Jurnal Psikologi Udayana 20xx, Vol.10, No.02, 363-373


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2023.v10.i02.p05

Penyesuaian Diri Orang Tua dalam Mendampingi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Belajar dari Rumah selama Pandemi Covid-19

Anita Agustina1 dan Komang Rahayu Indrawati2 Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana komangrahayu@unud.ac.id

Abstrak

Pandemi COVID-19 memberikan dampak besar bagi bidang pendidikan. Pemerintah melakukan upaya pencegahan penyebaran COVID-19 dengan menerbitkan kebijakan belajar dari rumah. Belajar dari rumah memberikan tuntutan bagi semua orang tua terlebih orang tua ABK untuk meluangkan waktu dan tenaga ekstra mendampingi anak belajar di rumah. Orang tua perlu melakukan penyesuaian diri untuk menghadapi kondisi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyesuaian diri yang dilakukan orang tua selama mendampingi ABK belajar dari rumah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Responden penelitian ini adalah orang tua dari anak dengan ADHD dan Asperger’s Disorder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan orang tua meliputi aspek koping, self-knowledge, dan komunikasi interpersonal. Orang tua dari anak ADHD cenderung menggunakan emotional focused coping yang kurang efektif dilihat dari perilaku yang muncul yaitu membentak, menangis, memukul, dan memilin telinga ABK. Orang tua dari anak dengan Asperger’s Disorder mampu mengendalikan diri dan menggunakan strategi koping yang efektif. Self-knowledge yang dimiliki tentang dirinya dan ABK membantu orang tua dari anak Asperger’s Disorder melakukan penyesuaian. Kedua orang tua mampu menjalin komunikasi interpersonal yang baik dengan semua pihak yang terlibat dalam proses belajar dari rumah. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri orang tua yaitu kondisi fisik orang tua, dukungan sosial, dan pengalaman masa lalu.

Kata kunci: orang tua ABK, pandemi COVID-19, penyesuaian diri.

Abstract

The COVID-19 pandemic had a major impact on the education sector. The government has prevented the spread of COVID-19 by issuing a study from home policy. Learning from home places demands on all parents, especially parents of children with special needs, to spend extra time and energy accompanying their children. Parents need to make adjustments to deal with these conditions. This study aims to determine the adjustments made by parents while accompanying children with special needs learning from home. This research uses a qualitative approach with a case study method. The sampling technique used is purposive sampling technique. The respondents of this study were parents of children with ADHD and Asperger's Disorder. The results showed that the adjustments made by parents included aspects of coping, self-knowledge, and interpersonal communication. Parents of children with ADHD tend to use emotional-focused coping which is less effective as seen from the behavior that appears, namely yelling, crying, hitting, and twisting the ears of ABK. Parents of children with Asperger's Disorder are able to control themselves and use effective coping strategies. Self-knowledge that they have about themselves and ABK helps parents of children with Asperger's Disorder make adjustments. Both parents are able to establish good interpersonal communication with all parties involved in the learning process from home. Factors that influence parental adjustment are the physical condition of parents, social support, and past experiences.

Keywords: adjustment, COVID-19 pandemic, parents of children with special needs.

LATAR BELAKANG

Krisis pandemi COVID-19 tidak hanya menyerang organ pernapasan manusia, namun juga melumpuhkan organ sistem pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan berbagai upaya pencegahan penyebaran virus ini, salah satunya dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19 yang membahas arahan proses belajar dari rumah. Kebijakan ini menuntut guru dan seluruh murid untuk tetap bekerja dan belajar dari rumah selama pandemi (Kemdikbud, 2020). Tidak hanya guru dan murid yang merasakan dampak dari kebijakan ini, namun orang tua juga perlu berperan secara optimal dalam pelaksanaan belajar dari rumah. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa belajar dari rumah berdampak bagi guru yang harus mengubah metode pembelajaran menjadi pembelajaran jarak jauh dalam jaringan (daring), berdampak bagi siswa karena tidak bisa secara langsung belajar dengan guru dan teman-temannya, serta berdampak bagi orang tua karena harus menggantikan peran guru selama anak belajar dari rumah (Agustina, 2021).

Orang tua awalnya memiliki peran untuk membimbing sikap dan keterampilan yang mendasar pada anak, seperti patuh terhadap peraturan dan kebiasaan baik, namun kini perannya bertambah sebagai pendamping pendidikan akademik (Nurlaeni & Juniarti, 2017). Hasil penelitian Lilawati (2021) menunjukkan bahwa peran orang tua selama anak belajar dari rumah adalah sebagai pendamping dan motivator bagi anak. Menurut Kurniati dkk. (2021), peran orang tua yang dibutuhkan selama pandemi COVID-19 adalah sebagai pembimbing, pendidik, penjaga, serta pengembang dan pengawas bagi anak. Peran utama orang tua adalah menjaga anak agar tetap disiplin meskipun pembelajaran dilakukan dari rumah. Orang tua harus mengatur jadwal harian anak, mengawasi, mengingatkan, memperhatikan anak dalam mengerjakan tugas sekolah, serta memberikan semangat dan motivasi (Wahib, 2021).

Berdasarkan hasil penelitian Purwanto dkk. (2020), belajar dari rumah memberikan dampak terhadap orang tua yaitu penambahan biaya kuota internet, orang tua perlu meluangkan waktu lebih ekstra untuk mendampingi anak selama belajar dari rumah, dan aktivitas rutin sehari-hari menjadi berkurang karena terkadang para orang tua ikut belajar dan membantu mengerjakan tugas bersama anak. Utami (2020) menemukan bahwa selama pandemi COVID-19 orang tua merasa terbebani karena sibuk bekerja sehingga tidak bisa mendampingi anak secara penuh dan kurang memperhatikan anak selama anak belajar dari rumah. Orang tua juga kurang bisa memahami materi pelajaran sehingga mengalami kesulitan dalam mengajarkan anak dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pergantian peran guru oleh orang tua dalam mendampingi dan mengajarkan anak belajar selama pandemi COVID-19 menyebabkan terjadinya peningkatan stres orang tua karena kesulitan membagi waktu (Alisma & Adri, 2021).

Hasil penelitian Sumakul dan Ruata (2020) menunjukkan bahwa kondisi-kondisi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 membuat orang tua merasa stres, takut, dan cemas bahkan mengganggu kesehatan fisik. Orang tua yang hidup dengan tekanan yang meningkat dan ketakutan, menantang kemampuan orang tua untuk adaptasi dan pemikiran jangka panjang. Menurut Heward (Nainggolan, 2015) peran dan tanggung jawab yang dipikul orang tua dari Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) akan lebih besar dibandingkan orang tua dengan anak normal. ABK diartikan sebagai anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal yang dapat dilihat dari ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan komunikasi maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal tersebut (Mangunsong, 2014). Pain dan Huot (2017) mengemukakan beberapa gangguan perkembangan dan perilaku yang terdampak dalam hal ini adalah Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD), Learning Disability (LD), Intellectual Disability (ID), dan Autism Spectrum Disorder (ASD). Gejala-gejala gangguan yang paling umum terlihat adalah gelisah, sulit memusatkan perhatian, amarah, perilaku agresif, mudah frustasi, dan lain-lain.

Peran orang tua ABK dalam pembelajaran daring adalah sebagai guru yang harus memiliki komitmen waktu lebih besar, mengenal anak sebagai siswa, paham kepribadian anak, dan dapat mengidentifikasi saat anak mengalami hari yang buruk sehingga harus mengatur ekspektasi terhadap anak (Smith dkk., 2016). Menurut Afriyanty dkk. (2020), pengetahuan orang tua tentang materi pembelajaran dan keterampilan orang tua dalam menangani ABK juga menjadi faktor penting selama ABK belajar dari rumah. Meskipun keterlibatan orang tua telah terbukti memiliki banyak manfaat bagi pendidikan anak, beberapa potensi tantangan dapat menghalangi keterlibatan orang tua yang efektif dalam pembelajaran jarak jauh. Menurut Becker dkk. (2020), orang tua dari anak ADHD mengalami kesulitan dalam menyediakan struktur pembelajaran, organisasi, komunikasi dengan guru dan pihak sekolah, serta panduan pendidikan yang dibutuhkan selama anak belajar dari rumah. Menurut Colizzi dkk. (2020) sebagian besar orang tua anak ASD mengalami kesulitan dalam mengelola aktivitas sehari-hari anak mereka, terutama dalam hal waktu luang dan aktivitas terstruktur.

Menurut Pain dan Huot (2017), orang tua yang merawat anak dengan kelainan perkembangan dan masalah-masalah emosional dan perilaku selama pandemi COVID-19 akan mengalami masa-masa sulit. Hal ini karena dalam keadaan normal, beban mereka ditanggung bersama oleh pusat perawatan, sekolah inklusif, pusat pelatihan, atau profesional lain, sedangkan selama pandemi beban ditanggung sepenuhnya oleh orang tua. Tuntutan peran tambahan menyebabkan orang tua dari ABK harus menyesuaikan diri lebih baik dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak normal. Orang tua memegang peranan besar terhadap keberhasilan ABK untuk mengikuti program belajar dari rumah tersebut. Mengarah pada berbagai peran penting orang tua dalam mendampingi ABK belajar, menyebabkan orang tua perlu melakukan penyesuaian diri guna tercapainya kesejahteraan baik bagi orang tua maupun bagi ABK. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai penyesuaian diri orang tua dalam mendampingi ABK belajar dari rumah selama pandemi COVID-19.

METODE PENELITIAN

Konsep yang diteliti

Penelitian ini meneliti penyesuaian diri orang tua ABK selama pandemi Covid-19. Penyesuaian diri diartikan sebagai proses alamiah dan dinamis dengan tujuan mengubah perilaku individu untuk menciptakan hubungan yang lebih sesuai antara kondisi diri dengan kondisi lingkungan (Fatimah, 2006). Runyon dan Haber (1984) menyebutkan lima aspek dalam penyesuaian diri yang dilakukan individu, yaitu persepsi terhadap realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, citra diri positif, kemampuan mengekspresikan emosi, dan hubungan interpersonal. Menurut Alberlti dan Emmons (2002) penyesuaian diri meliputi empat aspek, yaitu self-knowledge dan self-insight, self-objectifity dan self-acceptance, self-development dan self-control, dan aspek satisfaction. Schneiders menyatakan bahwa penyesuaian diri individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu kondisi fisik, kepribadian, proses belajar, lingkungan, serta agama dan budaya (Ali & Asrori, 2012).

Metode Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling sebagai teknik pengambilan sampel. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2016). Pertimbangan pemilihan teknik purposive sampling pada penelitian ini adalah karena penelitian ini tidak dapat dilakukan pada suatu populasi masyarakat sebab tidak semua individu dalam populasi mengalami kasus yang sesuai dengan tujuan penelitian terkait dengan gambaran penyesuaian diri yang dialami orang tua dalam mendampingi ABK belajar dari rumah.

Subjek Penelitian

Karakteristik responden pada penelitian ini antara lain:

  • 1)    Orang tua dari anak dengan ADHD dan Asperger’s Disorder.

  • 2)    Bekerja selama pandemi Covid-19.

  • 3)    Mendampingi ABK belajar dari rumah selama pandemi COVID-19

  • 4)    Mengalami masalah dalam penyesuaian diri.

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi sebagai teknik penggalian data. Pedoman wawancara ini dilakukan dengan menanyakan bagaimana identitas subjek, bagaimana pendampingan subjek terhadap ABK selama pandemi, konflik yang dialami selama mendampingi ABK, dan bagaimana proses penyesuaian diri yang dilakukan selama mendampingi ABK belajar dari rumah. sehingga diharapkan dapat menjawab pertanyaan utama penelitian. Observasi dilakukan dengan mengamati seluruh gestur dan ekspresi dari responden serta kegiatan lain yang dilakukan responden selama wawancara berlangsung. Observasi terhadap gestur dan ekspresi serta kegiatan yang dilakukan responden dapat memperkaya data yang diperoleh terkait dengan makna sebenarnya dari peristiwa yang dialami responden.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan gambaran proses perilaku, mental, berpikir dan merasakan suatu hal berdasarkan sudut pandang responden (Herdiansyah, 2015). Wahyuningsih (2013) menyatakan bahwa studi kasus digunakan untuk menggali suatu kasus dalam suatu waktu dan kegiatan (program, peristiwa, proses, institusi atau kelompok sosial). Berdasarkan definisi yang ada, studi kasus dipilih untuk mendalami penyesuaian diri orang tua ABK dalam mendampingi belajar dari rumah selama pandemi COVID-19. Pendampingan orang tua ABK dalam belajar dari rumah dipilih sebagai kasus dalam penelitian ini karena dianggap unik yang terjadi dalam waktu pandemi.

Prosedur Pengambilan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara semi-terstruktur. Sebelum proses wawancara dilakukan, informed consent diberikan kepada responden dan ditandatangani sebagai tanda persetujuan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti menyampaikan tujuan penelitian, hak dan wewenang responden dalam penelitian, serta pertanggungjawaban peneliti terhadap hasil wawancara. Wawancara pada masing-masing responden dilakukan sebanyak dua kali. Sesi wawancara pada masing-masing responden berbeda tergantung pada kelengkapan data yang diperoleh. Selama wawancara berlangsung, dilakukan perekaman suara menggunakan alat perekam handphone. Hasil wawancara akan dicatat dalam bentuk narasi berupa catatan lapangan (fieldnote) dan verbatim.

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik theoretical coding sebagai teknik analisis data. Menurut Strauss dan Corbin (2003), coding merupakan penjabaran data, mengonseptualisasikan data dan mengelompokkannya. Theoretical coding terdiri dari tiga proses yaitu: 1) open coding, dilakukan pada verbatim hasil wawancara dengan memberikan kategori-kategori pada jawaban responden sebelum dilakukan pengkategorian lebih lanjut; 2) axial coding, dengan membuat kaitan antar kategori yang sudah dibuat pada tahap open coding; 3) selective coding, merupakan tahap terakhir, yaitu menggolongkan kategori yang didapat pada tahap axial

coding menjadi kategori inti dan pendukung, membuat validasi hubungan-hubungan antar data, serta mengaitkan antara kategori inti dan pendukung tersebut secara sistematis.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Responden

Orang Tua Pertama (WS)

Orang tua pertama yaitu WS yang saat ini W (ayah) berusia 46 tahun dan S (ibu) berusia 39 tahun. W bekerja sebagai Kepala Lingkungan dan Ketua Koperasi, kemudian S bekerja sebagai dosen dan Ketua Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). WS merupakan orang tua dari ABK dengan diagnosis ADHD yang berusia 12 tahun dan duduk di bangku sekolah dasar kelas 6. ABK seorang laki-laki yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Adik pertama ABK seorang perempuan berusia 9 tahun dan adik kedua seorang laki-laki berusia 5 tahun. WS tinggal bersama tiga anak dan satu Asisten Rumah Tangga (ART). Selama belajar dari rumah, ibu bekerja dari rumah sehingga lebih banyak waktu untuk mendampingi ABK dalam proses belajar dan hanya dibantu oleh W (ayah ABK).

Orang Tua Kedua (RA)

Orang tua kedua yaitu RA merupakan orang tua dari ABK dengan diagnosis Asperger’s Disorder. Saat ini R (ayah) berusia 36 tahun dan bekerja sebagai wiraswasta, sedangkan A (ibu) berusia 34 tahun yang berprofesi dokter. ABK berusia 7 tahun yang duduk di kelas 1 sekolah dasar. Sama halnya dengan ABK dari WS, ABK dari RA juga seorang laki-laki anak pertama dari tiga bersaudara. ABK memiliki adik laki-laki berusia 6 tahun dan adik perempuan berusia 4 tahun. RA tinggal bersama tiga anak dan satu pengasuh. Pada responden RA, ayah yang bekerja dari rumah sehingga lebih banyak waktu mendampingi dan mengawasi ABK. Selama proses belajar dari rumah, RA dibantu satu pengasuh sampai jam 6 sore dan shadow teacher untuk mendampingi ABK selama mengikuti zoom meeting.

Pengalaman Orang Tua selama Program Belajar dari Rumah

Dampak Belajar dari Rumah

Belajar dari rumah memberikan dampak bagi orang tua baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif belajar dari rumah yang dirasakan WS adalah ABK lebih aman di masa pandemi, orang tua dan ABK bisa lebih mengenal teknologi, orang tua belajar hal baru karena harus ikut belajar dan paham materi pelajaran ABK, orang tua bisa membimbing dan mengawasi ABK untuk menuntaskan tugas-tugas sekolah, dan orang tua dapat mengenal ABK lebih dalam. Dampak positif belajar dari rumah menurut responden RA adalah ABK menjadi lebih tenang dibandingkan di sekolah karena tidak terdistraksi oleh teman-temannya dan ABK lebih aman di masa pandemi.

Dampak negatif akibat belajar dari rumah berupa perubahan perilaku yang sangat signifikan pada kedua ABK. Perubahan yang dirasakan responden WS yakni, ABK sering bermain handphone hingga lupa waktu dan membuat semua aktivitasnya terhambat. Responden RA juga merasakan hal yang sama, ABK menjadi lebih banyak bermain handphone dan menonton televisi selama belajar dari rumah. Dampak negatif lain yang dirasakan RA yaitu, ABK menjadi tidak dapat mengembangkan kemampuan bersosialisasi, kurangnya pemahaman ABK terhadap materi pelajaran, dan menambah beban orang tua karena mendampingi ABK ditengah kesibukan pekerjaan.

Peran Orang Tua selama ABK Belajar dari Rumah

Peran yang muncul pada responden WS diantaranya, mendampingi ABK, melakukan monitoring, menjadi reminder bagi ABK, mengajarkan/membimbing, mengawasi, dan juga berperan sebagai teman bermain untuk ABK. Pada responden WS, ibu lebih banyak berperan (80%) dalam pendampingan belajar karena memiliki waktu lebih banyak di rumah sedangkan ayah memiliki banyak kesibukan di kantor sehingga memiliki keterbatasan untuk mendampingi ABK. Responden RA berperan mendampingi, membimbing, dan mengawasi ABK dalam kegiatan sekolah dan aktivitas di rumah. Pendampingan belajar ABK pada responden RA dibantu oleh shadow teacher yang berperan mendampingi ABK selama zoom dan mendampingi ABK mengerjakan tugas selama jam pendampingan.

Tantangan Orang Tua

Belajar dari rumah merupakan hal yang baru baik bagi orang tua maupun ABK. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua karena harus mendampingi ABK di tengah kesibukannya bekerja. Responden WS dan RA sama-sama mengalami masalah terbatasnya waktu karena harus bekerja. Beberapa kondisi ABK selama belajar dari rumah seperti lupa waktu, kurangnya fokus saat belajar, rendahnya tanggung jawab ABK dalam menyelesaikan tugas, dan malas dalam menulis merupakan tantangan bagi responden WS. Responden S sebagai ibu merasa kesulitan karena harus memperhatikan ABK secara penuh dan harus tetap memperhatikan dua anaknya yang lain. Responden RA juga harus menghadapi perilaku ABK yang sulit diatur dalam belajar seperti marah-marah. Masalah lain yang dirasakan responden WS tidak hanya datang dari orang tua sendiri dan ABK melainkan juga masalah lain seperti koneksi internet dan laptop.

Penyesuaian Diri Orang Tua

Strategi Koping

Strategi koping yang dilakukan orang tua meliputi problem focused coping dan emotional focused coping. Problem focused coping yang dilakukan responden WS yaitu membuat aturan, memberikan teguran secara rutin, mengganti sarana belajar, memberikan penguatan positif berupa hadiah makanan atau tambahan waktu bermain, menentukan skala prioritas, meminta bantuan dari guru dan saran dari teman. Aturan dibuat secara tertulis yang mengharuskan ABK disiplin dan fokus belajar, berdoa sebelum dan setelah belajar, selesaikan dan kumpulkan tugas tepat waktu, dan merapikan buku setelah belajar. Tidak hanya memberikan aturan secara tertulis, namun WS juga rutin menegur ABK jika tidak fokus dalam aktivitasnya dan lupa waktu.

Responden WS menggunakan cara lain untuk meningkatkan fokus dan semangat ABK yaitu dengan memberikan hadiah berupa makanan atau tambahan waktu bermain handphone pada hari Sabtu atau Minggu. Hal tersebut dirasa efektif oleh orang tua untuk meningkatkan fokus ABK dalam mengerjakan tugas. Aturan waktu mengerjakan tugas diterapkan orang tua bukan hanya untuk meningkatkan tanggung jawab ABK tetapi juga untuk mengatasi terbatasnya waktu orang tua. Orang tua juga memiliki skala prioritas untuk mengatur waktu antara pekerjaan dan mendampingi ABK belajar.

Bentuk problem focused coping yang juga dilakukan orang tua adalah dengan meminta bantuan guru ABK. Orang tua menyampaikan pada guru terkait perilaku ABK selama belajar dari rumah dan meminta bantuan guru untuk ikut memberikan nasihat kepada ABK. Kemudian S menyampaikan bahwa dirinya juga mendapat masukan dari guru dan temannya terkait bagaimana cara menangani ABK.

Responden RA lebih banyak menerapkan problem focused coping dalam menghadapi masalah selama belajar dari rumah. Orang tua memperhatikan perilaku ABK selama proses belajar berjalan dan menduga perilaku marah-marah disebabkan karena ABK mengantuk. Hal tersebut membuat orang tua melakukan penyesuaian terhadap waktu tidur ABK sehingga frekuensi belajar ABK menjadi lebih baik dan hampir tidak pernah marah-marah.

Responden RA mencari informasi dari profesional mengenai perilaku ABK. Informasi yang diterima dapat membantu orang tua untuk mengatasi ABK. Responden RA mengikuti ABK di beberapa kegiatan seperti berenang, memanah, basket, dan golf untuk menyalurkan energinya dan mengurangi perilaku agresif ABK. Pemberian hadiah kepada ABK juga dilakukan responden A untuk mengatasi karakteristik ABK yang sulit diatur saat belajar. Apabila ABK tidak mau menurut maka ABK akan dijanjikan hadiah yang disukai seperti bermain setelah mengerjakan PR.

Mengurangi jam kerja dan aktivitas lain di luar rumah dilakukan oleh responden A selaku dokter yang lebih sibuk bekerja di masa pandemi. Menurut pernyataan significant other, responden RA mau menyempatkan waktunya untuk mengajarkan ABK meskipun sibuk bekerja.

Strategi emotional focused coping dilakukan orang tua sebagai upaya dalam mengendalikan respon emosional terhadap masalah yang dihadapi selama mendampingi ABK belajar dari rumah. Responden WS melakukan emotional focused coping yang cenderung kurang efektif seperti berteriak, membentak, memukul (satu kali), dan memilin telinga ABK. Memukul menimbulkan rasa bersalah pada responden S. Setelah kejadian tersebut, apabila S tidak kuat menahan rasa marahnya maka S akan menangis supaya tidak lagi memukul ABK.

Menghindar juga dilakukan oleh S saat merasa dirinya tidak sanggup untuk marah terus menerus. S memilih untuk tidak mengajak ABK berbicara, tidak mengingatkan ABK apa yang harus dilakukan, dan melakukan kegiatan lain seperti bekerja.

Responden W masih bisa berpikir positif dan selalu berusaha memberikan pengertian kepada ABK. Menyadari kondisi ABK dan menerima kenyataan dapat membantu responden W mengendalikan emosi dan tidak memaksakan kehendak. Terkadang perilaku ABK yang masih abai membuat responden W meluapkan rasa kesalnya dengan berbicara keras dan memilin telinga ABK.

Bentuk emotional focused coping yang dilakukan responden R adalah dengan bersyukur, berdoa dan yakin pada tuhan, serta mencurahkan perasaannya dengan ABK. Berbeda dengan R yang masih bisa mengkomunikasikan perasaannya dengan cara yang positif, A menyampaikan bahwa dirinya akan refleks membentak karena marah saat ABK nakal dan tidak bisa diberitahu. Meski marah dan terkadang membentak, A masih bisa mengendalikan diri dengan memilih kata yang tidak menyakiti perasaan ABK dan tidak pernah memberikan tindakan fisik pada ABK.

Menghindar adalah cara lain yang dilakukan A ketika merasa lelah agar tidak marah kepada ABK. A menyampaikan bahwa saat merasa sangat lelah maka dirinya akan memilih tidur dan tidak mengajarkan ABK agar tidak terpancing emosi jika ABK tidak mau menurut.

Self-knowledge

Orang tua mampu menyadari karakteristik dan keterbatasan yang dimiliki, baik responden WS maupun responden RA. Responden W menilai dirinya sebagai sosok orang tua yang tegas, kemudian responden S menilai dirinya orang yang disiplin dan sudah menanamkan hal tersebut pada semua aktivitas yang dilakukan ABK.

Sebagai seorang ayah, responden R menilai dirinya sulit marah dan lebih sabar dibandingkan ibu ABK. Hal tersebut menyebabkan ABK akan lebih santai apabila didampingi belajar oleh R dan lebih takut dengan ibunya. Kehidupan sehari-hari ABK juga lebih banyak berinteraksi dengan R. Kemudian responden A mengakui bahwa sebagai orang tua, waktunya dengan anak-anak sangat kurang, hal ini karena kesibukan menjalani pendidikan dokter dan bekerja.

Responden RA tidak hanya menyadari karakteristik dan keterbatasan diri yang dimiliki, namun juga mampu mengenali kondisi dan keterbatasan ABK sejak dini. Responden RA sudah menyadari ada yang tidak beres sejak usia ABK 2 tahun dan dan memiliki kesadaran untuk mencari bantuan profesional. Mengetahui kondisi dan keterbatasan ABK membantu responden RA dalam merancang strategi untuk perkembangan dan proses belajar ABK.

Orang tua paham bahwa ABK mengalami kesulitan dalam bersosialisasi sehingga hal ini membuat orang tua melibatkan ABK dalam kegiatan-kegiatan yang sesuai agar mood ABK tetap terjaga. Orang tua berusaha mempersiapkan diri ABK agar mampu menghadapi tuntutan lingkungan. Hal ini sangat membantu orang tua dalam menyesuaikan diri dengan kondisi belajar dari rumah.

Responden WS mampu menyadari bahwa keduanya belum berhasil mengatasi masalah dalam hal menumbuhkan kesadaran pada diri ABK akan tugas dan tanggung jawab. Hal ini dirasa karena belum menggunakan kemampuannya secara maksimal dan ABK juga belum mampu menerima dan menanggapi arahan orang tua secara maksimal. Orang tua mengetahui bahwa dirinya harus terus belajar, lebih banyak meluangkan waktu dan lebih sabar dalam menangani ABK.

Menurut responden R, penting bagi orang tua untuk mencari informasi dari berbagai sumber untuk menambah pengetahuan orang tua dalam mendidik ABK. Hal ini dirasa penting karena merasa zaman terus berkembang sehingga orang tua juga dapat memperbaharui strategi yang sesuai. Responden RA menyadari masih banyak kesalahan yang dilakukan dalam mendidik ABK sehingga dengan terus belajar dapat membantunya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Kedua pasangan orang tua mengetahui bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya sebagai sosok orang tua, baik penilaian positif maupun negatif. Responden WS tidak membantah apa yang dikatakan orang lain, akan tetapi penilaian orang lain tidak memengaruhi perilakunya terhadap ABK. Responden WS tetap menggunakan caranya sendiri karena menganggap bahwa orang tua sudah memperhatikan kekurangan ABK dan sudah melakukan upaya yang terbaik.

Responden WS memiliki tujuan hidup yaitu meningkatkan kemampuan ABK baik itu fokusnya, kesadaran dan kemandirian ABK. Tujuan tersebut yang menjadi dasar orang tua melakukan segala upaya terbaik yang bisa dilakukan.

Kesadaran untuk introspeksi diri dimiliki oleh responden A dengan berkaca pada penilaian yang diberikan orang lain terhadap dirinya. Kritik dari orang-orang terdekatnya dapat diterima oleh responden A sehingga membuat dirinya melakukan perubahan. Karena dinilai sebagai ibu yang sibuk dan kurang waktu dengan ABK maka A mengurangi jam kerja dan aktivitas lain diluar pekerjaan.

Komunikasi Interpersonal

Kedua pasangan orang tua mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan semua pihak yang terlibat selama pendampingan ABK. Responden W dan S rutin melakukan komunikasi terkait tugas-tugas ABK, perilaku ABK selama belajar, dan pembagian peran dalam mendampingi ABK mengerjakan tugas. Responden R dan A menjalin komunikasi dan kerjasama dalam upaya menegaskan ABK untuk tidak banyak bermain handphone. Kondisi A yang tidak bisa ada dan menemani ABK selama jam-jam sekolah membuatnya melakukan komunikasi dengan R terkait keadaan ABK di rumah.

Responden WS juga melakukan komunikasi terkait jalannya proses bimbingan belajar atau les yang diikuti ABK di rumah. Hal ini karena responden W jarang berkomunikasi langsung dengan guru ABK, sehingga responden S yang lebih banyak menyampaikan hasil belajar yang dilaporkan oleh guru ABK.

Responden RA memiliki intensitas komunikasi yang berbeda dengan ABK, hal ini karena A lebih sibuk bekerja sehingga lebih sedikit menjalin komunikasi dengan ABK selama belajar dari rumah. Selain komunikasi dalam proses belajar, responden R juga banyak menenmai ABK dalam aktivitas sehari-hari atau mengajak olahraga yang ABK suka.

Responden WS melakukan komunikasi dengan guru ABK mengenai kekurangan ABK, mengenai materi pelajaran, tugas-tugas, perkembangan belajar ABK, dan teknik pembelajaran yang diterapkan untuk ABK. Responden RA berkomunikasi secara intens

dengan pihak sekolah melalui pesan, telepon, dan rapat orang tua. Guru-guru dan kepala sekolah akan memberikan informasi terkait ABK selama proses sekolah daring, begitu pun RA yang mengkomunikasikan perkembangan ABK selama di rumah.

Responden RA dibantu oleh shadow teacher dan pengasuh selama ABK belajar dari rumah. Shadow teacher memberikan laporan secara rutin baik laporan tertulis maupun verbal setiap hari mengenai proses belajar dan tugas-tugas ABK. Pengasuh di rumah akan membantu memonitor proses belajar dan les-les yang dijalankan ABK. Apabila orang tua merasa ada masalah atau sesuatu yang kurang jelas terkait pembelajaran ABK maka orang tua langsung mengkomunikasikan dengan pengasuh atau shadow teacher.

Komunikasi menjadi hal yang sangat penting bagi responden RA selama proses pendampingan ABK, shadow teacher dan pengasuh melaporkan ke orang tua dan orang tua melaporkan pada pihak sekolah. Hubungan antara orang tua dan semua pihak yang terlibat dalam proses belajar dari rumah terjalin dengan sangat baik dan tidak ada masalah yang dirasakan.

Faktor Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri responden WS dipengaruhi oleh kondisi fisik orang tua dan dukungan keluarga. Kondisi fisik dirasa menjadi hal yang penting bagi orang tua selama melakukan pendampingan belajar dari rumah. Khususnya bagi responden S yang lebih banyak mendampingi ABK menyampaikan bahwa dirinya akan menyempatkan diri untuk tidur meskipun hanya 30 menit. orang tua harus menjaga daya tahan tubuhnya terlebih di masa pandemi seperti saat ini.

Responden WS saling mendukung setiap proses yang berjalan selama pendampingan belajar dari rumah. Responden W menyampaikan bahwa tidak pernah ada pertentangan di antara keduanya dan selalu menyepakati keputusan bersama. Keberadaan istri di rumah sangat membantu meringankan beban responden W sehingga lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan.

Penyesuaian diri responden RA dipengaruhi oleh dukungan sosial dan pengalaman masa lalu. Responden RA merasa sangat terbantu dengan adanya bantuan dari banyak pihak baik itu antara suami dan istri, bantuan shadow teacher dan pengasuh, juga staf-stafnya yang lain. Shadow teacher yang membantu dalam mendampingi ABK selama zoom sekolah, pengasuh yang membantu memonitor ABK selama di rumah, dan staf-staf lain yang membantu menjaga adik-adik ABK. Orang tua merasa akan kesulitan jika tidak ada bantuan dari orang-orang tersebut.

Dukungan yang diterima orang tua juga datang dari pihak sekolah yang membantu orang tua mencari solusi untuk ABK salah satunya dengan menyarankan penggunaan shadow teacher, selain itu sekolah juga memonitor perkembangan ABK selama di rumah. Hal ini sangat membantu orang tua untuk lebih mudah menyesuaikan diri.

Pengalaman yang dimiliki responden RA selama 6 tahun usia ABK sangat membantunya dalam menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Responden RA sudah mengalami masa-masa sulit dan berpengalaman dalam menghadapi perilaku ABK hingga saat ini sudah merasakan perkembangan ABK yang jauh lebih baik.

PEMBAHASAN

Pelaksanaan program belajar dari rumah melibatkan peran besar orang tua dan penelitian ini membahas penyesuaian diri orang tua dari anak ADHD dan Asperger’s Disorder selama pendampingan belajar dari rumah. Program belajar dari rumah sendiri memberikan dampak bagi orang tua, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif belajar dari rumah yang paling dirasakan orang tua adalah dapat menghindari kerumunan dan kontak fisik sehingga dapat mengantisipasi ABK dari penyebaran virus COVID-19. Dampak positif lain yang dirasakan orang tua dengan adanya program belajar dari rumah yaitu dapat lebih banyak mengawasi ABK, belajar hal baru, dan dapat mengenal ABK lebih dalam.

Sisi lain yang dirasakan orang tua adalah orang tua merasa terbebani karena harus tetap bekerja dan mendampingi ABK belajar. Hidayat dan Adri (2021) menyatakan bahwa orang tua mengalami stres selama pandemi karena harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan harus membimbing anak secara penuh selama belajar dari rumah. Perubahan perilaku yang cukup signifikan pada ABK juga menjadi tantangan bagi orang tua. Belajar dari rumah membuat waktu ABK lebih banyak digunakan untuk bermain handphone dan menonton televisi sehingga menghambat proses belajar dan aktivitasnya yang lain.

Orang tua umumnya tidak memiliki penolakan terhadap program belajar dari rumah, tetapi bagi orang tua hal ini merupakan hal baru, tidak terduga, memberatkan, dan menuntut orang tua untuk menyesuaikan diri dengan cepat (Lase dkk., 2021). Berdasarkan kondisi dan kendala yang dialami, orang tua melakukan penyesuaian diri yang tergambar dari koping yang dilakukan, selfknowledge, dan komunikasi interpersonal. Penyesuaian diri orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, kondisi fisik orang tua, dukungan sosial, dan pengalaman masa lalu.

Koping

Menurut Wahyuningsih (2016), strategi koping dibutuhkan sebagai upaya individu dalam mengurangi atau bahkan menghilangkan stres yang dirasakan. Palupi dan Tirtayani (2022) menemukan bahwa orang tua lebih banyak menggunakan problem focused

coping untuk menghadapi masalah atau tekanan selama mendampingi anak belajar dari rumah. Problem focused coping merupakan strategi koping yang digunakan individu untuk mengatasi masalah yang dirasakan secara langsung dan efektif (Mayasari & Susilawati, 2019). Yolanda dan Risnawaty (2021) menemukan bahwa problem focused coping bisa digunakan untuk mengatasi masalah kurangnya pengetahuan orang tua tentang materi pembelajaran, kesulitan mengatur waktu, dan masalah perkembangan anak seperti motorik halus yang kurang baik yang menyebabkan anak malas untuk menulis. Bentuk problem focused coping yang dilakukan orang tua adalah dengan membuat aturan, menentukan skala prioritas, mengurangi jam kerja, memberikan penguatan positif, dan meminta bantuan orang lain seperti pasangan dan tenaga profesional.

Strategi emotional focused coping merupakan upaya individu untuk mengurangi respon emosional terhadap masalah pemicu stres (Darmawani, 2018). Strategi emotional focused coping dilakukan oleh responden WS dan RA, namun pada responden WS emotional focused coping yang dilakukan cenderung kurang efektif. Responden WS merasakan lebih banyak emosi negatif dan melakukan emotional focused coping berupa membentak, menangis, memukul, dan memilin telinga ABK. Corcoran dkk. (2017) menyatakan bahwa orang tua anak ADHD memiliki beban emosional berupa perasaan lelah, terisolasi, cemas, jengkel, putus asa, frustasi, marah, dan tidak berdaya. Muncul perasaan marah, kesal, khawatir, rasa bersalah, tidak kuat dan tidak sanggup pada pasangan WS selama melakukan pendampingan belajar dari rumah. Menurut Atasoy dan Sevim (2018), orang tua menggunakan strategi emotional focused coping untuk berjuang menghadapi kondisi ABK yang menjadi sumber utama stres.

Pasangan RA lebih mampu mengontrol diri karena mampu mengkomunikasikan perasaannya pada ABK dan tidak pernah melakukan tindakan fisik. Pasangan WS pernah melakukan tindakan fisik sebagai respon emosional, namun di sisi lain masih bisa berpikir positif, memahami kekurangan ABK, dan menerima kenyataan yang ada. Hasil penelitian Raihana (2020) menunjukkan bahwa salah satu upaya yang dilakukan orang tua dalam mengelola emosi selama proses belajar dari rumah adalah dengan menyadari kemampuan anak dan tidak memaksakan harapan orang tua dapat direalisasikan oleh anak. Bersyukur, berdoa, dan yakin kepada Tuhan adalah juga dilakukan R dalam menghadapi masalahnya. Atasoy dan Sevim (2018) menemukan bahwa orang tua dari ABK lebih memilih strategi emotional focused coping dengan pasrah pada Tuhan untuk mengurangi efek dari stres.

Umumnya ibu menggunakan strategi emotional focused coping untuk menghadapi masalah perilaku pada anak dengan cara diam, sabar, bekerja dan tidur (Dina dkk., 2017). Sejalan dengan hal tersebut, S sebagai ibu memilih untuk menghindar dengan tidak mengajak ABK bicara dan melakukan kegiatan lain, kemudian A menghindari ABK dengan tidur. Hasil penelitian Faizah (2021) menunjukkan bahwa perempuan lebih dominan menggunakan strategi emotional focused coping karena perempuan cenderung menggunakan dan mengedepankan perasaan daripada memecahkan suatu masalah yang dihadapi.

Self-knowledge

Self-knowledge yang dimiliki individu sangat bermakna dan dapat menjadi petunjuk tentang cara berinteraksi dengan lingkungan, khususnya dengan makhluk sosial (Bukowski, 2016). Self-knowledge ada dalam banyak bentuk, seperti pengetahuan tentang masa lalu, kepribadian, atau tujuan hidup individu (Bukowski, 2019). Pasangan WS mengetahui tujuan hidupnya yaitu meningkatkan kemampuan ABK baik itu fokusnya, kesadaran dan kemandirian ABK sehingga hal ini menjadi dasar bagi orang tua dalam setiap upaya yang dilakukan untuk ABK. Pasangan RA memiliki kesadaran untuk mengenali dan menyadari masalah pada ABK sejak usia ABK kurang dari dua tahun. Penelitian Atasoy dan Sevim (2018) menemukan bahwa orang tua telah memperhatikan adanya masalah perkembangan anak di tahun pertama setelah kelahiran dan menghadapi stres pada periode tersebut. Mengetahui kondisi ABK sejak dini dapat membantu pasangan RA menyusun strategi yang tepat dalam proses belajar ABK dan memudahkan RA dalam menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini.

Menurut Bukowski (2019), yang dapat membentuk self-knowledge individu adalah orang lain, dengan membandingkan diri, dengan merefleksikan kesan mereka terhadap diri, atau dengan menyimpulkan kesan mereka. WS dan RA mengetahui penilaian dari orang lain mengenai dirinya, baik itu penilaian positif maupun negatif. Introspeksi diri merupakan aktivitas terpenting untuk individu mencapai self-knowledge (Bukowski, 2019). A dapat menerima kritik karena merasa kritik tersebut memang benar dan berusaha memperbaiki diri, sedangkan bagi W, S, dan R, penilaian negatif orang lain tidak memengaruhi sikapnya terhadap ABK karena percaya sudah melakukan yang terbaik.

Komunikasi Interpersonal

Menurut Cangara (2013), manusia memiliki dua kebutuhan yang mendorong manusia untuk berkomunikasi dengan orang lain yaitu kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Komunikasi interpersonal dibutuhkan oleh setiap individu saat berada pada situasi dan lingkungan yang baru (Sari & Mulyana, 2015). Mendampingi ABK belajar dari rumah di masa pandemi merupakan situasi baru bagi orang tua. Orang tua perlu menjalin komunikasi interpersonal dengan semua pihak yang terlibat selama proses belajar dari rumah baik itu komunikasi antara suami dan istri, orang tua dengan ABK, orang tua dengan guru, dan orang tua dengan pengasuh.

Responden WS secara terbuka kepada guru menyampaikan kekurangan ABK, saling bertukar informasi dengan guru terkait tugas-tugas dan teknik pendampingan belajar yang diterapkan untuk ABK. Apabila individu memiliki keterbukaan diri maka individu tersebut akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Barata & Izzati, 2013). Sama halnya dengan pasangan WS,

pasangan RA juga menyampaikan kepada pihak sekolah terkait kondisi ABK dan pihak sekolah sangat kooperatif mau membantu memonitor perkembangan ABK.

Pasangan WS bekerja sama dan saling mendukung setiap upaya yang dilakukan satu sama lain selama proses pendampingan. Bentuk kerjasama yang terjalin pada pasangan WS yaitu membagi peran mendampingi ABK dan mendiskusikan tugas ABK. Komunikasi juga terjalin erat antara pasangan RA dengan shadow teacher dan pengasuh sebagai orang yang berhubungan langsung dengan ABK. Semua pihak yang terlibat memiliki peran pentingnya masing-masing dan orang tua merasa hal tersebut sangat membantu orang tua menghadapi situasi dan kondisi saat ini. Haryati (2022) menyatakan bahwa kemampuan berkomunikasi individu berkaitan erat dengan keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kemampuan komunikasi yang baik akan membantu individu terhindar dari konflik sehingga mampu melibatkan diri dalam lingkungannya.

Faktor-faktor Penyesuaian Diri

Kondisi Fisik

Pritaningrum dan Hendriani (2013) menemukan bahwa kondisi fisik menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada penyesuaian diri individu. Sejalan dengan hal tersebut, orang tua merasa kondisi fisik yang sehat menjadi hal yang penting karena orang tua harus terus mendampingi ABK terlebih sedang dalam kondisi pandemi. Menurut Oetomo dkk. (2019) kondisi fisik memiliki pengaruh yang besar dalam individu menyesuaikan diri. Kondisi fisik yang sehat akan membantu individu melakukan aktivitas dengan baik dan menumbuhkan percaya diri sehingga proses penyesuaian diri dapat berjalan dengan baik.

Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang positif dapat membuat individu lebih mudah menghadapi situasi yang menekan dan melakukan penyesuaian diri (Widiasavitri, 2016). Bentuk dukungan sosial dapat berupa dukungan emosional, penghargaan, dukungan langsung, dan dukungan informasi (Wangi & Budisetyani, 2020). Dukungan emosional, dukungan secara nyata, dan dukungan informasi dari pihak-pihak yang terlibat selama proses belajar dari rumah sangat memengaruhi WS dan RA dalam melakukan penyesuaian diri.

Kehadiran orang lain dapat membantu individu dalam menghadapi dan mengatasi situasi yang dapat menimbulkan stres (Sawitri & Widiasavitri, 2021). Dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti keluarga, kerabat, guru, pengasuh, dan orang terdekat lainnya (Wangi & Budisetyani, 2020). Pasangan RA mendapat banyak dukungan yang datang dari keluarga (suami-istri), shadow teacher dan pengasuh yang membantu mendampingi serta memberikan informasi terkait ABK, staf-staf lain yang membantu mengurus adik-adik ABK, dan juga sekolah yang sangat proaktif dalam bertukar informasi. Melalui bantuan yang ada, RA menjadi lebih mudah menghadapi kondisi dan masalahnya. Dukungan pada responden WS hanya terbatas pada dukungan keluarga sebagai suami istri, namun hal tersebut juga sangat membantu orang tua menghadapi situasi dan kondisi yang ada.

Pengalaman Masa Lalu

Menurut Schneiders (Kau & Idri, 2020), ciri-ciri penyesuaian diri yang baik adalah mampu belajar dari pengalaman dan memanfaatkan pengalaman yang dimiliki dengan baik untuk menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini. Responden RA telah melalui proses panjang sejak mengetahui diagnosa ABK. Responden RA belajar menerima keadaan dan mempelajari cara menangani ABK sehingga bersyukur melihat perkembangan ABK yang lebih baik dari sebelumnya. Pengalaman ini membantu orang tua untuk lebih mudah menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini. Hal ini sejalan dengan penelitian Lempang dkk. (2021) bahwa penyesuaian diri orang tua dari anak penyidap kanker dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu seperti, informasi mengenai pengobatan anak, kesabaran menghadapi keadaan, dan belajar bersyukur.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri pada responden RA cenderung positif sedangkan responden WS belum menunjukkan penyesuaian diri yang positif karena masih adanya ketegangan emosional, frustasi pribadi, dan emotional focused coping yang kurang efektif. Gambaran penyesuaian diri orang tua dapat dijelaskan dalam beberapa poin diantaranya, (1) Kedua pasangan orang tua sama-sama menerapkan strategi problem focused coping dan emotional focused coping untuk mengatasi masalah selama mendampingi ABK belajar dari rumah. Perbedaannya adalah responden RA lebih mampu menggunakan strategi koping yang efektif sedangkan responden WS cenderung menggunakan emotional focused coping yang kurang efektif dilihat dari munculnya perilaku membentak, menangis, memukul dan memilin telinga ABK; (2) Terdapat perbedaan self-knowledge yang dimiliki orang tua, yakni responden WS mengetahui karakteristik dan keterbatasan diri sendiri dan ABK namun belum menggunakan kemampuan diri secara maksimal sehingga belum bisa menyelesaikan masalah, sedangkan responden RA mampu menyadari karakteristik dan keterbatasan diri dan ABK sehingga dapat merancang strategi yang sesuai dalam proses belajar ABK; (3) Kedua pasangan orang tua mampu menjalin komunikasi interpersonal secara efektif dengan seluruh pihak yang terlibat selama proses belajar dari rumah. Responden WS mampu menjalin komunikasi yang baik antara orang tua, ABK dan guru ABK, dan pasangan RA mampu menjalin komunikasi yang baik dengan ABK, pihak sekolah, shadow teacher, dan pengasuh. Responden RA memiliki lebih banyak akses sumber pendukung sehingga komunikasi interpersonal yang baik dapat membantu penyesuaian diri orang tua selama mendampingi ABK belajar dari rumah; (4) Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri orang tua antara lain, kondisi fisik orang tua, dukungan sosial, dan pengalaman masa lalu.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada dua pasangan orang tua hebat yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini dan membuka diri mengenai pengalaman yang dialami. Terima kasih kepada Ibu Komang Rahayu Indrawati S.Psi., M.Si., Bapak David Hizkia Tobing, S.Psi., M.A.; Ibu B. Primandini Yunanda Harumi, S.Psi., M.Psi.; dan Ibu Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi. yang telah membimbing, memberikan sumbangan pemikiran serta saran yang membangun demi hasil karya yang lebih baik.

REFERENSI

Afriyanty, D., Thohari, S., Rahajeng, U. W., Firmanda, T. H., Mahalli., & Semedhi, B. P. (2020). Akomodasi yang Layak bagi Siswa dengan Disabilitas di Masa Pandemi. Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network, 1–36.

Agustina, A. (2021). Partisipasi orangtua anak berkebutuhan khusus dalam program belajar dari rumah selama pandemi covid-19 [Naskah tidak dipublikasikan]. Universitas Udayana

Alberti, R., & Emmons, M. (2002). Your Perfect Right: Panduan Praktis Hidup Lebih Ekspresif dan Jujur pada Diri Sendiri.

Elex Media Komputindo

Ali, M., & Asrori, M. (2012). Psikologi remaja. Bumi Aksara.

Alisma, Y., & Adri, Z. (2021). Parenting Stress Pada Orangtua Bekerja Dalam Membantu Anak Belajar Di Rumah. PSYCHE:

Jurnal Psikologi, 3(1), 64–74. https://doi.org/10.36269/psyche.v3i1.322

Atasoy, R., & Sevim, C. (2018). Evaluation of coping strategies with stress of parents who have mentally disabled children in northern Cyprus. Universal Journal of Educational Research, 6(6), 1129–1140. https://doi.org/10.13189/ujer.2018.060601

Barata, M. S., & Izzati, U. A. (2013). Hubungan antara keterbukaan diri dan harga diri dengan penyesuaian diri remaja pondok pesantren persis putri bangil pasuruan. Character: Jurnal Penelitian Psikologi., 2(1), 1–5.

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/4571

Becker, S. P., Breaux, R., Cusick, C. N., Dvorsky, M. R., Marsh, N. P., Sciberras, E., & Langberg, J. M. (2020). Remote Learning During COVID-19: Examining School Practices, Service Continuation, and Difficulties for Adolescents With and Without Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder. Journal of Adolescent Health, 67(6), 769–777.

https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2020.09.002

Bukowski, H. (2016). Encyclopedia of Personality and Individual Differences. Encyclopedia of Personality and Individual

Differences, September. https://doi.org/10.1007/978-3-319-28099-8

Cangara, H. (2013). Pengantar ilmu komunikasi. PT Raja Grafindo Persada.

Colizzi, M., Sironi, E., Antonini, F., Ciceri, M. L., Bovo, C., & Zoccante, L. (2020). Psychosocial and behavioral impact of

COVID-19 in autism spectrum disorder: An online parent survey. Brain Sciences, 10(6), 1–14.

https://doi.org/10.3390/brainsci10060341

Corcoran, J., Schildt, B., Hochbrueckner, R., & Abel, J. (2017). Parents of Children with Attention Deficit/Hyperactivity Disorder: A Meta-synthesis, part II. Child and Adolescent Social Work Journal, 34. https://doi.org/10.1007/s10560-017-0497-1

Darmawani, E. (2018). Metode Ekspositori Dalam Pelaksanaan Bimbingan Dan Konsleing Klasikal. JUANG: Jurnal Wahana Konseling HIV, 1(2), 30–44. https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/juang/article/view/2098

Dina, E. F., Faizah, F., & Dara, Y. P. (2017). Emotion Focused Coping in Single Mother Who has Adolescence with Autism.

GUIDENA: Jurnal Ilmu Pendidikan, Psikologi, Bimbingan Dan Konseling, 7(2), 158. https://doi.org/10.24127/gdn.v7i2.979

Faizah, H. N., Basuki, H. O., & Karyo, K. (2021). Hubungan Strategi Coping dengan Penyesuaian Diri Remaja di SMP Tahfidz Khairunnas Tuban. Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama Tuban, 3(2). https://doi.org/10.47710/jp.v3i2.80

Fatimah, E. (2006). Psikologi perkembangan: Perkembangan peserta didik. Pustaka Setia.

Haryati, T. (2022). The Relationship of Interpersonal Communication with the Self Adjustment of VII Student in SMP Negeri 17 Kota Jambi. Jurnal Ilmiah Konseling Pendidikan, 1(1). https://doi.org/10.22437/kopendik.v1i1.17567

Herdiansyah, H. (2015). Metodologi penelitian kualitatif: untuk ilmu psikologi. Salemba Humanika.

Hidayat, M. F., & Adri, Z.. (2021). Coping Stres pada Ibu yang Bekerja dalam Membimbing Anak Belajar di Rumah selama

Pandemi Covid. NUSANTARA:   Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial,   8(2),   138–145.   http://jurnal.um-

tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020, Maret 10). Surat edaran pencegahan covid_19 pada satuan pendidikan.

Kemdikbud. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/03/surat-edaran-pencegahan-covid19-pada-satuan-pendidikan

Kurniati, E., Kusumanita, D., Alfaeni, N., & Andriani, F. (2021). Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Analisis Peran Orang Tua dalam Mendampingi Anak di Masa Abstrak. 5(1), 241–256. https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i1.541

Kau, M. A., & Idris, M. (2020). Deskripsi Penyesuaian Sosial Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Kota Gorontalo. Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal, 4(3), 265. https://doi.org/10.37905/aksara.4.3.265-274.2018

Lase, D., Zega, T. G. C., & Daeli, D. O. (2021). Parents’ Perceptions of Distance Learning during COVID-19 Pandemic in Rural

Indonesia. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3890610

Lempang, K. A. P., Sutiaputri, L. F., & Diana, D. (2021). Penyesuaian Diri Orangtua Anak Pengidap Kanker Dalam Proses Pengobatan Anak: Studi Di Yayasan Rumah Cinta Anak Kanker Bandung. Jurnal Ilmiah Rehabilitasi Sosial (Rehsos), 3(1),

71–91. https://doi.org/10.31595/rehsos.v3i1.379

Lilawati, A. (2021). Peran Orangtua dalam Mendukung Kegiatan Pembelajaran di Rumah pada Masa Pandemi. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1). https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i1.630

Mangunsong, F. (2014). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus (jilid kesatu). LPSP Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Mayasari, M. P., & Susilawati, L. K. P. A. (2019). Peran komunikasi interpersonal dan problem focused coping terhadap stres mahasiswa Universitas Udayana yang sedang menyusun skripsi. Psikologi Udayana, 000, 88–98.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/52507

Nainggolan, J. A. (2015). Penyesuaian Diri Orangtua dan Keberfungsian Keluarga yang Memiliki Anak Penyandang Autisme. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(3), 313–320. https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v3i3.3788

Nurlaeni, N., & Juniarti, Y. (2017). Peran Orangtua dalam Mengembangkan Kemampuan Bahasa pada Anak Usia 4-6 Tahun.

Jurnal Pelita PAUD, 2(1). https://doi.org/10.33222/pelitapaud.v2i1.196

Oetomo, P. F., Yuwanto, L., & Rahaju, S. (2019). Faktor Penentu Penyesuaian Diri pada Mahasiswa Baru Emerging Adulthood Tahun Pertama dan Tahun Kedua. Jurnal Ilmiah Psikologi MIND SET, 8(02), 67–77.

https://doi.org/10.35814/mindset.v8i02.325

Pain, A., & Huot, D. (2017). Life in the times of ‘ late development ’: February, 2002–2016.

Palupi, Y. E. A., & Tirtayani, L. A. (2022). Coping Strategy Orang Tua dalam Mendampingi Anak Usia Dini Belajar dari Rumah.

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Undiksha, 10(2). https://doi.org/10.23887/paud.v10i2.49389

Pritaningrum, M. & Hendriani, W. (2013). Penyesuaian Diri Remaja yang Tinggal di Pondok Pesantren Modern Nurul Izzah Gresik Pada Tahun Pertama. Psikologi Kepribadian Dan Sosial, 02(03), 135.

Purwanto, A., Pramono, R., Asbari, M., Santoso, P. B., Wijayanti, L. M., Choi, C. H., & Putri, R. S. (2020). Studi Eksploratif Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Proses Pembelajaran Online di Sekolah Dasar. EduPsyCouns: Journal of Education, Psychology and Counseling, 2(1), 1–12. https://ummaspul.e-journal.id/Edupsycouns/article/view/397

Raihana. (2020). Pengelolaan Emosi Ibu Pada Anak Selama Pembelajaran Dari Rumah. Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 3(4), 132–139. https://journal.uir.ac.id/index.php/generasiemas/article/download/5820/2963/

Runyon, R. P. & Haber, A. (1984). Psychology of adjustment. The Dorsey Press.

Sari, A. B. S., & Mulyana, O. P. (2015). Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal Dengan Penyesuaian Diri Pada Guru Di Sekolah Dasar Negeri Yang Merger. Jurnal Penelitian Psikologi, 3(2), 1–5.

Sawitri, A. R., & Widiasavitri, P. N. (2021). Strategi Coping Mahasiswa yang Sedang Menyusun Skripsi di Tengah Pandemi COVID-19. Jurnal Psikologi Udayana, 8(1), 78. https://doi.org/10.24843/jpu.2021.v08.i01.p08

Smith, S., Burdette, P., Cheatham, G., & Harvey, S. (2016). Parental Role and Support for Online Learning of Students with Disabilities: A Paradigm Shift. Journal of Special Education Leadership, 29(2), 101–112.

Strauss, A. & Corbin, J. (2003). Dasar-dasar penelitian kualitatif. Pustaka Pelajar.

Sugiyono. (2016). Metodologi penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r&d. CV Alfabeta.

Sumakul, Y., & Ruata, S. (2020). Kesejahteraan Psikologis Dalam Masa Pandemi Covid-19. Journal of Psychology

“Humanlight,” 1(1), 1–7. https://doi.org/10.51667/jph.v1i1.302

Utami, E. (2020). Kendala dan Peran Orangtua dalam Pembelajaran Daring Pada Masa Pandemi Covid-19. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana, 471–479. https://proceeding.unnes.ac.id/index.php/snpasca/article/download/637/555

Wahib, A. (2021). Peran Orang Tua Dalam Membimbing Anak Belajar Daring Selama Pandemi Covid 19. Paradigma, 12(November), 107–117.

Wahyuningsih, S. (2013). Metode penelitian studi kasus (konsep, teori pendekatan psikologi komunikasi, dan contoh penelitiannya). UTM Press

Wahyuningsih, S. (2016). Hubungan Komunikasi Interpersonal dan Strategi Coping dengan Stres Pada Mahasiswa. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(3), 376–382. https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v4i3.4097

Wangi, A. A. I. D. S., & Budisetyani, I. G. A. P. W. (2020). Bentuk Dukungan Sosial Orang Tua dan Kemampuan Penyesuaian Diri pada Anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD). Jurnal Psikologi Udayana, 207–215.

Widiasavitri, I. A. R. T. dan P. N. (2016). Pada Remaja Awal Di Panti Asuhan Kota Denpasar. Pendidikan, 3(3), 542–550.

Yolanda, E., & Risnawaty, W. (2021). An Overview of Coping with Stres Among Mothers Accompanying Their Children Through Online Learning During COVID-19 Pandemic. Atlantis Press, 570.

373