Jurnal Manajemen Agribisnis

Vol.8, No.2, Oktober 2020

E- ISSN: 2684-7728

Manajemen Pemanfaatan Sorgum Batang Manis Terhadap Induk Sapi Bali

Management of Utilization of Sweet Stem Sorghum on Bali Cows

I Made Londra*) Putu Sutami

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Indonesia

Email : [email protected]*)

ABSTRACT

Research on the management of the use of sweet stem sorghum on bali cows was carried out from March to December 2016. This research took place in Bunutan village, Abang District, Karangasem Regency, using 21 pregnant cows with weights ranging from 200 - 250 kg / head. 2nd to 4th pregnancy phase. The twenty one cows are raised by cooperator farmers. This study used a randomized block design with three treatments, each treatment using 7 Balinese cows that were 7 months pregnant as replications. The results showed that the cows in treatment P3 produced children with the highest birth weight and weaning followed by P2 and finally P1 treatments, respectively 19.00 ± 1.79 kg, 17.50 ± 1.76 kg and 15.17 ± 1.4 kg, with cow weight 99.50 ± 5.32 kg, 95.33 ± 4.63 kg and 87.33 ± 8.36 kg, respectively. In addition, the fastest postpartum lust was in P3 treatment followed by P2 treatment and finally P1 respectively 93.67 ± 3.61 days, 94.67 ± 4.59 days and 105.83 ± 8.40 days.

Key words: Bali cows, sorghum, flushing

ABSTRAK

Penelitian tentang manajemen pemanfaatan sorgum batang manis terhadap induk sapi bali dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Desember 2016. Penelitian ini bertempat di desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, menggunakan 21 ekor sapi betina bunting dengan berat berkisar antara 200 - 250 kg/ekor pada fase kebuntingan ke-2 sampai ke-4 kali. Keduapuluh satu ekor sapi tersebut dipelihara oleh petani kooperator. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga perlakuan, masing-masing perlakuan menggunakan 7 ekor induk sapi Bali yang sedang bunting 7 bulan sebagai ulangan. Hasil Penelitian menunjukkan sapi-sapi pada perlakuan P3 menghasilkan anak dengan bobot lahir dan sapih terbesar diikuti oleh perlakuan P2 dan terakhir P1, masing-masing 19,00±1,79 kg, 17,50±1,76 kg dan 15,17±1,4 kg, dengan bobot sapi masing-masing 99,50±5,32 kg, 95,33±4,63 kg dan 87,33±8,36 kg. Selain itu birahi pasca melahirkan tercepat pada perlakuan P3 diikuti oleh perlakuan P2 dan terakhir P1 masing-masing 93,67±3,61 hari, 94,67±4,59 hari dan 105,83±8,40 hari.

Kata kunci : induk sapi Bali , sorgum, flushing

PENDAHULUAN

Budidaya sorgum sudah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sorgum mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daerah adaptasi yang luas. Potensi dan keunggulan yang dimiliki sorgum antara lain dapat ditanam pada lahan sub optimal (lahan kering, rawa dan lahan masam) yang tersedia cukup luas di Indonesia sekitar 38,7 juta hektar.

Pengembangan sorgum dirasa masih kurang karena belum adanya pemanfaatan sorgum untuk keperluan selain pangan dan pakan. Kendala peternakan sapi pada umumnya adalah 1) pemilikan lahan yang sempit sehingga pemeliharaan sapi terbatas, 2) sumber pakan (konsentrat) terbatas, dan nilai ekonomis pembibitan sapi relatif kecil sehingga tidak menarik minat masyarakat untuk beternak sapi. Upaya yang dilakukan antara lain: 1) mencari sumber pakan (konsentrat) alternatif, 2) pengembangan model pertanian integrative, 3) seleksi bibit untuk menghasilkan bibit bermutu dan bernilai jual tinggi, dan 4) pemanfaatan limbah sapi seperti biogas, pupuk, pakan dan lain-lain.

Salah satu sumber pakan alternatif adalah sorgum batang manis (Sorghum bicolor (L.) Moench). Sorgum batang manis merupakan tanaman serealia yang memiliki banyak keistimewaan diantaranya mampu untuk tumbuh kembali setelah dipanen (ratun) (Duncan et al., 1980; Livingston dan Coffman, 2003). Rata-rata sampai 3 kali panen, bahkan di Bali bias sampai 8 kali panen. Setelah panen akan tumbuh tunas-tunas baru dari bagian batang di dalam tanah sehingga pemangkasan harus tepat di atas permukaan tanah. Ratun sorgum dapat dilakukan 2-3 kali pemanenan dan dapat menghasilkan total produksi 166 ton/ha biomasa segar dalam 3 kali panen sehingga dapat mensuplai bahan baku karbohidrat, pakan hijauan ternak dan bahan baku bioetanol secara berkesinambungan (Tsuchihashi dan Goto, 2008) dan jika dipelihara dengan dipupuk maka hasil ratun dapat menyamai hasil panen pertama (Tati, 2003). Budidaya tanaman sorgum manis relatif murah, resisten terhadap serangan hama dan penyakit sehingga resiko gagal relatif kecil (Rahmi, 2007) dan keunggulan tanaman sorgum terletak pada tingkat produktivitas dan ketahanan tanaman (Fanindi et al., 2005).

Selain itu sorgum mengandung nutrien yang lebih baik dibandingkan produk serealia lainnya, sehingga sangat berpotensi sebagai bahan pangan maupun bahan pakan ternak dan batangnya mengandung nira yang hampir sama dengan nira tebu yang dapat difermentasi menjadi bioetanol sebagai sumber energi dari bahan nabati. Biji sorgum mengandung 70% pati yang terdiri dari amilopektin (polimer rantai bercabang) 70-80% dan amilosa (polimer rantai lurus) 20-30% (Yudiarto, 2005). Kadar protein biji sorgum bervariasi antara 4,7-17,0% yang terdiri dari albumin (larut dalam air), globulin (larut dalamgaram), prolamin (larut dalam alkohol) dan glutenin (larut dalamalkali). Asam amino lisin sebanyak 3,0% terdapat pada lapisan aleuron dan 3,8% terdapat pada lembaganya, sedangkan 1,2% terdapat pada endosperm (Daru, 2003). Akan tetapi biji sorgum mengandung polyphenol (tanin) sebesar 0,4-3,6% yang dapat menyebabkan tepung berasa pahit, namun rasa pahit dapat dikurangi dengan cara direndam dalam air (Tati, 2003).

Melihat potensi sorgum yang dapat didiversifikasi menjadi berbagai produk maka sorgum sangat berpotensi untuk diintegrasikan dengan ternak sapi. Permasalahan ketersediaan pakan dapat diatasi dengan memanfaatkan limbah pertanian. Kariyasa (2003) melaporkan bahwa pada musim kemarau, limbah menyediakan pakan 33,3% dari total hijauan yang dibutuhkan.

Pemberian pakan sorgum pada induk sapi yang sedang bunting diharapkan bisa meningkatkan berat lahir dan berat sapi pada anak yang dilahirkan.

METODOLOGI PENELITIAN

Pengkajian akan dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Desember 2016 di Kelompok ternak Sega Mandiri, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Dasar pemilihan lokasi adalah lokasi merupakan sentra pengembangan sapi dan potensi pengembangan sorgum. Menggunakan 18 ekor sapi betina dengan kebuntingan 7 (tujuh) bulan. Rancangan pengkajian yang akan digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), terdiri dari tiga perlakuan dan enam ulangan. Adapun perlakuan sebagai berikut: P1 = Cara Petani 100%, P2 = Pakan cara petani 75%+batang sorgum (25%) dan P3 = Pakan cara petani 50%+ batang sorgum (50%). Sapi-sapi tersebut diberikan pakan cara petani tempat berupa hijauan unggul secara ad libitum terdiri dari jenis rumput-rumputan (rumput gajah, rumput raja, rumput lapangan) dilaksanakan oleh petani binaan serta diawasi oleh detaser. Sapi tersebut dipelihara di dalam kandang menetap (permanen) berlantai semen dan beratap asbes. Pemberian pakan berupa sorgum selama 4 bulan, yaitu 2 bulan sebelum melahirkan (kebuntingan berumur 7 bulan) sampai 2 bulan setelah melahirkan          ( sampai dengan umur anak sapi mencapai 2 bulan). Pemberian pakan

sorgum ini diharapkan dapat meningkatkan fungsi organ reproduksi, meningkatkan berat lahir dan mempercepat proses pemulihan kondisi tubuh induk sapi pasca melahirkan. Sedangkan untuk mengetahui bobot lahir dan perkembangan bobot anak sampai sapih, anak sapi /pedet ditimbang pada saat dilahirkan atau paling lambat 24 jam setelah lahir sampai berat sapih. Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis dengan analisa sidik ragam berdasarkan Program GenStat Release 12.2 dengan tingkat kesalahan 1 – 5 %. Apabila pengujian sidik ragam menunjukkan pengaruh perbedaan yang nyata , maka pengujian diantara rataan dua perlakuan dilakukan dengan LSD.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Tanaman Sorgum

Tanaman sorgum dapat dipanen pada umur tertentu tergantung dari varietas tanaman sorgum yang ditanam dan tergantung keperluan hasil panen. Panen biji untuk bahan pangan dilakukan setelah biji masak fisiologis yaitu mengandung tepung pecah apabila digigit. Umur panen sekitar 90 - 110 HST. Pada saat pemanenan sebaiknya pemotongan dilakukan pada pangkal tangkai atau malai buah sorgum dengan panjang sekitar 15 – 25 cm, lalu dikeringkan agar mudah dalam perontokan. Perontokan dapat menggunakan mesin perontok atau dengan cara tradisional. Kadar air saat perontokan tidak lebih dari 15%. Selanjutnya digiling dan disosoh untuk mendapatkan beras sorgum dan digiling lagi untuk menjadi tepung sorgum. Panen tanaman sorgum (batang, daun dan biji) untuk bahan pakan ternak dilakukan pada umur tanaman 75-80 HST. Kandungan nutrisi batang dan daun sorgum dapat dilihat seperti pada tabel.1

Tabel 1. Kandungan Nutrisi batang dan daun sorgum batang manis di kelompok ternak

Sega mandiri

No

Jenis Sample

Kadar air 1350C

Bahan

Kering

Protein Kasar

Lemak Kasar

Serat

Kasar

Kadar abu

BETN

TDN

Energi Kcal/Kg

1

Batang

9,28

42,22

4,91

2,10

25,92

9,29

57,77

53,64

4102,65

2

Daun

7,29

47,15

14,21

4,82

22,47

11,04

47,46

61.56

4256,30

Keterangan : Dianalisis oleh Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong, Grati.

Dilihat dari hasil analisis batang dan daun sorgum batang manis memiliki kandungan protein tinggi terutama pada daunnya, sehingga sangat baik untuk hijauan pakan ternak dan sangat baik untuk pakan diawetkan (silase) untuk antisipasi pakan dimusim kemarau . Seluruh bagian tanaman tersebut dicacah lalu dibuat silase pakan ternak. Untuk mendapatkan hasil panen yang optimal, waktu musim penanaman diusahakan tepat sehingga pada saat pemasakan biji sampai panen berada pada musim kering. Pada waktu pemasakan pada musim hujan dikhawatirkan banyak biji yang busuk dan berkecambah. Kualitas dan kuantitas hasil panen sorgum sangat ditentukan oleh ketepatan waktu (baik tanam maupun panen), cara panen dan penanganan pasca panen sorgum (Bambang, 2010).

Bobot Lahir dan Bobot Sapih Sapi Bali

Bobot lahir adalah bobot anak sapi pada saat dilahirkan atau paling lambat 24 jam sejak dilahirkan. Sedangkan bobot sapih adalah bobot sejak anak sapi tersebut dipisahkan dari induknya. Sapi Bali disapih pada umur 6 bulan. Bobot sapih ini merupakan penentu keberhasilan dalam usaha pembibitan sapi Bali karena keterkaitannya dengan nilai jual. Anak sapi dengan bobot lahir yang lebih berat pada umur yang sama biasanya mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih ringan, karena bobot terkait erat dengan penampakan luar dari ternak tersebut. Hasil pengkajian menunjukkan sapi yang diberikan pakan sorgum 50% mendapatkan bobot lahir sekaligus bobot sapihnya lebih berat dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2)

Tabel 2. Rata-rata Barat Lahir, Berat Sapih , Birahi Kembali, Calving Interval dan Mortalitas pada flushing induk sapi Bali.

No

Uraian

P1

P2

P3

1

Berat Lahir (kg)

15,17±1,47a

17,50±1,47b

19, ±1,79b

2

Berat Sapih (kg)

87,36±8,36 a

95,33±8,36 b

99, 50±5,32 b

3

Lama Kebuntingan (hari)

290,00±1,79

298,83±3,31

299,83±2,79

4

Birahi Kembali (hari)

105,33±8,40

94,57±4,59

93,57±3,51

5

Calving Interval (hari)

395,83±9,77

383,50±4,23

383,50±3,33

Keterangan:

P1 = Cara Petani 100%

P2 = Pakan cara petani 75%+batang sorgum (25%)

P3 = Pakan cara petani 50%+ batang sorgum (50%)

Huruf yang berbeda ke arah kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P< 0,05) atau sangat Nyata (P < 0,01)

Pemberian pakan tambahan pada induk sapi bunting 2 bulan sebelum melahirkan sampai 2 bulan setelah melahirkan untuk meningkatkan bobot anak lahir dan berat sapih pedet. Hasil berat lahir yang didapat yaitu Pakan cara petani 50%+ batang sorgum (50%) (P3) memiliki berat berat lahir paling tinggi yaitu 19, ±1,79kg, sedangkan Cara Petani 100% (P1) dan Pakan cara petani 75%+batang sorgum (25%) (P2) masing-masing 15,17±1,47 dan 17,50±1,47 secara statistik berbeda nyata (P<0,05) antara P1 dan P2 dengan P3, sedangkan antara P1 dengan P2 tidak berbeda nyata (P> 0,05). Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Djagra dan Budiarta (1990) bahwa pertumbuhan fetus mulai meningkat pada umur kebuntingan 30 minggu atau pada saat kebuntingan berumur 7 bulan, oleh karena itu perbaikan terhadap pemeliharaan induk terutama terhadap gizi pakannya sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan fetus yang dikandungnya, dan dalam hal ini akan berdampak langsung terhadap bobot lahir anak. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Suyasa (1999) bahwa pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan bobot lahir.

Hasil penelitian menunjukan bobot sapih pedet sejalan dengan bobot lahirnya, dimana bobot sapih pedet tersebut yang terberat diperoleh dari anak sapi yang lahir dari bobot terbesar, berat sapih masing-masing P1= 87,36±8,36 kg, sedangkan P2 dan P3 masing-masing berat sapihnya yaitu 95,33±8,36 dan 99, 50±5,32, namun secara statistik hasil berat sapih menunjukan berpedaanya yang nyata (P< 0,05) antara P1 dengan P2 dan P3, sedangkan P2 dengan P3 menunjukan berpedaanya yang tidak nyata (P> 0,05). Pertumbuhan pedet sampai umur sapih sangat tergantung dari kemampuan laktasi atau produksi susu dan temperamen atau sifat keindukkan dari induknya, sedangkan pada pertumbuhan selanjutnya sangat tergantung dari kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempatnya dipelihara (Leighton et al, 1982 dan Hardjo Subroto, 1994 dalam Suranjaya (1999). Atas dasar itu seleksi berdasarkan bobot sapih sebenarnya sebagian merupakan seleksi terhadap kemampuan pedet itu sendiri dan sebagian lagi terhadap kemampuan induknya, baik mengenai produksi susunya maupun sifat keindukkannya. Sarini et al (1988) juga melaporkan bahwa campuran pakan 60% konsentrat dan 40% hijauan (rumput gajah) pada induk sapi Bali dapat meningkatkan produksi susu sebesar 45,46% dibandingkan sapi-sapi yang diberikan rumput gajah saja. Selain peningkatan produksi, terjadi peningkatan kualitas air susu, dalam hal ini peningkatan kadar lemak dan protein masing-masing 36,33% dan 10,64%. Hal ini disebabkan oleh karena perbaikan mutu pakan dapat meningkatkan fungsi sel-sel kelenjar ambing, sehingga menigkatkan produksi susu sapi Bali yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan anaknya (Sukarini, 2000).

Birahi pasca melahirkan ini sangat berpengaruh terhadap jarak beranak sapi (calving interval) pada P1, P2 dan P3 masing-masing 105,33±8,40, 94,57±4,59 hari dan 93,57±3,51 hari secara statistik tidak berbeda nyata (P> 0,05).   , karena semakin cepat birahi pasca

melahirkan, semakin cepat ternak tersebut dapat dikawinkan, sehingga semakin cepat menghasilkan anak kembali. Perlakuan P0 paling lama birahi pasca melahirkannya kemungkinan disebabkan oleh kondisi induk sapi tersebut yang belum siap untuk birahi akibat kondisi fisiologisnya membutuhkan waktu recovery / pemulihan yang panjang karena kekurangan gizi.

Hasil penelitian menunjukan calving interval pada perlakuan P1, P2 dan P3 masing-masing 395,83±9,77 hari, 383,50±4,23 hari dan 383,50±3,33 hari secara statistik tidak berbeda nyata (P> 0,05) Hasil ini sejalan dengan penelitian Kamal (2010) melaporkan bahwa rata-rata CI sapi yang hidup di daearah tropik berkisar antara 365-536 hari. Mahmud Siswanto et al. (2013) melaporkan calving interval pada sapi bali sebesar 350,45 ± 27,98 hari. Sedangkan

Mohamad et al.(2005) yaitu sebesar 411 ± 64 hari dan Gunawan et al. (2011) sebesar 360,93.

Hardjosubroto (1994) dan Astuti (1999) menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak sedang faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya. Ditegaskan pula bahwa seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik dimana ternak hidup atau dipelihara, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin panampilan apabila ternak tidak memiliki mutu genetik yang baik. Astuti et al. (1983) dan Keman (1986) menyatakan bahwa produktivitas ternak potong di Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan produktivitas dari ternak sapi di negara-negara yang telah maju dalam bidang peternakannya,

SIMPULAN DAN SARAN

Pemberian sorgum sampai 50% dapat meningkatkan berat lahir dan berat sapih serta memperpendek calving internal pada sapi bali. Melalui hasil pengkajian ini disarankan kepada peternak sapi induk untuk memilih dan mengaplikasikan komponen teknologi pakan sorgum yang disesuai dengan potensi pengembangan sorgum yang dimiliki.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, M., W. Hardjosubroto dan S. Lebdosoekajo. 1983. Analisis Jarak Beranak Sapi PO di Kecamatan Cangkringan DIY. Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan BP3. Departemen Pertanian, Bogor.

Astuti, M., 1999. Pemuliaan Ternak, Pengembangan dan Usaha Perbaikan Genetik Ternak Lokal. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Pemuliaan Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Buferning, P.J., D.D. Kress, R.C. Fridrich and D.D. Voniman. 1987. Phenotypic and Genetic Relationship between Calving Case, Gestation Length, Birth Weight and pre weaning Growth. J. Anim. Sci.

Darmadja, D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. Desertasi untuk mencapai gelar Doktor, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Darmadja,D. Sutedja. 1989. Masa Kebuntingan dan Interval Beranak pada Sapi Bali. Majalah Ilmiah Universitas Udayana, Tahun II No. 6. Seperempat Abad Laboratorium Reproduksi dan Pemuliaan Ternak.

Darmadja, S.G.N. 1990. Prospek Sapi Bali Dalam Kaitannya Dengan Konsolidasi Peternakan di Indonesia. Kumpulan Reprint Publikasi Lab. Reproduksi : 1986 - 1990. Fapet UNUD. Denpasar

Darmesta, N. dan D. Darmadja. 1976. Berat Sapih Sapi Bali Seperempat Abad Laboratorium Reproduksi dan Pemuliaan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.

Devendra, C., T.L.K. Choo and M. Pathmasingam. 1973. The Productivity of Bali Cattle in Malaysia. Malayan Agric. J., 49 (2) : 183.

Devendra,C. and Hutagalung, R.I. 1978. Feeding Stuffs For Livestock in South Asia. Proceeding Symposium. Malaysian Society of Animal Production. Malaysia.

Djagra, I.B., I.K. Lana dan K. Sulandra. 1979. Faktor-faktor yang Berpengaruh Pada Berat Lahir dan Berat Sapih Sapi Bali. Proceding Seminar Keahlian di Bidang Peternakan Sapi Bali. Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.

Garnsworthy, P.C. 1988. The Effect of Energy Reserves at Calving on Performance of dairy cow. In : Nutritional and Lactation in Dairy Cow. P.C. Garsworthy (Edit). Buffrworth , London.

Hardjoutomo, S., A. Wiyono dan A. Husein. 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi Veteriner Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Lana, K. 1992. Hasil Penelitian Tentang penggemukan sapi Bali. Makalah Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi Usahatani Sapi Potong. BIP Bali. Denpasar 20 - 22 Juni 1992.

Mastika, I.M. 1992. Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Serta Pemanfaatannya Untuk Makanan Ternak. Makalah dan Materi Short Course on Recyling of Agricultural an Industrial By - Product and Waste For Animal Feed in Relations To Enviromental Sanitation. Fapet UNUD.

Nitis, I.M. ; K. Lana. 1992. Pengaruh Suplementasi Konsentrat Terhadap Komposisi Tubuh Sapi Bali. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Hasil Penelitian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Indonesia.

Steel, R.G.D, dan J.H Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Diterjemahkan Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Suranjaya, I.G. 1999. Pengkajian Efektivitas Program Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di Wilayah Binaan Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali di Bali. Tesis. Program Pasca sarjana. IPB-Bogor.

Sarini, N.P., N.K. Suriasih., I.G.A.A. Ambarwati., I.M. Mastika and I.G.L. Oka. 1988. Study on Reproductive Performance of Bali Cattle Feed Concentrat in a feedlot System Research Report to IAEUP / Ditjen Dikti 1997 / 1998.

Sukarini, I.A. 2000. Peningkatan Kinerja laktasi Sapi Bali (Bibos Banteng) Beranak Pertama Melalui Perbaikan mutu Pakan. Disertasi Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Suyasa, N., S. Guntoro., I.A. Parwati., Suprapto dan S. Widiyazid.. 1998. Pemanfaatan Probiotik Dalam Pengembangan Sapi Potong Berwawasan Agribisnis di Bali. Laporan Hasil Penelitian/Pengkajian Bagian Proyek PPSUT Bali.

Suyasa, N. , S. Guntoro., I.A. Parwati, dan I. M. Rai Yasa. 1999. Laporan Akhir Uji Adaptasi Flushing Pada Sapi. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar.

Tilman, A.D. H. Hartadi, Reksodipadjo S., P. Kusumo., dan S. Lebdosaekojo. 1989. Ilmu Makan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fak. Peternakan Univ. Gadjah Mada Yogyakarta.

Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung.

Londra dan Sutami, Manajemen…|195