Vol. 8 No. 02 Agustus 2023

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Persaingan Usaha Tidak Sehat Akibat Konsep Likuidasi Dalam Hukum Kepailitan Indonesia

Anggia Maharani Putri1, Marwanto2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: anggiaamaharani@gmail.com 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: marwanto@unud.ac.id

Info Artikel

Masuk : 05 April 2023 Diterima : 23 Juli 2023

Terbit : 28 Agustus 2023


Keywords :

Bankcrupty, Liquidation, Rivalvy


Kata kunci:

Kepailitan, Likuidasi, Persaingan

Corresponding Author:

Anggia Maharani Putri email:

anggiaamaharani@gmail.com

DOI :

10.24843/AC.2023.v08.i02.p6


Abstract

This research was conducted to understand how the concepts in the bankruptcy law have an impact on unfair business competition and the efforts that need to be taken to overcome these problems. This is because the bankruptcy institution has not provided definite protection to the parties, thus creating unfair business competition between creditors and debtors. normative research is use to be the refference by using a conceptual approach and statutory approach to study regulations in the face of existing facts. This research originates from laws and regulations and other supporting sources. The results obtained in the analysis carried out are that the concept used contains elements of general confiscation of all assets belonging to the debtor with simple requirements making it easy for creditors to bankrupt the company and bring about unfair business competition between companies. Overcoming these problems, it is important that the government to take action to change the concept of liquidation towards company reorganization and changes to bankruptcy requirements.

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk dapat memahami bagaimana konsep dalam undang-undang kepailitan membawa dampak pada persaingan usaha tidak sehat dan upaya yang perlu diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini disebabkan lembaga kepailitan belum memberikan perlindungan yang pasti kepada para pihak sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dintara kreditur dengan debitur. Penelitian normatif dijadikan acuan dengan adanya pendekatan konsep dan pendekatan perundang-undangan untuk mengkaji peraturan dihadapkan pada kenyataan yang ada. Penelitian ini bersumber pada peraturan perundang-undangan dan sumber pendukung lain. Hasil yang didapatkan pada analisa yang dilakukan adalah konsep yang digunakan didalam undang-undang kepailitan mengandung unsur sita umum atas seluruh aset milik debitur dengan persyaratan sederhana memberikan kemudahan bagi kreditur untuk mempailitkan perusahaan dan membawa persaingan usaha tidak sehat diantara perusahaan. Mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya perubahan konsep likuidasi menuju reorganisasi perusahaan dan perubahan syarat-syarat kepailitan.

  • I.    Pendahuluan

Indonesia sebagai sebuah negara berkembang membutuhkan perkembangan perekonomian yang pesat untuk dapat membantu kemajuan negara. Salah satu faktor perkembangan perekonomian adalah adanya pertumbuhan ekonomi di sektor swasta, salah satunya ditandai dengan pertumbuhan perusahaan. Menurut Mollengraff, perusahaan adalah seluruh kegiatan yang dilaksanakan secara berkelanjutan, bertindak keluar, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu penghasilan, melalui cara memperjual belikan barang atau mengadakan perjanjian dalam perdagangan.1 Perusahaan atas hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk usaha yang didirikan dengan tujuan mendapatkan sebuah keuntungan dan dilakukan secara terus menerus. Perusahaan dalam menjalankan usahanya, tentu akan bertemu dengan banyak perusahaan dan menimbulkan persaingan diantara perusahaan-perusahaan tersebut.

Pertemuan antara perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia dapat dimulai dengan adanya perjanjian atau kontrak kerjasama untuk melaksanakan suatu prestasi yang dapat mendukung perkembangan masing-masing perusahaan. Perjanjian diantara para pihak ini menimbulkan suatu pengikatan hak serta kewajiban para pihak. Disatu sisi ada pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan prestasi atas apa yang diperjanjikan sedangkan dipihak lain ada pihak yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan hal yang telah diperjanjikan. Tidak jarang perjanjian tersebut mendapat masalah berupa terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi yang seharusnya dipenuhi. Salah satunya adalah perjanjian yang dalam hal ini termasuk kedalam jenis utang piutang antara debitur dengan kreditur, pada suatu waktu debitur tidak melaksanakan prestasinya dalam membayar utang kepada kreditur. Kejadian ini dapat memberi kreditur hak untuk mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh debitur. Ketidak mampuan debitur dalam melunasi hutang-hutangnya diakibatkan kondisi perusahaan yang tidak selalu dalam keadaan baik sampai berakibat pada berhentinya debitur dalam membayar hutang-hutang tersebut.2

Apabila debitur memiliki satu kreditur untuk mengganti kerugian maka kemungkinan besar debitur akan mampu melunasi hutangnya, namun yang menjadi masalah adalah jika debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan mengalami kesusahan dalam penggantian hutang yang ditimbulkan. Pada permasalahan ini, umumnya para kreditur secara bersama-sama akan mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur tersebut kepada Pengadilan Niaga.

Kepailitan berasal dari kata pailit yang menurut KBBI didefinisikan sebagai jatuhnya atau bangkrutnya sebuah perusahaan, sedangkan kepailitan dirumuskan sebagai kondisi yang dialami seseorang maupun badan hukum dengan tidak lagi memiliki kemampuan melakukan kewajiban dalam membayar (atas utangnya) kepada si

pemberi utang yang dalam hal ini adalah kreditur.3 Menurut Hadi Shubhan, kepailitan diartikan sebagai sebuah putusan pengadilan terhadap debitur pailit yang berakibat pada sita jaminan terhadap harta yang dimiliki oleh debitur pada saat ini maupun yang muncul pada saat nanti. Sedangkan menurutnya pailit adalah suatu kondisi yang harus dihadapi debitur sebab tidak lagi mampu membayar utangnya kepada kreditur sebagai akibat kemunduran finansial yang dialami perusahaan debitur.4

Indonesia memiliki peraturan hukum terhadap kepailitan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada dasarnya lembaga kepailitan hadir sebagai bentuk solusi atas permasalahan yang dihadapi bagi debitur terhadap adanya lebih dari dua kreditur. Apabila debitur memiliki kreditur lebih dari satu orang dan terjadi kondisi debitur yang mengalami kesusahan dalam melakukan prestasi maka memberikan hak kepada kreditur untuk melakukan penuntutan kepada debitur untuk melaksanakan prestasi tersebut. Namun jika terdapat lebih dari satu kreditur maka diantara kreditur tersebut akan terjadi usaha untuk saling mendahului dalam melakukan gugatan kepada debitur dan dalam hal ini kreditur terakhir akan mengalami kesusahan didalam mendapatkan pelunasan atas utangnya karena aset debitur telah habis untuk melunasi utang-utang dalam gugatan sebelumnya. Oleh karena itu dibentuklah lembaga kepailitan dengan harapan agar memberikan keadilan kepada masing-masing kreditur dengan cara melakukan sita atas seluruh aset kepunyaan debitur untuk kemudian dilakukan pelelangan dan hasil pelelangan tersebut dibagikan secara proporsional kepada tiap-tiap kreditur. Hal ini disebut sebagai likuidasi aset milik debitur dan sejak dilakukan sita atas aset tersebut debitur kehilangan hak pengurusan atas aset tersebut. Namun upaya yang berusaha diberikan pemerintah melalui lembaga kepailitan nampaknya belum dapat dilakukan sepenuhnya dikarenakan konsep-konsep didalam Undang-Undang Kepailitan masih berpotensi menimbulkan masalah kepada debitur.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan maka dikabulkannya permohonan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan berakibat pada dilakukannya likuidasi atau disitanya seluruh aset milik debitur untuk kemudian diurus oleh kurator dan dilakukan pemberesan harta kepailitan. Atas disitanya seluruh aset milik debitur mengakibatkan perusahaan milik debitur akan berhenti beroperasi dan bisa berdampak pada kebangkrutan. Lebih lanjut pada Undang-Undang Kepailitan memungkinkan debitur untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban dalam melakukan pelunasan utang atau kepailitan kepada Pengadilan Niaga apabila dirasa tidak lagi mampu untuk membayar utang kepada kreditur.5 Namun undang-undang ini juga menentukan bahwa kepailitan dapat diajukan pemohonannya tidak hanya oleh pihak debitur melainkan juga pihak kreditur. Permohonan tersebut dapat diajukan apabila terdapat dua kreditur dengan minimum satu utang yang telah melewati tenggat waktu yang ditentukan dan dapat dilakukan penagihan atas utang tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Ketentuan ini memberi kreditur keleluasaan dalam

mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur yang dianggap lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Hal ini menunjukkan undang-undang kepailitan lebih memperhatikan kepentingan atas kreditur.

Likuidasi aset yang ditentukan pada Pasal 1 ayat (1) disandingkan dengan Syarat permohonan kepailitan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan ini memiliki ruang atas terjadinya persaingan usaha tidak sehat diantara perusahaan. Hal ini dikarenakan kewenangan yang dimiliki oleh subjek hukum selain debitur untuk mengajukan permohonan kepailitan dengan syarat sederhana memberi dampak terhadap debitur itu sendiri. Ketidak mampuan perusahaan dalam membayar utangnya kepada kreditur tidak menjadi persoalan dalam undang-undang kepailitan, sehingga selama terdapat dua kreditur lebih dan dapat dibuktikannya sedikitnya satu hutang yang belum dilunasi oleh debitur, maka debitur dapat begitu mudahnya masuk kedalam posisi pailit oleh pengadilan. Setelah dinyatakan pailit maka debitur akan kehilangan seluruh aset yang dimiliki dan hal ini merupakan langkah yang diambil kreditur agar dapat menjatuhkan posisi debitur.

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) dalam Undang-Undang Kepailitan memberikan kesenjangan norma dengan tidak memberikan keadilan kepada debitur dengan lebih mengutamakan kepentingan kreditur. Hal ini akibat konsep dalam undang-undang kepailitan menimbulkan adanya suatu persaingan dalam usaha yang tidak sehat diantara perusahaan. Penting untuk dikaji lebih mendalam bagaimana konsep likuidasi dalam undang-undang kepailitan berakibat pada persaingan usaha tidak sehat dan bagaimana upaya penyelesaian terhadap persaingan usaha tidak sehat akibat konsep likuidasi dalam undang-undang kepailitan. Adapun penelitian ini memiliki tujuan untuk mendapatkan pemahaman dengan baik mengenai konsep likuidasi didalam Undang-Undang Kepalitan yang mengakibatkan timbulnya suatu persaingan usaha tidak sehat diantara para kreditur dan debitur. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman dengan baik upaya penyelesaian persaingan usaha tidak sehat akibat adanya konsep likuidasi didalam Undang-Undang Kepailitan.

Sebelum penelitian ini dilaksanakan, terlebih dahulu terdapat beberapa penelitian serupa mengenai hukum kepailitan di Indonesia. Peneliti terdahulu dilakukan oleh Niru Anita Sinaga pada tahun 2016 dengan judul “Hukum Kepailitan dan Permasalahannya di Indonesia”. Pada penelitian ini memfokuskan bagaimana undang-undang kepailitan yang ada di Indonesia menimbulkan berbagai permasalahan dalam prakteknya dan upaya yang perlu diambil terhadap permasalahan tersebut.6 Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa memang masih terdapat ketentuan dalam undang-undang kepailitan yang belum tepat untuk dilaksanakan.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan pada tahun 2020 dengan judul “Urgensi Pembaharuan Asas-Asas Hukum Pada Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Berdasarkan Teori Keadilan Distributif”.7 Penelitian tersebut memfokuskan konsep

kepailitan di Indonesia yang belum memberikan keadilan yaitu keadilan distributif kepada para pihak Berdasarkan penelitian-penelitian terhadulu maka perbedaan dapat dilihat pada fokus kajian bahwa penelitian saat ini lebih menekankan pada akibat konsep likuidasi dalam undang-undang kepailitan terhadap persaingan tidak sehat diantara perusahaan.

  • 2.    Metode Penelitian

Sebuah penelitian perlu didasari pada metode yang membantu penulis dalam melakukan pengkajian terhadap permasalahan yang ada. Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif atau doktrinal dikarenakan penulis melihat adanya kekaburan norma hukum dalam undang-undang kepailitan di Indonesia karena belum jelasnya konsep yang digunakan sehingga membawa kerugian berupa ketidak adilan kepada debitur. Pendekatan Perundang-undangan dan Konsep diperlukan pada penelitian ini untuk melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan. Sumber bahan hukum normatif bersumber pada undang-undang yang utama yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dilengkapi dengan sumber pendukung lain berupa buku, jurnal serta pendapat para ahli. Bahan hukum didapatkan dengan teknik studi kepustakaan yaitu mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan berkaitan dengan isu yang dibahas. Bahan-bahan yang telah terkumpul untuk kemudian dianalisa dengan cara analisis deskriptif menggambarkan peraturan yang ada dikaitkan dengaan permasalahan yang terjadi didalam realita.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Konsep Likuidasi dalam Undang-Undang Kepailitan Berakibat Pada Persaingan Usaha Tidak Sehat

Konsep likuidasi dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yang pada intinya menunjukkan bahwa kepailitan adalah sitaan umum terhadap seluruh kekayaan milik debitur yang dinyatakan pailit dan atas kekayaan tersebut akan diserahkan kepada kurator untuk diurus. Pada pasal tersebut yang perlu digaris bawahi adalah kata “sita umum” karena hal ini lah yang menunjukkan adanya konsep likuidasi. Sita umum yang dilakukan oleh kurator ini terjadi setelah pengadilan niaga menjatuhkan putusan bahwa debitur pailit dan atas terjadinya sita umum maka debitur kehilangan seluruh kewenangan atas hartanya karena seluruhnya menjadi hak kurator untuk mengurusnya.8 Sita umum atas harta debitur dilakukan dengan pengambilalihan dan pembekuan seluruh aset perusahaan debitur dan harta tersebut beralih menjadi harta pailit.9 Atas harta tersebut nantinya akan dilakukan pencocokan aset perusahaan dengan utang yang harus dibayarkan. Kemudian aset milik debitur akan dilakukan pelelangan sehingga hasil dari pelelangan tersebut dipergunakan untuk membayar utang-utang terhadap kreditur.

Konsep likuidasi dalam undang-undang kepailitan bermula dari adanya krisis moneter yang melanda dunia dan tidak terkecuali berdampak pada Negara Republik Indonesia. Atas krisis moneter tersebut banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki utang terutama dengan perusahaan asing mengalami kesulitan dalam pembayaran utang-utang tersebut. Atas permasalahan tersebut diperlukan peraturan perundang-undangan yang dapat mengatasi krisis moneter di Indonesia dengan syarat, yaitu perlu adanya peraturan yang dapat mengendalikan utang-piutang secara cepat dan jelas baik itu bentuk dan waktu pelaksanaannya.10 Oleh adanya hal demikian salah satu solusi tercepat yang perlu diambil adalah dengan melakukan perubahan terhadap peraturan kepailitan yang sebelumnya dipergunakan berupa pengubahan Faillisement Verordening Stb. 1905 Nomor 2017 jo Staatsblad 1906 Nomor 348 diubah melalui Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.

Pada peraturan tersebut menekankan prinsip debt collection. Prinsip ini memiliki arti atas pembalasan kepada debitur yang pailit dari kreditur dengan cara melakukan penagihan utang terhadap debitur atau harta yang dimiliki debitur.11 Pada saat krisis moneter terjadi, prinsip ini dirasa dapat membantu mengeluarkan Indonesia dari krisis yang ada dengan memberi jaminan kepada kreditur bahwa atas utang-utang yang dimiliki debitur akan dijamin pengembaliannya dengan cara dilakukan sita umum seluruh aset milik debitur. Seluruh aset tersebut nantinya setelah melewati proses berupa verifikasi utang, ada atau tidak adanya perdamaian diantara kreditur dengan debitur akan dilikuidasi dan dilakukan penjualan melalui pelelangan untuk dapat melunasi utang-utang yang ada.12

Percepatan proses penyelesaian utang-piutang antara perusahaan Indonesia dengan perusahaan asing pada masa krisis moneter membuat konsep kepailitan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menggunakan standar insolven yaitu perusahaan dianggap tidak mampu membayar utang-utangnya tanpa mempertimbangkan kondisi dari perusahaan tersebut.13 Hal ini mengakibatkan banyaknya perusahaan yang masih solvent atau masih mampu dalam hal finansial disita hartanya karena belum melunasi hutangnya dan dinyatakan pailit. Padahal untuk dapat dikatakan perusahaan yang insolvent atau tidak mampu harus dibuktikan dengan adanya insolvency test yang menunjukkan terjadinya penurunan harta dengan perusahaan yang mengalami kerugian secara berkala dan adanya penurunan modal hingga lebih dari setengah modal utama atau dalam hal ini perusahaan setidaknya memiliki aset yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah utang sehingga memang benar berada dalam kondisi financial distress atau kesusahaan dalam keuangan.14

Suatu perusahaan dalam tidak membayar utangnya kepada kreditur harus dilihat apakah perusahaan tersebut tidak berkeinginan membayar utangnya atau memang

tidak ada kemampuan membayar utang tersebut. Kondisi tidak mau membayar utangnya bisa diindikasikan terdapat kondisi dimana perusahaan debitur tidak membayar utangnya kepada kreditur bukan karena bermasalah dalam keuangannya melainkan karena kreditur dianggap belum melaksanakan kewajibannya sehingga debitur dengan sengaja tidak melakukan pembayaran utang tersebut.15 Sedangkan pada undang-undang kepailitan Indonesia tidak menganut standar tersebut sehingga meskipun perusahaan masih memberi prospek adanya kemampuan membayar utang, tapi dikarenakan adanya utang yang tidak dibayarkan maka perusahaan tersebut dapat menjadi pailit dan berakibat pada disitanya harta atau aset milik perusahaan debitur.

Penyitaan harta debitur dalam hal ini perusahaan dimungkinkan terjadi apabila munculnya pengajuan permohonan kepailitan baik itu oleh debitur yaitu perusahaan sendiri maupun oleh kreditur. Syarat dalam pengajuan tersebut ditentukan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan bahwa terdapat suatu kondisi dimana debitur memiliki kreditur lebih dari satu dan debitur tidak melunasi setidaknya satu utang yang telah melewati waktu tempo dan dapat dilakukan penagihan atas hal tersebut. Syarat ini menunjukkan sepanjang debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan terdapat kewajiban berupa utang yang belum dilunasi maka debitur dapat diajukan permohonan kepailitannya oleh kreditur. Hal ini merupakan suatu cara yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk mendapatkan pemenuhan atas haknya berupa pelunasan hutang yang belum terbayarkan oleh debitur.

Syarat yang dicantumkan pasal Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitaan tersebut terlebih lagi pada bagian tidak membayarnya sedikitnya satu utang yang dimiliki debitur kepada kreditur juga menunjukkan bahwa hukum di Indonesia menggunakan standar insolvent kepada perusahaan sebagaimana yang disebutkan pada penjelasan diatas. Hal ini dikarenakan debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan diantara kreditur-kreditur tersebut debitur hanya memiliki utang yang tidak terbayarkan kepada salah satu kreditur saja sehingga dalam hal ini sebenarnya debitur hanya tidak melunasi sebagian kecil dari keseluruhan utang yang dimilikinya.16 Sehingga dalam hal ini sebenarnya debitur masih memiliki kemampuan dalam finansial untuk melunasi seluruh utang kepada kreditur lain namun berdasarkan ketentuan diatas, debitur sudah dapat dinyatakan pailit. Pengaruh lain juga diakibatkan oleh utang yang terlalu luas konsepnya dalam undang-undang ini yang ditentukan pada Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kepailitan bahwa tidak hanya karena tidak membayar utang berdasarkan perjanjian utang piutang tapi juga karena ketentuan undang-undang sehingga selain tidak melakukan prestasi dapat juga dikarenakan adanya segala bentuk wanprestasi dan perbuatan hukum lainnya dapat menggunakan undang-undang ini sebagai permohonan kepailitan.

Lebih lanjut kemudahan diberikan kepada kreditur karena didalam undang-undang kepailitan menggunakan asas pembuktian sederhana yang dapat dilihat pada Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Pasal ini pada intinya menunjukkan bahwa sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan fakta secara sederhana terdapat debitur yang

belum melunasi utangnya maka penting untuk dikabulkan permohonan kepailitan yang telah diajukan. Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Undang-undang Kepailitan memberi keuntungan begitu besar kepada kreditur sehingga dapat dikatakan peraturan perundang-undangan ini memberi perlindungan hukum lebih kepada kreditur dibandingkan debitur.

Berdasarkan hukum kepailitan pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan ditentukan bahwa kepailitan merupakan suatu sita umum atas harta kekayaan milik debitur yang dijadikan jaminan pelunasan atas utang yang ada. Pelaksanaan sita umum atas harta kekayaan tersebut merupakan proses likuidasi aset yang dilaksanakan tanpa memperhatikan apakah perusahaan debitur memiliki kemunduran dalam usahanya atau tanpa memperhatikan prospek perusahaan tersebut. Persyaratan yang mudah dan proses pembuktian sederhana menunjukkan konsep yang digunakan dalam undang-undang kepailitan lebih kepada mempailitkan suatu perusahaan dengan melakukan sita umum atas seluruh aset milik debitur. Hal ini menjadikannya sebagai suatu kelemahan dengan memberikan kemudahan bagi perusahaan kreditur yang ingin menghilangkan perusahaan yang dianggap sebagai penghalang kemajuan usaha milik kreditur melalui lembaga kepailitan. Dengan dilakukannya sita umum tersebut sebagai konsep likuidasi yang mengakibatkan debitur kehilangan segala hak atas harta tersebut maka memudahkan kreditur untuk menjatuhkan perusahaan debitur.

Atas kemudahan pailitnya suatu perusahaan dalam undang-undang kepailitan di Indonesia mengakibatkan adanya persaingan usaha tidak sehat diantara perusahaan. Persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah persaingan yang terjadi diantara para pelaku usaha dengan cara yang dapat menghambat persaingan. Persaingan usaha tidak sehat ini dikarenakan ada satu perusahaan yang ingin menjatuhkan perusahaan lain dengan cara mempailitkan perusahaan tersebut. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa persyaratan kepailitan dalam hukum kepailitan Indonesia memberikan kemudahan bagi kreditur dengan memberikan kewenangan kreditur untuk mengajukan permohonan pailit atas debitur tersebut. Lembaga kepailitan dapat memberikan suatu keadilan apabila dilaksanakan berdasarkan iktikad baik para pihak, namun dalam hal ini pihak kreditur beritikad tidak baik dengan menjadikan lembaga kepailitan sebagai upaya untuk menjatuhkan posisi debitur dalam dunia usaha.17 Sehingga apabila perusahaan kreditur ingin menjatuhkan perusahaan debitur dapat melalui lembaga kepailitan dengan didukung kemudahan-kemudahan yang ditentukan untuk mempailitkan sebuah perusahaan. Hal ini dapat dilihat dengan syarat pengajuan permohonan, dikuti dengan pembuktian sederhana dan tidak adanya pembatasan konsep utang dalam hukum kepailitan memberikan ruang seluas-luasnya kepada kreditur untuk menjadikan kepailitan sebagai alat untuk menjatuhkan debitur.18 Persaingan usaha yang tidak sehat dilakukan melalui lembaga kepailitan dengan cara memposisikan

perusahaan debitur dalam kondisi pailit dapat merugikan perekonomian negara karena berkaitan dengan banyak aspek seperti para pekerja dari perusahaan debitur. Apabila perusahaan debitur dinyatakan pailit tetapi tidak berada dalam keadaan insolvent maka hal ini merugikan negara dan berdampak pada keseimbangan perekonomian negara.

Meskipun undang-undang kepailitan memberikan upaya pembayaran utang yang ditunda, namun opsi tersebut juga belum memberikan perlindungan kepada debitur. Hal ini dikarenakan terbatasnya waktu yang diberikan undang-undang kepada perusahaan debitur dalam melakukan restrukturisasi utang dan perusahannya, juga dalam penundaan tersebut diperlukan adanya proposal perdamaian antara debitur dengan kreditur. Proposal perdamaian tersebut juga membutuhkan persetujuan dari kreditur, dan meskipun pihak kreditur menyetujui perdamaian tersebut belum tentu di Pengadilan Niaga diterima. Putusan pengadilan yang menolak proposal perdamaian tersebut mengakibatkan perusahaan debitur langsung jatuh dalam posisi pailit. Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang kepailitan memang memberi ruang adanya persaingan usaha dengan cara yang tidak sehat diantara perusahaan-perusahaan yang terdapat di Indonesia.

  • 3.2    Upaya Penyelesaian Terhadap Persaingan Usaha Tidak Sehat Akibat Konsep Likuidasi Dalam Undang-Undang Kepailitan

Undang-undang kepailitan yang ada di Indonesia memiliki konsep yang tidak memberikan kepastian hukum kepada pihak debitur disebabkan belum adanya keadilan didalam undang-undang tersebut. Menurut Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa sebuah kepastian hukum itu terdapat dua pengertian, yaitu bahwa dengan adanya aturan hukum maka masyarakat dapat memahami hal apa saja yang dapat dilakukan atau tidak. Pengertian kedua bahwa melalui suatu peraturan hukum maka akan jelas masyarakat mengetahui perihal apa saja yang dapat dibebankan oleh negara kepada masyarakat dan dalam hal ini untuk menghindari penyelewenangan kekuasaan oleh pemerintah.19 Hal ini menunjukkan bahwa suatu kepastian dalam hukum merupakan bentuk perlindungan atas tindakan yang dapat merugikan masyarakat sehingga akan terjadi suatu ketertiban hukum didalam masyarakat.20 Kepastian didalam suatu hukum merupakan satu kesatuan karena apabila didalam hukum tidak ada suatu kepastian maka hukum itu tidak dapat berfungsi dengan baik karena tidak mampu menjadi suatu pedoman perilaku didalam masyarakat.

Pembentukan peraturan perundang-undangan dihadirkan tidak lain melihat pada tujuan pembentukan hukum. Tujuan utama adanya undang-undang untuk memberikan kepastian hukum berupa keadilan dan rasa kemanfaatan kepada masyarakat atas undang-undang tersebut. Begitupula dalam pembentukan undang-undang kepailitan seharusnya dapat menjadi landasan hukum yang memberi kepastian hukum kepada masyarakat Indonesia yang mengalami permasalahan terkait dengan kepailitan. Undang-undang kepailitan ini diharapkan memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi diantara debitur dengan kreditur sehingga sepantasnya

undang-undang memberikan rasa keadilan kepada para pihak. Namun undang-undang kepailitan yang ada di Indonesia belum menghadirkan kepastian hukum tersebut. Hal ini dikarenakan undang-undang yang ada sudah jauh dari konsep kepailitan yang sebenarnya dengan menjadikan likuidasi aset perusahaan sebagai ultimum remidium atau dengan kata lain menjadikan likuidasi sebagai satu-satunya upaya yang dapat diambil dalam kepailitan sehingga nampak berusaha untuk mempailitkan perusahaan bukan mengatasi permasalahan dalam perusahaan tersebut.

Konsep yang diterapkan dalam undang-undang kepailitan yaitu likuidasi mengakibatkan adanya persaingan usaha tidak sehat yang diperbuat oleh perusahaan untuk menjatuhkan perusahaan lain dengan cara mempailitkan perusahaan tersebut. Perusahaan yang dipailitkan umumnya adalah perusahaan yang sebenarnya memiliki kondisi keuangan yang sehat dan mampu untuk membayar utangnya kepada kreditur, namun karena terdapat satu utang yang belum terlunasi maka perusahaan tersebut bisa dinyatakan pailit. Pailitnya suatu perusahaan diikuti dengan penyitaan atas aset perusahaan debitur untuk kemudian dilakukan pelelangan dan hasilnya dibagikan diantara para kreditur membuat sebuah perusahaan kehilangan aset-aset yang dimiliki perusahaan tersebut. Penyitaan aset tersebut didasari pada syarat-syarat dalam undang-undang kepailitan yang memberikan kemudahan bagi kreditur untuk mempailitkan sebuah perusahaan. Oleh karena itu ketentuan sita umum dalam undang-undang kepailitan sudah sepantasnya untuk diubah.

Perubahan diperlukan terhadap konsep likuidasi yang ada didalam undang-undang kepailitan disebabkan konsep ini mengutamakan pada pailitnya suatu perusahaan tanpa melakukan pengujian berupa insolvency test untuk melihat apakah kondisi perusahaan debitur memang dalam keadaan tidak mampu membayar dikarenakan jumlah utangnya yang dimiliki lebih besar daripada jumlah aset yang dimiliki. Berdasarkan Forum for Asia Insolvency Reform atau FAIR, konsep likuidasi sudah sepantasnya untuk ditinggalkan, karena untuk mengatasi permasalahan utang piutang antara debitur dengan kreditur tidak selalu berorientasi pada pailitnya sebuah perusahaan debitur terutama apabila perusahaan tersebut memiliki kondisi keuangan yang baik.21 Pailitnya perusahaan yang sebenarnya masih bisa diselamatkan berdampak sangat besar terhadap pihak luar yang berhubungan dengan perusahaan tersebut atau pihak stake holder seperti pekerja dalam perusahaan. Apabila perusahaan tersebut pailit maka akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya dan memiliki pengaruh pada perekonomian Indonesia.

Salah satu konsep kepailitan yang saat ini digunakan dalam banyak negara adalah konsep Corporate Rescue. Konsep ini bertujuan untuk menyelamatkan perusahaan debitur agar tetap dapat melanjutkan usahanya dan melunasi utang-utangnya. Salah satunya adalah Negara Amerika yang melahirkan sebuah pemikiran bahwa kesulitan yang dialami oleh debitur terkait permasalahan keuangan dalam perusahaannya seharusnya dibantu bukan dengan melakukan likuidasi aset yang berujung pada hentinya perusahaan tersebut.22 Upaya yang perlu untuk dilakukan untuk mengatasi kepailitan perusahaan melalui cara melakukan reorganisasi perusahaan.

Reorganisasi perusahaan diperlukan agar perusahaan mampu membayar utangnya kembali yang dapat dilakukan dengan restrukturisasi utang.23 Dengan adanya restrukturisasi utang maka pihak kreditur akan memahami kondisi yang menyebabkan tidak dibayarnya utang debitur setelah jatuh tempo apakah permanen atau hanya sementara.24 Meskipun undang-undang kepailitan memberikan upaya penundaan pembayaran utang dengan melakukan restrukturisasi utang namun dalam prosesnya masih merugikan debitur dengan masa waktu yang sangat cepat yaitu hanya 270 hari atau maksimal selama sembilan bulan. Hal ini dirasa sangat terlalu cepat bagi sebuah perusahaan untuk dapat melakukan penyusunan skema pembayaran utang terhadap kreditur. Sehingga pemerintah dapat melakukan penambahan masa waktu penundaan pembayaran utang untuk dapat memberikan waktu bagi perusahaan diikuti dengan adanya iktikad baik perusahaan maka tentu kepailitan akan terhindarkan. Restrukturiasasi utang yang dilakukan oleh debitur juga menunjukkan bahwa sebenarnya perusahaan debitur masih memiliki sejumlah aset yang apabila dihitung serta dijumlahkan jauh lebih besar dibandingkan jumlah utangnya terhadap kreditur.25

Corporate Rescue juga perlu didukung dengan pembaharuan syarat-syarat pengajuan permohonan kepailitan dalam undang-undang kepailitan. Salah satu syarat yang perlu diubah adalah syarat adanya minimal satu utang yang belum dilunasi oleh debitur. Syarat ini terlalu cepat untuk dijadikan syarat kepailitan suatu perusahaan, dikarenakan satu utang yang belum dibayarkan oleh debitur tidak dapat dijadikan alasan bahwa debitur tersebut tidak mampu untuk melunasi utang-utang yang ada. Pada syarat ini tidak memperhatikan apakah utang kepada kreditur yang lain telah jatuh tempo atau tidak tapi asalkan ada utang pada salah satu kreditur saja sudah jatuh tempo dan tidak dibayarkan maka perusahaan tersebut dinyatakan pailit. Oleh karena itu perlu adanya perubahan pada syarat tersebut dan adanya perubahan pada sistem pembuktian sederhana dalam undang-undang kepailitan di Indonesia. Dengan perubahan pembuktian sederhana tersebut maka otomatis, pengadilan akan meneliti lebih seksama kondisi keuangan perusahaan milik debitur sehingga dapat diketahui secara pasti apa yang menjadi dasar tidak dibayarnya utang tersebut. Selain itu juga akan diketahui kemampuan perusahaan dalam membayar utangnya dihitung dari aset yang dimiliki perusahaan tersebut dibandingkan utang yang dimiliki. Hal ini bertujuan melindungi perusahaan yang solvent secara sementara.

Dengan perubahan-perubahan yang dirasa perlu untuk dilakukan pada undang-undang kepailitan akan memberikan kemanfaatan dari peraturan tersebut kepada masyarakat terutama pada sektor perekonomian. Apabila perubahan tersebut dilaksanakan maka dapat melindungi perusahaan-perusahaan yang masih dapat beroperasi dengan baik dan dapat diselamatkan dari kepailitan. Pengaturan yang lebih spesifik dalam syarat kepailitan akan menghindarkan perusahaan-perusahaan solvable dari kepailitan. Oleh karena adanya syarat yang lebih spesifik dan rumit untuk

menjatuhkan kepailitan kepada suatu perusahaan, akan menghindarkan adanya persaingan usaha tidak sehat. Hal ini memberi harapan bahwa lembaga kepailitan kembali kepada tujuan pembuatannya bukan sebagai lembaga untuk menjatuhkan atau mempailitkan perusahaan melainkan untuk menghadirkan solusi atas permasalahan yang ada dengan menjamin keadilan diantara pihak debitur maupun pihak kreditur. Berdasarkan teori keadilan hukum (Legal Justice Theory) bahwa suatu hukum harus dilaksanakan secara pasti tanpa membedakan atau memihak kepada salah satu pihak saja sehingga masyarakat mendapatkan keadilan melalui hukum atas permasalahan yang ada.26 Maka undang-undang  kepailitan  hendaknya

mengedepankan keadilan dengan merumuskan aturan hukum yang memberikan perlindungan tidak hanya kepada kreditur tetapi juga kepada debitur. Hal ini perlu dilakukan agar kreditur tetap mendapatkan pemenuhan atas utang yang belum dibayar tanpa mempailitkan suatu perusahaan yang solven agar tidak merugikan pihak debitur. Adanya keadilan hukum didalam undang-undang kepailitan akan mengurangi persaingan usaha tidak sehat diantara kreditur dan debitur karena adanya keseimbangan peraturan dengan tidak mudahnya debitur solven untuk dinyatakan pailit.

  • 4.    Kesimpulan

Undang-undang kepailitan memiliki konsep likuidasi aset perusahaan yang tidak didukung oleh adanya insolvency test untuk menentukan apakah perusahaan berada dalam kondisi kesulitan keuangan atau tidak. Adanya kemudahan dalam syarat pengajuan kepailitan menjadikan lembaga kepailitan sebagai wadah persaingan usaha tidak sehat diantara perusahaan yang ada. Hal ini disebabkan perusahaan dapat menjatuhkan perusahaan lain dalam keadaan pailit dengan mudah tanpa memperhatikan kondisi keuangan dari perusahaan tersebut. Mengatasi permasalahan tersebut perlu diadakan perubahan yang mendalam pada undang-undang kepailitan di Indonesia yakni menggunakan konsep Corporate Rescue dengan didukung adanya persyaratan pengajuan permohonan kepailitan dengan tidak menjadikan likuidasi sebagai ultimum remidium. Perubahan tersebut dengan memperhatikan keadilan yang akan didapatkan antar para pihak, baik itu pihak debitur maupun kreditur. Dengan adanya perubahan-perubahan pada undang-undang kepailitan akan menjauhkan perusahaan yang masih solven dari kepailitan sehingga tidak adanya persaingan usaha tidak sehat diantara kreditur dengan debitur.

Daftar Pustaka

Buku :

Aprita, S. (2019). Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Menggunakan Uji Insolvensi: Upaya Mewujudkan Perlindungan Hukum Berbasis Keadilan Restrukturitatif Bagi Debitor Pailit dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan. Jawa Timur: Pustaka Abadi

Atmadja, I.D.G & Budiartha, I.N.P.. (2018). Teori-Teori Hukum. Malang: Setara Press

Christiawan, R.. (2020). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Depok: Rajagrafindo Persada

Ginting, E.R.. (2018). Hukum Kepailitan Teori Kepailitan. Jakarta Timur: Sinar Grafika

Is, M.S.. (2022). Hukum Perusahaan di Indonesia. Jakarta: Kencana

Marzuki, P.E. (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:Kencana

Subhan, M.H.. (2023). Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana

Jurnal Ilmiah :

Alka, R. (2022). Insolvensi Tes Sebagai Dasar Permohonan Pailit Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Jurnal Gloria Justitia,  2(2),  181-193. DOI:

https://doi.org/10.25170/gloriajustitia.v2i2.3900

Andai, D.. (2022). Perlindungan Hukum Kepailitan Perusahaan Solvable di Indonesia. Jurnal Kajian Hukum, 7(1), 76-91. DOI: https://doi.org/10.37159/kh.v7i1.2

Asra. (2015). Corporate Rescue: Key Concept dalam Kepailitan Korporasi. Jurnal Hukum      Ius      Quia      Iustum,      22(4),      513-537.      DOI:

https://doi.org/10.20885/iustum.vol22.iss4.art1

Genta,I.N.Y.D. & Suyatna, I. N.. (2020). Penerapan Konsep Going Concern Bagi

Perseroan Terbatas Yang Telah Dinyatakan Pailit. Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, 5(2), 252-260. DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i02.p04

Hariyadi,H.. (2020). Restrukturisasi Utang Sebagai Upaya Pencegahan Kepailitan Pada Perseroan Terbatas. SIGn Jurnal   Hukum,   1(2),   119-135. DOI:

https://doi.org/10.37276/sjh.v1i2.61

Moho, H. (2019). Penegakan Hukum Di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan. Jurnal Warta Dharmawangsa, 13(1), 1-13. DOI:

https://doi.org/10.46576/wdw.v0i59.349

Hutabarat, I.R. (2022). Analisis Yuridis Permohonan Pailit PT. Bina Karya Sarana Oleh Kreditur (Studi Putusan No.6/Pdt.Sus-Pailit/2018/PN.Niaga.Medan). Arbiter: Jurnal Ilmiah Magister Hukum, 4(1), 79-90. DOI: 10.31289/arbiter/v4il.1206

Kautsar, I.A. & Muhammad, D.W.. (2020). Urgensi Pembaharuan Asas-Asas Hukum Pada Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Berdasarkan Teori Keadilan Distributif.    Jurnal    Panorama    Hukum,    5(2),    182-192.    DOI:

https://doi.org/10.21067/jph.v5i2.4529

Moho. H. (2019). Penegakan Hukum Di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan. Jurnal Warta Dharmawangsa, 13(1), 1-13. DOI:

https://doi.org/10.46576/wdw.v0i59.349

Sinaga,N.A. & Sulisrudatin, N.. (2016). Hukum Kepailitan dan Permasalahannya di Indonesia. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, 7(1), 158-137. DOI: https://doi.org/10.35968/jh.v7i1.129

Sitompul, N.A.. (2021). Konsep Corporate Rescue Dalam Hukum Kepailitan di

Indonesia.     Tanjungpura     Law     Journal,     5(1),     38-52.     DOI:

http://dx.doi.org/10.26418/tlj.v5i1.43604

Surjanto, D..  (2018). Urgensi Pengaturan Syarat Insolvensi Dalam Undang-Undang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Acta Comitas, Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(2), 258-268. DOI: 10.24843/AC.2018.v03.i02.p03

Online/ World Wide Web:

Suliantoro, A., & Andraini, F. (2019). Penataan Ulang Paradigma Normatif Hukum Kepailitan Seiring Tingginya Bonus Demografi Di Indonesia. Proceeding SENDI_U,               758-763.               Diambil               dari

https://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/sendi_u/article/view/7282     ,

(diakses pada 12 Juli 2023)

KBBI Daring. Pailit. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pailit (diakses pada 1 Mei 2023)

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443)

298