Jurnal Manajemen Agribisnis

Vol.10, No.2, Oktober 2022

E- ISSN: 2684-7728

Kebijakan Perdagangan Impor Bahan Baku Industri Makanan dan Minuman

Trade Policy of Impor Raw Material for Food and Beverage Processing Industry

Bugi Biruloma Lagaida*) Tanti Novianti

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Indonesia

*) Email: [email protected]

ABSTRACT

Food and Beverage processing industry is the greatest contributor to the Gross Domestic Product (GDP) of Indonesia. Additionally, the demand of food and beverages product is rising along with population; about 8.4% rise in 2011 to 2019. The food and beverage processing industry is the most priority in the national industry development. Main constrain for food and beverage processing industry growth is raw material availability. This industry need raw material with certain specification and volume. Raw material from domestic did not qualify such as quality and quantity. From this, raw material for food processing industry is fulfilled by import raw material. This thesis aims to investigate which raw materials that most fulfilled by import and what trade policy happen in import materials.

Keywords : Indonesia's Import Policy, Indonesia's Import of wheat, Indonesia's Import of Sugar, Indonesia's Import of Milk, Indonesia's Import of Salt, Indonesia's Import of Soybean

ABSTRAK

Industri makanan dan minuman menjadi kontributor nilai PDB terbesar pada subsektor industri pengolahan. Permintaan produk industri makanan dan minuman terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk, sehingga kinerja industri ini tumbuh dengan rata-rata 8,4 persen pada periode 2011-2019. Industri makanan dan minuman menjadi industri prioritas pertama dalam pembangunan industri nasional. Ketersediaan bahan baku menjadi kendala utama peningkatan kinerja inudstri makanan dan minuman. Industri makanan dan minuman memiliki kebutuhan bahan baku dengan spesifikasi dan jumlah yang spesifik. Bahan baku yang berasal dari domestik tidak dapat memenuhi kebutuhan industri, sehingga bahan baku industri ini di dominasi impor. Bahan baku apa saja yang diimpor oleh industri makanan dan minuman, serta bagaimana kebijakan impor yang berlaku pada komoditi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran mengenai bahan baku apa saja yang diimpor dan bagaimana kebijakan impor yang berlaku.

Kata kunci : Kebijakan Impor, Impor Terigu, Impor Gula, Impor Susu, Impor Garam, Impor Kedelai

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor andalan perekonomian nasional. Pada tahun 2020 sektor ini menjadi sektor dengan kontribusi PDB terbesar dengan nilai Rp 2.209,9 trilyun disusul dengan sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar Rp 1.386,6 trilyun serta sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar.

Pemerintah fokus dalam pembangunan sektor industri pengolahan. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2014 tentang perindustrian membahas tujuan dan rencana pembangunan industri nasional. Dalam UU ini pemerintah menjadikan industri pengolahan sebagai sektor utama penopang pembangunan ekonomi nasional dan pemerintah berkomitmen melakukan pembangunan industri pengolahan. Pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 pemerintah telah menyusun industri prioritas yang akan dikembangkan. Dari enam belas subsektor industri pengolahan, pemerintah menunjuk subsektor industri makanan dan minuman sebagai industri prioritas nomor satu dalam pembangunan sektor industri pengolahan.

Subsektor industri makanan dan minuman memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Subsektor makanan dan minuman menjadi subsektor dengan kontribusi PDB terbesar dari enambelas subsektor industri pengolahan. Pada tahun 2020 industri makanan dan minuman menyumbang nilai PDB sebesar Rp 755,9 trilyun meningkat 109 persen dari tahun 2010. Share dari subsektor industri makanan dan minuman terus mengalami peningkatan, pada tahun 2010 sebesar 5,25 persen dan pada tahun 2020 meningkat menjadi 6.85 persen. Pertumbuhan PDB industri ini PDB industri makanan dan minuman terus tumbuh dari tahun 2010 sampai 2020, dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya sebesar 7.72 persen. Pertumbuhan subsektor ini lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan PDB industri pengolahan dan PDB nasional sebesar 3.89 persen dan 4.5 persen. Kontribusi terhadap PDB nasional subsektor ini juga terus meningkat. Tahun 2010 share industri makanan dan minuman sebesar 5.25 persen dan pada tahun 2020 meningkat menjadi 6.85 persen atau meningkat sebesar 30,4 persen dalam 10 tahun (BPS).

Kinerja PDB industri makanan dan minuman dapat terus meningkat karena permintaan produk yang terus meningkat. Menurut Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap produk pangan cenderung meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk1. Hal ini menjadi penyebab kinerja PDB Industri makanan dan minuman dapat tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan 8,4 persen pada periode 2011-2019. Pertumbuhan kinerja industri ini dibatasi oleh permasalahan utama yaitu ketersediaan bahan baku industri.

Ketersediaan bahan baku industri menjadi penghambat peningkatan pertumbuhan industri makanan dan minuman. Permintaan yang besar terhadap produk industri makanan dan minuman menyebabkan industri ini memerlukan kebutuhan bahan baku dalam jumlah yang besar guna memenuhi kebutuhan produksi. Industri ini membutuhkan kepastian terhadap

jumlah dan spesifikasi tertentu dari bahan baku. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga kualitas dan kuantitas dari produk yang di produksi. Menurut GAPPMI, pasokan bahan baku domestic tidak dapat memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman secara kualitas dan kuantitas. Hal ini menyebabkan kebutuhan bahan baku industri makanan dan minuman didominasi oleh bahan baku impor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bahan baku apa saja yang diimpor oleh industri makanan dan minuman serta bagaimana kebijakan impor bahan baku yang berlaku.

Rumusan Masalah

Industri makanan dan minuman menjadi salah satu subsektor andalan yang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut penelitian Hasni (2018), industri makanan dan minuman penting dikembangkan karena memberikan kontribusi yang besar terbadap PDB. Berbagai kebijakan pemerintah seperti RIPIN 2015-2035 dan Making Indonesia 4.0 pun telah menjadikan industri makanan dan minuman sebagai industri prioritas dalam pembangunan industri guna menopang pembangunan ekonomi nasional.

Kinerja industri makanan dan minuman memiliki potensi untuk ditingkatkan, mengingat permintaan terhadap produk industri makanan dan minuman baik di pasar domestik maupun di pasar internasional terus meningkat. Menurut GAPPMI, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap produk olahan pangan cenderung meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk. Hal ini mengakibatkan industri makanan dan minuman di Indonesia mengalami peningkatan permintaan produk akibat tuntutan konsumen yang menginginkan ketersediaan dan variasi produk olahan2. Permintaan terhadap produk industri makanan dan minuman Indonesia di pasar internasional mengalami peningkatan. Penelitian Hasni (2018) menunjukan bahwa ekspor makanan olahan tumbuh 5,8% per tahun selama periode 2012-2016. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor industri makanan dan minuman pada tahun 2019 sebesar USD 27,16 miliar, setara dengan 21,46 persen dari total nilai ekspor industri pengolahan.

Meskipun kinerja industri makanan dan minuman mengalami peningkatan, namun Kementerian Perindustrian mengatakan terdapat permasalahan pada industri ini yaitu keterkaitan antara hulu-hilir belum terlaksana secara efisien. Menurut GAPMMI industri makanan dan minuman mempunyai permasalahan utama, yaitu ketersediaan bahan baku yang sebagian besar (70-80%) masih tergantung kepada impor. Menurut Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rohim, ketergantungan terhadap bahan baku impor terjadi karena bahan baku dalam negeri yang berasal dari petani, peternak, dan nelayan lokal belum dikelola secara modern sehingga tidak ada kepastian jaminan suplai bahan baku, harga, kualitas, maupun delivery time. Teknologi dalam memproduksi bahan baku pun masih terbatas, sementara permintaan pasar menuntut produk dengan kualitas terbaik3.

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bermaksud untuk menjawab beberapa persoalan, diantaranya adalah:

  • 1.    Bagaimana perkembangan expor impor industri makanan dan minuman?

  • 2.    Apa saja bahan baku industri makanan dan minuman yang diimpor?

  • 3.    Bagaimana kebijakan impor bahan baku tersebut?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah:

  • 1.    Mengidentifikasi kinerja ekspor dan impor industri makanan dan minuman.

  • 2.    Mengidentifikasi bahan baku industri makanan dan minuman yang diimpor.

  • 3.    Mengidentifikasi kebijakan impor yang berlaku pada komoditi tersebut.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

  • 1.    Objek yang diteliti adalah Industri pengolahan makanan dan minuman sebagai salah satu subsektor dari Industri Pengolahan.

  • 2.    Industri makanan dan minuman yang dimaksud adalah industri makanan dan minuman dengan klasifikasi industri sedang dan besar. Industri makanan dengan kode KBLI 2 digit 10 dan industri minuman dengan kode KBLI 2 digit 11.

  • 3.    Bahan baku yang dianalisis adalah bahan baku industri makanan dan minuman yang berasal dari impor.

  • 4.    Kebijakan perdagangan yang diidentifikasi adalah kebijakan impor.

  • 5.    Bahan baku yang diamati adalah terigu, gula kristal rafinasi, garam industri, susu, dan kedelai.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini mencakup industri makanan dan minuman di Indonesia. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2021. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menjawab pertanyaan penelitian. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data kualitatif. Data yang digunakan didapatkan dari UNCOMTRADE, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Ekspor Produk dan Impor Bahan Baku Industri Makanan dan Minuman

Nilai Ekspor produk industri makanan dan minuman dalam penelitian ini memproyeksikan permintaan luar negeri dari produk industri makanan dan minuman di Indonesia. Nilai ekspor produk industri makanan dan minuman mengalami peningkatan yang berfluktuatif dalam 10 tahun terakhir. Pergerakan nilai ekspor industri makanan dan minuman di Indonesia periode 2010Q1-2021Q1 dapat dilihat pada Gambar 1.

3.000,00

Tahun

^^^^^^^^^^B EKS (Juta USD)

Gambar 1 Pergerakan nilai ekspor produk industri makanan dan minuman periode 2010Q1-2021Q1 dalam juta USD

Sumber: UNCOMTRADE

Gambar 1 menunjukkan pergerakan nilai ekspor produk industri makanan dan minuman terus berfluktuasi selama periode 2010Q1-2021Q1 serta memiliki kecenderungan tren yang positif. Nilai ekspor tertinggi berada pada periode 2020Q4 sebesar 2,506 juta USD dan terkeciil pada 2010Q1 sebesar 0,806 juta USD. Pada periode 2010Q1 sampai dengan 2020Q4 nilai ekspor produk industri makanan dan minuman mengalami peningkatan, hal ini menunjukan bahwa permintaan produk industri makanan dan minuman di pasar luar negri mengalami peningkatan. Pada periode 2021Q1 kinerja ekspor industri makanan dan minuman mengalami penurunan yang drastis, hal ini disebabkan oleh ketersediaan stok bahan baku gula yang habis pada bulan Januari 2021. Menurut GAPPMI produksi pada 2021Q1 mengalami kendala sulitnya stok bahan baku gula pada bulan Januari 2021 sementara perizinan impor yang berbelit membuat pasokan bahan baku tersendat4. Hal ini menunjukan bahwa kinerja produksi industri makanan dan minuman masih sangat bergantung kepada ketersediaan bahan baku yang berasal dari impor.

Industri makanan dan minuman memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku impor. Berdasarkan hal ini, nilai impor dapat meproyeksikan ketersediaan bahan baku industri makanan dan minuman di Indonesia. Pergerakan nilai PDB industri makanan dan minuman di Indonesia periode 2010Q1-2021Q1 dapat dilihat pada Gambar 2.

3.000,00

2.500,00

o 2.000,00

                √    / v            ‘ ∕                                I

1.500,00

1.000,00

500,00

-

λP^

^^     ^J≥     √⅛     √^     ^⅛ <Ai ∙-∙^     √⅛     ^⅛ ,Λ

Tahun

IMP (Juta USD)

Gambar 2 Pergerakan nilai impor industri makanan dan minuman periode 2010Q1-2021Q1 dalam juta USD

Sumber: UNCOMTRADE

Gambar 2 menunjukkan pergerakan nilai impor bahan baku industri makanan dan minuman terus berfluktuasi selama periode 2010Q1-2021Q1 serta memiliki kecenderungan tren yang konstan. Nilai impor terbesar berada pada periode 2014Q2 sebesar 2,542 juta USD dan terkecil pada 2010Q1 sebesar 1,180 juta USD. Nilai impor yang konstan menandakan bahwa belum terjadi pengurangan tingkat ketergantungan industri makanan dan minuman terhadap bahan baku impor.

Gambar 3 menunjukan perbandingan trend dari nilai tukar, nilai ekspor produk industri makanan dan minuman, dan nilai impor bahan baku industri makanan dan minuman. Nilai Ekspor berfluktuatif dan memiliki trend yang positif. Nilai Impor berfluktuatif dan trend yang konstan. Nilai tukar berfluktuatif dan cenderung meningkat atau terjadi depresiasi. Menurut teori, depresiasi nilai tukar akan memicu peningkatan ekspor dan penurunan impor. Depresiasi nilai tukar meningkatkan daya saing produk lokal karena produk lokal menjadi relatif lebih murah dari produk luar negeri sehingga memicu peningkatan nilai ekspor. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa depresiasi nilai tukar memiliki trend yang beriringan dengan ekspor produk yaitu meningkat. Depresiasi nilai tukar akan memicu penurunan nilai impor karena nilai rupiah yang melemah menyebabkan produk impor menjadi relatif lebih mahal dari produk lokal. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa fenomena yang terjadi tidak sesuai teori. Depresiasi nilai tukar tidak memicu penurunan nilai impor. Hal ini menunjukkan bahwa industri makanan dan minuman tetap melakukan impor bahan baku meski harga relatif bahan baku impor meningkat. Fenomena ini menunjukan ketergantungan industri makanan dan minuman terhadap bahan baku impor.

Tahun

NT (Rp/USD)       EKS (Juta USD)       IMP (Juta USD)

Gambar 3 Perbandingan trend nilai tukar, nilai ekspor produk, dan nilai impor produk industri makanan dan minuman

Sumber: BI dan UNCOMTRADE, diolah

Menurut GAPPMI, 80 persen bahan baku industri makanan dan minuman berasal dari impor. Bahan baku yang diimpor diantaranya terigu, gula kristal rafinasi, garam industri, susu, kedelai, dan lainnya. Komoditas bahan baku terigu dan gula industri 100 persen masih mengandalkan impor, untuk komoditas bahan baku garam industri ketergantungan impornya mencapai 70 persen, susu 80 persen dan kedelai 70 persen5. Nilai impor yang konstan selama 10 tahun terakhir dapat menjelaskan bahwa belum ada upaya subtitusi impor bahan baku yang berpengaruh besar terhadap industri ini. Hal ini terjadi karena bahan baku yang diimpor adalah bahan baku yang ketersediaannya tidak dapat dipenuhi oleh bahan baku lokal seperti terigu, gula kristal rafinasi, garam industri, susu, dan kedelai. Bahan baku tersebut menjadi bahan baku utama dalam berbagai industri makanan dan minuman.

Kondisi dan kebijakan Impor Bahan Baku Gandum

Tepung terigu terbuat dari gandum. Musim tanam gandum berada di musim dingin dan musim semi. Hal ini membuat pengadaan gandum di Indonesia 100 persen impor. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2019 impor gandum Indonesia sebesar 10,7 juta ton atau senilai 2,8 milyar USD. Impor didominasi oleh 5 negara utama yaitu Australia, Kanada, Ukraina, Amerika Serikat, dan Bulgaria. Gandum diolah menjadi tepung terigu di Indonesia, dengan 4 produsen tepung terigu utama yaitu Bogasari, Berdikari, Sriboga dan Panganmas. Tepung terigu digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan mie instan, mie kering, biskuit, kue kering, roti, cake, snack, produk-produk pasta, makaroni, dan keripik.

Pemerintah mendukung impor gandum dengan mengenakan tarif impor yang sangat rendah. Pada tahun 2021, tarif impor gandum ditetapkan sebesar 5% yang merupakan Peraturan

Menteri Keuangan (PMK) No 07/PMK.011/2009 tentang tarif impor tepung gandum. Bahkan sebelumnya, pada 2008 tarif impor gandum dibebaskan yakni 0 persen. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) menjelaskan, tarif impor gandum Indonesia termasuk yang terendah di dunia. China menetapkan tarif impor tepung terigu sebesar 71 persen, Turki sebesar 82 persen, Thailand sebesar 40 persen, Pakistan sebesar 25 persen, Sri Lanka sebesar 25 persen, Taiwan sebesar 22,5 persen, dan Bangladesh sebesar 15 persen hingga 20 persen. Pemerintah Indonesia Pajak impor yang rendah dikenakan pada impor gandum dengan alasan bahwa pasokan tepung terigu dan keterjangkauan harga gandum akan mendorong pengembangan industri berbasis gandum. Hal ini akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia6.

Kondisi dan kebijakan Impor Bahan Baku Gula Kristal Rafinasi

Gula kristal rafinasi khusus hanya diproduksi untuk keperluan industri makanan dan minuman, tidak untuk konsumsi rumah tangga. Permintaan gula kristal rafnasi terus meningkat seiring dengan peningkatan industri makanan dan minuman. Kebutuhan gula rafinasi tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan di atas 8 persen per tahunnya. Industri makanan dan minuman menggunakan gula rafinasi sebagai bahan baku produksi. Gula rafinasi digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman seperti es krim, kue, cokelat, permen, yoghurt rasa buah, sereal, minuman rasa, soda, jus buah, protein bar, selai, dan jeli7.

Gula rafinasi terbuat dari gula mentah (raw sugar). Sampai saat ini pengadaan gula mentah untuk pembuatan gula rafinasi dipenuhi 100 persen dari impor. Menurut kemenperin, pada tahun 2021 permintaan gula kristal rafinasi untuk industri makanan dan minuman, serta farmasi sebesar 3,1 juta ton, yang dipenuhi oleh pabrik GKR yang mengolah gula mentah (raw sugar) impor sebesar 3,2 juta ton8. Impor gula mentah berasal dari India, Thailand, Australia, dan Brasil.

Pemerintah berupaya menekan volume impor gula mentah dengan menerapkan kebijakan kuota impor dan mendukung investasi industri gula rafinasi yang terintegrasi dengan kebun tebu lokal9. Pemerintah memberlakukan pembatasan impor gula mentah melalui kebijakan kuota impor. Penetapan jumlah kuota impor gula mentah didasari dari hasil survey kebutuhan bahan baku gula rafinasi dan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tingkat menteri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor gula sampai September 2020 mencapai 4,87 juta ton, naik 19 persen dibandingkan tahun lalu. Volume impor tersebut setara dengan 1,70 miliar USD. Selain itu pemerintah mendorong produksi gula mentah dalam negeri melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan mendorong investasi pabrik gula yang terintegrasi dengan perkebunan tebu lokal melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016.

Kondisi dan kebijakan Impor Bahan Baku Garam Industri

Garam yang digunakan untuk industri makanan dan minuman sebagai bahan baku penolong didominasi oleh garam impor. GAPPMI menjabarkan terdapat tiga persoalan garam lokal sulit diserap oleh industri makanan dan minuman. Pertama, mutu gara yang dihasilkan perani masih belum dapat mencapai kadar Nacl>98%. Kedua garam lokal belum dapat mencapai

kadar air maksimum 0,5%, sementara kebanyakan garam produksi petani lokal memiliki kadar air di atas 4% karena indonesia memiliki kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Ketiga, kadar zat kontaminan berupa kalsium dan magnesium yang tinggi. Hal ini dapat memengaruhi masa simpat produk yang lebih pendek sehingga daya saing berkurang10. Menurut GAPPMI, industri makanan dan minuman membutuhkan setidaknya 550 ribu ton garam sebagai bahan baku setiap tahunnya11. Berdasarkan data BPS, Pada tahun 2020 alokasi kuota impor garam untuk industri makanan dan minuman sebesar 543 ribu ton atau sebesar 19,2 juta USD, namun nilai ekspor produk makanan dan minuman yang menggunakan garam pada tahun 2020 sebesar 31,1 miliar USD. Selain kualitas garam lokal yang tidak memenuhhi kualifikasi, nilai tambah yang lebih besar dari kegiatan impor garam menjadi pertimbangan pemerintah tetap memberikan izin impor untuk komoditas garam12.

Pemerintah menetapkan kebijakan kuota impor untuk menjaga jumlah impor garam. Hal ini dilakukan agar garam lokal dapat terserap oleh industri. Menurut kemenperin, penentuan jumlah impor garam berdasarkan proses audit langsung ke industri penggunanya dan angkanya sudah sesuai dengan data BPS. Kemenperin selalu mengevaluasi impor garam industri setiap periode tiga bulan.

Kondisi dan kebijakan Impor Bahan Baku Susu

Ketersediaan susu lokal hanya dapat memenuhi permintaan susu industri makanan dan minuman sebesar 20 persen, 80 persen permintaan dipenuhi oleh susu impor. Industri makanan-minuman dengan bahan baku susu sapi membutuhkan sekitar 4 juta ton susu per tahun. Susu domestik hanya dapat memenuhi 0.9 juta ton atau 22 persen permintaan karena keterbatasan kuantitas, kualitas dan kelembagaan. Produktivitas sapi perah nasional mengalami stagnasi, dengan rata-rata produksi susu berkisar antara 8-12 liter per hari dan skala pemeliharaan per peternak adalah 2-3 ekor induk. Selain itu 90 persen dari produksi susu dihasilkan dari peternakan rakyat, sehingga kualitas dan produktivitas belum dapat memenuhi kebutuhan susu di dalam negeri. Hal ini menyebabkan sebagian besar kebutuhan susu masih harus dipenuhi oleh impor susu. Jumlah impor susu (skim milk powder, anhydrous milk fat, dan butter milk powder) sebesar 3.1 juta ton (78%). dari berbagai negara seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pada tahun 2019 nilai impor susu untuk Industri Pengolahan Susu senilai Rp 720 miliar. Industri makanan dan minuman yang membutuhkan bahan baku susu adalah industri pengolahan susu yang terdiri dari produk susu cair segar, minuman dari susu, krim, susu bubuk, mentega, yoghurt, keju dan kepala susu, kasein atau laktosa, es krim dan es lain yang bahan dasarnya susu. Industri pengolahan susu besar dan sedang adalah pengguna terbanyak produksi susu segar sekitar 76% terhadap kebutuhan susu segar nasional13.

Pemerintah berusaha meningkatkan subtitusi impor dengan mendorong produksi susu dalam negeri melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 dan RIPIN 2015-2035 tentang Perindustrian. Target substitusi impor hingga 35 persen pada tahun 2022 dan 60 persen pada tahun 2025. Sampai 2021, produksi SSDN hanya mampu memenuhi 22 persen kebutuhan nasional, jauh dari target 60 persen pada Tahun 2025. Pemerintah menjamin stok susu apabila produksi susu dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan industri melalui impor susu. Ketidaktersediaan stok susu dapat menghambat pertumbuhan bahkan mengurangi produksi

susu olahan yang akan berdampak luas pada konsumen masyarakat, investasi dan kesempatan kerja.

Kondisi dan kebijakan Impor Bahan Baku Kedelai

Sumber pemenuhan kebutuhan protein masyarakat Indonesia sangat bergantung pada tingkat ekonomi masyarakat. Bagi masyarakat kelas menengah keatas, sumber protein didominasi oleh daging, ayam, telur, susu dan ikan. Sedangkan bagi masyarakat menengah kebawah, kebutuhan protein didominasi dari biji-bijian dan kacang-kacangan, terutama kedelai.

Kedelai digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman seperti kebutuhan bahan industri olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan sebagainya. Industri lebih memilih menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku utama karena ukuran kedelai impor lebih besar, ketersediaan stok lebih stabil, dan harga lebih murah dari kedelai lokal. Harga kedelai impor yang selalu lebih rendah daripada kedelai lokal membuat petani menjadi tak tertarik untuk memproduksi lebih banyak kedelai dan memilih menanam komoditi lain. Kedelai lokal berasal dari jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan kedelai impor berasal dari Amerika Serikat14. Pada tahun 2018, jumlah kebutuhan kedelai mencapai 1,98 juta ton biji kering, sedangkan produksi dalam negeri pada tahun 2018 hanya mencapai 0,98 juta ton lalu menurun pada tahun 2019 dan 2020 menjadi 0,40 juta ton dan 0,32 juta ton. Impor kedelai pada tahun 2018, 2019, dan 2020 sebesar 2,68 juta ton, 2,67 juta ton, 2,31 juta ton.

Menurut Badan Keahlian DPR RI, faktor yang membuat Indonesia bergantung pada impor kedelai adalah harga kedelai lokal yang sangat rendah dan sulitnya mencari pasar bagi kedelai lokal. Dalam Permendag Nomor 7 Tahun 2020, harga kedelai nasional Rp 8.500 per kilogram, sedangkan harga kedelai impor Rp 6.550 per kilogram. Aturan ini tidak diterapkan dengan baik dan harga kedelai di tingkat petani masih sangat rendah, terutama jika dijual ke tengkulak. Kondisi ini diperparah dengan preferensi pedagang yang lebih memilih kedelai impor. Selain itu keuntungan dari menanam kedelai terbilang rendah, sehingga pertani lokal lebih memilih menanam komoditas lain. Ketiga hal tersebut menyebabkan turunnya minat petani untuk menanam kedelai. Menurut data BPS tahun 2017, biaya produksi kedelai per hektar musim tanam mencapai Rp 9 juta sedangkan pendapatan kedelai hanya Rp 10,2 juta, artinya petani hanya mendapat untung Rp 1,2 juta per hektar ketika menanam kedelai (DPR 2021).

Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mempermudah impor kedelai. Sesuai dengan peraturan Kementerian Perdagangan No. 51/2013 Tentang impor kedelai, impor kedelai termasuk komoditas non-lartas, yaitu tidak ada larangan batasan waktu dan jumlah impor kedelai. Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 133/2013, bea masuk impor kedelai masih 0 persen hingga saat ini.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka didapatkan simpulan sebagai berikut:

  • 1.    Pemenuhan kebutuhan bahan baku industri makanan dan minuman didominasi oleh impor. Supply bahan baku impor dapat memberikan kualitas dan kuantitas yang lebih terjamin dari supply domestik.

  • 2.    Bahan baku industri makanan yang didominasi impor diantaranya gandum, gula kristal rafinasi, garam industri, susu, dan kedelai. Proporsi impor gandum 100 persen, gula kristal rafinasi 100 persen, garam industri 70 persen, susu 80 persen, kedelai 90 persen.

  • 3.    Impor gandum berasal dari Australia, Kanada, Ukraina, Amerika Serikat, Bulgaria. Impor gula kristal rafinasi berasal dari India Thailand, Australia, Brasil. Impor gula industri berasal dari Australia, India, China, Selandia Baru, Singapura, Jerman, Denmark. Impor susu berasal dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Uni Eropa. Impor kedelai berasal dari Amerika.

  • 4.    Jenis kebijakan impor yang diterapkan pada 5 komoditi tersebut beragam. Gandum menerapkan tarif bea masuk sebesar 5 persen. Gula kristal rafinasi dan garam industri berupa kuota impor yang penetapannya berdasarkan hasil rundingan, susu menerapkan subtitusi impor, dan kedelai tidak memiliki hambatan.

Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka didapatkan saran sebagai berikut:

  • 1.    Beberapa bahan baku memiliki potensi pengurangan tingkat impornya dengan meningkatkan pemenuhan dari domestik seperti bahan baku gula kristal rafinasi, susu, dan garam industri. Bahan baku tersebut memiliki potensi untuk ditingkatkan dari sisi kualitas dan kuantitasnya.

  • 2.    Saran penelitian selanjutnya dapat berupa analisis kebijakan terhadap peramalan kebutuhan bahan baku industri makanan dan minuman.

DAFTAR PUSTAKA

Aditya dan Wirawan. 2015. Pengaruh Kurs Dolla Amerika, Cadangan Devisa dan Produk Domestik Bruto Terhadap Impor Makanan dan Minuman di Indonesia. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana Vol.4. No.8 Agustus 2015.

Affandi, Zulham, Gunawan. 2018. Pengaruh Ekspor, Impor dan jumlah penduduk Terhadap PDB Indonesia tahun 1969-2016. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam Vol 4 no 2.

Agro Kementerian Perindustrian. 2021. “Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Makanan dan Minuman.” Agro    Kemenperin,    2021,

https://agro.kemenperin.go.id/artikel/6419-kebijakan-pemerintah-dalam-pengembangan-industri-makanan-dan-minuman. Accessed Jumat Februari 2021.

Agustinus, Michael. 2020. “Teknologi Ketinggalan Zaman, 60 Persen Bahan Baku Industri Makanan    Masih    Impor.”    Kumparan,    19    November    2020,

https://kumparan.com/kumparanbisnis/teknologi-ketinggalan-zaman-60-persen-bahan-baku-industri-makanan-masih-impor-

1ucQ23SAzog/full?shareID=lSWrr9WL7FOT&utm_campaign=share&utm_source=k umApp. Accessed 4 Februari 2021.

Astuti, Ismadiyanti Purwaning, and Fitri Juniwati Ayuningtyas. 2018. “Pengaruh Ekspor dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.” Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, vol. 19, no. 1, 2018, pp. 1-10.

Badan Keahlian DPR RI. 2021. Buletin APBN. Vol. VI, Edisi 1. Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI.

Badan Pusat Statistik. 2020. Peraturan Badan Pusat Statistik No 2 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik. 2021. Produk Domestik Bruto (PDB) Seri Harga Konstan 2010

Menurut     Lapangan     Usaha     Tahun     2020.     BPS,     2021,

https://www.bps.go.id/statictable/2009/07/02/1202/-seri-2000-laju-pertumbuhan-pdb-atas-dasar-harga-konstan-2000-menurut-lapangan-usaha-persen-2000-2014.html.

Accessed 4 Februari 2021.

Badan Pusat Statistik. 2019. Impor Biji Gandum dan Meslin Menurut Negara Asal Utama, 2010-2019. Badan Pusat Statistik.

Hasni. 2018. Daya Saing Ekspor Produk Makanan Olahan Indonesia ke Timur Tengah. Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan-RI.

Kementerian Perindustrian. 2020. Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Investasi Sektor Industri. Kementerian Perindustrian.

Kementerian Perindustrian. 2020. Buku Rencana Strategis 2020-2024. Kementerian Perindustrian. Kemenperin, https://kemenperin.go.id/kebijakan-industri.

Kementerian Perindustrian. 2014. “Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.” Kemenperin, 2014, Kemenperin.go.id. Accessed 4 Februari 2021.

Kementerian Perindustrian. 2014. “Undang-Undang No 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian.” kemenperin, 2014, kemenperin.go.id. Accessed 4 Februari 2021.

Nusantara, Agung. 2012. “Pengaruh Fluktuasi Kurs Terhadap Neraca Perdagangan.” Media Ekonomi dan Manajemen, vol. 26, no. 2, 2012, pp. 55-65.

Pratika, Ratih Nuralitha. 2007. Analisis Pengaruh Fluktuasi Nilai Tukar Pada Ekspor Komoditi Unggulan Pertanian (Karet dan Kopi) di Indonesia. Institut Pertanian Bogor.

Lagaida, et al.,…|822