Vol. 8 No. 01 April 2023

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Kedudukan Suami Berdasarkan Aturan Waris Bali Dalam Perkawinan Nyeburin Di Desa Adat Peliatan Ubud

Cok Istri Hemas Widianagari1, I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]

Info Artikel

Masuk : 5 September 2022 Diterima : 4 April 2023

Terbit : 25 April 2023

Keywords :

Balinese Inheritance Law;

Nyeburin's Marriage;

Awig-Awig


Kata Kunci:

Hukum Waris Bali;

Perkawinan Nyeburin;

Awig-Awig

Corresponding Author:

Cok Istri Hemas Widianagari, E-mail: [email protected]

DOI :

10.24843/AC.2023.v08.i01.p6


Abstract

The purpose of this study was to determine and analyze the husband's position in the Nyeburin marriage according to Awig-Awig in the Peliatan Traditional Village, Ubud and inheritance in the Nyeburin marriage, in the Peliatan Traditional Village, Ubud. Writing in this journal uses empirical research types, statutory approaches and legal concept analysis. Based on the results of the research, the following conclusions can be drawn: (1) the position of the husband as pradana in the marriage of nyeburin according to the village awig-awig, if the marriage is broken up whether the one who lives is still at his wife's residence or has returned to his original residence, no one has clearly discussed it on Indonesian positive law regulations; and (2) inheritance in the Nyeburin marriage in the Peliatan Traditional Village, the position of the male heir is clear, that is, he is not an heir, so his rights as an heir at his home have been lost, and he does not have rights as an heir at his wife's house.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan suami pada perkawinan Nyeburin sesuai Awig-Awig yang ada pada Desa Adat Peliatan Ubud dan pewarisan dalam perkawinan Nyeburin di Desa Adat Peliatan Ubud. Penulisan jurnal ini menggunakan jenis penelitian empiris mempergunakan pendekatan undang-undang dan analisis konsep hukum. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut : (1) kedudukan suami sebagai pradana pada perkawinan nyeburin sesuai awig-awig desa, apabila putusnya perkawinan entah yang tinggal masih di kediaman istrinya maupun yang sudah kembali ke kediaman asal, belum ada yang secara jelas membahasnya pada peraturan hukum positif Indonesia; dan (2) pewarisan dalam perkawinan Nyeburin di Desa Adat Peliatan pria sudah jelas posisi warisnya, yakni bukanlah sebagai ahli waris, jadi haknya sebagai ahli waris dirumah asalnya sudah hilang, dan tidak mempunyai hak sebagai ahli waris dirumah istri.

  • I.    Pendahuluan

Bali adalah sebuah daerah, sebuah pulau dengan satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia telah terkenal ke manca negara sebagai negara yang mempunyai budaya tinggi serta beraneka ragam seni. Bali terkenal karena termasuk destinasi pariwisata yang utama di Indonesia, bukan karena telah menjadi daerah tujuan wisata saja, Bali menjadi terkenal dan mengharum namanya di Dunia, tetapi karena kekhasan di pulau Bali, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, budaya yang adi luhung keseniannya yang memikat setiap penikmat seni, dan norma-norma kebiasaan serta adat yang turun temurun menjadi landasan kehidupan sehari-hari sehingga menjadikan Bali sebagai daerah yang sangat istimewa di Indonesia. Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Hukum Waris tetap hidup. Dilingkungan orang Bali beragama Hindu, masih tetap mempergunakan hukum kebiasaan dan norma-norma kehidupan yang lumrah disebut Hukum Adat Bali, yang meliputi hukum keluarga, hukum waris dan hukum perkawinan.

Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo UU Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan pembaharuan atas Undang-Undang Perkawinan yang sebelumnya yakni “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terdapat berbagai macam istilah perkawinan yang dikenal oleh masyarakat adat Bali. Perkawinan sering kali disebut pawiwahan atau nganten ada juga yang menyebutnya makereb kambe, pewarangan, dan masih banyak lainnya tetapi memiliki hakekat yang sama dengan undang-undang perkawinan. Tujuan perkawinan sendiri yaitu memiliki anak yang nantinya anak tersebut akan menjadi penerus, pewaris keturunan. Anak memiliki arti penting karena anak sebagai ahli waris dalam keluarga.1 Sebagai penerus keturunan wajib halnya memelihara orang tuanya saat tua nanti, pada masyarakat adat di Bali dimana penerus keturunan memelihara rumah atau tempat ibadah (sanggah, merajan). Tentu sangatlah penting peran anak khususnya dalam masyarakat di Bali, karena kedudukan anak haruslah terdapat jelas bagaimana hubungan waris mewaris.

Masyarakat Bali mengadopsi tatanan Patrilinial juga adat untuk tinggal sesudah menikah yaitu patri lokal. Sejatinya, penganut sistem kekerabatan Patrilinial ataupun lebih terkenal menganut sistem garis keturunan pria ataupun di Bali disebut mengikuti garis Purusa. Adapun sistem kekerabatan patrilinial serta implementasinya mampu terlihat dari peran anak khususnya laki-laki yang dikemudian hari sebagai ahli waris yang mewarisi seluruh kewajiban serta hak orang tua kepada Tuhan, sesama manusia serta kepada lingkungannya, serta dapat dilihat pula kedudukan suami (Purusa) pada prosedur perkawinannya, yang mana suami meminta istrinya keluar dari rumpun asalnya, kemudian istri akan masuk ke rumpun keluarga suami. Sang istri meninggalkan rumpun kekerabatan asalnya, jadi tidak ada lagi hubungannya dengan rumpun asalnya. Ini merupakan dampak tatanan kekeluargaan patrilinial yang ada di Bali.

Laki-laki Bali pada tatanan kekeluargaan patrilinial menjadi penerus garis keturunan keluarganya, jadi keluarga tetap memiliki penerus. Akan tetapi harapan itu dapat tak terlaksana jika pasutri tak memiliki anak laki-laki bahkan tidak memiliki anak. Sistem kekerabatan Patrilinial yang ada di Bali didasarkan pada Agama Hindu juga kebudayaan Bali yang adatnya amat kental, norma yang berlaku di masyarakat adat, serta kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat mampu memberi jawaban bagi pihak yang tak mempunyai anak laki-laki alhasil keluarga mempunyai penerus keturunan. Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan menyebutkan, perkawinan akan terputus jika terjadi perceraian, kematian, serta menurut putusan pengadilan. Sebuah perkawinan yang putus akibat kematian pasangan, misalkan yang meninggal dunia lebih dulu yakni suami, maka istri selaku predana berhak menetap di rumah mendiang suami serta apabila perkawinan putus akibat perceraian ataupun putusan pengadilan, istri harus balik ke kediaman asal, Mulih Deha.

Prinsip bahwa istri mengikuti keluarga suami berlaku untuk bentuk perkawinan biasa, dimana dalam wujud perkawinan ini pihak suamilah yang memiliki status sebagai purusa (pelanjut keturunan) sedangkan pihak istri memiliki status yang disebut dengan pradana. Di samping bentuk dari perkawinan biasa, dalam masyarakat Bali juga dikenal bentuk dari perkawinan yang disebut dengan nyeburin atau juga dikenal dengan istilah perkawinan nyentana. Dalam bentuk perkawinan nyeburin ini, justru mempelai perempuan yang berstatus purusa sedangkan bagi pihak laki-laki memiliki status sebagai pradana akan melepaskan hubungan secara hukum dari keluarga asal dan untuk kemudian akan mengikuti keluarga istri. Pelepasan hubungan hukum bermakna lepasnya hak dan kewajiban (tanggungjawab) dalam keluarga, termasuk hak dan kewajibannya di bidang pewarisan.2 Kawin Nyeburin berlaku atas status laki-laki yang kawin nyeburin saat terjadi perkawinan yang putus oleh sebab meninggalnya istri ataupun karena bercerai. Disinilah hal yang menjadi kekhasannya atau menjadi keunikannya, seorang laki-laki yang pada saat itu kawin diminta oleh keluarga perempuan dengan baik disaksikan secara sekala dan niskala, niskala adalah disaksikan oleh leluhur atau Ida Betara Betari, sedangkan sekala adalah disaksikan oleh Prajuru desa dan masyarakat umum.

Seperti halnya yang dikatakan oleh I Wayan Wahyu Wira Udytama, menyatakan bahwa kawin nyentana atau nyeburin sesuai hukum adat yang ada di Bali adalah peristiwa khusus yang hanya terdapat di Bali, sebab umumnya masyarakat mempergunakan tatanan kekeluargaan Patrilineal, yang berarti garis keturunan anak laki-laki, entah terkait warisan ataupun kehidupan bersama di masyarakat. Menurut pihak yang mengimplementasikan sistem ini, keluarga akan mengangkat seorang sentana apabila keluarga itu tak mempunyai anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris serta penerus keturunan.3 Laki-laki yang nyentana tidak akan mempunyai lagi

hak waris di rumah asalnya dan ini seringkali menjadi dilema di masyarakat patrilineal Bali.4

Terkait status laki-laki sebagai predana, apabila perkawinan putus atau yang masih menetap di rumah istri atau yang sudah kembali ke rumah asal (mulih deha/truna), hingga kini tidak ada yang membahas dengan rinci pada KUHPerdata (BW) ataupun di UU Nomor 1 Tahun 1974 terkait Perkawinan, maka status laki-laki yang menjalankan perkawinan nyeburin dijelaskan pada hukum waris yang ada di Bali.

Dari paparan masalah diatas maka diangkatlah karya ilmiah Kedudukan Suami Berdasarkan Aturan Waris Bali Dalam Perkawinan Nyeburin Di Desa Adat Peliatan Ubud. Dengan rincian rumusan masalah yaitu : Bagaimana kedudukan suami pada kawin Nyeburin sesuai awig-awig Desa Adat Peliatan Ubud? dan Bagaimana pewarisan dalam perkawinan Nyeburin di Desa Adat Peliatan Ubud? Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan suami pada perkawinan Nyeburin sesuai Awig-Awig yang ada pada Desa Adat Peliatan Ubud dan pewarisan dalam perkawinan Nyeburin di Desa Adat Peliatan Ubud.

Setelah melakukan berbagai penelusuran ada beberapa judul artikel jurnal yang berhubungan dengan penelitian jurnal ini, yaitu : Penelitian dari Ni Luh Made Noviantini, dengan judul “Kedudukan Mulih Truna pada Perkawinan Nyentana Di Banjar Pujung Kaja Desa Sebatu”, dengan rumusan masalah : (1) Bagaimana status hukum Duda Mulih Truna di kediaman asalnya? dan (2) Bagaimana kedudukan hak mewaris Duda Mulih Truna di kediaman asalnya?5 Kemudian terdapat pula penelitian jurnal yang mirip yaitu : Penelitian dari Kd Dewantara Rata, dengan judul “Kedudukan Dan Hak Mewaris Anak Dari Anak Angkat Seorang Pradana Dalam Hukum Waris Adat Bali”, dengan rumusan masalah : (1) Bagaimana pengangkatan anak oleh seorang pradana pada masyarakat adat Bali? dan (2) Bagaimana analisis kedudukan dan hak mewaris anak dari anak angkat seorang pradana dalam adat Bali dihubungkan dengan ketentuan hukum waris adat?6 Membandingkan secara seksama kedua penelitian dari Ni Luh Made Noviantini dan Kd Dewantara Rata memiliki rumusan masalah serta topik pembahasan yang berbeda dengan tulisan ini. Dimana tulisan ini memfokuskan pada kedudukan suami pada kawin Nyeburin berdasarkan awig-awig di Desa Adat Peliatan Ubud Kabupaten Gianyar serta apakah yang memicu terlaksananya kawin Nyeburin pada Desa Adat Peliatan Kabupaten Gianyar. Sehingga tulisan ini memiliki orisinalitas tersendiri dalam kajian penelitian hukum.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum empiris, yang mampu dipergunakan untuk melakukan pengamatan atas temuan dan perilaku individu. Penelitian ini dimaksudkan guna mendapat informasi terkait masalah yang sedang diteliti serta hasil yang didapat pada hubungan aspek hukum, dan berdasarkan kenyataan yang sesuai permasalahan yang diangkat. jenis pendekatakan yang penulis gunakan ialah pendekatan perundang-undangan dan pendekatatan analisis konsep hukum.7 Terdapat sejumlah sumber data mencakup sumber data primer yakni data yang didapat pada lokasi penelitian entah dengan melaksanakan dokumentasi, observasi, ataupun wawancara. Data primer yakni data yang didapat di lapangan.8 Selanjutnya ada data sekunder yang didapat dari implementasi UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo UU Nomor 16 Tahun 2019, Awig-Awig Adat Peliatan, KUHPerdata, jurnal, bahkan buku mengenai penelitian ini.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Kedudukan Suami Pada Kawin Nyeburin Menurut Awig-Awig Desa Adat Peliatan Ubud

Perkawinan Nyeburin ialah satu dari sekian jenis perkawinan yang ada di Bali, perkawinan nyeburin termasuk wujud pengecualian dari jenis perkawinan yang terdapat di Bali. Bentuk perkawinan nyeburin ini dapat terjadi karena :

  • 1)    Satu keluarga tak mempunyai keturunan laki-laki

  • 2)    Keluarga hanyalah mempunyai keturunan wanita

  • 3)    Keluarga pada awalnya sama sekali tak mempunyai anak, dari usahanya lalu keluarga itu mengangkat anak (meras sentana) perempuan.

  • 4)    Karena keinginan dari orang tua siperempuan yang tak mau kehilangan anak perempuan maka mengenai perkawinan anak perempuannya dilaksanakan perkawinan nyeburin, walau keluarga itu sudah mempunyai anak laki-laki.

Untuk dapat melanjutkan keturunan keluarga agar terhindar dari kepunahan maka langkah pertama yang harus ditempuh oleh sebuah keluarga yang mempunyai permasalahan seperti tidak memiliki anak laki-laki tersebut diatas adalah dengan menentukan salah seorang anak berjenis kelamin perempuan ataupun anak perempuan tunggalnya untuk diangkat menjadi sentana rajeg. Untuk mempertahankan kelangsungan keluarga maka diangkatlah anak perempuan tunggal itu menjadi sentana rajeg. Yang pada saat melangsungkan perkawinan wanita yang telah diangkat sebagai sentana rajeg akan mengambil pria sebagai suaminya kedalam rumpuan keluarga/kekerabatan perempuan tersebut, dan status laki-laki tersebut menjadi predana dan kedudukan perempuan itu sebagai purusa, dan perkawinannya itu disebut perkawinan nyeburin.

Jadi perkawinan nyeburin di Bali ini adalah kebalikan dari bentuk perkawinan biasa, namun sistem kekerabatan yang berlaku adalah tetap sistem Patrilinial. Sistem

kekerabatan/kekeluargaan Patrilinial di Bali lebih dikenal dengan istilah sistem kepurusa. Didalam bentuk perkawinan nyeburin maka istri berstatus purusa, suami berstatus predana.

Eka Rusmegayani dan Jayantiari dalam penelitiannya menguraikan tentang status laki dan perempuan dalam hukum adat bali pada aspek perkawinan yang memang berpedoman pada sistem kekerabatan patrilineal yaitu khususnya berpusat pada purusa. Penerus keluarga berkait hak dan kewajiban utamanya memang secara yuridis sesuai dengan prinsip kapurusa pada anak laki-laki tersebut.9 Dalam Hukum Adat Bali, perempuan yang sudah sah berstatus sentana rajeg mempunyai kedudukan sebagai purusa. Artinya, sesuai Hukum Adat Bali Purusa yaitu ahli waris, jadi wanita yang berstatus sentana rajeg akan menjadi ahli waris di keluarganya. Adapun pengangkatan sentana rajeg umumnya terjadi jika keluarga tak memiliki keturunan laki-laki, alhasil anak perempuannya yang dijadikan ahli waris. Pernyataan diatas tersebut maka setana rajeg ini kemudian menjadi ahli waris seluruh aset orang tua.

Para informan yang bernama I ketut Sandi yang merupakan Bendesa Desa Adat Peliatan Ubud Gianyar, I made Sutaryantha sebagai Sabha Desa pada Desa Adat Peliatan Ubud Gianyar dan Cokorda Gede Putra Nindia, SH., MH sebagai Ketha Desa Adat Peliatan Ubud Gianyar memberikan penjelasan serta memberikan contoh pelaksanaan awig-awig di Desa Adat Peliatan, dimana tertulis dlam awig-awig Palet 1 Pawos 55 disebutkan dalam Terjemahaannya :

  • (1)    Perkawinan adalah pertemuan pria dengan wanita yang didasari dengan cinta disaksikan oleh Prajuru dan Tuhan Yang Maha Esa.

  • (2)    Perjalanan perkawinan antara lain :

  • a.    Permintaan yang diwakili oleh keluarga besar;

  • b.    Ngerorod lalu melaksanakan upacara di rumah;

  • c.    Bagi yang laki-laki atau kawin nyeburin;

  • (3)    Tuntutan perkawinan antara lain :

  • a.    Sudah dewasa (laki dan perempuan sesuai Undang-Undang Perkawinan)

  • b.    Berdasarkan cinta sama cinta (tidak terpaksa)

  • c.    Sesuai dengan aturan agama/ajaran agama

  • d.    Melakukan sudiwidani jika dengan agama lain (sesuai dengan agama Hindu)

  • e.    Upacara sesuai adat dan nunas tirta di Pura Bale Agung.

  • (4)    Perjalanan perkawinan juga diharapkan sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan.

Jadi, perkawinan di Desa Adat Peliatan, Perkawinan Nyeburin mampu dilaksanakan, dan harus sejalan dengan awig-awig dan Undang-Undang Perkawinan (Hukum Positif).

Hasil wawancara dengan Bendesa Adat Desa Adat Peliatan Ubud Gianyar memaparkan : individu yang Nyeburin akan kembali kerumah asli ataupun keluar dari rumah istri serta meninggalkan kekeluargaan istri, jika perkawinan yang putus disebebkan oleh perceraian, terlebih dahulu dilihat kedudukannya. Kedudukannya

dipersamakan dengan Mulih Deha, yakni apabila wanita bercerai kemudian kembali ke rumah aslinya.

Oleh karena itu, status pria nyeburin yang kembali ke rumah asal yang diakibatkan oleh putusnya perkawinan yaitu Janda/Balu Lanang/Balu. Hak mewarisi rumah asalnya tak akan bisa dikembalikan karena telah dianggap ninggal kedaton yang artinya meninggalkan seluruh hak serta kewajiban di rumah asal. Apabila pada Desa Peliatan Ubud Gianyar terjadi seperti demikian, pulangnya pria yang kawin Nyeburin diterima keberadaannya oleh sang kepala keluarga, atau disebut Kerob Kundul.

Yurisprudensi pada Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 31/PTD/1967/Pdt tanggal 29 Agustus 1969 menyebutkan, janda bukan ahli waris, hanya mempunyai hak memperoleh warisan yang ditinggalkan oleh pewaris serta pada Putusan MA Nomor 32K/SIP/1971 tanggal 24 April 1971 memaparkan, sesuai awig-awig Bali, janda mempunyai hak mengurus aset yang ditinggalkan suami sepanjang janda itu masih menjalankan kewajibannya. Pria yang menjalankan kawin Nyeburin yang perkawinannya terputus karena kematian dari Pihak Istri serta berstatus yang dipersamakan dengan janda, maka hak maupun kewajiban akan dipersamakan dengan hak maupun kewajiban janda.

  • 3.2    Bagaimana Pewarisan Dalam Perkawinan Nyeburin Di Desa Adat Peliatan Ubud

Terkait aset warisan yang terdapat pada rumah istri, pihak laki-laki yang pulang ke rumah asal tak mempunyai hak untuk mendapatkannya, namun aset yang dibawa ketika menikah berhak di bawa, dan aset guna kaya yang diperoleh pada saat perkawinan berlangsung, sama halnya yang dikatakan I Ketut Sandi yang merupakan Bendesa Adat Peliatan Ubud, aset warisan dari rumah asal sebab hak sebagai ahli waris tidak mampu kembali lagi. Hasil wawancara dengan I Made Sutartantha sebagai Sabha Desa di Desa Adat Peliatan Ubud Kabupaten Gianyar sedikit menambahkan Laki-laki yang pulang kerumah asalnya mempunyai kewajiban-kewajiban untuk membantu ahli waris atau orang yang bertanggung jawab atas dirinya. Membantu dalam hal ini adalah memberikan bantuan tenaga, dalam kegiatan sehari-hari, ataupun kegiatan adat, bantuan lainnya adalah memberikan pendapat dan pandangan sepanjang bida diterima oleh Ahli waris dan juga bila Ahli waris meminta suatu pendapat.

Penjelasan perkawinan nyeburin karena perceraian perihal posisi laki-laki Nyeburin apabila perkawinannya putus maka sudah ditetapkan pada Hukum Desa Adat Peliatan Ubud, bahwasanya aset bawaan masing-masing artinya dimiliki oleh masing-masing suami dan istri, aset bersama yang diperoleh saat berlangsungnya pernikahan merupakan kepemilikan bersama, apabila timbul perceraian, aset bersama akan dibagi menjadi dua, aset yang ditinggalkan yang termasuk sebagai warisan akan dimiliki oleh Purusa, oleh karena itu sudah tegas dijelaskan bahwasanya pria yang kawin Nyeburin bukan merupakan ahli waris dirumah istri, sebab posisinya hanyalah sebatas predana. Seperti kutipan Awig-Awig Desa Adat Peliatan Ubud Pawos 69 dalam terjemahannya :

Pembagian Harta warisan yakni :

  • (1)    Sesudah upacara pengabenan dan pelunasan utang pewaris dibayar/dilunasi;

  • (2)    Ahli waris memperoleh pembagian sesuai dengan aset bawaan, dan aset hasil selama perkawinan, selain itu aset waris menjadi milik ahli waris tunggal (ngarep);

  • (3)    Salah satu ahli waris tidak dapat warisan apabila :

  • 1)    Berbuat salah kepada Ayah/Orang Tua;

  • 2)    Kawin nyeburin yang sudah cerai dianggap meninggalkan rumah (ninggal kedaton) sehingga tidak dapat warisan.

  • (4)    Jika tidak ahli waris tunggal, yang dapat warisan adalah :

  • 1)    Anak perempuan, selama tidak cerai dan tidak bersalah/durhaka kepada orang tua dan memiliki anak sudah diakui oleh keluarga, anak ini bisa mewaris;

  • 2)    Anak perempuan dan laki-laki kawin nyeburin;

  • 3)    Pulang ke rumah asalnya, karena di rumah kawinnya sudah dianggap tinggal kedaton.

Oleh sebab itu, pria yang menjalankan perkawinan Nyeburin sudah jelas posisi warisnya, yakni bukanlah sebagai ahli waris, jadi haknya sebagai ahli waris dirumah asalnya sudah hilang, dan tidak mempunyai hak sebagai ahli waris dirumah istri. Hak janda atas aset warisan suami ialah sama dengan hak perempuan atas aset warisan, yang mana anak perempuan hanya mampu memperoleh aset warisan dari ayahnya sepanjang ia belum menikah serta tinggal di rumah ayahnya.10

Disamping hak yang disebutkan janda pun memiliki kewajiban berikut ini :

  • a.    Wajib tetap tinggal di kediaman suami.

  • b.    Tak menikah lagi, apabila menikah maka haknya akan hilang

  • c.    Melaksanakan upacara Ngaben untuk suaminya.

  • d.    Tak menghilangkan aset warisan.

  • e.    Setia terhadap almarhum suami, tak boleh melanggar dharma sebagai janda. f. Bertanggung jawab atas kehidupan anaknya.

Hal diatas sesuai dengan Awig-Awig Desa Adat Peliatan Ubud Pawos 61 angka 2, yang menyebutkan :

  • (2) Swadharmaning balu luh utawi muani, kaceburin utawi nyeburin :

  • ha. Ngemanggehang patibrata tan kengin ngamargiang paradara/drati karma;

na. Ngusahayang waris, pagunakaya, tan dados ngadol, ngadeang, makidihang lan siosan punikam sajawaning polih uak-uakan saking pianak utawi kuluwarga pinih tampek sakeng kurenanya prade pianak kantun alit-alit.

  • ca. Kengin ngidih sentana prade wenten pidabdab sadurung sinalih tunggil padem, saha polih uwak-uwakan saking kulawarga sinanggeh purusa;

  • ra. Kawenangang mawiwaha malih, prade wenten uak-uakan manut angka (2) aksana na ring ajeng.

Wujud pernikahan nyeburin yakni suami mempunyai posisi sebagai pradana, yang mana ia juga bukanlah ahli waris, ini bisa timbul karena keluarga tidak memiliki seorang laki-laki maka atas diangkatlah anak perempuan itu sebagai sentana rajeg. Posisi laki-laki yang menikah nyeburin yang tinggal di kediaman istri meskipun pernikahannya sudah putus sebab istrinya meninggal dunia dijelaskan pada Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor 14/Pdt.G/1990/PN. Gianyar tanggal 30 Agustus

1990 dengan keputusan bahwasanya janda yang tetap tinggal dirumah suami serta tak menikah kembali, mempunyai hak menikmati serta menjalankan tindakan hukum apapun demi kebutuhan hidup sendiri ataupun demi kebutuhan almarhum suami, tak terkecuali melakukan penjualan atas tanah.

Janda laki-laki akan tetap memperoleh hak menjadi ahli waris atas aset yang dimiliki istrinya. Ini didapatkan saat janda melaksanakan kewajibannya sebagai janda. Pada posisi yang dipersamakan dengan seorang janda, janda laki-laki memiliki kewajiban yang dipersamakan dengan kewajiban janda pada umumnya apabila ia tetap tinggal di rumah istri.

Terdapat beberapa istilah pernikahan di Bali, antara lain nganten, pawiwahan, makerab kambe, pewarangan, serta yang lainnya. Istilah nyeburin artinya menyasar ataupun menerjuni suatu hal.11 Sesuai Hukum Adat Bali, terdapat perkawinan Biasa dan perkawinan Nyeburin atau Nyentana. Perkawinan yang dilaksanakan pada tiap wilayah tak lepas dari pengaruh adat atau keberadaan desa, kala, patra. Pada tatanan patrilineal, posisi pria penting karena menjadi tukang pikul dharma, yakni bertanggung jawab atas leluhur, penjaga tempat suci yang disertai hak memperoleh warisan, memakai benda-benda pusaka. Jika keluarga tak memiliki anak berjenis kelamin laki-laki, maka anak perempuannya masih mampu meneruskan keturunan ayahnya, anak perempuan akan menjadi Sentana Rajeg dan melaksanakan perkawinan Nyentana.

Berdasarkan pernyataan Bendesa Adat Desa Adat Peliatan Ubud, Bapak Ketut Sandi memaparkan, determinan yang memicu terlaksananya perkawinan Nyeburin pada Desa Adat Peliatan diantaranya :

  • 1)    Faktor dari pihak wanita12

  • a.    Faktor eksternal meliputi :

  • a)    Permintaan orang tua pihak wanita sebab tak memiliki anak berjenis kelamin laki-laki.

  • b)    Rasa cinta orang tua pada anak perempuannya;

  • c)    Keinginan keluarga untuk memberi aset warisan yang sepadan ke anak perempuannya.

  • b.    Faktor internal meliputi :

  • a)    Rasa cinta dari wanita ke laki-laki;

  • b)    Besarnya rasa cinta pihak wanita

  • 2)    Faktor yang dating dari pihak laki-laki

  • a.    Faktor eksternal meliputi :

  • - Permintaan orang tua pihak laki-laki supaya hubungan antarkeluarga kedua belah pihak makin erat.

  • b.    Faktor internal meliputi :

  • - Keinginan pria akibat tak diakui keberadaannya di kediaman asal.

Selanjutnya sumber informasi dari Komang Agustya sebagai Predana serta Koming Ayu Sukerti sebagai Purusa, determinan yang memicu informan menjalankan pernikahan nyeburin diantaranya :

  • 1.    Saling mencintai satu sama lain;

  • 2.    Telah banyak memiliki saudara yang berjenis kelamin laki-laki;

  • 3.    Permintaan pihak orang tua sang wanita yang tak mempunyai anak laki-laki.

Selanjutnya informan kedua dengan nama I Gede Sukrada sebagai Pradana serta Ni Made Cipta Rahayu sebagai Purusa, determinan yang memicu informan melaksanakan pernikahan nyeburin diantaranya:

  • 1.    Saling mencintai satu sama lain;

  • 2.    Masih terdapat hubungan keluarga satu sama lain ataupun masih dalam satu merajan;

  • 3.    Permintaan pihak orang tua sang wanita yang tak mempunyai anak laki-laki.

  • 4.    Kesimpulan

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kedudukan suami sebagai Pradana pada pernikahan Nyeburin sesuai Awig-Awig yang ada di Desa Adat Peliatan, apabila perkawinan putus entah yang masih tinggal di kediaman istri atau yang sudah pulang ke ruamah asal, hingga kini belum diatur secara jelas pada KUHPerdata ataupun pada UU Perkawinan, oleh sebab itu pria Bali dan beragama Hindu yang menjalankan pernikahan Nyeburin akan diuraikan pada hukum waris yang berlaku di Bali. Serta pewarisan dalam perkawinan Nyeburin di Desa Adat Peliatan pria sudah jelas posisi warisnya, yakni bukanlah sebagai ahli waris, jadi haknya sebagai ahli waris dirumah asalnya sudah hilang, dan tidak mempunyai hak sebagai ahli waris dirumah istri. Hak janda atas aset warisan suami ialah sama dengan hak perempuan atas aset warisan, yang mana anak perempuan hanya mampu memperoleh aset warisan dari ayahnya sepanjang ia belum menikah serta tinggal di rumah ayahnya. Adapun yang memicu terlaksananya pernikahan Nyeburin pada Desa Adat Peliatan adalah faktor dari pihak keluarga wanita (sebagai Purusa) dan faktor dari pihak keluarga laki-laki (sebagai Predana)

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Efendi, J & Ibrahim, J. (2016). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Kencana Fajar, Yogyakarta

Marzuki, P. M, (2010), Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Jurnal

Adnyani, N. K. S. (2017). “Sistem Perkawinan Nyentana dalam Kajian Hukum Adat dan Pengaruhnya terhadap Akomodasi Kebijakan.” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora,   6   (2), h. 168. DOI :   http://dx.doi.org/10.23887/jish-

undiksha.v6i2.12113

Hemamalini, Kadek, and Untung Suhardi. (2016) “Dinamika Perkawinan Adat Bali.” Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama Dan Kebudayaan, 14 (27), h. 30. DOI :

https://doi.org/10.32795/ds.v14i27.45

Lolaroh, Alan Christian. (2019) “Tinjauan Hukum Kedudukan Janda Dan Duda Menurut Hukum Waris Adat.” Lex   Privatum,   6   (9), DOI :

https://doi.org/10.10345/lexpriv.25825

Ni Luh Sukma Imagy dan I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari. (2022), Pengaturan Hukum Adat Bali Terkait Kedudukan Duda Mulih Truna, Jurnal Kertha Semaya, 10 (2) h. 323. DOI : https://doi.org/10.24843/KS.2022.v10.i02.p06

Noviantini, Ni Luh Made, I. Ketut Sukadana, and Diah Gayatri Sudibya. (2020), “Kedudukan Duda Mulih Truna pada Perkawinan Nyentana di Banjar Pujung Kaja Desa Sebatu.” Jurnal Interpretasi  Hukum, 1  (1), h. 186. DOI :

https://doi.org/10.22225/juinhum.1.1.2208.186-190

Pramana, I Gede Pasek. (2014) “Konsekuensi Yuridis Putusan Makamah Konstitusi No. 46/PUUVIII/2010 terhadap Kedudukan Anak Astra dalam Hukum Adat Bali.” Jurnal Magister Hukum    Udayana,    7    (3), h. 412. DOI :

https://doi.org/10.24843/JMHU.2014.v03.i03.p05

Rata, Kd Dewantara. (2020), “Kedudukan Dan Hak Mewaris Anak Dari Anak Angkat Seorang Pradana Dalam Hukum Waris Adat Bali.” Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, (5) 3, h. 614. DOI : https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i03.p15

Rusmegayani, Ni Wayan Eka. (2023) “Status Anak Astra Dari Perspektif Hukum Adat Bali Dan Hukum Nasional.” Jurnal Kertha Semaya Udayana, 11 (2), h. 268. DOI : https://doi.org/10.24843/KS.2023.v11.i02.p04

Sujana, I. Putu Windu Mertha. (2013) “Hak Waris Laki-Laki Setelah Perceraian Dalam Perkawinan Nyentana Ditinjau Dari Awig-Awig Desa Kukuh, Marga, Tabanan.” Jurnal       IKA,       11       (1),       h.       60.       DOI

: https://doi.org/10.23887/ika.v11i1.1148

Udytama, I. W. W. W. (2015). Status Laki-laki dan Pewarisan dalam Perkawinan Nyentana.     Jurnal     Advokasi,     5     (1),     h.     73.     DOI     :

http://dx.doi.org/10.21337/advokasi.2015.v12.1256

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 6401)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050)

Awig-Awig Desa Adat Peliatan Ubud Gianyar

82