Vol. 8 No. 02 Agustus 2023

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Akta Notaris Yang Dibuat Dengan Bahasa Asing Tidak Diterjemah Oleh Penerjemah Resmi

Made Angga Bagaskara1, I Wayan Novy Purwanto 2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : anggabagaskara1512@gmail.com 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : novypurwanto17@gmail.com

Info Artikel

Masuk : 27 Maret 2023

Diterima : 23 Juli 2023

Terbit : 28 Agustus 2023

Keywords :

Notary Deed; Foreign Language; Official Translator;


Kata kunci:

Akta Notaris; Bahasa Asing; Penerjemah Resmi;

Corresponding Author:

Made Angga Bagaskara, Email:

anggabagaskara1512@gmail.com

DOI :

10.24843/AC.2023.v08.i02.p8


Abstract

This research aims to describe regarding the Notary is required to translate the deed he made considering that the Notary is not an official sworn translator and the power of the Notary's deed done in a foreign language but not translated by an official translator. The author's writing method uses normative law due to the absence of norms. Research writing includes using primary legal sources to analyze the Notary Office Act and secondary legal sources using scientific literature. Legislative, conceptual and case approaches. The results of the author's research reveal that the Notary's obligation to translate the deed he made considering that the Notary is not an official sworn translator is indeed a void of norms, even though Article 43 paragraph (2) requires a Notary to translate the deed. Unlike the case with official translators because official translators are people who have been officially sworn in to be able to carry out work in translating deeds, even though a Notary before carrying out his position a Notary must indeed be sworn in but not as an official translator. An authentic deed that is not translated by an official translator who is not sworn in, this causes the deed to be degraded as an authentic deed which has proof as an underhanded deed.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman terkait Notaris diwajibkan menerjemahkan akta yang dibuatnya mengingat Notaris bukan penerjemah resmi yang tersumpah serta kekuatan akta Notaris yang dikerjakan menggunakan Bahasa Asing tetapi tidak diterjemah penerjemah resmi. Metode penulisan penulis memakai hukum normatif disebabkan muncul kekosongan norma. Penulisan penelitian memuat mengggunakan sumber hukum primer menganalisa Undang-Undang Jabatan Notaris serta sumber hukum sekuder memakai literatur karya ilmiah. Pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Hasil penelitian penulis mengungkapkan bahwa kewajiban Notaris menerjemahkan akta yang dibuatnya mengingat Notaris bukan penerjemah resmi yang tersumpah memang menjadi kekosongan norma, walaupun Pasal 43 ayat (2) mewajibkan Notaris untuk menerjemah akta. Berbeda halnya dengan penerjemah resmi sebab penerjemah resmi ialah orang yang telah resmi disumpah untuk dapat menjalakan pekerjaan dalam menerjemah akta, walaupun Notaris sebelum menjalakan jabatannya Notaris memang wajib disumpah tetapi bukan

sebagai penerjemah resmi. Akta otentik yang tidak diterjemah oleh penerjemah resmi yang tidak disumpah, ini menyebabkan akta terdegradasi sebagai akta otentik yang mempunyai pembuktian sebagai akta bawah tangan.

  • I.    Pendahuluan

Indonesia sangat berpegangan teguh terhadap hukum sekalipun hukum tidak terlepaskan pada kehidupan masyarakat berkenaan dengan hal tersebut pasti setiap orang akan terikat pada hukum Indonesia. Salah satu jabatan yang kaitannya erat terhadap hukum yakni Notaris. Jabatan Notaris memiliki kewenangan yang penuh terhadap pembuatan akta otentik. Menunjuk Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Jabatan Notaris (UU JNP) menentukan bahwa “Notaris ialah pejabat umum serta mempunyai kewenangan untuk mengerjakan akta otentik dan kewenangan lain yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris maupun Undang-Undang lain”. Jabatan Notaris ini sangat berfungsi dan diperlukan oleh publik guna dapat dibuatkan sebuah akta yakni akta otentik.1

Makna dari akta otentik berdasar hukum pada Pasal 1 angka 7 UU JNP menentukan bahwa akta otentik dibuat dan atau dihadapan Notaris dengan bentuk serta prosedur yang telah ditetapkan dalam UU. Selain berpedoman terhadap UU JNP akta otentik juga ditetapkan oleh Pasal 1868 KUH Perdata menentukan bahwa akta otentik yakni akta yang dibuat dalam pedoman yang ditentukan UU oleh atau akan hadir kepada pejabat umum yang mempunyai kewenangan akta tersebut dibuat. Hal ini dapat merujuk bahwa akta notaris guna dapat menjadi alat pembuktian hukum sempurna.2 Namun melihat otentitas pada akta otentik bukanlah hanya dinilai dari dibuat untuk hadir ke hadapan Notaris, tetapi merujuk pembuatan akta otentik ini wajib melalui sifat dan prosedur tatanan sesuai yang telah ditetapkan UU JNP. 3

Pada jabatan Notaris Sjaifurrachman memberikan pemaknaan bahwasannya peraturan pemberlakuan terkait dengan jabatan Notaris yang dimaksud ialah merupakan pejabat umum.4 Berhubungan dengan hal tersebut diatas bahwa Jabatan Notaris dalam kekuasaannya untuk pembuatan akta otentik harus berpegang teguh terhadap seluruh aturan tertulis yakni pada setiap UU. Akta otentik dikerjakan Notaris, jika tidak terpenuhi kriteria kentuan-ketentuan tidaklah bisa untuk dapat di anggap menjadi suatu akta otentik karena hal tersebut telah melalaikan dari aturan UU JNP.5

Selain hak yang dimiliki Notaris pada pembuatan akta otentik, Notaris juga memiliki kewajiban pada tugas dan jabatannya yang seluruhnya telah dikemukakan Pasal 16 UU JNP. Lebih rinci lagi Pasal 16 UU JNP ayat (1) huruf m menentukan bahwa akta akan dibacakan atas hadirnya para pihak kepada Notaris dengan minimal dua saksi serta harus di tandatangani setelah Notaris membacakan akta. Ditandatanganinya akta tersebut oleh para pihak yang memiliki kepentingan, Notaris serta saksi yang menyaksikan pembacaan akta. Pasal 16 ayat (1) huruf m ini memberikan pemahaman bahwa pembacaan dalam penyampaian akta otentik ini guna para penghadap dapat mengetaui dan memahami isi dari akta otentik tersebut.

Tidak menutup kemungkinan terhadap antara para pihak untuk tidak dapat memahami isi dari akta otentik tersebut karena akta tersebut menggunakan Bahasa Indonesia yang sulit dipahami, karena jika dilihat apabila Notaris mendapatkan klien dari penduduk luar Indonesia atau klien Asing dapat dipastikan orang tersebut akan sulit memahami pembacaan akta yang dibacakan oleh Notaris dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Berkenaan dengan hal ini maka jika merujuk Pasal 43 ayat (1) UU JNP telah menjelaskan bahwa dalam pembuatan akta diharuskan dengan Bahasa Indonesia. Namun jika merujuk pada Pasal 43 ayat (2) menetapkan bahwa apabila para penghadap yang hadir tidak bisa memahami Bahasa yang dipakai dalam akta, maka akta tersebut dapat diterjemah dengan Bahasa yang bisa dimengerti para penghadap. Setelah penjelasan tersebut Pasal 43 ayat (5) memberikan penjelasan jika Notaris tidak dapat memahami Bahasa yang diinginkan atau dimengerti para pihak dapat diterjemah oleh seorang penerjemah resmi yang disumpah.

Beberapa kriteria serta ketentuan yang patut ditempuh oleh seorang penerjemah tidaklah mudah, agar dapat menjadi penerjemah yang tersumpah dan menjadi penerjemah resmi dari hal ini dapat diartikan bahwa tidak semata-mata semua mampu menerjemahkan Bahasa disebut penerjemah yang resmi disumpah.6 Penerjemah Bahasa yang resmi diwajibkan untuk menempuh ujian hingga lulus. Tidak itu saja tetapi juga penerjemah resmi akan diangkat serta nantinya disumpah oleh Kementrian Hak Asasi Manusia serta terdaftar dalam bidang hukum hingga mendapat sebutan penerjemah yang resmi atau penerjemah yang tersumpah.

Dalam hal ini UU JNP sama sekali tidak menerangkan dengan penjelasan yang tetap jika Notaris dapat menterjemahkan akta itu padahal Notaris bukanlah penerjemah resmi yang tersumpah walaupun Pasal 43 ayat (2) telah mewajibkan Notaris untuk menerjemah akta dan akta otentik yang dibuat dengan Bahasa Asing tetapi diterjemah oleh penerjemah yang tidak resmi sehingga permasalahan ini menjadi sebuah kekosongan norma pada UU JNP. Padahal dari pembuatan akta otentik ini Notaris harus memahami betul terhadap apa yang akan dibuatnya, karena hal ini bukan semata-mata untuk mendapatkan uang jasa Notaris tetapi akan berpengaruh terhadap jabatan Notaris itu sendiri.

Berangkat dari uraian persoalan tersebut diatas sehingga penulis mengangkat permasalahan mengenai pertama mengapa Notaris diwajibkan menerjemahkan akta

yang dibuatnya mengingat Notaris bukan penerjemah resmi yang tersumpah serta kedua bagaimanakah kekuatan akta Notaris yang dikerjakan menggunakan Bahasa Asing tetapi tidak diterjemah penerjemah resmi. Penelitian ini dapat ditujukan guna memberikan pemahaman persepsi terakit Notaris diwajibkan menerjemah akta yang dibuatnya mengingat Notaris bukan penerjemah resmi yang tersumpah dan kekuatan akta Notaris yang dikerjakan menggunakan Bahasa Asing tetapi tidak diterjemah penerjemah resmi.

Berkenaan dengan orisinalitas penelitian guna bersangkut menjadi refrensi penulis pada persoalan masalah yang serupa. Jafar Sidik melalui judul penelitian “Peningkatan Pemahaman Bahasa Asing pada Perjanjian Akta Notaril Bagi Anggota Ikatan Notaris Indonesia Kabupaten Bandung”, penelitian ini menguraikan persoalan dalam pengaturan, peranan serta tanggung jawab Notaris mengenai penggunaan Bahasa Asing Akta Notaris.7 Untuk selanjutnya oleh Made Dita Widyantari melalui judul “Fungsi & Kedudukan Penerjemah Tersumpah dalam Pembuatan Akta Notaris” penelitian ini menguraikan persoalan terkait dengan analisa fungsi serta kedudukan jasa penerjemah.8 Hasil penelitian singkat dari state of art menunjukkan penggunaan Bahasa Asing yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku menyebabkan batal demi hukum akta tersebut.

Bertepatan mengenai uraian pada penelitian yang sudah terpaparkan sebelumnya dari latar belakang serta merujuk pada state of art dapat dipahami adanya pembeda dalam kajian penelitian. Adanya penelitian ini terdapat urgensi dan kebaruhan dalam gagasan hukum mengenai pengunaan Bahasa Asing dalam akta Notaris serta tidak diterjemah oleh penerjemah resmi sehingga untuk kedepannya Notaris bisa menjalankan jabatan dengan amanah sesuai aturan yang berlaku dan terhindar dari persoalan masalah.

  • 2.    Metode Penelitian

Terkait metode penelitian penulis yang dikenakan ialah hukum normatif berangkat adanya suatu kekosongan norma.9 Kekosongan norma ini terjadi akibat tidak ada aturan yang mengatur Notaris diwajibkan menerjemahkan akta yang dibuatnya mengingat Notaris bukan penerjemah resmi yang tersumpah. Sumber penelitian terbagi menjadi sumber hukum primer dan sekunder.10 Pendekatan penelitian ini dengan pendekatan perundang-undangan,pendekatan konseptual serta pendekatakan kasus. Pada sumber hukum primer meneliti UU JNP serta sumber hukum sekunder mengamati dari karya ilmiah serta daftar bacaan kepustakaan. Penulisan penelitian ini menunjuk aturan perundang-undangan berdasar UU JNP terhadap Bahasa Asing akta Notaris. Teknik penelitian penulisan yakni memakai teknik studi dokumen beserta

teknik pengumpulan bahan hukum lalu kemudian dapat dianalisis permasalahan hukum tersebut melalui pemikiran yang deduktif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Kewajiban Notaris Menerjemahkan Akta Yang Dibuatnya Mengingat Notaris Bukan Penerjemah Resmi Yang Tersumpah

Definisi akta yakni dokumen bukti tanda yang berisikan seprti keputusan, pengakuan serta keterangan mengenai peristiwa hukum yang berpedoman pada peraturan UU JNP. Merujuk pada kedudukan akta otentik yakni harus dikerjakan dan atau hadir di pejabat resmi, akta dibuat dengan sifat serta prosedur tatanan yang resmi diatur UU serta dihadapan pejabat yang mempunyai kewenangan dalam pengerjaan akta tersebut.11

Akta otentik benar-benar merupakan alat bukti sempurna dalam implementasinya akan tetapi hal tersebut bisa menjadi terdegradasi sebagai akta dibawah tangan jika Notaris tidak menjalankan sesuai dengan UU JNP. Hilangnya otensitas akta ini dapat melahirkan dampak yang berimbas pada pihak yang memiliki kepentingan didalamnya.12

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan menentukan bahwa Bahasa negara Indonesia menggunakan Bahasa resmi kebangsaan yang wajib dipakai oleh seluruh Negara Indonesia. Lalu jika merujuk pada Pasal 1 angka 7 menentukan bahwa Bahasa Asing ialah Bahasa yang bukan Bahasa Indonesia atau dapat menjadi Bahasa daerah.

Bahasa hukum menggunakan Bahasa Indonesia dalam hal ini yang dipergunakan pada bidang hukum, dalam hukum Indonesia harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Bahasa Indonesia. Merujuk pada literatur Bahasa Indonesia merupakan bagian dari Bahasa umum Indonesia yang mencangkup pada masyarakat Indonesia serta pelaksanaannya di akui oleh UU.13

Berkenaan dengan sumber hukum formil dan materil memiliki pemaknaan yang berbeda. Pada hukum formil memberikan definisi sumber hukum yang diketahui karena bentuk hukum berlaku secara umum, sedangkan berkenaan pada hukum materil memberikan definisi aspek-aspek masyarakat yang memberikan konsekuensi formasi hukum dari kaidah-kaidah hukum.14

Seperti kasus yang berawal dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor : 299/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST membuat akta perjanjian dengan bahasa Inggris yang telah disepakati kedua pihak namun terdapat penafsiran berbeda dalam perjanjian tersebut. Amar putusan menerangkan perjanjian itu menjadi terlarang sebab Bahasa yang digunakan telah melanggar syarat formil, sehingga PN menyatakan akta tersebut berasal dari akta bawah tangan.15 Mengacu pada kasus ini, sudah sangat jelas sekali bahwa dalam pengikatan akta Notaris wajib dengan Bahasa Indonesia dan diterjemah oleh alih Bahasa resmi yang tersumpah, mengingat ini merupakan dokumen penting sebagai tanda bukti yang sempurna bila dibuat dengan prosedur yang sesuai UU JNP.

Berkenaan pada Pasal 43 UU JNP menentukan bahwa :

  • 1.    “Akta wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia;

  • 2.    Dalam hal penghadap tidak mengerti Bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan / menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang di mengerti oleh penghadap;

  • 3.    Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa Asing;

  • 4.    Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib menerjemahkannnya kedalam Bahasa Indonesia;

  • 5. Apabila Notaris tidak dapat menterjemahkan atau menjelaskannya, akta

tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi;

  • 6. Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi akta sebagaimana

dimaksud ayat (2), maka yang digunakan adalah akta yang dibuat dengan bahasa Indonesia”.

Dapat dijelaskan bahwa pemakaian Bahasa Indonesia dalam membuat akta otentik ialah sebuah keharusan dan atau diwajibkan guna menjadi kriteria dalam pembuatan akta otentik. Jika tidak sesuai pedoman UU JNP akan menyebabkan terimplikasi tidak dapat terlasanakannya syarat formil akta otentik serta terhadap kedudukan pada akta tersebut mengakibatkan akan dapat dibatalkan.

Jika Notaris mendapatkan klien yang ingin membuat akta dengan Bahasa Asing maka Notaris wajib memberikan pemahaman sesuai dengan pedoman UU JNP supaya akta yang dibuatnya memberikan keamanan, perlindungan serta kepastian hukum untuk Notaris dan tentunya bagi para pihak. Pembuatan akta dengan Bahasa Asing sebenarnya diperbolehkan akan tetapi ada beberapa syarat yang wajib terpenuhi jika melihat Pasal 43 ayat (3) UU JNP.16 Melihat secara normatif terkait akta Notaris pada minuta akta dan salinan akta haruslah dikerjakan dengan Bahasa Indonesia karena ini merupakan suatu aspek formil dari akta dan apabila tidak membuat dengan Bahasa yang telah ditetapkan maka akan mempengaruhi pengingakaran terhadap perspektif formil.

Merujuk pada Pasal 1320 KUH Perdata wajib memiliki kriteria subjektif dan objektif. Alih Bahasa dari Bahasa resmi nasional Indonesia ke Bahasa Asing akta otentik yang tergolong pada kaidah dalam memiliki kebebasan berkontrak berdasar pada Pasal

1338 KUH Perdata sehingga klien bisa memilih Bahasa yang didapat guna mudah dipahami para pihak serta Notaris dalam pengerjaan akta dalam mengkehendaki layanan ke seorang penerjemah yang resmi.

Secara umum keabsahan akta otentik tidak bisa dikerjakan dengan Bahasa Asing, sebab merujuk Pasal 43 ayat (1) mentapkan akta harus dimuat menggunakan Bahasa Indonesia. Disamping hal itu akta otentik harus wajib menggunakan Bahasa resmi yakni Bahasa Indonesia yang secara penting guna dapat memenuhi syarat formil dari suatu akta otentik. Sehingga jika para pihak ingin dikerjakan dengan Bahasa Asing demikian akta tersebut dapat diterjemah penerjemah resmi tersumpah akan tetapi akta yang dapat diterjemah adalah bahan dari setalah adanya salinan akta serta pada minuta akta harus tetap memakai Bahasa Indonesia.

Dikaitkan dengan Konsep negara hukum (the rule of law / rechtsstaat) yakni melangsungkan Negara didasarkan atas hukum, setiap tindakan pada Negara harus tunduk pada hukum yang berlaku. Menelaah konsep tersebut di Indonesia ini juga berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Pancasila menjadi sumber materil dengan perumusan sebuah negara Indonesia menjadi cara pandang terhadap nilai teguh oleh Bangsa, sebaliknya UUD 1945 menjadi sumber formil dan memerankan proses dalam perumusan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban Notaris menerjemahkan akta yang dibuatnya mengingat Notaris bukan penerjemah resmi yang tersumpah memang menjadi kekosongan norma, walaupun Pasal 43 ayat (2) UU JNP mewajibkan Notaris untuk menterjemah akta, di sisi lain tak ada juga yang memberikan penjelasan mengapa hal tersebut diwajibkan. Berbeda halnya degan penerjemah resmi sebab penerjemah resmi ialah orang yang telah resmi disumpah untuk dapat menjalankan pekerjaan dalam menterjemah akta, walaupun Notaris sebelum menjalakan jabatannya Notaris memang wajib disumpah akan tetapi ini merukapan sumpah Jabatan Notaris yang diatur pada Pasal 4 ayat (2) UU JNP bukan merupakan sumpah untuk dapat menjadi penerjemah resmi.

  • 3.2    Kekuatan Akta Notaris Dikerjakan Menggunakan Bahasa Asing Tetapi Tidak

    Diterjemah Penerjemah Resmi

Ketentuan hukum terkait penerjemah resmi telah ditetapkan pada Pasal 43 ayat (5) UU JNP penjelasan jika Notaris tidak dapat memahami Bahasa yang diinginkan atau dimengerti para pihak dapat diterjemah oleh seorang penerjemah resmi yang disumpah. Dalam hal ini penerjemah resmi yang ditunjuk ialah seorang penerjemah yang telah disumpah serta memiliki sertifikasi dan terdaftar resmi. Seorang penerjemah yang resmi tersumpah memerlukan keilmuan khusus dalam menjalankan pekerjaannya serta mempunyai responsibilitas besar terhadap kualitas dan akurat dari hasil terjemahnnya.17

Berkenaan Pasal 1 angka 1 Permenkumham No 4 tahun 2019 menetapkah bahwa orang yang memiliki profesi guna bisa menghasilkan alih Bahasa, diresmikan oleh anggota

kabinet serta diakui pada kementrian yang mengatur dalam bidang hukum tersebut. Serta jika merujuk pada Pasal 4 ayat (1) menentukan bahawa agar bisa diresmikan guna dapat menjadi seorang alih Bahasa tersumpah maka wajib mengikuti kriteria berikut :

  • 1.    memiliki kesadaran takwa terhadap Tuhan

  • 2.    asli warga negara Indonesia

  • 3.    berkomitmen terhadap UUD 1945

  • 4.    bertempat tinggal di kesatuan negara Indonesia

  • 5.    sehat secara lahir dan batin

  • 6.    mengikuti ujian hingga lulus kompetensi alih bahasa yang dilaksanakan oleh lembaga yang diakui

  • 7.    memiliki surat kelakuan baik serta tidak pernah menjadi narapidana

  • 8.    tidak boleh merangkap jabat seperti pejabat, pegawai negeri serta advokat.

Melihat kriteria untuk menjadi seorang penerjemah tersumpah tidaklah mudah, penerjemah resmi yang tersumpah juga membutuhkan kepastian hukum. Penerjemah resmipun mempunyai organisasi yang dinamai Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) yang berdiri 5 Februari 1974 serta mempunyai kaidah profesi guna dapat menjadi sebagai acuan dalam melakukan tugasnya. Tidak hanya itu saja penerjemah resmi juga mempunyai kaidah profesi alih Bahasa yakni Kongres XI HPI di Jakarta pada 30 November 2013. Pada kode etik Penerjemah mengatur tentang penjelasan, itikad penerjemah serta sanksi. Itikad dari penerjemah guna untuk perbuatan yang melanggar kode etik akan dikenakan hukum seperti teguran lisan, pembekuan anggota sampai dengan cara tidak hormat yang akan dilakukan boleh HPI.

Surat dokumen mengenai komplikasi hukum memberikan kriteria bahwa dalam terjemahan harus dikerjakan oleh alih Bahasa yang tersumpah, sama halnya terkait dengan pembuatan akta Notaris, yang dapat dipergunakan selaku alat bukti memiliki kuantitas keotentitkannya selama-lamanya bahkan hingga Notaris yang mengerjakan akta tersebut sampai tutup usia. Terkait hal ini jelas sekali bahwasannya seorang Notaris wajib mengupayakan jabatan Notarisnya dapat dijalannya sebaik-baiknya.

Karakter menerjemahkan akta diperhitungkan dari pemakaian kata serta kalimatkalimat yang cermat, persis serta tepat hingga nantinya tak ada memicu pemahaman yang memiliki pemaknaan yang berbeda. Dalam hal ini menginterpretasikan Bahasa tidak sekedar mengganti alfabet, ejaan serta huruf tetapi akan sinkron terhadap makna serta bentuk Bahasa yang akan disampaikan hingga alih Bahasa yang resmi tersumpah dapat mengkap penafsiran isi serta mengetahui maksud akta tersebut. Sudut pandang yang dapat memastikan kualitas alih Bahasa yang tersumpah ialah keakuratan apakah alih Basa sudah sesuai terhadap doktrin, kaidah serta aturan yang berlaku.

Peran alih Bahasa yang resmi tersumpah bagian hukum amatlah penting guna dapat menterjemahkan Bahasa dari bahan Salinan akta ke Bahasa yang bisa dipahami oleh klien beserta menterjemah inti maksud dari Bahasa Indonesia dengan cara lisan saat pembacaan akta dengan Notaris seandainya Notaris tak dapat mengartikan terjemahannya ke Bahasa Asing yang dipahami klien. Alih Bahasa resmi tersumpah mempunyai kapasitas tingkatan yang nyaris sama dengan saksi pada akta sebab saat pembacaan akta, alih Bahasa resmi yang tersumpah juga turut serta menandatangani

akta sebagai syrat formil resminya akta tersebut. Prosedur penanganan pada penerjemah akta terbagi menjadi pengkajian teks, penelitian istilah, format pengetikan serta pungutan tarif jasa penerjemah yang akan berdasar pada perhitungan halaman.

Mutu dari seorang terjemah resmi akta otentik dinilai dari penafsiran kata yang tepat serta sepadan dengan Bahasa Indonesia yang nantinya tidak ada multitafsir dan atau kata yang memiliki pemaknaan banyak. Dalam menerjemah bukan hanya asal merubah definisi akan tetapi harus menyesuaikan makna yang sama.18 Keakuratan otentisitas akta otentik akan selamanya menjadi tanggung jawab Notaris, sehingga Notaris dalam melaksanakan jabatannya harus benar-benar bekerja secara kompeten. Akta akan diterjemahkan penerjemah resmi yang tersumpah kedalam Bahasa yang dimengerti para pihak yang berkepentingan tetapi tetap tercantum kepastian hukum para pihak.

Notaris berkewajiban menerjemahkan akta tersebut sesuai amanat Pasal 43 ayat (2) padahal dalam amanat Pasal tersebut tidak dijelaskan apakah Notaris juga disumpah untuk dapat menerjemahkan akta, sehingga mangcu ke teori perlindungan hukum dasarnya menegaskan pada pengayoman hak asasi manusia supaya tidak dapat dirugikan oleh siapapun, teori perlindungan hukum ini guna setiap orang dapat melindungi haknya dari pihak penguasa maupun pihak lainnya selain itu teori ini memberikan perlindungannya dengan sarana aparat hukum sehingga menjamin ketentraman dalam kemasyarakatan. Adanya suatu hukum dengan peraturan UU JNP dapat mengatur hak dan kewajiban pada Notaris.

Kekuatan akta otentik yang kerjakan dengan Bahasa Asing tidak diterjemah oleh penerjemah resmi ialah merupakan pengingkaran terhadap prosedur pengerjaan akta yang dilaksanakan oleh alih Bahasa secara lisan maupun tercatat, hal ini menyebabkan akta yang diterjemahkannya akan terdegradasi selaku akta otentik menjadi pengesahan sebagai akta ilegal atau bawah tangan.

Akta dibawah tangan akan senantiasa terikat terhadap para pihak selama mereka mampu mempercayai keabsahan terhadap inti serta tanda tangan. Komitmen Notaris terhadap akta tidak diterjemah pada seorang alih Bahasa resmi yang disumpah ialah menggambarkan kekurangan administrasi yakni peringatan lisan, tertulis hingga dengan pemberhentian tidak hormat yang akan dicatat sesuai dengan tahap jenjang kesalahan yang dilakukannya.19 Kejadian ini dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang menyebabkan kerugian sebab Notaris tidak melakukan komitmen dalam melaksanakan jabatannya. Selain adanya tanggung jawab secara administrasi, Notaris juga wajib mendapati pertanggungjawaban perdata, sementara jika akta menjadi

perkara dikemudian hari yang mana salah satu pihak protes serta dapat dibuktikan terhadap yang dirugikan.

  • 4.    Kesimpulan

Kewajiban Notaris menerjemahkan akta yang dibuatnya mengingat Notaris bukan penerjemah resmi yang tersumpah memang menjadi kekosongan norma, walaupun Pasal 43 ayat (2) UU JNP mewajibkan Notaris untuk menerjemah akta. Berbeda halnya dengan penerjemah resmi sebab penerjemah resmi ialah orang yang telah resmi disumpah untuk dapat menjalankan pekerjaan dalam menerjemah akta, walaupun Notaris sebelum menjalakan jabatannya Notaris memang wajib disumpah tetapi bukan sebagai penerjemah resmi. Kekuatan akta otentik yang dikerjakan dengan bahasa Asing tidak diterjemah oleh penerjemah resmi ialah merupakan pengingkaran terhadap prosedur pengerjaan akta yang dilaksanakan oleh alih bahasa secara lisan maupun tercatat, hal ini menyebabkan akta terdegradasi selaku akta otentik menjadi pengesahan sebagai akta ilegal atau bawah tangan.

Daftar Pustaka

Buku

Budiono, Herlien. (2013). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Bachrudin. (2022). Hukum Kenotariatan Indonesia 1: Keadilan Dan Perlindungan Serta Kepastian Hukum Dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris. Bandung: Media Sains Indonesia.

Efendi, J., Ibrahim, J. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif Dan Empiris. Jakarta: Prenada Media.

Marzuki, P.M. (2010). Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sjaifurrachman. (2011). Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. Bandung : Mandar Maju.

Jurnal

Adjie, H. (2018).”Akta Notaris Wajib Dibuat Dalam Bahasa Indonesia”. Jurnal Paradigma     Hukum      Pembangunan,      3(03),      199-220.      DOI:

10.25170/paradigma.v3i03.1938.

Afifah, N. (2019).“Keabsahan Surat Keterangan (Convernote) Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Pendirian Perseroan Terbatas Yang Menimbulkan Multitafsir (Studi Putusan Nomor 2/Pts/MPWN/Provinsi Jawa Barat/II/2017)”. Indonesian Notary, 1(003). URL: http://notary.ui.ac.id/index.php/home

Akbar, A. F., & Cahyono, A. B. (2021).“Peran Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Dalam Bahasa Asing Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Jabatan Notaris”. (Pakuan Law review), 7, DOI: 10.33751/palar.v7i2.4098.

Anand, G., & Hernoko, A. Y. (2016). “Upaya Tuntutan Hak Yang Dapat Dilakukan Oleh Pihak Yang Berkepentingan Terhadap Akta Notaris Yang Cacat Yuridis”. Perspektif Hukum, 16(2), DOI: https://repository.unair.ac.id/87061/,

Ellsya, A. (2020).“Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT PFI Dengan Fasilitas Penanaman Modal Asing Yang Tidak Diterjemahkan Oleh Penerjemah Resmi”. Indonesian Notary, 1(004). URL:

http://notary.ui.ac.id/index.php/home

Firstanier, R. A., Santoso, B., & Prabandari, A. P.“Penggunaan Bahasa Daerah Dalam Pembuatan Akta Notaris”. Notarius, 14(2), 676-691. DOI: 10.14710/nts.v14i2.43795

Jaya, I., Widhiyanti, H. N., & Endah, S. N. (2017). “Pertanggung Jawaban Notaris Berkenaan Dengan Kebenaran Substansi Akta Otentik”. Jurnal Rechtidee, 12(2), DOI: https://core.ac.uk/download/pdf/304320753.pdf,.

Parsa, I. W., & Ariawan, I. G. K. (2018).“Prinsip Kehati-Hatian Notaris Dalam Membuat Akta Autentik”. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 3, 59. DOI: 10.24843/AC.2018.v03.i01.p05.

Purnayasa, A. T. (2018).“Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang Tidak Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Autentik”. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 395-409. DOI: 10.24843/AC.2018.v03.i03.p01.

Sasauw, C. (2015). “Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Mengikat Suatu Akta Notaris”.

Lex    Privatum,             3              (1).    URL                 :

https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/issue/view/885

Setiadi, F., Sulissusiawan, A., & Susilo, F. (2014).“Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Akta Notaris di Kota Sintang”. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa (JPPK), 3(3). DOI: 10.26418/jppk.v3i3.4886.

Sidik, J., Haspada, D., & Priyanto, I. J. (2021).“Peningkatan Pemahaman Bahasa Asing pada Perjanjian Akta Notaril Bagi Anggota Ikatan Notaris Indonesia Kabupaten Bandung”. Jurnal Pengabdian    Tri    Bhakti,    3(1),    57-68.    DOI:

10.36555/tribhakti.v3i1.1710.

Siahaan, K. (2019). “Kedudukan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Pada Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Proses Peradilan Pidana”. Recital Review, 1(2), DOI: https://online-journal.unja.ac.id/RR/article/view/7455

Widyantari, M. D. (2019).“Fungsi dan Kedudukan Penerjemah Tersumpah dalam Pembuatan Akta Notaris”. (Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan), 4(1). DOI: 10.24843/AC.2019.v04.i01.p04.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah.

Website

Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 299/Pdt.G/2012/Pn.Jkt.Pst.http://sipp.pnjakartapusat.go.id/index.php/detil_p erkara. (Diakses 6 Juli 2012).

323