Kedudukan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses Hak Tanggungan Yang Objeknya Bersumber Dari Tanah Ulayat
on
Vol. 7 No. 03 Desember 2022
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Kedudukan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses Hak Tanggungan Yang Objeknya Bersumber Dari Tanah Ulayat
I Gde Anrizmadha1, I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari2
1Program Studi Magister (S2), Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel |
Abstract |
Masuk : 28 Juli 2022 Diterima : 02 Desember 2022 Terbit : 21 Desember 2022 Keywords : Liability Rights, Communal Land, Management Rights |
The purpose of this study is to analyze the position of customary law communities in the process of placing Mortgage Rights on Ulayat Land and legal provisions related to the placement of Mortgage Rights on Customary Law Community Land. This research uses normative legal research with a statutory and conceptual approach. The results of the study show that the process of placing mortgage rights on ulayat land in customary law communities has consequences in the form of obligations as managers and rights obtained in the form of results obtained from these management rights. Upon the placement of management rights, the authority to use it itself arises and land rights can be granted which are the object of the Mortgage Rights. |
Abstrak | |
Kata kunci: Hak Tanggugnan, Tanah Ulayat, Hak Pengelolaan Corresponding Author: I Gde Anrizmadha, E-mail: DOI : 10.24843/AC.2022.v07.i03. p4 |
Tujuan penelitian ini menganalisis tentang kedudukan masyarakat hukum adat dalam proses peletakan Hak Tanggungan Atas Tanah Ulayat dan Ketentuan Hukum terkait Peletakan Hak Tanggungan Atas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian menunjukkan proses peletakan hak tanggungan atas Tanah Ulayat pada masyarakat hukum adat memberikan konsekuensi berupa kewajiban sebagai pengelola dan hak yang didapat berupa hasil yang diperoleh dari Hak Pengelolaan tersebut. Atas peletakan hak pengelolaan maka |
timbul kewenangan untuk menggunakan sendiri dan dapat diberikan hak atas tanah yang merupakan objek dari Hak Tanggungan. |
keagamaan dan adat istiadat lainnya. Semakin hari semakin banyak masyarakat yang berkeinginan untuk memiliki tanah sedangkan disisi lain ketersediaan tanah belum mampu memenuhi permintaan, oleh sebab itu mengakibatkan kondisi yang tidak selaras sehingga memicu terjadinya persoalan-persoalan kompleks yang timbul berkaitan dengan pertanahan. Persoalan tersebut sesungguhnya telah diatur dalam hukum masyarakat hukum adat namun dalam hal ini tidaklah sempurna tanpa adanya hukum nasional yang mengatur tentang hal tersebut. Oleh sebabnya pemerintah Indonesia kemudian mengupayakan langkah yang tepat untuk menangani permasalahan tersebut dengan menciptakan hukum yang berfokus terhadap masalah pertanahan atau hukum tanah.
Bangsa Indonesia memberlakukan hukum tanah sejak sebelum Kemerdekaan RI hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) hingga sampai saat ini masih berlakunya hukum adat khususnya tentang pertanahan (hukum tanah). Hukum tanah adat semenjak dahulu tidak mengenal istilah lembaga jaminan hak atas tanah namun saat ini lembaga tersebut lebih dikenal dengan istilah hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berada diatasnya.1 Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) khususnya buku II mengenai hak jaminan atas tanah melalui hipotek didalamnya terdapat hak jaminan berupa jaminan atas tanah yang mana hak ini hanya dikenal dalam pengaturan hukum tanah barat atau Eropa. Jaminan adalah sebuah perikatan yang terjadi antara kreditur dengan debitur, yang mana ketika terjadi perjanjian hutang pihak debitur memberikan jaminan berupa harta sebagai jaminan pelunasan hutangnya menurut yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan jika suatu ketika terjadi kemacetan dalam pelunasan hutang oleh debitur dalam waktu yang telah ditenttukan. Jaminan tersebut akan menjadi milik kreditur seperti yang dijanjikan oleh debitur apabila si debitur ini tidak dapat atau tidak sanggup mengembalikan pinjaman.2
Setelah Kemerdekaan Indonesia pemerintah membentuk Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pemerintah menilai bahwa didalam pembentukan UUPA ini terdapat hal penting untuk menjamin sebuah peminjaman dapat berlangsung dengan baik. Mengingat berkembangnya lembaga-lembaga perekonomian seperti perbankan dan lembaga perkoperasian yang meninjamkan uang dalam jumlah yang besar kepada peminjam, oleh karenanya diperlukan jaminan kebendaan dari peminjam sebagai bukti kesungguhan peminjam untuk membayar kembali pinjaman tersebut. Oleh sebab itu sangat penting untuk menyediakan lembaga jaminan hak atas tanah berupa hak tanggungan. Pemeritah mengaturnya pada Pasal 23, 33, 39, dan Pasal 51 UUPA. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 23 sebagai berikut: “Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan dan Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.” Pasal 33, 39 dan Pasal 51 menyatakan: “Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, dapat dijaminan utang dengan dibebani hak tanggungan serta Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna
usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang.”
Seperti yang didasarkan pada ketentuan di atas maka pemerintah membentuk Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda diatasnya, atau disingkat dengan sebutan UUHT. Hak tanggungan sebagai hak jaminan adalah istilah yang diciptakan oleh UUPA.
Berkaitan dengan hak tanggungan berdasarkan UUHT, dalam hal tersebut disebutkan bahwasannya terdapat objek yang bisa digunakan dalam hak tanggungan yaitu salah satunya berupa HGB (Hak Guna Bangunan) sebagaimana yang tertera didalam Pasal 4 butir pertama yakni: “Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah : a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan”.
Untuk menjalankan ketentuan Pasal 142 dan Pasal 185 (b) Undang-Undang Cipta Kerja berdasarkan disahkannya Undang-Undang tersebut, diperlukan penetapan peraturan pemerintah tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun dan juga pendaftaran tanah. Yang kemudian disahkan Peraturan Pemerintah tentang hal tersebut dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Didalam peraturan ini, dimungkinkannya tanah ulayat diberikan beserta hak pengelolaan, namun dalam perihal ini masyarakat hukum adat yang berperan sebagai sebagai pihak yang menetapkan hak pengelolaan yang bersumber dari tanah ulayat tersebut yang mana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PP 18.3 Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 yang mana dinyatakan sebagai berikut: “Hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan kepada masyarakat hrrkum adat dan hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat.”
Hak atas tanah dapat diberikan pada pihak yang dalam hak pengelolaannya menggunakan atau memanfaatkan sebagian tanah ataupun seluruhnya untuk keperluan pribadi maupun dengan pihak lain sebagai bentuk kerja sama. Namun hak-hak tersebut diberikan diatas hak pengelolaan yang sesuai dengan sifat dan juga fungsinya seperti yang disebutkan Pasal 8 PP no 18 Tahun 2021.4 Bila kita lihat pada Pasal 13 PP 18 ini dikatakan bahwa hak atas tanah yang berdiri diatas hak pengelolaan yang dikooperasikan dengan pihak lain dapat digunakan sebagai jaminan, yang dinyatakan dalam Pasal 13 sebagai berikut: “Hak Atas Tanah di atas Hak Pengelolaan yang dikerjasamakan dengan pihak lain dapat dibebani hak tanggungan, dialihkan, atau dilepaskan serta setiap perbuatan hukum termasuk dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan terhadap hak atas tanah di atas hak pengelolaan, memerlukan rekomendasi pemegang hak pengelolaan dan dimuat dalam perjanjian pemanfaatan tanah dan dalam hal hak atas tanah di atas hak pengelolaan akan dilepaskan maka pelepasan dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang berwenang dan
dilaporkan kepada Menteri.” Tanah ulayat masyarakat termasuk kedalam“Hak pengelolaan yang dikerjasamakan dengan pihak lain dapat dibebani hak tanggungan” sehingga tanah ulayat yang bersumber dari masyarakat hukum adat tersebut dapat dijadikan jaminan sehingga bertabrakan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dimana “dipergunakan bagi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, bukan untuk kentingan tanah hanya bagi kepentingan sekelompok rakyat kecil”.
Kekaburan norma yang terdapat pada PP 18 Tahun 2021, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (2) dimana “hanya Hak Pengelolaan yang berasal dari Tanah Ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat tanpa penjelasan lebih lanjut” sehingga diperlukanya penafsiran hukum terhadap PP 18 Tahun 2021 ini sehingga tidak dapat menimbulkan persoalaan dalan hukum pertanahan Indonesia.
Penelitian ini mengangkat dua rumusan masalah sebagai berikut, bagaimana kedudukan kesatuan masyarakat hukum adat dalam proses peletakan hak tanggungan atas tanah adat? Serta tentang bagaimana ketentuan hukum peletakan hak tanggungan atas tanah ulayat masyarakat hukum adat?. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan juga memahami terkait kedudukan kesatuan masyarakat hukum adat dalam proses peletakan hak tanggungan atas tanah adat dan kketentuan hukum peletakan hak tanggungan atas tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Terkait dengan orisinalitas penelitian ini yaitu Devita, Seventina Monda dengan judul “Perkembangan Hak Pengelolaan atas Tanah Sebelum dan Sesudah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah”5. Dalam penelitian yang dikaji oleh Devita hanya membahas mengenai “Hak Pengelolaan Atas Tanah Pada Masa Sebelum Dan Sesudah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021” sedangkan penelitan yang dikaji dalam penelitian ini Kedudukan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses Peletakan Hak Tanggungan Atas Tanah Adat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Dan Sari, Ria Maya. judul “Potensi Perampasan Wilayah Masyarakat Hukum Adat Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.”6 Dalam penelitian yang dikaji oleh Sari, Ria Maya mengkaji terkait “Potensi Perampasan Wilayah Masyarakat Hukum Adat berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja”, sedangkan penelitan yang dikaji dalam penelitan ini mengkaji Kedudukan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat bedsarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.
Berdasarkan latar belakang yang tersebut diatas, menjadi penting untuk di teliti bagaimana tanah ulayat yang notabenenya milik adat yang bersifat tanah umum milik desa adat dapat dijadikan hak tanggungan yang pada dasarnya objek hak tanggungan tersebut tidak lain merupakan hak atas tanak yang bersifat pribadi atau perseorangan,
sehingga ditulislah hasil penelitian Kedudukan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses Hak Tanggungan Yang Objeknya Bersumber Dari Tanah Ulayat.
-
2. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum normatif menjadi pilihan metode dalam penelitian ini. Adapun metode penelitian tersebut adalah penelitian dengan langkah upaya menemukan suatu aturan hukum, doktrin, hingga prinsip hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang menjadi topik permasalahan pada jurnal ini yaitu mengenai kedudukan masyarakat adat dalam proses hak tanggungan yang mana objeknya bersumber dari tanah ulayat. Hal tersebut dilakukan guna menyelesaikan masalah hukum yang diajukan juga perlu disertai dengan inventarisasi terhadap aturan hukum tertulis maupun tidak tertulis, asas hukum, doktrin hukum, sistematik hukum serta taraf sinkronisasi hukum. Pemilihan pada jenis itu berdasarkan pada alasan karena kekaburan norma pada PP 18 Tahun 2021 pada Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (2) dimana hanya Hak Pengelolaan yang berasal dari Tanah Ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat tanpa penjelasan lebih lanjut sehingga dapan menimbulkan kekaburan norma, dengan menggunakan pendekatan “statute approach” atau yang lebih sering disebut dengan pendekatan perundang-undangan. Mengingat kegiatan yang dilakukan adalah meneliti peraturan perundang-undangan yang mana memiliki keterkaitan terhadap objek penelitian yaitu masyarakat hukum adat, hak tanggungan, dan UUPA, maka pendekatan ini adalah jenis pendekatan yang paling cocok.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Berdasarkan kutipan dari pendapat B.ter Haar, Bushar Muhammad selanjutnya mengemukakan bahwa masyarakat hukum adalah perkumpulan atau persatuan masyarakat yang teratur dimana masyarakat ini berada dan menetap dalam suatu daerah dengan pemimpinnya serta memiliki sumber kekayaan. Kekayaan yang dimaksud dapat berupa kekayaan yang konkret hingga kekayaan yang tidak berwujud, dan lain-lain. Perlu diketahui juga bahwa setiap orang dalam perkumpulan masyarakat tersebut mengalami kehidupan masing-masing dalam masyarakat. Serta tidak ditemukan adanya keinginan untuk membubarkan ataupun melepaskan ikatan yang telah tumbuh, justru ikatan ini akan terjalin untuk selama-lamanya.7
Masyarakat hukum adat memiliki kekuasaan berwujud yang disebut dengan beschikkingsrecht, atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai hak ulayat. Hak ulayat memiliki pengertian sebagai hak yang mana setiap masyarakat hukum adat memiliki kewenangan terhadap tanah yang ada di wilayah mereka. Kewenangan yang dimiliki tidak hanya memanfaatkan tanah, namun mereka juga diperbolehkan untuk menentukan tujuan penguasaan. Tujuan penguasaaan yang dimaksud ini adalah kepada siapa tanah ini berhak dikelola, atau berhak diberi kewenangan untuk
menguasai tanah tersebut. Selain itu juga pemeliharaan sumber daya agraria dalam wilayahnya, pemeliharaan sumber agraria berarti memelihara segala sumber yang berkaitan dengan bumi serta kekayaan yang ada didalamnya. Memanfaatkan tanah yang dimaksud juga termasuk menggunakan, mengelola dan menata wilayah hak ulayat tersebut.8
Secara umumnya, masyarakat hukum adat sendiri berhak untuk menjalankan pengelolaan, pengaturan, serta merencanakan sumber daya yang ada didalamnya. Selain itu juga menetapkan jalinan hukum dengan anggota masyarakat hukum adat dengan cara mengatur dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pihak luar yang memanfaatkan sumber daya mereka. Menurut Fristy Husbani, setiap kelompok masyarakat hukum adat mempunyai ketentuan hukum adat mereka masing-masing. Hal tersebut juga berlaku dalam aspek pengelolaan lainnya, dimana masyarakat memiliki aturan yang sesuai dengan pedoman hidup mereka.9
Dalam dunia perbankan, khususnya praktik perbankan dalam hal jaminan kredit, dapat dipastikan bahwa pencairan suatu objek atau jaminan kredit yang melalui penjualan jaminan kredit tersebut dilakukan untuk memenuhi tunggakan kredit debitur. Apabila pihak debitur tidak melunasi atau memenuhi tanggung jawabnya terhadap pihak bank seperti yang tertera dalam perjanjian kredit, maka bank akan melakukan tindakan dengan cara menjual jaminan kredit tersebut. Penjualan jaminan kredit tersebut diharapkan dapat sebagai pengembalian atau pelunasan dana serta untuk menekan kerugian yang dialami oleh pihak bank. Beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh pihak bank demi tercapainya penjualan kredit sesuai tujuan yang diinginkan adalah dengan cara melilitkan objek jaminan kredit dengan baik melalui hukum tertentu yang berkaitan dengan lembaga jaminan.10
Kreditur yang melakukan penjualan barang jaminan, dimana barang jaminan yang dimaksud adalah barang yang bergerak ataupun tidak bergerak sesungguhnya tidak bertujuan untuk memiliki barang tersebut secara pribadi, akan tetapi untuk melunasi hutang yang masih dimiliki oleh kreditur. Hal tersebut dilakukan mengingat perjanjian hutang piutang tidaklah sama dengan perjanjian jual beli dimana perpindahan hak kepemilikan terhadap suatu benda dapat terjadi akibat perjanjian jual beli, Sedangkan penjualan barang jaminan tersebut digunakan demi pelunasan hutang seperti yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku. Cara penjualan yang dilakukan berupa penjualan secara lelang, yang nantinya perolehan atau pendapatan dari penjualan barang dipakai untuk melunasi hutang milik debitur dan selebihnya akan dikembalikan kepada debitur tersebut. Jadi pihak bank hanya akan menerima besaran hasil penjualan sesuai dengan besarnya hutang yang sudah ditentukan.11
Jaminan kredit yang paling banyak ditemukan dan paling sering digunakan oleh debitur tidak lain adalah hak atas tanah. Jaminan kredit seperti ini kerap kali terjadi dalam dunia perbankan. Hak atas tanah tersebut dapat berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, serta hak pakai. Hal ini dikarenakan hak-hak tersebut memiliki nilai yang mahal dan terus mengalami peningkatan. Sehingga sudah seharusnya memperoleh perlindungan dalam hukum yang pasti dengan lembaga hak jaminan yang kompeten baik terhadap kreditur selaku pemberi fasilitas kredit maupun terhadap debitur selaku penerima kredit. Menurut pada ketentuan Pasal 51 UUPA, telah disebutkan bahwasannya telah disiapkan lembaga hak jaminan yang memiliki kekuasaan serta dapat dibebankan pada hak atas tanah yakni hak tanggungan selaku untuk menggantikan hypotheek serta creditverband. Akan tetapi dalam segi fungsinya lembaga ini belum berjalan dengan baik sebagaimana mestinya, terhitung sudah selama 30 tahun sejak UUPA tersebut mulai berlaku. Hal ini dikarenakan oleh belum adanya Undang-Undang yang mengatur secara menyeluruh, selain itu juga ketentuan didalam peraturan tersebut dengan asas hukum tanah nasional sudah tidak ditemukan adanya kesesuaian diantaranya. Hal ini juga berlaku dalam bidang perkreditan yang belum mampu memenuhi kebutuhan ekonomi.12
UUHT telah menjamin eksistensi lembaga jaminan hak tangggungan dan menjadikan kreditur serta debitur mendapatkan perlindungan hukum yang sama dari pemerintah. Undang-Undang Hak tanggungan ini memiliki tujuan utama yakni memberi perlindungan kepada kreditur. Contohnya apabila debitur melakukan perbuatan melanggar seperti halnya wanprestasi yang merugikan kreditur.
Setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, untuk melaksanakan UUCK tersebut khususnya Pasal 142 dan Pasal 185 (b), Pemerintah menciptakan PP 18. Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia telah menandatangani peraturan ini saat secara resmi dijadikan undang-undang pada tahun 2021 tepatnya pada tanggal 2 Februari.13 Apabila dikaitkan dengan UUCK maka peraturan ini adalah sebagian kecil turunannya secara tidak langsung.14 Berdasarkan PP ini dimungkinkanya tanah ulayat diberikan hak pengelolaan, akan tetapi masyarakat hukum adatlah yang berhak sebagai pihak yang ditetapkan untuk hak pengelolaan yang bersumber dari tanah dengan hak ulayat tersebut, dan hak pengelolaan tersebut ditetapkan dengan keputusan menteri.
Lebih lanjut, dalam PP 18 ini mengatur tentang hak pengelolaan berupa hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dapat diberikan pada pihak yang dalam hak pengelolaannya menggunakan atau memanfaatkan keseluruhannya atau sebagiannya saja dari tanahnya untuk dimiliki pribadi maupun dengan pihak lain sebagai bentuk kerjasama yang sesuai dengan sifat dan fungsinya. Seperti yang disebutkan Pasal 8 PP 18. Selanjutnya hak atas tanah yang berdiri diatas hak pengelolaan dapat digunakan sebagai jaminan meskipun hak tersebut telah dilakukan kerjasama dengan pihak lain.
Sesuai dengan objek hak tanggungan yang tertera dalam ketentuan Pasal 4 – Pasal 7 UUHT, yaitu: “Hak milik; Hak guna bangunan; Hak guna usaha.”
Melihat penjelasan Pasal 13 butir (1) PP 18 tentang hak atas tanah yang berdiri diatas hak pengelolaan yang dilakukan dengan pihak lain sebagai kerjasama boleh digunakan sebagai jaminan menyebutkan “Ketentuan ini berlaku untuk hak pengelolaan yang merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah maupun bukan aset barang milik negara/barang milik daerah”. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 tersebut, tanah ulayat milik masarakat hukum adat termasuk dalam kategori “maupun bukan aset barang milik negara/barang milik daerah.” sehingga tanah ulayat yang bersumber dari masyarakat hukum adat tersebut dapat dijadikan jaminan.
Hak tanggungan memiliki subjek yang telah diatur didalam ketentuan Pasal 8 butir pertama yang menyatakan “Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan, dimana kewenangan tersebut harus ada pada saat pemberi hak tanggungan saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.” Selain itu juga terdapat dalam Pasal 9 berikut ini; “Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berdudukan sebagai pihak yang berpiutang.”
Disebutkan bahwa pihak yang berpiutang adalah badan hukum atau juga disebut dengan perseorangan. Dalam kaitanya dengan hak atas tanah, subjek hak pengelolaan diatur pada ketentuan Pasal 5 (2), dimana disebutkan bahwa “Hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat.”
Serta penjelasan Pasal 5 (2) adalah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat, adalah masyarakat hukum adat yang menguasai Tanah Ulayat, telah diakui dan ditetapkan keberadaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang memuat kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya, wilayah hukum adat, pranata, atau perangkat hukum yang masih ditaati. Apabila di dalam proses penetapan tanah ulayat telah ada hak-hak yang sudah diberikan maka tidak termasuk yang dapat ditetapkan menjadi hak pengelolaan.” Berdasarkan hal tersebut dijelaskan bahwa tanah dengan hak ulayat yang berada dalam penguasaan masyarakat hukum adatlah yang berhak menetapkan tanah tersebut untuk menghasilkan hak pengelolaan, serta tanah ulayat tersebut haruslah terbebas dari hak-hak yang sudah diberikan terhadap tanah ulayat tersebut.
Melihat pada Penjelasan Pasal 5 (2) PP No 18 Tahun 2021 diatas, subjek hukum dari hak pengelolaan adalah perseorangan atau “Badan hukum yang telah ditetapkan oleh masyarakat hukum adat.” Sehingga dalam kaitanya dengan subjek dari hak tanggungan, pihak yang berwenang untuk pendaftaran hak tanggungan berdasarkan hak pengelolaan yang didalamnya terdapat hak atas tanah adalah subjek hukum dari hak pengelolaan yang telah ditetapkan oleh masyarakat hukum adat, sesuai dengan Pasal 5 (2) dan Pasal 8 (1) PP 18 yang menyebutkan bahwa “Hak pengelolaan yang penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanahnya untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain dapat diberikan hak atas tanah berupa hak guna usaha, hak guna bangunan dan/atau hak pakai diatas hak pengelolaan sesuai dengan sifat dan fungsinya”. Badan hukum yang telah ditetapkan oleh
masyarakat adat merupakan kekuatan hak ulayat yang dapat disebut sebagai kekuatan yang berlaku keluar. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuatan tersebut dilaksanakan dan dipertahankan oleh kepala pemerintahan selaku penguasa adat masyarakat setempat yang bersangkutan.15 Oleh sebabnya dalam hal ini hak ulayat mengikuti pola pihak asing yang sesungguhnya tidak bergabung dengan masyarakat hukum adat. Serta terdapat juga kekuatan berlaku kedalam, yang artinya tanggung jawab utama dari kepala pemerintah adat yang berasal dari hak tersebut adalah memupuk kesejahteraan serta kebutuhan masyarakat hukumnya sehingga terhindar dari permasalahan atau perselisihan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kewajiban yang masyarakat hukum adat miliki dalam kedudukannya pada proses peletakan hak tanggungan atas tanah adat hanyalah memberikan hak atas tanah ulayat milik masyarakat tersebut dan memiliki hak yang akan didapat berdasarkan hak pengelolaan yang diberikan. Selanjutnya untuk peletakan hak tanggungan bedasarkan hak atas tanah yang berasal dari hak pengelolaan atas tanah ulayat dilakukan oleh pemegang hak pengelolaan tersebut atau telah bekerjasama dengan pihak lain dalam penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanahnya.
Kehidupan manusia di bumi akan selalu berkaitan dengan tanah, yang mana tanah ini tidak dapat terlepas dari seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia, aspek ini meliputi segala penghidupan dan kehidupannya.16 tidak hanya itu, tanah bahkan menjadi komponen utama untuk membangun negara. Apabila persediaan tanah tidak cukup maka kehidupan masyarakat akan terancam, hal ini karena tanah merupakan tempat pertama bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupan. Sampai saat ini dalam setiap wilayah telah memiliki tanah ulayat untuk masarakat adat mereka. Berkaitan dengan tanah ulayat, UUPA telah mengatur yang berhubungan dengan tanah ulayat, yakni didalam Pasal 3 yaitu “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2, yaitu pelaksanaan hak ulayat dan hak lainnya yang serupa oleh masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang serta peraturan lainnya yang lebih tinggi.”
Menurut Keputusan Menteri Agraria/kepala BPN Nomor 5 tahun 1999, butir pertama yang mengatakan bahwa: “Hak ulayat adalah wewenang yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah.”17
Hubungan antara tanah dan masyarakat akan selalu mengikuti keberadaan hak ulayat.18 Berdasarkan kalimat tersebut maka selama tanah ulayat masih ada pada suatu wilayah maka masyarakat yang hidup didalamnya sudah barang tentu harus memanfaatkan hal tersebut demi terciptanya kesejahteraan. Adapun tanah ulayat tersebut adalah tanah yang memiliki hak ulayat diatasnya serta memiliki keterkaitan antara tanah tersebut dengan masyarakat hukum adat. Disisi lain masyarakat merupakan perkumpulan orang yang saling terikat satu sama lain dan juga sebagai warga bersama yang memiliki susunan hukum adat. Atau dapat disebut juga sebagai perhimpunan hukum karena adanya kesamaan diantara masyarakat baik kesamaan keturunan, kesamaan tempat tinggal dan lain sebagainya pada setiap daerah.
Menelusuri pengakuan hak ulayat masyarakat dalam hukum tanah nasional, perlindungan pemerintah terhadap hak ulayat yang dikemukakan pendapat dari Philipus M Hadjon yang ditulis dalam bukunya, dimana beliau mengatakan bahwa ada batasan tertentu mengenai perlindungan hukum pada masyarakat, yang mana dalam kepustakaan Inggris dan Belanda dikatakan sebagai berikut;
“rechtsbescherming van de burgrs tegen de overhead”
“legal protection in relation to acts of administrative authorities”.
Didalam ungkapan Philipus M. Hadjon tersebut tidaklah dijelaskan secara menyeluruh tentang definisi perlindungan. Namun bisa dipahami tujuan perlindungan tersebut yakni perlindungan pemerintah yang berkuasa dari tindakan yang semena-mena. Terdapat jalinan yang sangat erat antara perlindungan yang dikemukakan oleh Hadjon “dengan masyarakat hukum adat khususnya dalam perlindungan hukum terhadap hak ulayat”. Karena antara perlindungan dengan masyarakat memiliki hubungan dimana rakyat menjadi subyek yang harus dilindungi oleh pemerintah sebagai pelindungnya.
Perumusan dilakukan secara restriktif tentang pengertian serta kriteria hak ulayat dalam lingkup hukum negara, sehingga masyarakat belum terlibat dalam perumusan ketentuan sedangkan masyarakat sendiri merupakan objek pengaturan hak ulayat. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya perbedaan konsep definisi dan tolok ukur yang dibuat oleh pemerintah dengan kondisi dikenyataan yang saat ini terjadi di masyarakat. Masyarakat pastinya memiliki kriteria tersendiri yang dilatar belakangi oleh nilai, pandangan dan sikap yang menyangkut masyarakat adat. Berdasarkan hal tersebut maka perbedaan yang ada perlu diselaraskan dengan keterbukaan pada semua pihak untuk menyikapi dan menerima kondisi yang dialami secara mufakat.19
Selanjutnya penjelasan mengenai hak tanggungan pada Pasal 1 butir pertama pada UUHT menentukan “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”
Menurut Pasal 4 butir (1) “Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan” serta butir (2) UUHT yang menjelaskan tentang pembebanan hak tanggungan untuk hak pakai dengan ketentuan yang berlaku. Namun disamping itu perlu juga adanya penetapan Peraturan Pemerintah yang berisi tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, dan yang berhubungan dengan hal tersebut setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Maka dibentuk dan disahkanlah kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah. Maka diatur lebih lanjut tentang hak atas tanah sehingga tanah ulayat dimungkinkan untuk dimohonkan hak guna bangunan yang selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut:
Dimulai dengan penjelasan Tanah Ulayat Berdasarkan Pasal 1 butir (13) peraturan tersebut ditentukan , “Tanah ulayat adalah tanah yang berada di wilayah penguasaan masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya. masih ada dan tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.”
Lalu selanjutnya dalam Pasal 3 aturan tersebut menyebutkan; “Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi a. Hak Pengelolaan; b. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah; c. Satuan Rumah Susun; d. Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah; dan e. Pendaftaran Tanah.” Jika dibandingkan dengan objek hak tanggungan bedasarkan Pasal 4 butir pertama UUHT yaitu “Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan.” maka ruang lingkup dari Pasal 3 huruf b PP 18 Tahun 2021 merupakan objek dari hak tanggungan.
Van Vollenhoven mengemukakan pendapatnya yakni penggunaan serta pemanfaatan hak ulayat “beschikkingrecht” juga dapat digunakan untuk keperluan pihak yang berada diluar masyarakat disamping untuk kepentingan anggota masyarakatnya. Berikut pendapat yang dikemukakan Van Vollenhoven; “Hak dari persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas, tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggotanya guna kepentingan orang-orang luar (pendatang dan asing) akan tetapi dengan ijinnya dan senantiasa dengan pembayaran pengakuan rekoknisi, dalam pada itu persekutuan hukum tetap campur tangan, secara keras atau tidak, juga atas tanah-tanah yang telah diusahakan orang, yang terletak dilingkungan wilayahnya".20 Berdasarkan pendapat dari Van Vollenhoven tersebut maka
dimungkinkanya kepentingan pihak di luar masyarakat tersebut dilaksanakan dengan catatan kepentingan tersebut guna kepentingan persekutuan hukum atau masyarakat hukum adat itu sendiri.
Dilanjutkan dengan hak pengelolaan yang diatur pada BAB III PP 18 Tahun 2021, dimana dalam Pasal 5 butir (2) “Hak pengelolaan berasal dari tanah ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat.” Berdasarkan penjelasan tersebut maka hak pengelolaan dapat dimiliki dalam tanah ulayat dengan syarat-syarat tertentu yang menjadi wewenang masyarakat hukum adat untuk mengelola tanah dalam daerah atau lingkungannya serta menentukan peruntukan penguasaan, penggunaaan, serta pemeliharaan sumber daya agraria dalam wilayah hak ulayat tersebut.
Setelah diberikannya hak pengelolaan, kewenangan untuk menggunakan sendiri hak pengelolaan diberikan kepada pemegang hak tersebut, selebihnya seperti yang tercantum dalam Pasal 8 PP 18 Tahun 2021 yaitu; “Hak pengelolaan yang penggunaan atau pemanfaatan seluruh atau sebagian tanahnya untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dapat diberikan hak atas tanah berupa hak guna usaha, hak guna bangunan dan/atau hak pakai diatas hak pengelolaan sesuai dengan sifat dan fungsinya, kepada; a. pemegang hak pengelolaan sepanjang diatur dalam Peraturan Pemerintah; atau b. pihak lain, apabila tanah hak pengelolaan dikerjasamakan dengan perjanjian pemanfaatan tanah.”
Berdasarkan Pasal 8 PP 18 Tahun 2021 diatas, hak pengelolaan yang dipegang oleh suatu pihak diberikan otoritas untuk menggunakan sendiri hak pengelolaan atau bersama pihak lain melalui kerjasama, serta pemegang hak pengelolaan tersebut dapat diberikan hak atas tanah berupa hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan. Dengan disahkannya UUCK dan disahkan PP 18 Tahun 2021, diperoleh bahwa ketentuan hukum peletakkan hak tanggungan atas tanah ulayat dapat didaftarkan menjadi hak tanggungan.
-
4. Kesimpulan
Adapun kesimpulan berdasarkan penelitian ini kedudukan kesatuan masyarakat hukum adat dalam proses peletakan hak tanggungan atas tanah adat hanya memiliki kewajiban untuk memberikan hak pengelolaan atas tanah ulayat milik masyarakat hukum adat dan hak yang didapat oleh masyarakat tersebut adalah hasil yang diperoleh dari hak pengelolaan tersebut. Selanjutnya untuk peletakan hak tanggungan bedasarkan hak atas tanah yang bersumber dari hak pengelolaan atas tanah ulayat dilakukan oleh pemegang hak pengelolaan tersebut atau telah bekerjasama dengan pihak lainnya dalam menggunakan dan memanfaatkan sebagian atau seluruh tanahnya. Ketentuan hukum peletakan hak tanggungan atas tanah ulayat masyarakat hukum adat adalah dengan diundangkan secara resmi PP No. 18 Tahun 2021, dimana dalam Pasal 5 butir kedua dinyatakan bahwa tanah ulayat menjadi alasan dibentuknya hak pengelolaan, sedangkan berdasarkan Pasal 8, pemegang hak pengelolaan diberikan wewenang untuk menggunakan sendiri hak pengelolaan dan hak atas tanah yang terdiri dari dari Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan (HGB) dan/atau hak pakai dapat diberikan diatas hak pengelolaan, yang mana Hak tersebut merupakan
objek dari hak tanggungan, maka berdasarkan peraturan pemerintah ini dimungkinkanya peletakan hak tanggungan terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat. Atas kesimpulan tersebut diatas, dapat diberikan beberapa rekomendasi yakni Masyarakat hukum adat dalam memberikan hak pengelolaan yang berbentuk perseorangan atau badan hukum yang telah ditetapkan oleh masyarakat hukum adat seharusnya lebih mementingkan kepentingan umum desa adat itu sendiri sehingga dapat meminimalisasi kerugian yang mungkin terjadi dimasa mendatang. Dengan disahkannya UUCK dan diundangkan nya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah maka dapat disarankan bahwa hukum tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika penegak hukum dalam hal ini menitikberatkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kemanfaatannya dikesamping-kan. Begitu juga halnya jika lebih menitikberatkan pada nilai kemanfaatan sementara disisi lain mengesampingkan kepastian hukum dan keadilan hukum, maka hukum tersebut tidak akan berjalan sesuai harapan. Dengan melihat dari kemanfaatan tanah ulayat milik masyarakat desa adat untuk dijadikan hak tanggungan, tanpa memikirkan kepastian dan keadilan bagi masyarakat desa adat sehingga hukum itu tidak berjalan dengan baik dan berkemungkinan untuk terjadinya kerugian di pihak masyarakat hukum adat.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Arba, H. M., SH, M., Mulada, D. A., & SH, M. (2021). Hukum Hak Tanggungan: Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Diatasnya. Sinar Grafika (Bumi Aksara).
Bahsan, M. (2015). Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Cet. 5. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Windia, W. P., & Sudantra, K. (2016). Pengantar Hukum Adat Bali. Denpasar: Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Jurnal
Arwanto, B. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Akibat Tindakan Faktual Pemerintah. Yuridika, 31(3), 358-383.
doi:http://dx.doi.org/10.20473/ydk.v31i3.4857
Devita, S. M. (2021). Perkembangan Hak Pengelolaan atas Tanah Sebelum dan Sesudah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(9), 870-888. https://doi.org/10.56370/jhlg.v2i9.130
Dinur Zulfikar, M., Pujiwati, Y., & Wahjuni, S. (2022). Kedudukan Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional Dikaitkan Kepemilikan Barang Milik Negara/Daerah: The Position Of Management Rights In The National Land Law Is Linked To State/Regional Property Ownership. Litra: Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, Dan Agraria, 1(2), 229-245.
https://doi.org/10.23920/litra.v1i2.771
Hasan, U., Suhermi, S., & Sasmiar, S. (2020). Eksistensi Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 4(2), 649-660.
https://doi.org/10.22437/jssh.v4i2.11523.
Widodo, M. F. S., & Musthofa, M. A. A. (2022). Politik Hukum Pembentukan Bank Tanah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Verfassung: Jurnal Hukum Tata Negara, 1(1), 69–84.
https://jurnalfasya.iainkediri.ac.id/index.php/verfassung/article/view/163
Herrayani, D. G., Soraya, L. F., & Moechtar, O. (2019). Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat Dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria. Jurnal Kertha Patrika, 41(3),289.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika/article/view/54723/32906
Januar, I. (2016). Kewajiban dan Tanggung Jawab Memenuhi Prestasi dalam Hukum Jaminan. to-ra, 2(1), 287-294. https://doi.org/10.33541/tora.v2i1.1131
Krismantoro, D. (2022). Pengakuan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Ulayat: Analisis Hubungan Antara Hukum Nasional Dan Hukum Adat. Akselerasi: Jurnal Ilmiah Nasional, 4(2), 21-32. https://doi.org/10.54783/jin.v4i2.553
Maufiroh, P., Rachman, B. R., & Purnaningrum, E. (2021). Kajian Hukum Terhadap Inkonsistensi Vertikal Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Jurnal Education And Development, 9(4), 191-196.
https://doi.org/10.37081/ed.v9i4.3101
Sari, R. M. (2021). Potensi Perampasan Wilayah Masyarakat Hukum Adat Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Mulawarman Law Review, 1-14. https://doi.org/10.30872/mulrev.v6i1.506
Zakie, M. (2016). Konflik Agraria Yang Tak Pernah Reda. Legality: Jurnal Ilmiah
Hukum, 24(1),
40-55.
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/4256
Peraturan Perundang – Undangan
Undang-Undang Dasar 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
II/MPR/1988 tentang Garis-Garis besar Haluan Negara. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Lembaran Negara RI No. 92 Tahun 1999.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Lembaran-Negara Nomor 104, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6630, Jakarta.
399
Discussion and feedback