Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian

AGROTECHNO

Volume 3, Nomor 1, April 2018

ISSN: 2503-0523 e-ISSN: 2548-8023

Pengaruh Konsentrasi Starter dan Gula terhadap Karakteristik Wine Salak

Effect of Starter and Sugar Concentration on Characteristics of Salacca Wine

Ida Bagus Wayan Gunam, Ni Nyoman Suka Ardani, Nyoman Semadi Antara Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Email: ibwgunam@unud.ac.id

Abstract

The objective of this research was to determine the optimal concentration of the starter and adding sugar to obtain the best characteristics of salacca wine. This study uses a factorial randomized block design with two factors pattern. The concentrations of the starter as the first factors are: 5, 10 and 15% (v/v) and the second factor was the addition of sugar, namely: 10, 15, 20 and 25% (w/v). The results showed that the concentration of starter and added sugars affected the characteristics of the salacca wine. At higher concentrations of sugar can get higher alcohol content too, since there are more substrates are utilized by yeast to produce alcohol. Salacca wine with the best characteristics obtained from treatment combination of starter concentration of 15% (v/v) and added sugars 25% (w/v), with the highest alcohol content of 12.25% and also has the best value of effectiveness test was equal to 1.33.

Keywords: salacca, starter, sugar, wine characteristics

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi starter dan penambahan gula yang optimal untuk memperoleh karakteristik wine salak yang terbaik. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok pola factorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi starter yaitu: 5, 10 dan 15% (v/v) dan faktor kedua adalah penambahan gula yaitu: 10, 15, 20 dan 25% (b/v). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi starter dan penambahan gula berpengaruh terhadap karakteristik wine salak. Pada konsentrasi gula yang lebih tinggi dapat menhasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi juga, karena terdapat lebih banyak substrat yang dimanfaatkan oleh khamir untuk memproduksi alkohol. Wine salak dengan karakteristik terbaik diperoleh dari perlakuan konsentrasi starter 15% (v/v) dan penambahan gula 25% (b/v), dengan kadar alkohol tertinggi yaitu sebesar 12,25% dan juga memiliki nilai uji efektifitas terbaik yaitu sebesar 1,33.

Kata kunci: salak, starter, gula, karakeristik wine

PENDAHULUAN

Buah salak merupakan salah satu komoditi yang banyak dihasilkan di Indonesia termasuk Bali. Salak bali sangat diminati oleh banyak orang karena rasanya yang khas, daging buahnya yang tebal dan berair jika dibandingkan salak luar Pulau Bali (Tjahjadi, 1989), sehingga banyak orang yang berminat menanam salak bali termasuk masyarakat luar Kabupaten Karangasem. Setiap tahun, petani di Kabupaten Karangasem bisa menghasilkan ratusan ton salak. Namun melimpahnya hasil panen salak belum mampu mengangkat taraf hidup petani salak di daerah itu karena harga jual sering kali jatuh pada

saat musin panen (Anon, 2011). Untuk menanggulangi masalah tersebut, dan untuk meningkatkan nilai tambah dari produksi buah salak maka oleh kelompok tani di Desa Sibetan (CV Dukuh Lestari), buah salak diolah menjadi beberapa produk yang salah satunya adalah wine salak. Wine merupakan salah satu minuman yang sudah sangat dikenal di seluruh dunia sehingga apabila buah salak diolah menjadi wine maka akan dapat meningkatkan atau memberikan harga jual yang lebih tinggi untuk buah salak tersebut (Gunam et al., 2010).

Wine merupakan minuman beralkohol yang diperoleh dari hasil fermentasi buah anggur yang telah masak oleh ragi Saccharomyces cerevisiae

Gunam, Ida Bagus Wayan, Ni Nyoman Suka Ardani, Nyoman Semadi Antara. 2018. Pengaruh Konsentrasi Starter dan Gula terhadap Karakteristik Wine Salak. Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian Agrotechno, Vol. 3, No. 1, 2018. Hal. 289-297.


(Desrosier, 1988). Untuk memperoleh mutu wine yang baik, penggunaan ragi sangat mempengaruhi karakteristik wine yang dihasilkan (Lohenapessy et al., 2017). Beberapa tahun belakangan, di dalam proses pembuatan wine telah ditemukan beberapa spesies khamir yang memiliki sifat yang lebih baik dari Saccharomyces cerevisiae yang telah umum digunakan dalam proses fermentasi wine.

Buah salak dipilih sebagai salah satu bahan bahan baku wine karena buah salak memiliki aroma khas salak dan mengandung air cukup banyak yaitu 79,8781,44 g per 100 g daging buah (Suter, 1988). Pertimbangan lainnya karena kemudahan untuk mendapatkan buah salak di pasaran dengan harga yang relatif murah. Penggunaan buah salak bali untuk membuat wine diharapkan dapat meningkatkan harga salak yang semakin melorot terutama pada saat musim panen. Salak yang digunakan adalah jenis salak nangka yang berasal dari Desa Sibetan, Kabupaten Karangasem. Pengolahan wine salak sudah dikembangkan di Desa Sibetan cukup lama, tetapi sampai saat ini kualitas produk masih tidak stabil diantaranya karena pH tidak diatur, jenis yeast yang digunakan tidak sesuai karena masih menggunakan ragi roti, jumlah stater dan konsentrasi gula yang ditambahkan tidak sama.

Dalam proses pembuatan wine, konsentrasi starter dan konsentrasi gula merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi karakteristik wine yang dihasilkan. Jenis yeast yang digunakan sebagai starter adalah Saccharomyces sp. merk Alcotec karena merupakan salah satu Saccharomyces yang telah diketahui memiliki keunggulan dalam proses fermentasi wine (Lohenapessy et al., 2017). Salah satu keunggulannya adalah dapat memberikan warna dan aroma yang lebih baik pada wine yang dihasilkan serta dapat memproduksi alkohol lebih tinggi daripada yeast merk lain. Yeast ini bersifat sangat kompetitif untuk menghalangi pertumbuhan mikroba liar pada bahan dan memiliki tingkat toleransi yang tinggi dalam produksi alkohol yang dapat mencapai 20%. Adapun tujuan penambahan starter adalah untuk membantu fermentasi berjalan lebih cepat dan mengarahkan kepada fermentasi yang lebih sempurna sehingga dihasilkan wine dengan kadar alkohol yang sesuai dengan standar. Akan tetapi penambahan starter yang tidak tepat justru akan mengakibatkan fermentasi terhambat (Rahayu dan Kuswanto, 1988). Selain konsentrasi starter, konsentrasi gula juga mempengaruhi karakteristik wine yang dihasilkan terutama dalam menghasilkan alkohol, Menurut Sa’id (1987), gula yang ditambahkan pada sari buah bertujuan untuk memperoleh kadar alkohol yang lebih tinggi, tetapi bila kadar gula terlalu tinggi aktivitas khamir akan terhambat. Buah salak juga memiliki kandungan gula tidak sama dengan buah anggur yang sudah umum

digunakan untuk membuat wine sehingga penting adanya penambahan gula dalam pembuatan wine salak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi stater dan gula terhadap karakteristik wine salak. Untuk mengetahui konsentrasi starter dan gula berapakah yang dapat menghasilkan karakteristik wine salak yang terbaik.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah buah salak (kultivar salak nangka), gula pasir, aquades, dekstrosa, kultur murni dried yeast (Saccharomyces sp.) Merk Alcotec. Media dan bahan kimia yang digunakan adalah Potato Dextrosa Broth, Potato Dextrose Agar (PDA), ammonium fosfat, Natrium metabisulfit, alkohol 95%, buffer phospat pH 7 dan pH 4, NaOH 0,01N, asam sitrat, indikator PP, larutan nelson A dan nelson B, larutan arsenomolibdad.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: timbangan digital (Mettler Toledo AB 204), panci, waskom, kompor gas (Rinai), pisau, Erlenmeyer (Iwaki), saringan, corong, gelas ukur, pH meter (Istek), autoklaf, tabung reaksi (Iwaki), cawan petri (Iwaki), laminar flow, inkubator, batang gelas bengkok, botol kaca, pipet volume, gas kromatografi, refraktometer, alkohol meter (Istek), spektrofotometer, termometer, pipet tetes, pipet volume dan lemari pendingin.

Rancangan Percobaan

Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak Kelompok pola percobaan faktorial yang terdiri dari dua faktor. Perlakuan dikelompokkan berdasarkan waktu pembuatan wine. Faktor pertama yaitu konsentrasi starter (S), yang terdiri dari tiga taraf yaitu: S1: Konsentrasi starter 5% (v/v); S2: Konsentrasi starter 10% (v/v); S3: Konsentrasi starter 15% (v/v)

Faktor kedua adalah konsentrasi penambahan gula (G), yang terdiri empat taraf yaitu:G1: Gula yang ditambahkan 10% (b/v); G2: Gula yang ditambahkan 15% (b/v); G3: Gula yang ditambahkan 20% (b/v); G4: Gula yang ditambahkan 25% (b/v)

Dari perlakuan tersebut di atas akan diperoleh 12 unit perlakuan kombinasi. Masing-masing perlakuan dikelompokkan menjadi dua berdasarkan waktu pengerjaannya, sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie,1983)

Peremajaan Kultur

Khamir yang digunakan dalam pembuatan wine ini adalah Saccharomyces sp. Merk Alcotec yang masih dalam bentuk butiran kering yang aktivitasnya belum diketahui, sehingga perlu dilakukan peremajaan dan perbanyakan sel. Yeast kering tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi media PD Broth steril yang telah dibuat sebelumnya dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 2 hari, kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 2 hari. Setelah tumbuh yang ditunjukkan dengan timbulnya kekeruhan, kemudian diambil 0,1 ml dan disebar pada PDA yang telah disiapkan sebelumnya dan diinkubasikan pada suhu yang sama selama 2 hari dalam posisi terbalik. Kultur sisanya dapat dipindahkan ke dalam botol kecil yang telah berisi gliserol steril digunakan sebagai kultur stok. Setelah yeast pada petri dibiarkan selama 2 hari dalam posisi terbalik, kemudian dipindahkan ke dalam media PDA miring.

Pembuatan Starter Wine

Buah salak yang telah dibersihkan, lalu dipotong-potong. Ditambahkan air sehingga perbandingan daging buah dan air 1:2 b/v, kemudian diblender. Bubur buah kemudian disaring secara manual dengan menggunakan kain dan diperas. Filtrat dipanaskan sampai suhu 63oC dalam waktu 30 menit, kemudian didinginkan sampai suhu kamar. Ditambahkan gula 10% dari cairan buah awal. pH diatur sampai 3,75 (untuk meningkatkan pH digunakan NaOH dan untuk menurunkan pH digunakan asam sitrat), kemudian ditambahkan Saccharomyces sp. Merk Alcotec yang sudah diremajakan. Diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam. Starter dibuat bertingkat dari volume awal 25 ml sampai 1000 ml.

Pembuatan Wine Salak

Salak segar disortasi dan dikupas, kemudian diiris tipis-tipis dan ditimbang masing-masing sebanyak 300 g. Irisan salak dimasukkan ke dalam toples kaca dan ditambahkan air sebanyak 600 ml. Ditambahkan gula sesuai dengan perlakuan (5, 10, 20, 25% (b/v)),

selanjutnya pH cairan buah salak diatur sampai 4,0 (untuk meningkatkan pH digunakan NaOH dan untuk menurunkan pH digunakan asam sitrat). Ditambahkan starter sesuai perlakuan (5, 10, 15%), kemudian difermentasi selama 14 hari, selanjutnya dilakukan proses aging (penuaan) selama 1 bulan dengan tujuan untuk meningkatkan rasa dan aroma, mengendapkan padatan tersuspensi, menghidrolisis pektin dan protein sehingga warna menjadi jernih dan flavor akan meningkat (Sa’id, 1987; Chilwan, 1989). Penuaan merupakan proses pembentukan citarasa yang disusun dari alkohol, aldehid, keton dan ester yang merupakan senyawa mudah menguap proses penuaan dapat berlangsung beberapa bulan sampai beberapa tahun, setelah proses penuaan selesai dilakukan penyaringan dan wine yang jernih dibotolkan (Rahayu dan Kuswanto, 1988). Pada saat fermentasi setiap harinya dihitung laju pertumbuhan spesifik Saccharomyces sp. Merk Alcotec.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kimia dan sensoris wine salak. Parameter meliputi: total asam (Ranggana, 1987), derajat keasaman (pH) (Putra, 1995), total padatan terlarut (TPT, % brix), gula reduksi dengan metode Nelson Somogyi (Sudarmadji et al., 1984)), kadar metanol, total etanol (AOAC, 1987), warna, aroma, rasa, dan penerimaan secara keseluruhan (Soekarto, 1985), uji efektivitas (DeGarmo et al, 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar etanol

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi starter dan konsentrasi gula berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap alkohol yang dihasilkan, begitu pula dengan interaksinya. Nilai rata-rata kadar etanol wine salak dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.

Nilai rata-rata kadar etanol wine salak (% v/v)

Konsentrasi Starter

Penambahan Gula (%)

(%)

10

15

20

25

5                        6,70 l            7,75 i            9,25 f           11,25 c

10                     6,90 k          8,25h           9,25 e          11,50 b

15                      7,25 j           8,35 g           9,75 d          12,25 a

Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) pada uji Duncan

Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar etanol terendah pada perlakuan jumlah starter 5% dan gula 10% dari volume total dan nilai rata-rata

etanol tertinggi pada perlakuan jumlah starter 15% dan gula 25% dari volume total. Perbedaan jumlah gula akan menghasilkan kadar etanol yang berbeda,

dimana gula akan diubah oleh khamir menjadi etanol dan CO2 selama fermentasi (Judoamidjojo et al., 1992).

Pada perlakuan penambahan gula, dapat dilihat bahwa peningkatan penambahan gula menyebabkan kadar etanolnya meningkat. Etanol cenderung meningkat sesuai konsentrasi gula awal yang tersedia di dalam medium dan konsentrasi etanol tertinggi diperoleh dari perlakuan gula yang paling tinggi (Ramona, 1997). Hal ini disebabkan semakin banyaknya substrat yang tersedia untuk digunakan dalam metabolism yeast sehingga akan menghasilkan etanol yang semakin banyak pula, namun tetap saja ada batas maksimal konsentrasi substrat untuk proses fermentasi alkohol. Menurut Roukas (1996), penurunan produksi etanol pada konsentrasi gula berlebih merupakan efek dari inhibisi substrat.

Pada perlakuan penambahan starter, dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah starter akan mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. Apabila starter yang ditambahkan sedikit dengan konsentrasi gula yang tinggi maka etanol yang dihasilkan tidak optimum karena gula dapat menghambat pertumbuhan dari sel khamir tersebut namun jika jumlah starter yang ditambahkan banyak dengan

penambahan gula yang tinggi maka alkohol yang terbentuk juga akan tinggi karena substrat yang ada banyak dengan sel yang banyak sehingga gula akan cepat dikonversi menjadi alkohol dan konsentrasi alkohol akan meningkat.

Kadar Metanol

Dari hasil analisis dengan gas kromatografi tidak terdeteksi adanya metanol. Kadar metanol pada wine sangat dibatasi jumlahnya bahkan diharapkan tidak ada karena zat ini bersifat racun bagi tubuh terutama pada saraf. Dari hasil penelitian ini, kadar metanol wine salak tidak terdeteksi untuk semua perlakuan. Hal ini berarti telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan SNI. Berdasarkan SNI 01-4018-1996, kandungan metanol pada minuman beralkohol diperkenankan maksimal 0,1% (v/v).

Gula Reduksi

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi starter dan konsentrasi gula berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah gula reduksi begitu pula dengan interaksinya. Nilai rata-rata kadar etanol wine salak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.

Nilai rata- rata gula reduksi wine salak

Konsentrasi Starter                         Penambahan Gula (%)

(%)                   10            15              20             25

5                      9,40 j          12,86 k           16,93 d          21,31 a

10                    9,34 k         12,76 h           16,86 e          21,20 b

15                       9,27 l           12,71 i            16,79 f           21,08 c

Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) pada uji Duncan

Pada Tabel 2 menunjukkan nilai gula reduksi terkecil terdapat pada perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 10% dan nilai gula reduksi terbesar terdapat pada perlakuan starter 5% dan penambahan gula 25%. Pada penambahan starter yang tinggi dengan jumlah gula yang sedikit, maka gula yang tersisa akan sedikit karena terdapat lebih banyak yeast yang memanfaatkan gula dalam memproduksi alkohol. Penurunan kadar gula selama fermentsi mengindikasikan adanya penggunaan glukosa oleh khamir. Glukosa merupakan sumber karbon utama yang diserap melalui proses transport aktif yang kemudian dimetabolisme menjadi energi, mensintesis bahan pembentuk sel, serta sintesis metabolit (Priest dan Campbell, 2003). Pada proses fermentasi, glukosa digunakan oleh khamir untuk dua hal yaitu untuk tumbuh dan berkembang biak Tabel 3.

khamir itu sendiri dan untuk meghasilkan alkohol, sehingga semakin tinggi alkohol maka akan semakin rendah kadar gula reduksi akhir yang dihasilkan. Dalam perlakuan penambahan gula yang tinggi dengan konsentrasi sel yang sedikit, maka gula yang ada justru akan memperlambat proses metabolisme sel tersebut dalam memanfaatkan gula dan mengubahnya menjadi alkohol sehingga akan terdapat lebih banyak gula pada akhir fermentasi.

Total Asam

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi starter dan konsentrasi gula berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total asam wine salak begitu pula dengan interaksinya. Nilai rata-rata total asam wine salak dapat dilihat pada Tabel 3.

Nilai rata-rata total asam wine salak (%)

Konsentrasi Starter

Penambahan Gula (%)

(%)

10

15

20

25

5                     0,32 a           0,30 d           0,28 g              0,26 i

10                    0,32 b           0,30 d           0,28 f              0,25 j

15                    0,31 c           0,29 e           0,27 h              0,25 k

Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) pada uji Duncan

Pada Table 3 terlihat bahwa nilai rata-rata total asam terkecil ada pada perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 25% dan nilai rata-rata total asam tertinggi ada pada perlakuan konsentrasi starter 5% dan penambahan gula 10%. Pada perlakuan penambahan gula dalam pembuatan wine salak, terjadi penurunan total asam dengan semakin banyak penambahan gula yang dilakukan pada wine salak. Hal ini disebabkan karena dengan konsentrasi gula yang semakin tinggi maka kadar alkohol yang dihasilkan semakin tinggi. Asam merupakan hasil sampingan dari fermentasi untuk menghasilkan alkohol. Dengan semakin tinggi kadar alkohol maka bakteri pembentuk asam akan semakin terhambat pertumbuhannya sehingga total asam yang dihasilkan semakin rendah. Disamping itu juga karena terjadi reaksi antara asam dan alkohol membentuk ester (Sa’id, 1987). Pada proses fermentasi, glukosa yang ada dalam substrat akan dimanfaatkan oleh khamir untuk membentuk produk metabolit yang diantaranya adah alkohol dan asam-asam organik.

Peningkatan total asam dalam pembuatan wine itu sendiri disebabkan oleh proses fermentasi wine itu sendiri. Batas total asam pada wine yaitu berkisar antara 0,20-0.32%. Apabila terjadi peningkatan total asam yang melebihi dari total asam maksimum maka wine tersebut diindikasikan telah terkontaminasi oleh bakteri diantaranya yaitu bakteri Acetobacter aceti. Adanya bakteri Acetobacter aceti pada wine disebabkan karena tidak aseptisnya dalam pembuatan wine atau adanya oksigen yang masuk pada waktu fermentasi sehingga bakteri kontaminan bisa hidup dan berkembang yang menyebabkan wine akan menjadi asam.

Derajat Keasaman (pH)

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi starter dan konsentrasi gula berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap derajat keasamannya begitu pula dengan interaksinya. Nilai rata-rata total asam wine salak dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4.

Nilai rata-rata derajat keasaman (pH) wine salak

Konsentrasi Starter (%)

Penambahan Gula (%)

10

15

20

25

5

3,50 k

3,57 h

3,67 e

3,72 c

10

3,53 j

3,57 h

3,66 f

3,77 b

15

3,55 i

3,63 g

3,69 d

3,79 a

Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) pada uji Duncan

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata derajat keasaman (pH) terbesar terdapat pada perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 25% sedangkan nilai rata-rata terkecil terdapat pada perlakuan konsentrasi starter 5% dan penambahan gula 10%. Pada perlakuan penambahan gula dalam pembuatan wine salak, terlihat bahwa peningkatan penambahan gula menyebabkan pH meningkat. Hal ini disebabkan karena gula yang ditambahkan dalam pembuatan wine salak yang bertujuan untuk memacu aktifitas khamir sehingga khamir akan menghasil alkohol lebih tinggi. Dengan semakin tinggi kadar alkohol yang dihasilkan maka

bakteri pembentuk asam akan terhambat pertumbuhannya dan produksi asam akan rendah. Dalam proses fermentasi alkohol terjadi penurunan pH awal karena selain dihasilkan akohol, terbentuk pula asam-asam organic seperti asam laktat, asam asetat dan juga akan dihasilkan CO2. CO2 tersebut akan bereaksi dengan air dalam medium fermentasi yang akan membentuk asam karbonat. Asam organic tersebut akan terakumulasi pada medium dan akan menurukan pH medium.

Total Padatan Terlarut

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi starter dan konsentrasi gula berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total

padatan terlarutnya begitu pula dengan interaksinya. Nilai rata-rata total padatan terlarut wine salak dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5.

Nilai rata-rata total padatan terlarut wine salak

Konsentrasi Starter (%)

Penambahan Gula (%)

10

15

20

25

5

13,20 j

16,92 h

20,68 d

24,21 a

10

12,65 k

16,55 i

19,79 e

23,67 b

15

12,15 l

16,99 g

18,93 f

22,38 c

Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) pada uji Duncan

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata-rata total padatan terlarut wine salak yang terbesar terdapat pada perlakuan konsentrasi starter 5% dan penambahan gula 25% dan nilai rata-rata total padatan terlarut terkecil terdapat pada perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 10%. Pada perlakuan penambahan gula dalam pembuatan wine salak terlihat peningkatan total padatan terlarut dengan semakin tinggi penambahan gula. Pada perlakuan starter dapat terlihat bahwa konsentrasi starter terkecil dengan konsentrasi gula terbesar, total padatan terlarutnya paling besar karena sisa gula yang masih tinggi sehingga aktifitas khamir mulai terhambat karena konsentrasi starternya itu sendiri paling rendah sedangkan nilai rata-rata terkecil terletak pada konsentrasi gula terendah dengan konsentrasi starter terkecil karena sedikitnya gula tidak menghambat aktifitas sel khamir sehingga

banyak substrat yang bisa dimanfaatkan oleh khamir. Total padatan terlarut wine salak yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 24,205 – 12,150 oBrix.

Uji Organoleptik

Uji organoleptik atau uji sensorik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk (Soekarto, 1985). Dalam penelitian ini dilakukan uji organoleptik terhadap 15 orang responden, yang diujikan adalah warna, aroma, rasa, dan penerimaan keseluruhan. Uji warna, rasa, dan aroma menggunakan uji skor sedangkan uji penerimaan keseluruhan menggunakan uji hedonik. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6.

Uji organoleptik pada wine salak (pada perlakuan yang menhasilkan kadar ethanol sesuai persyaratan)

Sampel

Warna

Aroma

Rasa

Penerimaan Keseluruhan

S1G4

4,7

4,8

4,6

4,7

S2G4

4,9

5,0

4,8

5,3

S3G4

4,8

5,3

4,9

5,6

Keterangan: Tabulasi data uji organoleptik dari 15 orang responden

Warna, Aroma, Rasa dan Penerimaan Keseluruhan

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa perlakuan starter 10% dan penambahan gula 25% memiliki nilai tertinggi terhadap warna wine salak yang berarti warna wine dari perlakuan ini lebih disukai oleh responden yaitu dari warna agak keputihan samapi warna bening. Pada Tabel 6 juga dapat dilihat bahwa perlakuan starter 15% dan penambahan gula 25% memiliki nilai tertinggi aroma yang berarti responden lebih menyukai aroma wine salak pada perlakuan ini dibandingkan aroma wine pada perlakuan lainnya. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa perlakuan

starter 15% dan penambahan gula 25% memiliki nilai tertinggi yang berarti responden lebih menyukai rasa wine salak pada perlakuan ini dibandingkan rasa wine pada perlakuan lainnya dimana rasa dari wine salak pada perlakuan starter 15% dan penambahan gula 25% yaitu khas wine salak. Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa perlakuan starter 15% dan penambahan gula 25% sangat disukai oleh responden karena berdasarkan uji organoleptik dengan cara uji hedonik hasil ujinya menunjukkan bahwa labih banyak responden yang sangat menyukai dari wine salak dengan perlakuan tersebut.

Uji Efektifitas

Uji efektifitas bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik dalam menghasilkan komponen prekuser cita rasa wine salak terbaik (DeGarmo et al., 1984). Dalam uji efektifitas digunakan nilai dari variabel yang diamati yaitu: alkohol, gula reduksi, pH, total padatan terlarut, warna, rasa, aroma, dan penerimaan keseluruhan. Nilai bobot variabel diperoleh setelah merata-ratakan tabulasi hasil ranking dari semua responden. Variabel dengan nilai rata-rata tertinggi diberi bobot 1, sedangkan bobot variabel yang lain diperoleh dari hasil bagi antara rata-rata masing-masing variabel dengan rata-rata variabel yang diberi bobot 1. Dari data mengenai bobot variabel sebagaimana tertera pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa variabel rasa memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 1 kemudian diikuti oleh variabel yang lainnya yaitu: alkohol, aroma, penerimaan keseluruhan, warna, total padatan terlarut, gula, pH, dan total asam yang memiliki nilai bobot variabel

terendah yaitu sebesar 0,22. Variabel rasa memiliki bobot variabel terbesar artinya responden berpendapat bahwa rasa mempunyai peranan terpenting dalam menentukan mutu wine salak terbaik.

Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi starter 15% dan konsentrasi gula 25% mempunyai nilai hasil tertinggi yaitu sebesar 0.94. Hal ini berarti perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 25% merupakan perlakuan terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Perlakuan konsentrasi sarter 15% dan penambahan gula 25% yang merupakan perlakuan terbaik memiliki kadar etanol sebesar 12,25%, Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar etanol pada perlakuan ini merupakan nilai terbesar dibandingkan pada perlakuan yang lainnya. Hal ini dikarenakan jumlah konsentrasi gulanya tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya dengan konsentrasi starter yang sama.

Tabel 6.

Hasil Perhitungan Uji Efektifitas untuk Menentukan Perlakuan Terbaik

Variabel

Alkohol

Total Asam

Gula

pH

TSS

Warna

Aroma

Rasa

Penerimaan

Jumlah

B. Var

BV

0,95

0,22

0,38

0,30

0,51

0,65

0,92

1,00

0,86

5,78

B.Normal

BN

0,16

0,04

0,07

0,05

0,09

0,11

0,16

0,17

0,15

S1G4

Ne

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Nh

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

S2G4

Ne

0,20

1,00

0,71

0,30

0,98

1.00

0,67

0,40

0,67

Nh

0,03

0,04

0,05

0,02

0,09

0.11

0,11

0,07

0,10

0,61

S3G4

Ne

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

0.50

1,00

1,00

1,00

Nh

0,16

0,04

0,07

0,05

0,09

0.06

0,16

0,17

0,15

0,94

Keterangan: Ne = Nilai Efektifitas, Nh = Nilai Hasil = Ne x BN (Bobot Normal)

Perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 25% yang merupakan perlakuan terbaik memiliki total asam sebesar 0,25. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai total asam pada perlakuan ini merupakan nilai terkecil. Itu berarti dalam pembuatan wine salak, terjadi penurunan total asam dengan semakin banyak penambahan gula yang dilakukan pada wine salak. Dengan semakin tinggi kadar alkohol maka bakteri pembentuk asam akan semakin terhambat pertumbuhannya sehingga total asam yang dihasilkan semakin rendah.

Perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 25% yang merupakan perlakuan terbaik memiliki total gula reduksi sebesar 21,08% (b/v). Tabel 2 mununjukkan bahwa nilai total reduksi pada perlakuan ini merupakan nilai terkecil. Hal itu dikarenakan konsentrasi gula pada perlakuan ini merupakan konsentrasi tertinggi dan alkohol pada perlakuan ini juga merupakan yang tertinggi sehingga khamir untuk memproduksi alkohol memanfaatkan lebih banyak gula yang merupakan bahan utama pembentuk alkohol karena itu nilai gula

reduksi pada perlakuan ini menjadi yang paling rendah.

Perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 25% yang merupakan perlakuan terbaik memiliki pH sebesar 3,79. Tabel 4 menunjukkan bahwa pH pada perlakuan ini merupakan pH tertinggi. Hal itu dikarenakan gula yang ditambahkan dalam pembuatan wine salak yang bertujuan untuk memacu aktifitas khamir sehingga khamir akan menghasil alkohol lebih tinggi. Dengan semakin tinggi kadar alkohol yang dihasilkan maka bakteri pembentuk asam akan terhambat pertumbuhannya dan produksi asam akan rendah.

Perlakuan starter 15% dan penambahan gula 25% yang merupakan perlakuan terbaik memiliki nilai total padatan terlarut sebesar 22.38°Brix. Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan ini memiliki nilai total padatan terlarut terbesar ke tiga setelah perlakuan konaentrasi starter 5% dan penambahan gula 10% dan juga konsentrasi starter 10% dan penambahan gula 15%. Hal itu disebabkan karena jumlah gula dan starter yang ditambahkan adalah

dengan konsentrasi terbesar lebih besar dari pada perlakuan konsentrasi starter 5% dan penambahan gula 10% sehingga sisa gula yang ada lebih kecil jika dibandingakan dengan kedua perlakuan tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut antara lain: Konsentrasi starter dan konsentrasi gula berpengaruh terhadap karakteristik wine salak. Konsentrasi gula tertinggi akan dapat menhasilkan konsentrasi alkohol yang tinggi karena terdapat lebih banyak substrat yang dimanfaatkan oleh khamir untuk memproduksi alkohol. Karakteristik wine salak yang terbaik dihasilkan pada perlakuan konsentrasi starter 15% dan penambahan gula 25% dengan kadar alkohol tertinggi yaitu sebesar 12,25% dan juga memiliki nilai uji efektifitas terbaik yaitu sebesar 1,33. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan perlakuan terbaik nantinya dapat diaplikasikan pada proses pembuatan wine salak di Desa Sibetan Kabupaten Karangasem dalam usaha untuk memperbaiki mutu dan kualitas wine salak di desa tersebut.

Ucapan terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ida Bagus Putu Adnyana, S.T., M.Si. dari CV Dukuh Lestari Sibetan, atas bantuannya telah memberikan yeast (Saccharomyces sp.) dengan merk Alcotec sebagai salah satu bahan dalam produksi wine salak.

DAFTAR PUSTAKA

A.O.A.C. 1987. Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist, Washington D.C.

Anonimus, 2011. Wah! Salak Bali Mau Dijadikan Bahan Baku Minuman 'Wine Salak'. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bis nis/11/10/07/lsoh8b-wah-salak-bali-mau-dijadikan-bahan-baku-minuman-wine-salak. Diakses 13 Mei 2013.

Chilwan, P. 1989. Industri Mikrobial. PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

De Garmo E.P, Sullivan W.G, Canada C.R. 1984. Enginering E conomy. 7th Ed McMillan Pub. New York.

Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah Muchji Muljohardjo. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Gunam, I.B.W, L.P. Wrasiati, dan W. Setioko. 2010. Pengaruh jenis dan jumlah penambahan gula pada karakteristik wine salak Agrotekno (Jurnal ilmiahTeknologi Pertanian, Vol. 15, (1): 12-19.

Lohenapessy, S., I.B.W. Gunam, I W. Arnata. 2017. Pengaruh Berbagai Merek Dried Yeast (Saccharomyces  Sp.) dan pH Awal

Fermentasi terhadap Karakteristik Wine Salak Bali. Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian, 22(2): 63-72.

Priest, F. and L. Campbell. 2003. Brewing microbiology. Third Edition, Kluwe Academic Plenum Publisher, New York.

Putra, I N. K. 1995. Petunjuk Pengoperasian Instrumen Laboratorium PSTP UNUD, Denpasar.

Rahayu, E.S. dan K. R. Kuswanto. 1988. Teknologi Pengolahan Minuman  Beralkohol.  PAU

Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.

Ranganna, S. 1987. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetable Product. Mc. Hill Publishing Company Ltd, New Delhi.

Roukas, T. 1996. Continuous Ethanol Production fromNonsterilized Carob Pod Extract by Immobilized Saccharomyces cerevisiae on Mineral Kissiris Using A Two-reactor System,    Applied    Biochemistry and

Biotechnology, 59 (3):299–307

Sa’id, E.G. 1987. Bioindustri, Penerapan Teknologi Fermentasi. PAU. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Sukardi. 1984. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. PAU Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Suter, I.K. 1988. Telaah Sifat Buah Salak di Bali Sebagai Dasar Pembinaan Mutu Hasil Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1983. Prinsip dan Prosedur Stastika. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Tjahjadi, N. 1989. Bertanam Salak. Kanisius, Yogyakarta.

296