesar 0,83. Hasil penilaian daya dukung riil pada masing-masing jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak seperti tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai daya dukung riil masing-masing jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak
Jalur Pengamatan |
A (m2) |
B (m2) |
Rf |
PCC |
Cf1 |
Cf2 |
Cf3 |
Cf4 |
RCC |
MPM |
2.553 |
3,7 |
4,5 |
2.527 |
0,75 |
0.41 |
0,38 |
0,83 |
245 |
MPTU |
2.898 |
3,5 |
1.8 |
1.408 |
0,75 |
0.61 |
0,59 |
0,83 |
315 |
Total |
5.451 |
7,2 |
6,3 |
3.935 |
1,5 |
1.26 |
1,06 |
0,97 |
560 |
Keterangan: A: Total area yang digunakan untuk kegiatan pengamatan burung (birdwatching); B: total area yang dibutuhkan per individu per m2 dengan masih mendapatkan keleluasaan dalam bergerak; Rf: faktor rotasi atau jumlah kunjungan per hari; PCC: Physical Carrying Capacity/Daya Dukung Fisik; CF: Correction factor; RCC: Real Carrying Capacity/Daya Dukung Rill
Hasil perhitungan RCC pada Tabel 4 menjelaskan bahwa jumlah maksimum pengunjung yang dapat melakukan aktivitas wisata birdwatching di TWA Gunung Tunak dengan mempertimbangkan faktor biofisika lingkungan. Faktor koreksi yang membatasi jumlah pengunjung adalah faktor koreksi kemiringan lereng dan sensitivitas tanah terhadap longsor pada jalur pengamatan MPM. Hal ini karena jalur pengamatan MPM memiliki total area kelerengan dengan komposisi kelas lereng agak curam, curam, dan sangat curam yang paling luas daripada jalur pengamatan MPTU, sehingga menjadi pembatas bagi
jumlah wisatawan yang dapat melalui jalur terebut. Lucyanti et al. (2013) menyatakan bahwa area wisata dengan kelerengan tanah yang landai akan memberikan kenyamanan yang lebih bagi pengunjung.
Nilai RCC jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak yaitu 245 pengunjung/hari untuk jalur pengamatan MPM dan 315 pengunjung/hari untuk jalur pengamatan MPTU. Jika dikonversikan ke dalam jumlah pengunjung/bulan, maka wisatawan yang dapat diterima oleh jalur MPM sebanyak 7.350 pengunjung/bulan atau 89.425 pengunjung/tahun dan 9.450 pengunjung/bulan atau 114.975 pengunjung/tahun pada jalur pengamatan MPTU. Nilai perhitungan PCC masih diatas nilai aktual pengunjung selama 3 tahun yaitu tahun 2017-2019 (Tabel 5) dengan rata-rata kunjungan/bulan 514 pengunjung/bulan atau 6.168 pengunjung/tahun. Jumlah pengunjung masih dapat dioptimalkan sampai 93,1% pada jalur pengamatan MPM dan 94,64% pada jalur pengamatan MPTU. Perhitungan daya dukung riil dapat membantu memelihara keseimbangan lingkungan wisata dengan jumlah pengunjung birdwatching di TWA Gunung Tunak. Selaras dengan pernyataan Butler (1999) di dalam Sari dan Rahayu (2018) bahwa daya dukung merupakan batas penggunaan suatu kawasan pariwisata sebelum terjadi penurunan kualitas sumber daya pariwisata atau pengalaman pengunjung.
Tabel 5. Data jumlah pengunjung di TWA Gunung Tunak
Tahun |
Bulan |
Jumlah | |||||||||||
Jan |
Peb |
Mar |
Apr |
Mei |
Jun |
Jul |
Ags |
Sep |
Okt |
Nop |
Des | ||
2017 |
- |
- |
518 |
211 |
- |
- |
- |
- |
- |
2065 |
- |
339 |
3133 |
2018 |
730 |
201 |
614 |
634 |
906 |
769 |
872 |
268 |
195 |
165 |
231 |
517 |
6102 |
2019 |
829 |
721 |
747 |
1104 |
886 |
1530 |
1102 |
775 |
362 |
623 |
271 |
319 |
9269 |
Jumlah |
1559 |
922 |
1879 |
1949 |
1792 |
2299 |
1974 |
1043 |
557 |
2853 |
502 |
1175 |
18504 |
Daya dukung riil bukanlah ukuran optimum dari jumlah pengunjung yang dapat diterima suatu kawasan. Jumlah maksimum pengunjung di kawasan konservasi sangat tergantung pada kapasitas manajemen. Oleh karena itu, nilai daya dukung yang mencerminkan kapasitas manajemen (MC) adalah daya dukung efektif (ECC) (Farista & Virgota, 2019). MC didefinisikan sebagai variabel administrasi yang diperlukan bagi pengelolaan kawasan lindung untuk mewujudkan tugas dan tujuannya. Variabel yang dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah jumlah staf yang ada di TWA Gunung Tunak. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Resort TWA Gunung Tunak, terdapat 9 petugas pengelola kawasan yang terdiri 1 Polhut, 1 PEH dan 7 tenaga PPNPN. Semua petugas aktif bekerja setiap hari Senin-Jumat, kemudian hari Sabtu dan Minggu 7 orang dari tenaga PPNP secara bergilir menjaga kandang rusa dan gerbang pungut tiket. Dengan demikian MC kawasan TWA Gunung Tunak adalah jumlah petugas yang ada dibagi dengan jumlah petugas yang aktif bekerja kemudian dikalikan 100%, sehingga nilai MC adalah 72,84%. Nilai ECC dapat dilihat pada Tabel 6.
Sehubungan dengan perhitungan ECC jalur birdwatching di TWA Gunung Tunak pada Tabel 6 untuk kunjungan wisatawan dapat lebih dioptimalkan 84,38% (162 pengunjung/hari atau 4.860 pengunjung/bulan) untuk jalur MPM dan 93,01% untuk jalur MPTU (213 pengunjung/hari atau 6.390 pengunjung/bulan). Pengoptimalan jumlah pengunjung yang berdasar pada nilai daya dukung riil maupun daya dukung efektif harus disertai dengan
pengoptimalan jumlah petugas pengelola sampai dengan 100%. Menurut Cifuentes (1992) dalam Zacarias et al (2011), untuk meningkatkan kapasitas petugas pengelola dalam memberikan layanan bagi pengunjung perlu ditunjang dengan kapasitas manajemen pengelolaan berdasarkan dasar hukum, peraturan, peralatan, personil, pendanaan, infrastruktur dan fasilitas. Pengoptimalan kapasitas manajemen dilakukan untuk mengantisipasi penurunan kapasitas manajemen terutama pada musim puncak kunjungan wisata.
Tabel 6. Hasil perhitungan nilai daya dukung efektif
Jalur Pengamatan |
A (m2) |
B (m2) |
Rf |
PCC |
Cf1 |
Cf2 |
Cf3 |
Cf4 |
RCC |
ECC |
MPM |
2.553 |
3,7 |
4,5 |
2.527 |
0,75 |
0,41 |
0,38 |
0,83 |
245 |
178 |
MPTU |
2.898 |
3,5 |
1,8 |
1.408 |
0,75 |
0,61 |
0,59 |
0,83 |
315 |
229 |
Total |
5.451 |
7,2 |
6,3 |
3.935 |
1.5 |
1.26 |
1.06 |
0.97 |
560 |
407 |
Keterangan: A: Total area yang digunakan untuk kegiatan pengamatan burung (birdwatching); B: total area yang dibutuhkan per individu per m2 dengan masih mendapatkan keleluasaan dalam bergerak; Rf: faktor rotasi atau jumlah kunjungan per hari; PCC: Physical Carrying Capacity/Daya Dukung Fisik; CF: Correction factor; Real Carrying Capacity/Daya Dukung Rill; ECC: Effective Carrying Capacity/ Daya Dukung Efektif
SIMPULAN
Penilaian Daya Dukung Fisik (PCC), Daya Dukung Riil (RCC), dan Daya Dukung Efektif (ECC) TWA Gunung Tunak masih berada diatas jumlah aktual rata-rata kunjungan saat ini. Berdasarkan pada nilai ECC yang telah mempertimbangkan faktor biofisik lingkungan dan kapasitas manajamen, maka pengembangan ekowisata birdwatching di TWA Gunung Tunak di masa depan dapat dioptimalkan sebesar 84,38% (162 pengunjung/hari atau 4.860 pengunjung/bulan) untuk jalur MPM dan 93,01% untuk jalur MPTU (213 pengunjung/hari atau 6.390 pengunjung/bulan).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam - Nusa Tenggara Barat yang sudah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di Kawasan TWA Gunung Tunak. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak pengelola TWA Gunung Tunak yang sudah membantu penulis dalam melengkapi beberapa data penelitian sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
KEPUSTAKAAN
Ardi B. 2014. Aktivitas manusia dan Pengaruhnya Terhadap Jumlah Jenis Burung Di Cagar Alam Pulau Sempu. Kelompok Pengamat Peneliti dan Pemerhati Burung. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada.
Aswirna A, Bagus I, Wiyasha M, Suprapto INA. 2023. Jurnal Ilmiah Pariwisata Dan Bisnis Pariwisata Berkelanjutan Di Semara Ratih Delodsema Village. Kabupaten Gianyar. Jurnal Ilmiah Pariwisata dan Bisnis 2(1): 145–157.
Aryanto T, Purnaweni H, Soeprobowati TR. 2017. Daya Dukung Jalur Pendakian Bukit Raya Di Taman Nasional Bukit Baka Raya Kalimantan Barat. Jurnal Ilmu Lingkungan 14(2): 7276.
Cifuentes M. 1992. Determinacion de Capacidad de Cargatruisticaen Areas Protegidas. Centro Agronomico Tropical de Investigacion Y Enzenanza Catie, Costa Rica.
Farista B, Virgota A. 2019. Penilaian Daya Dukung Untuk Pengembangan Ekowisata Di Taman Wisata Alam Kerandangan. BioWallacea 5(1): 43–51.
Hadiprayitno G, Al Idrus A, Mertha IG, Ilhamdi ML, Suana IW. 2019. Short communication: Bird community and it’s conservation implications in Gunung Tunak Nature Park, Lombok, Indonesia. Biodiversitas 20(6): 1753-1757.
Hidayat S, Suteja IW, Indrapati, Sriwi A. 2021. Penerapan Visitor Management Melalui Pendekatan Carrying Capacity Di Kawasan Wisata Bukit Pergasingan Sembalun. Jurnal Ilmiah Hospitality (JIH) 10(2): 147.
Haryanto JT. 2014. Model Pengembangan Ekowisata Dalam Mendukung Kemandirian Ekonomi Daerah Studi Kasus Provinsi Diy. Jurnal Kawistara 4(3): 225-330.
Iwanda, R, Parikesit DW, Kenria ND, Rinaldi D. 2019. Distribusi Dan Aktivitas Harian Burung Madu Sriganti Dan Burung Madu Kelapa Di Kampus Dramaga, BOGOR. Researchgate publication.
Kartono A, Soimin M, Rachman INA. 2020. Keanekargaman Spesies Burung di Kawasan Hutan Taman Wisata Karandangan. Jurnal Silva Samalas 3(1): 22-27.
Kurniawan, R. (2015). Atraksi Birdwatching: Study Deskriptif Tentang Birdwatching Sebagai Atraksi Wisata Alternatif di Taman Hutan Raya R Soerjo, Batu. Doctoral dissertation. Universitas Airlangga.
Nugroho, DD, Nugroho, H. 2020. Analisis Kerentanan Tanah Longsor Menggunakan Metode Frequency Ratio di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Jurnal of Geodesy and Geomatics 16(1): 8-18.
Octarin E, Harianto SP, Dewi BS, Winarno GD. 2021. Keanekaragaman Jenis Burung untuk Pengembangan Ekowisata Birdwatching di Hutan Mangrove Pasir Sakti Lampung Timur Bird Diversity For Development of Birdwatching Ecoturism in Mangrove Forest. Jopfe Journal 1(1): 21-28.
Pangestika RS, Wicaksono AD, Sari N. 2019. Daya Dukung Lingkungan Wisata Subak Jatiluwih Di Desa Jatiluwih Kabupaten Tabanan. Planning for Urban Region and Environment Journal (PURE) 8(1): 39-48.
Rumblat W. 2018. Aplikasi Indeks Komunitas Burung Untuk Mengukur Kualitas Lingkungan Beberapa Situ di Kota Tangerang selatan. Pusat Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPE) LP2M UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Raco B, Wicaksono A, Triweko R W, Erosi L, Erosi, TB, Lahan T. 2022. Tingkat Bahaya Erosi Akibat Perubahan Tutupan Lahan Pada Daerah Tangkapan Air Danau Tondano. Jurnal Teknik Sipil 11(1): 63-76.
Rahmayanti FD. 2018. Pengaruh Kelas Kemiringan Dan Posisi Lereng Terhadap Kandungan Fe Tanah Sebagai Indikator Kualitas Lingkunga Dan Kesuburan Tanah Pada Alfisol Di Desa Gunungsari Kabupaten Tasikmalaya. Agrikultura 29(3): 136-143.
Rukmana SN, Handiwati M. 2020. Daya Dukung Wisata Mangrove Wonorejo di Kota Surabaya. Jurnal Teknik Waktu 18(02): 1-9.
Sasmita E, Darsiharjo, Rahmafitri F. 2014. Analsis Daya Dukung Wisata Sebagai Upaya Mendukung Fungsi Konservasi Dan Wisata Di Kebun Raya Cibodas Kabupaten Cianjur. Jurnal Manajement Resort & Leasure. 11(2).
Sayan MS, Atik M. 2011. Recreation Carrying Capacity Estimates for Protected Areas: A Study of Termessos National Park. Ekoloji 78: 66-74.
Sari CP, Rahayu S. 2018. Carrying Capacity of Gancik Hill Top for Ecotourism Development in Boyolali District. E3S Web of Conferences 73: 2-5.
Sofiyan A, Hidayat W, Winarno GD, Harianto SP. 2019. Analisis Daya Dukung Fisik, Riil dan Efektif Ekowisata di Pulau. Sylva Lestari 7(2): 225-234.
Suana IW, Ahyadi H, Hadiprayitno G, Amin S, Kalih LATTWS, Sudaryanto FX. 2020. Environment carrying capacity and willingness to pay for bird-watching ecotourism in Kerandangan Natural Park, Lombok, Indonesia. Biodiversitas 21(5): 2266-2274.
WTO (World Tourism Organization). 1981. Saturation of tourist destinations: Report of the Secretary General.
Yudhistira E, Komarudin N. 2021. Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Ekowisata Pesisir di Teluk Ciletuh. Jurnal Akuatek 2(2): 104-111.
Zelenka J, Kacetl J. 2014. The concept of carrying capacity in tourism. Amfiteatru Economic 16(36): 641-654.
Zacarias DA, Williams AT, Newton A. 2011. Recreation carrying capacity estimations to support beach management at Praia de Faro, Portugal. Applied Geography 31(3): 10751081.
148
Discussion and feedback