JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana https://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 8, Nomor1, April 2020

Pendugaan Umur Simpan Metode Extended Storage Studies Ikan Kakap Putih Olahan dengan Pengaplikasian Asap Cair Bambu Tabah (Gigantochloa nigrociliata Buse-Kurz) dalam berbagai Metode Pengemasan

Estimated Shelf Life Extended Storage Studies Method of White Snapper Fish Processed by Application of Tabah Bamboo Liquid Smoke (Gigantochloa nigrociliata Buse-Kurz in Vacuum Packed

Stefani Sitanggang, Ida Ayu Rina Pratiwi Pudja*, Ida Bagus Putu Gunadnya

Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia.

E-mail: rinapratiwipudja@unud.ac.id

Abstrak

Ikan kakap putih memiliki kadar air yang tinggi. Ikan segar mudah mengalami kerusakan sehingga diperlukan pengawetan. Salah satu metode pengawetan, yaitu dengan pengasapan. Pengasapan dengan asap cair lebih praktis. Asap cair mengandung senyawa fenol, karbonil dan asam organik. Asap cair dapat diperoleh dari pirolisis batang bambu tabah (Gigantochloa nigrociliata Buse-Kurz). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui masa simpan kakap putih yang direndam dengan asap cair bambu tabah dengan berbagai konsentrasi dan berbagai metode pengemasan disimpan pada suhu ruang. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi asap cair, terdiri dari 0 , 3 dan 6 . Faktor kedua adalah pengemasan, terdiri dari tanpa pengemasan, non vakum dan vakum. Setiap perlakuan diulang dua kali. Perlakuan konsentrasi 6 dengan pengemasan vakum memiliki umur simpan 24 jam, dengan kadar air 62,66 , nilai pH 6,5, kadar protein 28,30 , nilai TPC 4,8 × 104 koloni/g, nilai kenampakan 6,73, aroma 6,47, rasa 6,60 dan tekstur 6,47.

Kata kunci: kakap putih, asap cair, bambu tabah, pengemasan, umur simpan

Abstract

White snapper fish has a high moisture content. The fish may turn to damaged therefore need to preserve. One method for preservation by fumigation. The fumigation by liquid smoke most effective. Liquid smoke consists of phenol, carbonyl and organic acids. The liquid smoke comes from stem of tabah bamboo (Gigantochloa nigrociliata Buse-Kurz). The purpose of this research is to know shelf life of processed white snapper soaked in liquid smoke with various concentrations and various packaging where stored at room temperature. The used method was to complete random planning within two factors. The first factor was the concentration of liquid smoke, consisting of 0 , 3 and 6 . The second factor was packaging, consisting of without packaging, non-vacuum and vacuum. Each treatment was repeated twice. The treatments of 6 concentration with vacuum packed have a shelf life 24 hours with a moisture content of 62.66 , pH 6.5, protein 28.30 , TPC 4.8 × 104 colony/g, visibility 6.73, smell 6.47, taste 6.60 and texture 6.47.

Keyword: white snapper, liquid smoke, tabah bamboo, packaging, shelf life.

PENDAHULUAN

Ikan kakap putih (Lates calcarifer) merupakan komoditas unggulan karena tingginya permintaan kebutuhan konsumsi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Kandungan nutrisi ikan kakap putih sangat tinggi, sehingga mudah mengalami kerusakan. Pengawetan dapat dilakukan untuk menunda penurunan mutu sehingga dapat memperpanjang umur simpan ikan kakap putih. Salah satu metode pengawetan yang dapat diterapkan pada ikan kakap putih adalah

pengasapan. Pengasapan terdiri dari dua metode, yaitu pengasapan tradisional dan modern. Pengasapan tradisional merupakan pengasapan berasal dari api dan secara langsung mengenai produk pangan yang ingin diasapkan. Sedangkan pengasapan modern menggunakan asap cair. Asap cair memiliki keunggulan, yaitu tidak menyebabkan polusi udara dan konsentrasi dapat diatur. Asap cair dapat digunakan sebagai alternatif bahan pengawet yang lebih aman dan dapat memperpanjang umur simpan.

Asap cair merupakan senyawa yang menguap dari reaktor panas melalui teknik pirolisis (penguraian dengan panas) dan berkondensasi pada sistem pendingin (Simon et al. 2005). Pada umumnya, penggunaan asap cair sering dikombinasikan dengan berbagai perlakuan seperti teknik pengemasan dan suhu penyimpanan, sebagai upaya untuk meningkatkan umur simpan (Muratore et al. 2007). Umumnya batang bambu tabah digunakan untuk pembuatan perabot rumah tangga, sehingga diperlukan pengolahan untuk menghasilkan variasi produk. Batang bambu tabah dapat diolah menjadi asap cair. Asap cair mengandung berbagai komponen kimia seperti fenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol dan ester (Guillen dan Ibargoitia, 1999). Salah satu komponen kimia lain yang dapat terbentuk pada pembuatan asap cair adalah Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) dan turunannya, beberapa diantara komponen tersebut bersifat karsinogenik (Stolyhwo, 2005). Mengurangi jumlah PAH yang terkandung dalam asap cair dapat dilakukan pemurnian seperti destilasi (Luditama, 2006). Asap cair yang sudah didestilasi dapat diaplikasikan pada produk pangan, salah satunya ikan kakap putih. Pada umumnya, penggunaan asap cair sering dikombinasikan dengan berbagai perlakuan seperti penggaraman, teknik pengemasan dan suhu penyimpanan, sebagai upaya untuk menghasilkan efek sinergis terhadap mikroorganisme perusak dan meningkatkan umur simpan (Muratore et al. 2007). Berdasarkan penelitian Kaiang, (2016) ikan tongkol asap yang dikemas vakum dan disimpan pada suhu ruang memiliki masa simpan 2 hari. Berdasarkan penelitian Paputungan (2015), ikan cakalang asap yang dikemas vakum dan disimpan pada suhu ruang memiliki masa simpan 2 hari. Berdasarkan penelitian Sutanaya (2018), fillet tuna yang diaplikasikan dengan asap cair tempurung kelapa dengan konsentrasi 0%, 4% dan 6% dengan menggunakan metode ESS (Extended Storage Studies), memperoleh bahwa perlakuan terbaik dengan konsentrasi 6% dan masa simpan 60 jam. Umur simpan produk pangan merupakan informasi yang penting karena terkait dengan keamanan pangan. Menurut Arpah (2001), umur simpan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Penentuan umur simpan produk pangan dengan menggunakan metode ESS (Extended Storage Studies). Metode ESS merupakan metode penentuan umur simpan

dengan cara menyimpan produk pada kondisi normal sehari-hari dalam suhu ruang, sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai kerusakan maksimal (Kusnandar, 2006). Parameter utama untuk penentuan umur simpan dengan menggunakan metode ESS adalah sensori. Dalam penentuan umur simpan juga dilakukan pengujian kadar air, pH, kadar protein, total plate count untuk mengetahui nilai gizi dan jumlah koloni bakteri serta sebagai parameter pembanding untuk menentukan umur simpan. Pengemasan ikan kakap putih olahan dilakukan dengan 3 metode, yaitu tanpa pengemasan, pengemasan non vakum dan vakum disimpan pada suhu ruang dengan menggunakan plastik Polyethylene dengan ketebalan 0,8 mm. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan umur simpan ikan kakap putih olahan yang diperlakukan dengan berbagai konsentrasi asap cair bambu tabah dan dengan berbagai perlakuan pengemasan dengan menggunakan metode ESS (Extended Storage Studies).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Alat dan Ergonomika, Laboratorium Teknik Pascapanen, Laboratorium Analisis Pangan, Laboratorium Mikrobilogi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2019.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pirolisator, kondensor, cool box, desikator, oven listrik, vacuum sealer, cawan porselen, cawan petri, tabung reaksi, labu kjeldahl pyrex, pH meter, inkubator memert, vortex, autoklaf hirayama dan colony counter. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan kakap putih segar sebanyak 90 ekor dengan berat 250300 gram per ekor, batang bambu tabah 8,7 kg, Plate Count Agar (PCA), NaCl, aquades, NaOH, H2SO4 pekat, tablet kjeldahl, phenolphthalein 1%, asam borak 3%, asam klorida 0,1N dan plastik Polyethylen.

Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor dengan dua kali pengulangan. Faktor pertama yang digunakan dalam rancangan penelitian ini adalah konsentrasi asap cair terdiri dari tiga taraf yaitu 0% (K1), 3% (K2) dan 6% (K3),

dan faktor kedua yang digunakan adalah metode pengemasan terdiri dari tigar taraf yaitu tanpa pengemasan (P1), pengemasan non vakum (P2) dan pengemasan vakum (P3) Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan analisis sidik ragam dan apabila pengaruh perlakuan signifikan (P>0,05) maka dilanjutkan dengan uji Duncan.

Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan Asap Cair Batang Bambu Tabah Bambu tabah diambil dari daerah Pupuan, Tabanan. Batang bambu tabah diperlukan sebanyak 8,7 kg. Batang bambu tabah dijemur di bawah sinar matahari selama 7 hari, kemudian dimasukkan ke dalam pirolisator. Pada proses pemanasannya, menggunakan kompor gas. Batang bambu tabah yang berada di dalam pirolisator akan mengalami proses pirolisis (pembakaran dengan suhu  400°C), yaitu

terjadinya perombakan senyawa penyusun bambu tabah menjadi fase gas. Uap panas akan mengalami kondensasi di dalam kondensor sehingga menjadi bentuk cair dan menghasilkan asap cair grade 3 sebanyak 2,9 liter. Asap cair grade 3 didestilasi kembali sebanyak dua kali menghasilkan asap cair grade 1 sebanyak 2,7 liter.

Pengaplikasian Asap Cair Bambu Tabah

Bahan baku yang digunakan adalah ikan kakap putih segar. Menurut SNI 2729:2013, karakteristik ikan segar yaitu memiliki penampakan mata cerah dan cemerlang, memiliki bau segar, tekstur elastis, padat dan kompak. Ikan kakap putih segar dimasukkan ke dalam cool box dan langsung dibawa ke laboratorium. Ikan dibersihkan dari insang dan isi perut, kemudian ikan dibelah menjadi dua. Ikan kakap putih direndam di dalam asap cair dengan berbagai konsentrasi selama 30 menit dan ditiriskan selama 15 menit. Tahapan selanjutnya adalah pengovenan ikan dengan menggunakan suhu 80°C selama 4 jam (Sutanaya, 2018).

Pengemasan Ikan Kakap Putih Olahan Tahapan setelah dioven adalah didinginkan di suhu ruang selama 15 menit, lalu dilakukan pengemasan. Perlakuan pengemasan terdiri dari tanpa pengemasan, pengemasan non vakum dan vakum. Perlakuan tanpa pengemasan diletakkan di atas wadah, perlakuan pengemasan non vakum dikemas dengan plastik Polyethylen dengan ketebalan 0,8 mm. Pengemasan vakum menggunakan jenis plastik yang sama dengan pengemasan non vakum. Pengemasan vakum menggunakan mesin vacuum sealer.

Penyimpanan dengan Metode ESS (Extended Storage Studies)

Penentuan umur simpan menggunakan metode ESS dengan menyimpan ikan kakap putih olahan dalam suhu ruang.

Parameter Penelitian

Kadar Air

Analisis kadar air (AOAC, 1995) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

  • 1.    Cawan porselen disterilkan dalam oven selama 1 jam dengan suhu 100-105oC, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang beratnya (A gram).

  • 2.    Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dan ditaruh dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya (B gram). Sampel dalam cawan porselen ini kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105^ selama 4 jam, selanjutnya didinginkan di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (C gram).

  • 3.    Pengeringan dilakukan kembali hingga mencapai berat konstan.

B-C

Kadar Air =---× 100

B-A

Dimana:

A = Berat kering cawan (gram)

B = Berat kering cawan dan sampel awal (gram)

C = Berat kering cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram)

Nilai pH

Analisis pH dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (AOAC, 1995):

  • 1.    Timbang sampel yang telah dihaluskan sebanyak 10 gram, lalu dihomogenkan dengan 10 ml aquades.

  • 2.    Tuangkan ke dalam gelas beker, kemudian diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter.

  • 3.    Besarnya pH adalah pembacaan jarum penunjuk pH setelah jarum skala kontan kedudukannya.

Kadar Protein

Analisa kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode mikro kjeldhal (Sumardji et al. 1997). Sampel yang dihaluskan sebanyak 0,1 gram, lalu dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan 0,5 gram tablet kjeldhal dan 5 ml H2SO4. Lalu didestruksi selama 1-2 jam hingga berwarna bening. Setelah

didestruksi, ditambah dengan 25 ml aquades. Larutan dipindahkan ke dalam labu kjeldhal dan ditambahkan 50 ml aquades, 25 ml NaOH 50%, 3 tetes indikator phenolphthalein (PP), lalu didestilasi. Distilat ditampung dalam labu ukur yang berisi 10 ml asam borak 3% dan ditunggu hingga filtrat yang dihasilkan 50 ml. Filtrat dipindahkan ke dalam gelas erlenmeyer untuk dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna filtrat menjadi jingga pucat. Kadar protein ditentukan dengan rumus perhitungan %N:

%N

ml HCl sampel-ml HCl blanko×N HCl×14.008

mg sampel

×100


%

Kadar protein = %N × faktor konversi (6,25)

Total Plate Count (TPC)

Tata cara menghitung cemaran mikrobiologi menurut SNI 7388: 2009, yaitu:

  • 5.    Buat pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dan seterusnya dengan cara yang sama sesuai dengan kebutuhan.

  • 6.    Tambahkan 15-20 ml Plate Count Agar (PCA) yang sudah dilarutkan dengan aquades dan sudah disterilkan pada cawan petri.

  • 7.    Selanjutnya 1 ml suspensi dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo. Pada penggunaan metode gores, suspensi diratakan/digores dengan spreader (batang bengkok).

  • 8.    Inkubasikan pada temperatur 37oC selama 2448 jam.

  • 9.    Hitung jumlah koloni bakteri pada cawan petri.

Sensori

Uji sensori merupakan cara pengujian dengan menggunakan indra manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk. Uji sensori ikan kakap putih olahan berdasarkan SNI 01-2346-2006. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerapan mutu produk, yaitu memberi indikasi kemunduran mutu. Uji sensori menggunakan kuisioner yang diberikan pada 15 orang panelis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air

Hasil pengukuran kadar air ikan kakap putih olahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai rata-rata kadar air (%) ikan kakap putih olahan.

Kode

0 Jam

24 Jam

48 Jam

72 Jam

96 Jam

K1P1

68,37a

72,39a

76,36a

76,60b

78,17b

K1P2

68,24a

71,14b

74,04b

79,03a

84,05a

K1P3

68,09a

68,99c

70,39d

74,05d

77,89c

K2P1

65,73a

68,72d

71,72c

76,30c

78,06b

K2P2

65,57a

67,16e

68,76e

72,96e

77,16d

K2P3

65,42a

65,92f

66,42f

69,44g

72,42f

K3P1

62,62a

64,60g

66,62f

71,22f

75,82e

K3P2

62,41a

63,41h

64,41g

67,71h

71,01g

K3P3

62,26a

62,66i

63,06h

65,06i

67,05h

Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Perlakuan dengan penambahan asap cair sangat mempengaruhi kandungan kadar air ikan kakap putih olahan. Penggunaan asap cair dapat menyebabkan terjadinya kehilangan air pada produk (Leroi dan Joffraud, 2000). Tingkat keasaman asap cair dapat menyebabkan protein menjadi tidak larut, sehingga berakibat pada keluarnya air dari daging ikan (Gomez-Guillen et al. 2003). Semakin tinggi konsentrasi asap cair,

maka semakin tinggi juga jumlah asap cair yang terserap ke dalam daging ikan. Meresapnya asap cair ke dalam daging ikan menyebabkan air bebas di dalam daging ikan terdesak keluar, sehingga kadar air ikan berkurang. Kandungan kadar air ikan kakap putih segar sebesar 80,3%. Setelah direndam asap cair dan dioven dengan suhu 80°C selama 4 jam, kadar air pada ikan kakap putih mengalami penurunan, rata-rata kadar air ikan

pada penyimpanan 0 jam menjadi sebesar 65,41%. Hal ini dikarenakan air di dalam daging ikan mengalami penguapan. Menurut Wibowo (2000), perubahan kadar air pada proses pengasapan diakibatkan panas dan penarikan air dari jaringan tubuh ikan oleh penyerapan berbagai senyawa kimia dari asap.

Setelah mengalami penurunan kadar air akibat perendaman asap cair dan pengovenan, kadar air ikan kakap putih olahan mengalami peningkatan selama penyimpanan di suhu ruang. Meningkatnya kadar air disebabkan oleh aktivitas bakteri yang menghasilkan lendir dan air. Winarno (2002), menyatakan bahwa peningkatan kadar air dapat disebabkan oleh penguraian protein menjadi amoniak dan diikuti terlepasnya air terikat menjadi air bebas oleh mikroorganisme. Pada penyimpanan 24 dan 48 jam, kadar air ikan kakap putih olahan yang tidak dikemas lebih tinggi dibandingkan yang dikemas non vakum dan vakum. Tingginya kadar air disebabkan oleh terserapnya uap air dari lingkungan sekitar. Peningkatan kadar air perlakuan tanpa kemasan (K1P1, K2P1) pada penyimpanan 72 dan 96 jam lebih sedikit dibandingkan dengan peningkatan kadar air pada perlakuan pengemasan non vakum dan vakum, dikarenakan sudah mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitar produk. Kadar air suatu produk dipengaruhi oleh kelembaban udara di sekelilingnya (Winarno, 2002).

Berdasarkan penelitian Bawinto et al. (2015), kriteria kadar air ikan asap sebesar 60-65%. Dari parameter kadar air, ikan kakap putih olahan dengan konsentrasi 6% pengemasan non vakum dan vakum (K3P2 dan K3P3) memiliki masa simpan 48 jam.

Nilai pH

Hasil pengukuran pH ikan kakap putih olahan dapat dilihat pada Tabel 2. pH ikan kakap putih olahan yang diperlakukan dengan penambahan asap cair lebih rendah daripada tanpa asap cair, dikarenakan asap cair memiliki kandungan asam. Menurut Tranggono et al. (1996), asap cair mengandung senyawa asam seperti asam asetat dan asam formiat. Semakin tinggi konsentrasi asap cair, maka semakin rendah juga nilai pH-nya. Metode pengemasan terhadap ikan kakap putih olahan mempengaruhi nilai pH. pH ikan kakap putih yang tidak dikemas mengalami peningkatan lebih besar dibandingkan dengan ikan kakap putih yang dikemas. Hal ini dikarenakan pengemasan melindungi produk sehingga tidak kontak langsung dengan udara dan lingkungan sekitar.

Tabel 2. Nilai rata-rata pH ikan kakap putih

olahan.

Kode

0 Jam

24 Jam

48 Jam

72

Jam

96 Jam

K1P1

6,60a

7,30a

8,00a

8,70a

9,10a

K1P2

6,60a

7,20b

7,80b

8,40b

8,80b

K1P3

6,70a

6,85d

7,25de

7,95d

8,05d

K2P1

6,60a

7,05c

7,65c

8,10c

8,75b

K2P2

6,50a

6,80d

7,30d

7,70e

8,30c

K2P3

6,50a

6,60f

6,90f

7,30g

7,70f

K3P1

6,40a

6,70e

7,20e

7,70e

8,30c

K3P2

6,40a

6,60f

6,90f

7,40f

7,90e

K3P3

6,40a

6,50g

6,70g

7,10h

7,40g

Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Udara memicu pertumbuhan mikroba yang dapat mengurai protein sehingga menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat basa. pH ikan kakap putih mengalami peningkatan selama penyimpanan. Menurut Goulas dan Kontominas (2005), kenaikan pH disebabkan oleh aktivitas bakteri pembusuk yang dapat memproduksi enzim proteolitik. Enzim ini dapat memecah protein menjadi amoniak (NH3), trimetilamin dan komponen volatil, sehingga nilai pH meningkat. Menurut Fardias (1982), pH yang baik untuk ikan yang diawetkan antara 2,0-5,5 sedangkan pH 6,08,0 merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme.

Kadar Protein

Hasil pengukuran kadar protein ikan kakap putih olahan dapat dilihat pada Tabel 3. Protein ikan kakap putih segar sebesar 19,7% (Gooch et al. 2013). Kadar protein mengalami peningkatan setelah pemasakan dan pemberian asap cair. Hal ini dikarenakan pemberian panas dan senyawa asam. Kadar protein dapat menurun karena adanya proses pengolahan, dengan terjadinya denaturasi protein selama pemanasan (Swastawati et al. 2012). Protein yang terdenaturasi akan mengalami koagulasi apabila dipanaskan pada suhu 50°C atau lebih (Ghozali et al. 2004). Kadar protein mengalami penurunan selama penyimpanan. Bila dikaitkan nilai kadar protein dengan kadar air, memiliki hubungan berbanding terbalik (Sutanaya, 2018). Kenaikan nilai kadar air pada ikan kakap putih olahan akan berdampak pada penurunan kadar protein. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan maka kadar air semakin menurun dan kadar protein semakin meningkat. Komposisi gizi merupakan suatu kesatuan yang mana bila ada yang mengalami

penurunan maka ada salah satu unsur yang akan meningkat.

Tabel 3. Nilai rata-rata kadar protein (%) ikan kakap putih olahan

Kode

0 Jam

24 Jam

48 Jam

72 Jam

96 Jam

K1P1

22,76a

17,00g

12,19i

7,56i

3,34i

K1P2

22,73a

17,68f

14,37h

10,08h

5,29h

K1P3

22,69a

18,32e

16,45g

11,97g

6,06g

K2P1

24,96a

22,28d

19,43f

14,68f

9,11f

K2P2

25,04a

22,67d

21,20e

17,69e

13,67e

K2P3

25,06a

24,23c

23,03c

19,55c

15,01c

K3P1

28,40a

24,16c

22,40d

18,76d

14,07d

K3P2

28,35a

25,33b

24,59b

22,34b

18,74b

K3P3

28,32a

28,29a

27,03a

24,54a

22,41a

Keterangan; Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Hal ini disebabkan oleh senyawa protein terkonsentrasi akibat menguapnya air bebas di dalam ikan (Sutanaya, 2018). Menurut Buckle et al. (1987), protein dibagi 2 berdasarkan kelarutannya, yaitu protein larut air dan tidak larut air. Protein larut air akan tertinggal di dalam daging ikan dengan menguapnya sebagian air bebas. Dengan demikian, senyawa protein akan terkonsentrasi di dalam daging ikan. Berdasarkan SNI 2725:2009 kadar protein ikan asap minimal 15%. Dari parameter kadar protein, ikan kakap putih olahan dengan konsentrasi asap cair 0% tanpa pengemasan dan pengemasan non vakum memiliki masa simpan 24 jam. Ikan kakap putih olahan dengan konsentrasi 0% pengemasan vakum dan konsentrasi 3% tanpa pengemasan memiliki masa simpan 48 jam. Ikan kakap putih olahan dengan konsentrasi 3% pengemasan non vakum memiliki masa simpan 72 jam.

Total Plate Count (TPC)

Hasil nilai rata-rata TPC ikan kakap putih olahan dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai TPC yang diperlakukan dengan konsentrasi 0% asap cair lebih tinggi daripada yang diperlakukan dengan konsentrasi 6% asap cair, dikarenakan asap cair mengandung senyawa fenol dimana berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba. Aktivitas antimikroba asap cair terutama disebabkan adanya senyawa kimia yang terkandung dalam asap seperti fenol, formaldehid, asam asetat dan kreosat yang menempel pada bagian permukaan bahan akan menghambat pembentukan spora dan pertumbuhan bakteri dengan memperpanjang fase lag (Lebois et al. 2004). Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan maka

semakin banyak pula senyawa fenol yang dikandung dan mampu memperlambat kenaikan nilai TPC.

Tabel 4. Nilai rata-rata TPC (koloni/gram) ikan kakap putih olahan.

Kode

0 Jam

24 Jam

48Ja m

72Ja m

96Ja m

K1P1

7,43

×104a

1,06× 105a

1,12×

106a

1,38×

107a

1,25 × 108a

K1P2

7,43

×104a

1,02 × 105b

9,77× 105b

1,32× 107b

1,06×

108b

K1P3

7,43

×104a

8,98× 104c

7,16× 105d

1,15× 107c

9,01×

107c

K2P1

5,58

×104a

8,15×

104d

7,78× 105c

1,10× 107d

8,86× 107c

K2P2

5,58

×104a

7,31 × 104e

5,40× 105e

9,86× 106e

7,29× 107d

K2P3

5,55

×104a

6,71× 104f

4,71×

105f

8,66× 106g

5,80× 107f

K3P1

3,88

×104a

6,13× 104g

3,77× 105g

9,95× 106e

7,36× 107d

K3P2

3,90

×104a

5,46× 104h

3,03× 105h

9,40×

106f

6,25× 107e

K3P3

3,88

×104a

4,75×

104i

2,34×

105i

8,16× 106h

5,38× 107g

Keterangan Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Nilai TPC pada perlakuan penambahan asap cair dengan pengemasan vakum lebih sedikit daripada tanpa pengemasan dan pengemasan non vakum karena tidak tersedianya kebutuhan oksigen bagi bakteri. Dengan diperlakukannya konsentrasi asap cair dan pengemasan vakum mampu memperlambat kenaikan jumlah mikroba yang terdapat pada ikan kakap putih olahan. Berdasarkan jumlah TPC yang diperoleh, bahwa penyimpanan 48 jam dan penyimpanan berikutnya tidak memenuhi syarat mutu. Batas maksimum nilai TPC adalah 1,0×105 koloni/g, ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Indonesia (SNI 2725:2009).

Sensori

Uji sensori terdiri dari uji penampakan, aroma, rasa dan tekstur.

Penampakan

Hasil uji sensori dari segi penampakan ikan kakap putih olahan dapat dilihat pada Tabel 5. Selama penyimpanan nilai uji penampakan mengalami penurunan. Penurunan parameter penampakan

paling cepat terjadi pada perlakuan 0% konsentrasi asap cair dan tanpa kemasan. Menurut Winarno (2002), penurunan penampakan dikarenakan aktivitas bakteri. Sedangkan perlakuan dengan penambahan asap cair dan perlakuan penggunaan kemasan mampu memperlambat penurunan parameter kenampakan.

Tabel 5. Nilai rata-rata uji penampakan ikan

kakap putih olahan.

Kode

0 Jam

24 Jam

48 Jam

72 Jam

96 Jam

K1P1

7,40a

3,53a

1,27d

1,00c

1,00a

K1P2

7,53a

3,67a

1,40d

1,00c

1,00a

K1P3

7,53a

4,47a

2,33c

1,00c

1,00a

K2P1

7,67a

5,27a

2,60c

1,00c

1,00a

K2P2

8,20a

5,53a

3,40b

1,00c

1,00a

K2P3

8,47a

5,67a

4,60a

1,40bc

1,40a

K3P1

8,47a

5,67a

3,67b

1,40bc

1,40a

K3P2

8,60a

6,60a

4,73a

1,67b

1,53a

K3P3

8,73a

6,73a

4,87a

2,73a

1,67a

Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Hal ini dikarenakan senyawa fenol dalam asap cair yang menempel pada permukaan ikan. Senyawa fenol juga memberikan kontribusi, yaitu penampakan mengkilap dan warna keclokatan (Pratama, 2011). Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan, maka semakin tinggi pula nilai penampakan. Pengemasan pada ikan kakap putih olahan memberikan pengaruh terhadap penampakan ikan kakap putih olahan, karena pengemasan melndungi bahan sehingga memperlambat penurunan mutu. Berdasarkan SNI 2725:2013 persyaratan mutu sensori ikan asap minimal 7 untuk setiap parameter, yaitu penampakan, aroma, rasa dan tekstur. Pada penyimpanan 24 jam, yang diterima perlakuan konsentrasi 6% dengan pengemasan non vakum dan vakum (K3P2 dan K3P2). Sedangkan pada penyimpanan 48, 72 dan 96 jam semua perlakuan tidak diterima oleh penelis.

Aroma

Hasil uji sensori dari segi aroma ikan kakap putih olahan dapat dilihat pada Tabel 6. Ikan kakap putih dengan konsentrasi 6% dan pengemasan vakum selama penyimpanan memiliki nilai lebih tinggi. Menurut Girard (1992), senyawa fenol berperan dalam memberikan aroma asap. Daun (1979) menyatakan bahwa karakteristik flavour pada produk asap disebabkan oleh adanya komponen fenol yang terserap pada permukaan produk.

Tabel 6. Nilai rata-rata uji aroma ikan kakap putih olahan.

Perlakuan

0 Jam

24 Jam

48 Jam

72

Jam

96 Jam

K1P1

5,53a

3,40d

1,13d

1,13b

1,00a

K1P2

5,67a

3,53d

1,40d

1,13b

1,00a

K1P3

6,47a

5,13c

2,33c

1,13b

1,00a

K2P1

8,07a

5,27c

2,60c

1,13b

1,00a

K2P2

8,33a

5,53c

3,40b

1,13b

1,00a

K2P3

8,47a

5,67bc

4,60a

1,53b

1,00a

K3P1

8,33a

5,67bc

3,67b

1,53b

1,00a

K3P2

8,60a

6,33ab

4,60a

1,67b

1,13a

K3P3

8,73a

6,47a

4,73a

2,73a

1,27a

Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Selama penyimpanan berlangsung, nilai organoleptik dari segi aroma mengalami penurunan. Selain itu juga terjadi perubahan aroma menjadi beraroma tengik, disebabkan aktivitas mikroba. Kemunduran mutu ikan disebabkan oleh aksi enzimatis dan bakteri, kedua aksi ini mengurai komponen penyusun jaringan tubuh ikan sehingga menghasilkan perubahan fisik seperti daging ikan menjadi lunak dan perubahan kimia yang menghasilkan senyawa yang mudah menguap dan berbau busuk (Wibowo, 2000). Berdasarkan SNI 2725:2013 persyaratan mutu sensori ikan asap minimal 7 untuk setiap parameter, yaitu penampakan, aroma, rasa dan tekstur. Sehingga panelis menerima ikan kakap putih olahan pada penyimpanan 0 jam. Pada penyimpanan 24 jam, yang dterima panelis adalah perlakuan konsentrasi 6% dengan pengemasan non vakum dan vakum (K3P2 dan K3P2). Sedangkan pada penyimpanan 48, 72 dan 96 jam semua perlakuan sudah tidak diterima oleh penelis.

Rasa

Hasil uji sensori dari segi rasa ikan kakap putih olahan dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai rasa ikan kakap putih mengalami penurunan pada penyimpanan 24 jam. Menurut Buckle et al. (1987), lama penyimpanan dapat merubah cita rasa karena adanya penyimpangan bahan pangan pada saat mengalami reaksi atau perubahan sifat fisik dan kimia serta organoleptik sehingga ditolak oleh konsumen. Menurut Winarno, (2002) lama penyimpanan cenderung dapat meningkatkan kadar air sehingga rasa pada makanan menjadi tidak enak dan tidak diterima oleh konsumen. Uji rasa ikan kakap putih olahan pada penyimpanan 48, 72 dan 96 tidak dilakukan dikarenakan sudah melewati batas maksimum jumlah mikroba.

Tabel 7. Nilai rata-rata uji rasa ikan kakap putih olahan.

Perlakuan        0 Jam          24 Jam

K1P1

7,00a

3,27e

K1P2

7,27a

3,53e

K1P3

7,40a

4,73cd

K2P1

7,67a

4,33d

K2P2

8,07a

5,13bc

K2P3

8,47a

5,53b

K3P1

8,47a

6,33a

K3P2

8,60a

6,47a

K3P3

8,73a

6,60a

Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Berdasarkan SNI 2725:2013 persyaratan mutu sensori ikan asap minimal 7. Panelis menerima ikan kakap putih olahan pada penyimpanan 0 jam. Pada penyimpanan 24 jam, yang dterima panelis adalah perlakuan konsentrasi 6% dengan pengemasan non vakum dan vakum (K3P2 dan K3P2).

Tekstur

Hasil uji sensori dari segi tekstur ikan kakap putih olahan dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai tekstur ikan kakap putih olahan mengalami penurunan selama penyimpanan.

8. Nilai rata-rata uji tekstur ikan kakap putih

olahan.

Kode

0 Jam

24 Jam

48 Jam

72 Jam

96 Jam

K1P1

7,27a

3,53d

1,13e

1,00c

1,00a

K1P2

7,40a

3,67d

1,40e

1,00c

1,00a

K1P3

7,53a

5,00c

2,33d

1,00c

1,00a

K2P1

7,67a

5,40c

2,60cd

1,13bc

1,13a

K2P2

8,33a

5,53c

3,13bc

1,27bc

1,13a

K2P3

8,47a

5,67bc

4,47a

1,27bc

1,27a

K3P1

8,60a

5,67bc

3,67b

1,40bc

1,27a

K3P2

8,73a

6,33ab

4,60a

1,53b

1,40a

K3P3

8,87a

6,47a

4,60a

2,47a

1,53a

Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Nilai tekstur dipengaruhi oleh kadar air. Kadar air ikan kakap putih mengalami peningkatan selama penyimpanan. Menurut Purnomo, (1995) kadar air yang tinggi menyebabkan tekstur pada bahan pangan menjadi lunak. Semakin lama penyimpanan, ikan kakap putih olahan semakin lunak.

Berdasarkan SNI 2725:2013 persyaratan mutu sensori ikan asap minimal 7 untuk setiap parameter, yaitu penampakan, aroma, rasa dan tekstur. Sehingga panelis menerima ikan kakap

putih olahan pada penyimpanan 0 jam. Pada penyimpanan 24 jam, yang dterima panelis adalah perlakuan konsentrasi 6% dengan pengemasan non vakum dan vakum (K3P2 dan K3P2). Sedangkan pada penyimpanan 48, 72 dan 96 jam semua perlakuan sudah tidak diterima oleh penelis.

Metode Extended Storage Studies (ESS)

Metode ESS adalah metode penentuan umur simpan dengan mengamati sensori ikan kakap putih olahan. Berdasarkan pengamatan dengan menggunakan metode ESS, diperoleh pendugaan umur simpan bahwa ikan kakap putih olahan yang diperlakukan tanpa penambahan asap cair dengan semua perlakuan pengemasan (K1P1, K1P2 dan K1P3), perlakuan konsentrasi asap cair 3% dan semua perlakuan pengemasan (K2P1, K2P2 dan K2P3) dan konsentrasi 6% dan tanpa pengemasan (K3P1) tidak dapat disimpan. Ikan kakap putih olahan dengan perlakuan konsentrasi asap cair 6%, pengemasan non vakum dan vakum (K3P2 dan K3P3) memiliki masa simpan 24 jam.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian konsentrasi asap cair yang berbeda dan metode pengemasan yang berbeda dapat menghasilkan perbedaan masa simpan ikan kakap putih olahan. Perlakuan terbaik yaitu konsentrasi asap cair 6% dengan pengemasan vakum memiliki masa simpan 24 jam dengan nilai kadar air 62,66%, nilai pH 6,5, kadar protein 28,30%, nilai TPC 4,75×104 koloni/g, nilai kenampakan 6,73, aroma 6,47, rasa 6,60 dan tekstur 6,47.

Daftar Pustaka

Arpah. 2001. Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Badan Standar Nasional. 2009. SNI 2725:2009. Ikan Asap. Jakarta.

Badan Standar Nasional. 2013. SNI 2729.2013. Ikan. Jakarta.

Bawinto, A.S., Mongi, E.L. dan Kaseger, B.E. 2015. Analisa Kadar Air, pH, Organoleptik dan Kapang pada Produk Ikan Tuna (Thunnus sp.) Asap di Kelurahan Girian Bawah, Kota Bitung, Sulawesi Utara.

Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan, 3(2).

Buckle, K. A., Edwards, R.A., Fleet, G. H., & Wootton, M. 1987. Ilmu pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta (Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono .

Daun, R. 1979. Interaction of wood smoke component and foods. Food Technology 33(59), 61-71.

Fardias, S. 1982. Mikrobiologi Pangan. Penuntun Praktek Laboratorium. Institut Teknologi Pertanian.

Ghozali, T., Muchtadi, D., Yaroh. 2004. Peningkatan Daya Tahan Simpan Sate Bandeng (Channos channos) dengan Cara Penyimpanan Dingin dan Pembekuan. Infomatek, 6(1). Bandung.

Girrard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat and Meat Product.

Gomez-Guillen, M. C., Montero, P., Hurtado, O., & Borderias, A. J. 2000. Biological characteristics affect the quality of farmed Atlantic salmon and smoked muscle. Journal of Food Science, 65(1), 53-60.

Gooch, J.A., Hale, M>B., Brown, T.Jr., Bonnet, J.C., C.G. dan Reiger, L.W. 2013. Proximate and fatty acid composition of 40 southeastern U.S. finfish species. U.S. Department of Commerce National Oceanic and Atmosphere diministration National Marine Fisheries Service.

Goulas, A. E., & Kontominas, M. G. 2005. Effect of salting and smoking-method on the keeping quality of chub mackerel (Scomber japonicas): biochemical and sensory attributes. Food chemistry, 93(3), 511-520.

Guillen, M.D., dan Ibargoitia, M. L. 1999. Influence of the moisture content on the composition of the liquid smoke produced in the pyrolysis pocess of Fagus sylvatica L. wood. Journal of agricultural and food chemistry, 47 (10), 4126-4136.

Kaiang, D. B., Montolalu, L.A., dan Montolalu, R.I. 2016. Kajian Mutu Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) asap utuh yang dikemas vakum dan non vakum selama 2 hari

penyimpanan pada suhu kamar. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan, 4(2), 7584.

Kusnandar, F. 2006. Desain Percobaan dalam Penentuan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode Extended Sorage Studies (ESS). Modul Pelatihan: Pendugaan dan Pengendalian Umur Simpan Bahan dan Produk Pangan, 7-8.

Lebois M, Connil N, Onno B, Prevost H, Dousset X. 2004. Effects of divercin V41combined to NaCl content, phenol (liquid smoke) concentration and PH on Listeria monocytogenes ScottA growth BHI broth by an experimental design approach. J Appl Microbiol, 96, 931-937.

Leroi, F., & Joffraud, J.J. 2000. Salt and smoke simultaneously affect chemical and sensory quality of cold-smoked salmon during 5°C storage predicted using factorial design. Journal of Food Protection, 63(9), 12221227.

Luditama, C. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Bahan Dasar Tempurung Kelapa secara Pirolisis dan Destilasi (Skripsi Sarjana Teknologi Pertanian). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Muratore, G., Mazzaglia, A., Lanza C., dan Licciardello, F. 2007. Effect of process variables on the quality of swordfish fillets flavored with smoke condensate. Journal of Food Processing and Preservation, 31(2), 67-177.

Paputungan, T.S., Wonggo, D., dan Damongilala, L.J. 2015. Kajian Mutu Ikan Cakalang (Katsuwonis Pelamis L.) Asap Utuh yang Dikemas Vakum dan Non Vakum selama Proses Penyimpanan pada Suhu Ruang. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan, 3(2).

Pratama, R. I. 2011. Karakteristik flavor beberapa jenis ikan asap di Indonesia. (Tesis) Pascasarjana IPB. Bogor.

Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannnya dalam Pengawetan Pangan. UI Press. Malang.

Simon, R., Calle, dkk. 2005. Composition and analysis of liquid smoke flovouring primary products. J. Food Sci. 28, 871-882.

Stolyhwo, A., dkk. 2005. Polyciclic aromatic hydrocarbon in smoke fish-a critical review. Food Chem 91, 303-311.

Sutanaya, Nyoman Try Atmaja. 2018. Aplikasi Penggunaan Asap Cair terhadap Daya Awet Fillet Ikan Tuna. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Bali.

Swastawati, F., Agustini, T.W., Darmanto, Y.S., Dewi, E.N. 2007. Liquid Smoke Performance of Lamtoro wood and Corn Cob. Journal of Coastal Development, 10(3), 189-196.

Tranggono, dkk. 1996. Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 1(2):15-24.

Wibowo. 2000. Industri pengasapan ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Winarno, F.G. 2002. Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

54