Jurnal Manajemen Agribisnis

Vol.8, No.2, Oktober 2020

E- ISSN: 2684-7728

Pengaruh Tata Laksana Perkandangan Terhadap Infeksi Parasit Cacing Pada Kambing Gembrong di Dua Tempat Berbeda di Provinsi Bali

The Effect of Housing Management on Parasite Worm Infection in Gembrong Goats in Two Different Places in Bali Province

I Wayan Sudarma I Made Londra*)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

Email : [email protected]*)

ABSTRAK

The obstacles faced by breeders in maintaining the Gembrong goat in Bali include worm parasites. Gastrointestinal worm infections in goats have an impact in the form of weight loss, anemia, diarrhea, decreased productivity, and economic losses. Research in the villages of Beraban and Abang has been carried out from September to November 2018 with the aim of knowing the effect of housing management on worm infection in gembrong goats in Bali. The study used a fecal sample of 20 gembrong goats aged 7- 15 months, regardless of sex, reared in a staged and postal cage. Samples were checked into BB -Vet Denpasar and tested by the floating concentration method, and egg identification based on morphology. The data obtained were analyzed descriptively. The results of examination of 20 samples found 9 positive samples in stage cages and 13 positive samples in postal cages infected by 22%. After being identified based on egg morphology, it was found in the stage cage pattern of 1,020 grams / faeces, while the postal cage pattern was 1,560 grains of salt / feces. The rate of gastrointestinal worm infections is in the moderate infection stage.

Keywords : gembrong goat, types of worms, parasite prevalence

ABSTRAK

Kendala dihadapi peternak dalam pemeliharaan Kambing Gembrong di Bali antara lain parasit cacing. Infeksi cacing gastrointestinal pada kambing menimbulkan dampak berupa penurunan bobot badan, anemia, diare, penurunan produktivitas, serta menimbulkan kerugian ekonomi. Telah dilakukan penelitian didusun Beraban dan Abang pada bulan September hingga Nopember 2018 bertujuan mengetahui pengaruh tata laksana perkandangan terhadap infeksi cacing pada kambing gembrong di Bali. Penelitian menggunakan sampel feses sebanyak 20 ekor kambing gembrong umur 7- 15 bulan tanpa membedakan jenis kelamin dipelihara dalam kandang panggung bersekat dan kandang postal, sampel dimasukkan kedalam kantong plastik kecil yang berisi larutan formalin 10 %. Sampel diperiksa ke BB – Vet Denpasar dan diuji dengan metode konsentrasi pengapungan, dan identifikasi telur berdasarkan morfologi. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif. Hasil pemeriksaan terhadap 20 sampel ditemukan 9 sampel positif pada kandang panggung dan 13 sampel positif pada kandang postal terinfeksi sebesar 22 % %. Setelah diidentifikasi berdasarkan morfologi telur ditemukan pada pola kandang panggung sebanyak 1.020 butir gram ./feses sedangkan pola kandang postal sebanyak : 1.560 butir garam/feses. Tingkat infeksi cacing gastrointestinal berada dalam tahap infeksi sedang.

Kata kunci : kambing gembrong , jenis cacing, prevalensi parasit

PENDAHULUAN

Desa Beraban terletak di Kabupaten Tabanan merupakan salah satu desa yang berada di daerah ekosistem dataran rendah, begitu juga desa Abang merupakan salah satu desa terletak di Kabupaten Karangasem yang memiliki daerah ekosistem dataran rendah hingga sedang, sehingga kondisi ini sangat menunjang untuk pengembangan usaha peternakan baik ternak ruminansia besar (sapi, dan kerbau) maupun ternak ruminansia kecil ( kambing dan domba ) serta aneka ternak lainnya (ayam,itik dan babi). Di Kabupaten Tabanan pengembangan ternak kambing gembrong dilakukan di desa Beraban kecamatan Kediri sedangkan di Kabupaten Karangasem pengembangan di lakukan didesa Abang Kecamatan Abang. Desa Abang memiliki daerah topografis yang berada pada ketinggian 0-600 meter dpl serta memiliki luas 3.057,3340 hektar dari luasan tersebut 30,720 ha merupakan luas lahan pertanian , sedangkan desa Beraban yang berada pada ketinggian 0 – 300 meter dpl yang memiliki luas wilayah sebanyak 692.km2 serta 353 km2 merupakan lahan pertanian ( BPS 2018).

Kambing gembrong merupakan salah satu plasma nuftah endemik Bali yang hingga kini berada diambang kepunahan, memiliki ciri spesifik yakni ukuran tubuhnya sebesar kambing kacang, memiliki profil muka lurus dan agak cekung, kambing jantan maupun betina bertanduk serta kambing jantan memiliki bulu panjang sepanjang kepala, leher hingga pinggul, dan bila dibiarkan panjangnya bisa mencapai 16-25 cm dan kambing jantan lebih besar dari kambing betina. Guntoro, (2008) menyatakan berat anak kambing gembrong pada umur 4 bulan (16 minggu) tingkat pertumbuhan kambing jantan rata-rata 48 gram/ekor/hari, sedang pada kambing betina rata-rata 43 gram /ekor/hari, dan berat kambing gembrong umur 1,5 tahun untuk yang jantan antara 30-35 kg, sedangkan yang betina antara 20-25 kg dimana angka tersebut masih berada dibawah bila dibanding dengan pertumbuhan kambing kacang yang mencapai 51–52 g/ekor/hari. Lama kebuntingan rata-rata kambing gembrong adalah 146 hari (dengan kisaran 142–151 hari). Jumlah anak per kelahiran (litter size) rata-rata adalah 1,25 ekor dengan kisaran 1–2 ekor Guntoro dan Londra (2010). Kambing jantan mulai tumbuh bulu panjang semenjak memasuki usia sapih. Bulu kambing gembrong jantan dapat dicukur tiap 6-12 bulan dapat dipergunakan untuk memancing ikan dilaut. Hal ini mengindikasikan dimana kambing gembrong umumnya dipelihara oleh para nelayan atau petani yang tinggal di dekat pantai Guntoro,(2008).

Pengembangan kambing gembrong dilakukan oleh petani di desaa Beraban kabupaten Tabanan dengan pola pemeliharaan secara intensif, dengan menggunakan kandang panggung yang terbuat dari bahan kayu, beratap asbes serta berlantai semen dengan memberi pakan hijauan berupa : dedaunan (gamal, lamtoro, turi, waru ) sebagai pakan utamanya, sedangkan pengembangan kambing gembrong di desa Abang Kabupaten Karangasem dilakukan dengan pola kandang postal yang berlantai tanah dengan dinding terbuat dari bilah bambu beratap genteng serta pemberian pakan berupa dedaunan ( daun waru, gamal, santan) dan rumput lapang (rumput dari pematang areal persawahan) tanpa diberi pakan penguat dedak maupun konsentrat. Hingga kini keberadaan kambing gembrong kondisinya masih amat kritis dengan populasi secara keseluruhan sebanyak 39 ekor, 33 ekor berada di desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan dan sisanya 7 ekor berada di desa Abang Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem Bali. Kambing gembrong memiliki fungsi triguna ; di samping sebagai penghasil kompos untuk pupuk (baik padat dan cair ) untuk tanaman juga berfungsi

untuk menghasilkan daging, biasanya petani memelihara untuk diambil bulunya yang bisa dipergunakan sebagai umpan memancing ikan di laut, dimana saat siang hari bulu tersebut tampak lebih mengkilap memantulkan sinar sehingga para nelayan lebih cendrung menggunakannya, serta kambing ini memiliki keunggulan lain yakni mampu beradaptasi dalam kondisi yang ekstrim, cepat berkembang biak dan prolifik / beranak banyak Hamdani (2015),

Dari aspek managemen salah satu faktor yang juga menentukan keberhasilan pengembangan ternak kambing adalah kontrol penyakit. Penyakit yang sering muncul berupa penyakit cacingan/ helminthiasis pada saluran pencernaan. Penyakit cacingan pada kambing dapat menimbulkan kerugian cukup besar bagi petani peternak. Penurunan berat badan yang ditimbulkan rata-rata sebesar 5 kg / ekor per penderita per tahun (Goodwin, 2007). Penyakit cacing pada kambing di tandai dengan gejala: nafsu makan ternak menurun, badan tampak kurus, bulu kurang mengkilap, perut buncit, ternak mengalami penurunan berat badan, pertumbuhan ternak menjadi terhambat, karkas tampak pucat, diare, pola pemeliharaan menjadi lebih lama walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh parasit ini yakni berupa terlambatnya pertumbuhan, penurunan produksi, penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit lain atau oleh gangguan cacing / larva cacing.Ternak yang terinfeksi parasit biasanya mengalami kekurusan dan akibatnya ternak mempunyai nilai jual rendah (Maichimo et, al., 2004)

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak pengaruh tatalaksana perkandangan terhadap infeksi parasit cacing pada kambing gembrong.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di desa Abang Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem dan desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan Provinsi Bali pada bulan Ju hingga bulan Nopember 2018. Penelitian dilakukan terhadap kambing sebanyak 20 ekor dengan umur 7 – 15 bulan tanpa membedakan jenis kelamin dimana kambing gembrong dipelihara dalam kandang panggung yang bersekat, tiap sekat berisi 1 ekor kambing dengan beragam umur, namun pada pemeliharaan pada kandang postal kambing dipelihara dalam satu kotak (tercampur ) dengan beragam umur, pengambilanl sampel feses segar berupa kotoran kambing sebanyak 10 gram pada tiap sampel di dua lokasi yang berbeda. Dalam penelitian ini menggunakan materi / bahan berupa : Sendok makan : 1 buah, Formalin : 1 botol , Plastik Kantung berukuran 0,5 kg sebanyak ½ kg, Air bersih : 1 liter, Sarung tangan : 1 pasang dan masker 1 buah sebagai pelindung hidung.

Metode penelitian menggunakan analisa data dengan menggunakan metode deskriptif. Dalam pengambilan sampel feses dilakukan secara acak / random pada tiap – tiap lokasi pengambilan sampel. Sebelum dilakukan pengambilan sampel terlebih dahulu di buatin larutan formalin 10 % ke dalam air bersih, di mana larutan tersebut dibuat dengan komposisi antara air dan formalin 9 : 1, lalu larutan tersebut di masukkan secukupnya kedalam masing – masing kantong plastik yang telah diisi kode sampel. Prosedur berikutnya gunakan sarung tangan pada kedua (tangan kanan dan kiri), serta gunakan masker untuk menghindari bau serta penyakit menular lainnya, selanjutnya lakukan pengambilan sampel yang masih segar secara acak dengan menggunakan sendok makan sebanyak 10 gram pada tiap sampel. Selanjutnya masukkan sampel kedalam kantong plastik yang telah berisi larutan formalin dan label. Pengambilan sampel segar berupa feses segar dilakukan sebanyak 4 kali yang

dilakukan tiap minggu dengan metode pengambilan dan jumlah sampel yang di ambil adalah sama yakni sebanyak 10 gram per tiap sampel. Kemudian sampel dikirim ke laboratorium parasitologi Balai Besar Veteriner Denpasar untuk dilakukan pemeriksaan parasit gastrointestinal dengan metode withlock berupa uji Apung dan uji sedimentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Morfologi Cacing Yang Menginfeksi Saluran pencernaan Kambing Gembrong

Dari hasil uji laboratorium parasitology di Balai Besar Veteriner Denpasar menunjukkan dimana kambing gembrong yang dipelihara dengan pola pemeliharaan berbeda, Nampak pada kandang postal berlantai tanah dimana kambing gembrong di beri pakan berupa dedaunan serta rumput lapang (rumput sawah) tanpa dibarengi dengan pemberian pakan tambahan berupa konsentrat dimana kambing gembrong terinfeksi oleh 4 jenis cacing yakni cacing Ostertagia sp, Haemonchus sp dan Tricostrongylus sp dari golongan Nematoda ( cacing gelang/ round worm), 1 jenis berupa cacing paramphistomum sp dari cacing trematoda (cacing daun ). Pada pola pemeliharaan yang lain kambing gembrong dipelihara dalam kandang panggung yang diberi pakan dedaunan dibarengi dengan pemberian pakan tambahan berupa konsentrat (polar) dimana kambing terinfeksi oleh 4 jenis cacing yakni cacing Strongylus sp , Ostertagia sp dan cacing Haemonchus sp dari cacing kelas Nematoda ( round worm) dan 1 jenis berupa cacing paramphistomum sp dari cacing trematoda (cacing daun ) dengan tingkat infeksi yang berbeda seperti table. 1 dibawah. Munculnya infeksi parasit terhadap kambing gembrong baik yang dipelihara dalam kandang koloni maupun kandang panggung sebagai akibat pola pemberian obat cacing yang dilakukan yang kurang periodik (tidak teratur) akibat masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh petani dalam memberi obat cacing, pengambilan sampel juga bersamaan dengan turunnya musim penghujan dimana lingkungan di sekitar kandang kondisinya tampak becek lembab dan basah.

Cacing Trichostrongylus spp.

Cacing Trichostrongylus sp tergolong cacing giling atau cacing nematoda sehingga di sebut nematoda gastrointestinal (Hanafiah et. al., 2002). Lebih spesifik lagi cacing ini lebih dikenal dengan cacing rambut karena ukurannya yang kecil.Cacing ini berpredileksi pada usus halus dari hewan ruminansia besar, kecuali trichostrongylus axei hidup di dalam abomasum ruminansia peliharaan dan liar di dalam lambung serta usus kecil kuda. Cacing Trichostrongylus di temukan dalam jumlah lebih banyak selama bulan bulan kering di bandingkan bulan bulan basah hal ini di dukung oleh faktor lingkungan terutama bulan kering perkembangan telur cacing trichostrongylus tidak begitu banyak memerlukan air berbeda dengan cacing fasciola sp yang dalam siklus hidupnya memerlukan inang perantara yakni berupa siput air serta rumput yang hidup dalam genangan air Soulsby, (1986). Patogenesis pada hewan muda lebih hebat dari pada hewan dewasa. Gejala klinis dari hewan terinfeksi cacing trichostrongylus sp adalah terjadi penurunan nafsu makan, anemia , berat badan menurun, diare, pembengkakan dan perdarahan mukosa, bahkan sampai kematian ( Soulsby, 1986 ).

Cacing Ostertagia spp

Cacing Ostertagia sp umumnya dikenal dengan sebutan cacing perut merupakan parasite nematoda tergolong cacing bulat ( round worm ).Cacing ini umum menyerag ternak sapi kerbau, domba dan kambing dari spesies Ostertagia Ostertagi hidup pada daerah lambung (abomasum) dengan derajat infeksi yang beragam sebagai akibat pola pemeliharaan, tata laksana perkandangan, dan makanan. Cacing ini dapat menyebabkan penyakit Ostertagiosis, berpotensi fatal pada sapi dan secara ekonomi penting bagi industri ternak, terutama yang ditemukan di daerah beriklim sedang. Ostertagia ostertagi memiliki siklus hidup terdiri dari dua tahap: tahap hidup bebas, pra-parasit dan tahap parasit di inang (Ternak). Telur dari betina dewasa di abomasum masuk ke dalam tinja. Telur-telur ini menetas di dalam tinja berbentuk larva tahap pertama (L1). Larva L1 tumbuh dan berkembang menjadi larva tahap kedua (L2), yang kemudian berubah menjadi larva tahap ketiga infektif (L3). L3 mempertahankan kutikula dari tahap kedua (L2) sebagai selubung pelindung, dan dapat bertahan untuk waktu lama di dalam tinja. Waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi larva infektif tergantung pada rangsangan yang menguntungkan seperti suhu (sekitar 25-27 °C atau 77-81 °F) dan kelembaban. Biasanya, berkembang membutuhkan waktu 10 hari hingga 2 minggu, dengan periode prepaten normal yakni 21 hari. Morfologi cacing Ostertagia ostertagi dewasa adalah cacing coklat kemerahan ramping. Panjang jantan dewasa adalah 6-7 mm (0,24-0,28 in), betina dewasa 8-11 mm (0,31-0,43 in), dan telur 70-86 μm dengan ukuran panjang (0,0028-0,0034 in) (Levine, 1994).

Cacing Haemonchus spp

Haemonchiosis merupakan penyakit cacing disebabkan oleh Haemonchus Contortus pada domba dan kambing yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar meliputi kematian, pertumbuhan terhambat dan gangguan reproduksi. Cacing nematoda ini menyerap makanan untuk bertahan hidup dalam hospesnya dengan menggunakan cavum bucalis dapat melisiskan jaringan atau menusuk jaringan dalam mengambil darah dimana darah tersebut diambil oksigennya dengana cara difusi didalam tubuh ( Levine,1994). Haemonchus contortus mampu mengeluarkan zat anti pembekuan darah (anti kuagulan ) kedalam luka yang ditimbulkannya, sehingga mukosa usus mengalami iritasi dan cacing akan menghisap darah dalam jumlah yang cukup banyak. Lebih lanjut Levine ( 1994) menyatakan domba atau kambing yang terinfeksi berat oleh cacing haemonchus akan kehilangan darah 0,6 liter tiap minggunya akibat diare berdarah serta domba dan kambing akan mengakibatkan penurunan absorpsi sari- sari makanan, protein, kalsium, dan fosfor. Disamping itu cacing ini memiliki ciri tubuh yang berwarna merah berukuran seperti serabut yang berpredileksi di dalam lambung ruminansia, terutama sapi, kerbau domba dan kambing. Cacing Haemonchus di kenal dengan sebutan Barber”s pole worrm, cacing ini memiliki ciri sebagai berikut ; cacing jantan memiliki ukuran panjang 10 – 20 mm sedangkan yang betina memiliki ukuran 18-30 mm. Cacing jantan nampak berwarna merah sedangkan betina memiliki barber “s pole , cacing ini memiliki cervical papil, cacing betina memiliki vulva flap dan cacing jantan memiliki bursa kopulatrik dan dorsal ray.

Haemonchus contortus merupakan parasit yang patogenik, luas penyebaran dan tingkat infeksinya dapat mencapai 80 %. Pada kambing dan domba muda kena infeksi cacing ini karena Indonesia beriklim tropis basah sangat menguntungkan kelangsungan hidup dan mempermudah penularannya. Menurut Soulsby (1986) daur hidupnya mirip dengan nematoda lainnya, dimana cacing tersebut mengeluarkan telurnya dari tubuh hospes melalui feses dan di alam bebas berkembang di bawah pengaruh kelembaban, suhu lingkungan yang

mendukung. Penularan umumnya terjadi ketika kambing menelan rumput yang mengandung larva infektif atau pakan hijauan yang berasal dari rumput yang tercemar oleh larva infektif. Telur cacing ini ditemukan pada daerah abomasum ruminansia besar maupun ruminansia kecil yang memiliki jangkuan luas pada daerah tropis.

Cacing ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar sehingga intensitas nematoda pada ternak kambing dan domba cukup tinggi. Menurut Imbang,(2007) menyatakan kerugian akibat infeksi cacing Haemonchus sebesar 16,6 US $ pertahun. Cacing ini menghisap darah yang dapat menimbulkan anemi dan kekurusan, haemoragie yang ditandai penurunan jumlah eritrosit dan PCV (Packed Cell Volume ), serta pelepasan protein hemolitik yang dapat menyebabkan gangguan usus dan bila disertai nutrisi yang jelek maka akan berakibat penurunan berat badan dan disertai penurunan protein dalam tubuh (Levine,1994). Gejala infeksi pada ternak kambing diantaranya berupa : diare, dehidrasi, penurunan berat badan, anemia, lemah, dan pengurusan ternak, serta diakhiri dengan kematian Soulsby (1986). Cacing haemonchus memiliki siklus hidup secara langsung / tanpa inang antara. Cacing betina dewasa memproduksi telur yang kemudian keluar bersama feses.

Cacing Paramphistomum spp

Paramphistomiasis merupakan penyakit gastrointestinal dari jenis cacing trematoda yang dapat menyerang sapi, domba dan kambing. Dalam penyebarannya penyakit paramphistomum sp memerlukan inang antara yakni dari golongan siput. Penyakit ini tersebar diseluruh Indonesia dengan prevalensi yang tinggi terutama pada sapi (50 – 88,89 %). Kusumamihardja dan Zalisar, (1992) yang disebabkan oleh cacing Paramphistum cervi. Namun kejadian Paramphistomum spp pada kambing gembrong masih tergolong ringan 25 % dimana pada pemeliharaan kandang panggung terjadi infeksi 10 % dan pada pemeliharaan dengan kandang postal infeksi terjadi sebanyak 15 %, hal ini masih dibawah dari Kusumamihardja dan Zalisar, (1992), Prevalensi cukup tinggi terjadi pada daerah yang irigasinya kurang baik, dimana sumber hijauan pakan yang bersumber dari daerah persawahan tercemar oleh larva infektif yang menempel pada rumput. Epidemiologi dari parasite cacing ini tergantung pada kondisi lingkungan terutama kelembaban yang cukup dan suhu yang memadai (26- 270C). Keadaan tersebut diperlukan untuk perkembangan fase mirasidium sampai metaserkaria dan juga kehidupan siput sebagai hospes intermidier. Cacing dewasa akan berpredeleksi pada rumen dan reticulum sapi, kambing,domba dan ruminansia lain, sedangkan cacing muda predeleksinya pada bagian usus halus.

Telur cacing Paramphistomum spp. memiliki morfologi berkerabang tipis dan agak menebal di bagian ujung operkulum dengan warna blastomer kuning cerah dan tidak terlalu padat serta ukuran yang relatif besar. Telur cacing yang mempunyai persamaan dengan Paramphistomum spp. yakni Fasciola spp. (Soulsby,1986) sehingga adanya telur cacing ini akan mempersulit dalam pemeriksaan. Disamping itu telur Paramphistomum spp transparan, sel embrional dan operkulum yang jelas, dinding berwarna jernih (transparan), sering terdapat tonjolan kecil di ujung posterior. Ukuran telur Paramphistomum spp lebih besar dari pada telur Fasciola spp dengan panjang 113-175 mikron dan lebar 73-100 mikron (Purwanta et. al., 2009 ). Prevalensi paramphistomiasis pada ternak kambing disetiap wilayah berbeda-beda, perbedaan tingkat prevalensi disebabkan oleh perbedaan geografis yang mempengaruhi keberadaan siput sebagai hospes antara dan daya tahan metaserkaria di lingkungan serta teknik diagnosa Desi et. al., (2013). Selain geografis, prevalensi paramphistomiasis pada ternak juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain manajemen pemeliharaan

ternak, umur ternak, jenis kelamin ternak, penggunaan anthelmintik, pendidikan dan status ekonomi peternak (Raza et. al., 2009).

Sistem pemeliharaan ternak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit parasitik pada ternak. Umumnya sistem pemeliharaan dengan sumber pakan ( rumput ) yang berasal dari rumput tergenang air, diduga mempunyai peluang untuk terinfeksi Paramphistomum sp. Menurut Raza et. al., 2009) menyatakan bahwa tingginya tingkat prevalensi pada ternak yang digembalakan dan sumber pakan yang tercemar oleh larva infektif diduga berkaitan dengan derajat tingkat kontaminasi lapangan pengembalaan dan potensi biologi yang cukup tinggi dari siput sebagai hospes antara.Disamping itu kejadian parasit cacing ini dapat disebabkan oleh pengambilan sampling dilakukan pada daerah yang basah atau pakan yang diberikan berasal dari lahan persawahan sehingga memungkinkan perkembangan cacing ini yang memerlukan hospes perantara (siput air) (Levine , 1994).

Kontrol Infeksi Parasit Gastrointestinal

Guna mengidentifikasi adanya infeksi parasit gastrointestinal pada kambing gembrong, pemeriksaan sampel berupa feses segar secara rutin amat diperlukan, terutama jenis cacing serta derajat infeksinya agar sesegera mungkin dapat dilakukan pengobatan dengan jenis obat antelmintik yang tepat. Deteksi molekuler dapat memberikan harapan baru untuk mengatasi beberapa keterbatasan pengujian yang ada (Gasser, 2006). Walaupun sulit dalam penerapannya, namun dalam hal pengendalian terpadu yang komprehensif dapat menjadi alternatif pilihan, misalnya penggunaan teknik kimiawi menggunakan obat cacing moderen dan non-kimiawi menggunakan obat cacing herbal dari tanaman obat, perbaikan nutrisi ternak, serta menjaga keamanan lapangan rumput terhadap adanya kontaminan cacing stadium infektif terutama bagi ternak muda. Secara umum pengendalian cacing terpadu mencakup tiga hal, yaitu kekebalan dan nutrisi, manajemen penggembalaan, dan pemberian obat antelmintik yang tepat.

Tingkat Prevalensi Gastrointestinal Pada Kambing Gembrong

Jenis cacing gastrointestinal yang menginfeksi ternak kambing, jumlah telur serta predileksi pada gastrointestinal kambing gembrong seperti pada tabel 1 dibawah.

Tabel 1. Jenis cacing, jumlah telur cacing serta organ predileksi yang menginfeksi kambing gembrong

Jenis cacing

Predileksi              Jumlah cacing       Total Jumlah (

(gram/feses)         EPG/gram/feses)

Panggung Postal Panggung Postal

Strongyloides Sp

Usus halus               1     2            220    330

Haemonchus Sp

Lambung/ abomasum     3     4          280   470

Paramphistomum Sp

Usus halus               2     3           210   385

Ostertagi sp

Lambung

/abomasu                3     4           310   375

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa terjadi infeksi tunggal pada kambing gembrong secara keseluruhan sebanyak 22 %, dimana kambing gembrong yang di pelihara pada kandang panggung tingkat infeksi terjadi sebanyak (9 %), dan kambing gembrong yang di pelihara dalam kandang postal tingkat infeksi cacing terjadi lebih tinggi sebanyak 13 %, tingginya infeksi yang terjadi pada pola pemeliharaan dalam kandang postal berlantai tanah akibat adanya infeksi cacing secara Soil Trasmitted Helminth / penularan melalui media tanah Andrade, et, al., (2001) dimana prevalensi cacing nematoda ditemukan pada lantai kandang semen tentu jumlahnya jauh lebih kecil disbanding kendang berlatai tanah. Pola pemeliharaan kandang postal berlantai tanah kondisi kandang terlihat basah dan lembab akibat musim penghujan sehingga kondisi ini cukup mendukung siklus hidup cacing . Disamping itu diduga akibat melemahnya ketahanan tubuh hewan dalam melawan serangan cacing parasit (Soulsby,1986). Desi et.al.,(2013) menyatakan infeksi tunggal, dan infeksi campuran pada satu ekor kambing disebabkan oleh sifat cacing yakni infeksi cacing tidak menyebabkan kematian terhadap inang namun hanya menyebabkan penurunan sistem imun inang sehingga menyebabkan terjadinya infeksi sekunder oleh jenis cacing lainnya.

Tabel 2. Gambar diagram Infeksi Cacing Pada Kambing Gembrong

Tingkat Infeksi Cacing Pada Kambing Gembrong

Jenis cacing Yang Menginfeksi

Gambar 1. Tingkat infeksi cacing pada kambing gembrong

Berdasarkan hasil pemeriksaan menunjukkan adanya infeksi cacing Strongyloides sp pada pemeliharaan pada kandang panggung maupun postal, diduga akibat pemberian hijauan pakan sebagai sumber pakan tercemar oleh telur maupun larva infektif walaupun ternak di kandangkan, dimana telur cacing dapat menginfeksi ternak walaupun di kandang atau bahkan bisa terjadi infeksi secara autoinfeksi karena telur cacing sudah berisi larva dan cepat sekali menetas. Lebih tingginya angka prevalensi yang terjadi pada kandang postal berlantai tanah di duga akibat faktor lingkungan seperti kelembaban dan suhu serta aspek kondisi lahan dalam sumber hijauan sebagai pakan ternak. Dimana dalam perkembangan cacing strongyloides sp kondisi tempat yang basah dan lembab menjadi faktor penunjang untuk keberlangsungan siklus hidup cacing tersebut.Kondisi iklim yang lembab merupakan faktor mendukung fase hidup bebas dari berbagai parasit cacing (Soulsby, 1986). Disamping itu kondisi kandang yang kurang bersih serta pengambilan pakan / rerumputan saat masih pagi dimana keberadaan larva infektif yang menempel pada pucuk-pucuk rumput masih banyak bila di bandingkan saat siang hari ( Levine, 1994).

Disisi lain kejadian Haemonchiosis terjadi pada dataran rendah dengan tingkat investasi yang lebih rendah,inididuga akibat pengambilan sampel feses yang dilakukan yakni pada bulan september (saat masih musim kemarau ) sehingga kondisi ini kurang mendukung siklus hidup cacing. Kondisi lahan basah dan lembab merupakan media yang paling ideal untuk

Sudarma dan Londra, Pengaruh…|203

berkembangnya larva parasit cacing Soulsby, (1986). Kejadian Haemonchiosis berhubungan dengan siklus hidup dari Haemonchus sp khususnya perkembangan telur hingga menjadi larva stadium III yang siap menginfeksi ternak kambing, hal ini di dukung oleh Soulsby, (1986) di mana faktor yang mempengaruhi kehidupan cacing diluar tubuh induk semang antara lain suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap telur cacing sampai menjadi larva stadium III.

Ternak kambing yang di pelihara pada dataran rendah terjadi Infeksi cacing Paramphistomum sp dimana infeksi oleh cacing ini umum terjadi pada kambing sebagai hospes definitif memakan rumput tergenang air yang mengandung metaserkaria (Soulsby,1986). Metaserkaria merupakan larva infektif yang akan menembus dan memakan jaringan dari dinding usus kecil kemudian bermigrasi kedalam rumen (Desi et, al., 2013). Kelangsungan hidup serta penyebaran Paramphistomum sp.bergantung pada kehadiran siput (Lymnea rubiginosa) sebagai hospes antara. Metaserkaria berasal dari serkaria yang keluar dari siput. Mirasidium akan mati apabila tidak menemukan siput, walaupun metaserkaria tahan terhadap kondisi kering. Siput Lymnea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan kekeringan dan akan mati apabila tidak menemukan tempat yang berair (Soulsby, 1986). Siput sebagai hospes antara yang berhabitat pada lingkungan yang berair dengan vegetasi yang baik seperti di sekitar aliran sungai, danau, sawah dan kolam.

Cacing muda Paramphistomum sp. yang terdapat di dalam usus halus merupakan faktor yang penting dalam patogenisitas dari paramphistomiasis. Mukosa rumen dari ternak yang terinfeksi Paramphistomum sp.terlihat kepucatan atau anemik akibat gigitan cacing dewasa. Perubahan akibat gigitan ini kemungkinan akan bisa menyebabkan gangguan terhadap kerja rumen, sehingga akibat infeksi Paramphistomum sp. bila dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi cukup serius, sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Soulsby, 1986). Selain itu, Infeksi parasit ini dapat juga menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, menurunnya produksi susu, daging dan kulit serta lambatnya pertumbuhan ternak (Soulsby, 1986)

Tingkat Infeksi Telur Cacing Pada Kambing Gembrong

Tingkat infeksi parasit gastrointestinal dapat di ketahui dengan menghitung jumlah telur (EPG) tiap gram feses merupakan salah satu indikator derajat infeksi. Tabel diatas mengindikasikan bahwa jumlah EPG parasit gastrointestinal secara keseluruhan pada feses kambing gembrong terinfeksi tergolong ringan baik pada kambing yang di pelihara dalam kandang panggung, hal ini disebabkan karena pola pemeliharaan ternak dilakukan secara intensif serta diimbangi dengan pemberian obat cacing walau tidak periodik. Pada pola pemeliharaan dengan kandang panggung pada sekitar kandang dilakukan pengolahan kompos dari kotoran ternak berupa bak pengolahan dimana limbah ternak diolahan menjadi kompos serta dibuatkan instalasi bio gas, umumnya dalam digester bio gas bakteri anaerob bekerja pada suhu bakteri mesofilik yakni pada suhu antara 20ºC- 45ºC sedangkan parasitb cacing tidak dapat bertahan hidup pada kondisi suhu melebihi 37ºC menyebabkan cacing tidak dapat bertahan hidup dan akhirnya mati Abbasi et, al., (2012).

Hays (1977) dalam Titus et, al., (2013) menyatakan efektivitas fermentasi anaerob dalam menurunkan jumlah telur cacing di pengaruhi oleh waktu proses pencernaan dalam digester (Hydraulic Retention Time) dan temperatur. Semakin lama waktu proses pencernaan dalam digester maka jumlah larva dan telur cacing akan semakin berkurang .begitu pula pada proses composting dengan proses fermentasi telur maupun larva yang keluar lewat kotoran akan

membusuk karena proses pemanasan (34 0C) saat dekomposisi, sehingga dapat mencegah / mengurangi penularan infeksi cacing pada ternak sapi lainnya ( Anon, 2007). Disamping itu rendahnya derajat infeksi yang terjadi di duga akibat pemberian pakan kosentrat berupa polar yang di pelihara petani dalam kandang panggung, pemberian pakan konsentrat mengandung protein yang lebih besar dari rumput dapat meningkatkan sistem imun tubuh ternak sehingga tingkat infestasi cacing bisa ditolerir oleh tubuh ternak

Tingkat Infeksi cacing yang menginfeksi Kammbing

Gembrong

Jenis Cacing

Gambar 2 . Diagram tingkat Infeksi Telur cacing parasite gastrointestinal

Garsetiasih dan Takan djandji (2006) menyatakan dalam kondisi malnutrisi dapat mengakibatkan ternak lebih peka terhadap infeksi telur cacing. Selanjutnya Soulsby (1986 ) menyatakan pada umumnya infeksi cacing berjalan kronis sebagai akibat oleh lemahnya pertahanan alamiah dan kemampuan cacing parasitik untuk mengelak dari pertahanan spesifik inang definitif. Kekebalan ternak terhadap infeksi cacing melibatkan kekebalan humoral dan sel goblet ( Waller,1987). Lebih lanjut Garsetiasih dan Takan djandji (2006) menyatakan bahwa beberapa faktor dari inang yang dapat mempengaruhi populasi nematoda gastrointestinal diantaranya faktor usia, pengelolaan pakan (nutrisi), dan sistem imunitas tubuh.

Nutrisi terutama kandungan protein dari pakan akan mempengaruhi laju perkembangan imunitas terhadap infeksi parasit Waller (1987). Ternak sering mengandalkan pakan seperti jerami dan rerumputan yang memiliki kandungan protein yang rendah dapat menyebabkan kerusakan fungsi sel limfosit T. Sel tersebut memainkan peranan penting dalam perlawanan terhadap infeksi cacing pada kambing. Asupan protein yang tinggi selanjutnya disederhanakan menjadi asam amino, dibutuhkan oleh inang untuk meningkatkan sistem imunnya. Lebih lanjut Waller (1987) menyatakan dengan penambahan suplemen konsentrat berprotein tinggi dapat meningkatkan imunitas kambing terhadap nematoda gastrointestinal. Terkait dengan hal ini pengembangan ternak kambing gembrong yang di beri pakan protein tinggi menyebabkan tingkat infeksi parasit gastrointestinal cukup rendah. Taylor et, al., (2007) menyatakan berdasarkan standar infeksi, maka infeksi dapat dibedakan yaitu infeksi ringan akan ditemukan telur cacing 1-499 butir / gram feses,pada infeksi sedang akan ditemukan jumlah telur cacing 500-5000 butir / gram feses, sedangkan pada infeksi berat akan di temukan jumlah telur cacing diatas 5000 butir / garm feses.

SIMPULAN

Tingkat infeksi secara keseluruhan cacing gastrointestinal pada kambing gembrong sebanyak 22 % dimana infeksi pada kandang panggung terjadi infeksi sejumlah 9 % dan pada kandang postal terjadi infeksi sebanyak 13 %. Jenis cacing yang di temukan berupa cacing Nematoda dari genus : Haemonchus sp, Strongylus sp, Ostertagia sp dan jenis Trematoda dari genus Paramphistomum sp. Pakan konsentrat mengandung protein tinggi akan membantu menurunkan rerata jumlah telur cacing nematoda. Gambaran Infeksi pada parasit cacing Gastrointestinal pada kambing gembrong berada pada tingkat infeksi sedang pada pola pemeliharaan kandang panggung maupun pada kandang postal. Pemberian obat cacing secara rutin dan periodik dapat menekan intensitas cacing baik pada pola pemeliharaan kendang panggung maupun kendang postal.

DAFTAR PUSTAKA

Abbasi, Tasnem. S.A. Abbasi, dan S.M. Tauseef. 2012. Biogas Energy. Springer New York Dordrecht Heidelberg. London.

Andrade,C., T. Alava I.A. De Palacio.P. Del Poggio. C Jamoletti . M . Gulletta and A.Montresor. 2001. Prevalence and Intensity of Soil -Transmited Helminthiasis in the City of Portoviejo ( Ecuador), Rio de Janairo. 96 (8): 1075- 1079.

Anon 2007. Daur Hidup Cacing Hati. http://www. Sumberhewan.com/id/penyakit cacing. Diakses tanggal 15 september 2010.

BPS, Provinsi Bali 2018. Luas Lahan Per Kabupaten Menurut Penggunannya.

Desi A., Fahrimal Y., Hasan M. 2013. Identifikasi Parasit Nematoda Saluran Pencernaan Anjing Pemburu ( Canis Familiaris ) Di Kecamatan Lareh Sago Halaban di Provinsi Sumatra Barat ,J. Medik Vet.7 (1) : 42-45.

Garsetiasih,R dan M,Takandjandji. 2006. “ Model Penangkaran Rusa “ Makalah disajikan pada Ekspose .Hasil penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan, Padang.

Gasser RB. 2006. Molecular tool: Advances, opportunities and prospects. Veterinary Parasitology 136: 69-89.

Goodwin DH. 2007. Beef Management and Production. Hutchinson. Australia Pty Ltd. New South Wales. Pp 183 – 185.

Guntoro, S. 2008. Membuat Pakan dari Limbah Perkebunan. Penerbit PT. Agromedia.Jakarta.

Hanafiah, Winaruddin, & Rusli, 2002, ‘Studi Infeksi Nematoda Gastrointestinal pada Kambing dan Domba di Rumah Potong Hewan Banda Aceh’, Jurnal Sains Veteriner, vol. XX, no.1, hal 15-19.

Sudarma dan Londra, Pengaruh…|206