Vol. 7 No. 03 Desember 2022

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Perbuatan Melawan Hukum Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pinjam Nama Oleh Warga Negara Asing

I Gusti Agung Ayu Sri Wulandari1, Made Gde Subha Karma Resen2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]

Info Artikel

Masuk : 20 Juli 2022

Diterima : 02 Desember 2022

Terbit : 21 Desember 2022

Keywords :

Legal protection; Unlawful Acts, Notary, Authentic Deed, Name Borrowing Agreement.


Kata kunci:

Perbuatan Melawan Hukum, Notaris, Akta Autentik, Perjanjian Pinjam Nama.

Corresponding Author:

I Gusti Agung Ayu Sri

Wulandari, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i03. p7


Abstract

The purpose of writing this research is to examine and analyze the actions of a Notary who makes a deed of a loan agreement in the form of an authentic deed whether it can be categorized as fulfilling the elements as an act of unlawful acts and to examine and analyze the position of the deed if it is used as evidence in court. This writing uses a normative legal research method by reviewing the Denpasar District Court Decision Number 82/PDT.G/2013/PN.DPS and related regulations in entering into loan agreements, applying the statutory and case approach, and using materials secondary law then the results are described descriptively. The results of the study show that the Notary's action in making the Deed of Borrowing Name Agreement as ownership of land rights by Foreign Citizens fulfills the element of an unlawful act that is contrary to the obligations of the perpetrator, and the position of the name borrowing agreement deed which is used as evidence in court does not have perfect evidentiary power and only as evidence under the hand, so that the name borrowing agreement is null and void, but the proof of a deed before the court is submitted to the judge according to the principle of Res Judicata Pro Veritate Habetur which means that the judge's decision must be considered correct

Abstrak

Tujuan penulisan penelitian ini untuk mengkaji dan menganalisis mengenai tindakan Notaris yang membuatkan akta perjanjian pinjam nama dalam bentuk akta autentik apakah dapat dikategorikan memenuhi unsur sebagai tindakan perbuatan melawan hukum serta mengkaji dan menganalisis kedudukan akta tersebut apabila dijadikan alat bukti di persidangan. Penulisan ini menggunakan jenis metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor.82/PDT.G/2013/PN.DPS serta peraturan terkait dalam melakukan perjanjian pinjam nama, dengan menerapkan pendekatan peraturan perundang-undangan serta pendekatan kasus, serta menggunakan bahan hukum sekunder kemudian hasilnya dijabarkan secara deskriptif. Hasil penelitian bahwa Tindakan Notaris dalam membuat Akta Perjanjian Pinjam Nama sebagai kepemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing memenuhi unsur perbuatan melawan hukum yakni bertentangan dengan kewajiban si pelaku, serta kedudukan

akta perjanjian pinjam nama yang dijadikan alat bukti di persidangan tidak memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan hanya menjadi alat bukti di bawah tangan, sehingga perjanjian pinjam nama tersebut batal demi hukum, Namun pembuktian dari suatu akta dimuka pengadilan diserahkan kepada Hakim sebagaimana asas Res Judicata Pro Veritate Habetur.

  • I.    Pendahuluan

Tindakan yang tidak sesuai dengan aturan hukum dalam ranah perdata tercantum pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata). Merujuk pada pembuatan sebuah perjanjian tidak akan dipungkiri bahwa akan berhadapan dengan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, baik yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan sebagai pejabat umum, maupun seseorang yang akan mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian yang telah disepakati. Asas kebebasan berkontrak sebagaimana dianut pada Buku III KUH Perdata menjadi penting dalam pengaplikasiannya di masyarakat, khususnya untuk pihak yang hendak meresmikan janjinya pada sebuah perjanjian. Faktanya bahwa tidak semua perbuatan maupun tindakan yang akan dilakukan oleh masyarakat diatur pada peraturan perundang-undangan sehingga dibutuhkannya suatu dokumen yang dapat mengikat para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian sehingga dapat dijadikan sebagai perlindungan hukum bagi pihak terkait. Asas pacta sunt servanda juga menjadi asas dalam rangka memberi kepastian untuk pihak yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian, karena perjanjian yang dibuat menjadi hukum bagi yang membuatnya. Persoalan hukum justru timbul dengan adanya asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda pada sebuah perjanjian. Karena seringkali terdapat pihak yang memperjanjikan sesuatu yang tidak diperbolehkan bahkan bertentangan dengan undang-undang.

Persoalan hukum yang terjadi di masyarakat terdapatnya perjanjian pinjam nama yang mana Warga Negara Asing (selanjutnya disebut dengan WNA) bermaksud untuk menguasa suatu hak milik atas tanah melalui cara peminjaman nama Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut dengan WNI) guna mencantumkan namanya di sertifikat hak milik atas objek tanah yang sesungguhnya adalah kepemilikan dan penguasaan oleh WNA. Sebelum WNA dan WNI tersebut mengikatkan diri dengan perjanjian pinjam nama sudah pasti WNA dan WNI datang menghadap kepada Notaris untuk berkonsultasi mengenai pembuatan perjanjian yang akan dilakukan dan memerlukan keahlian Notaris untuk membuatkan akta autentik yang dipergunakan sebagai instrumen pembuktian dalam perjanjian pinjam nama yang akan dilakukan.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Perihal Jabatan Notaris (selanjutnya disebut dengan UUJN), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Perihal Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut dengan UUJN-P) “Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai

semua perjanjian, perbuatan, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”. Kewenangan yang dimaksudkan di UUJN melahirkan hak dan kewajiban bagi Notaris. kewajiban memiliki konsep sebagai suatu hal yang oleh orang, badan hukum atau orang yang mengemban jabatan sebagai pejabat umum dalam melaksanakan wewenang yang dimilikinya.1 Hak serta kewajiban yang dimiliki Notaris meliputi wajib berlaku jujur, amanah, seksama, adil, mandiri, menjaga kepentingan pihak yang melaksanakan tindakan hukum, memberi layanan yang selaras dengan aturan pada UUJN, terkecuali jika terdapat alasan untuk menolak. Dalam pelaksanaan kewenangan itu Notaris menjalankan fungsi relatering yakni Notaris hanya menguraikan keinginan para pihak serta dituliskan pada suatu akta autentik jadi apapun yang tertuang pada akta autentik betul-betul sesuai keinginan pihak-pihak yang bersangkutan dengan menaati persyaratan keabsahan perjanjian seperti ditetapkan pada Pasal 1320 KUH Perdata serta fungsi konstatering yakni Notaris menuliskan apapun yang terjadi hadapannya, selanjutnya diuraikan menjadi sebuah akta autentik sesuai permintaan para pihak yang membutuhkan.

Notaris dalam menjalankan jabatannya pada prakteknya sering dihadapkan dengan keadaan dimana WNA akan melakukan perjanjian pinjam nama dengan WNI guna mampu menguasa serta memiliki hak milik atas tanah di Negara Indonesia. Notaris yang mempunyai pengetahuan intelektual mengenai aturan-aturan hukum, memiliki kewajiban untuk menjaga marwah jabatan dan memiliki kewajiban yang diberikan oleh hukum untuk dapat membantu menjaga ketertiban umum sudah sepatutnya memberikan pelayanan dalam bentuk penyuluhan hukum dan melarang para pihak untuk tidak melakukan perjanjian pinjam nama yang sudah jelas bertentangan dengan asas nasionalitas sebagaimana diatur pada “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Perihal Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan UUPA)”, serta hal itu dapat menciptakan kerugian untuk salah satu dari para pihak apabila perjanjian pinjam nama tetap dilakukan. Namun Notaris pada praktiknya tetap melahirkan partij acte mengenai perjanjian pinjam nama, bahkan Notaris yang mengarahkan para pihak untuk melakukan perjanjian pinjam nama tersebut. Dapat dikatakan bahwa produk akta autentik Notaris mengenai akta perjanjian pinjam nama bermasalah, karena Notaris dalam menjalankan kewenangannya melahirkan akta autentik yang bertolak belakang dengan aturan maupun kode etik profesi seorang notaris.2 Sebagaimana perbuatan yang dilakukan oleh Notaris tersebut di atas dikuatkan dengan merujuk pada Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 82/PDT.G/2013/PN.DPS, bahwa dalam putusan pengadilan tersebut telah terjadinya perjanjian pinjam nama WNI yang merupakan wujud proses kepemilikan hak atas tanah oleh WNA di Indonesia. Sehingga hal ini mampu

digolongkan menjadi satu dari sekian wujud penyelundupan hukum oleh pihak-pihak yang di fasilitasi oleh Notaris sebagai pejabat umum. Perjanjian pinjam nama tak diakui pada hukum di Indonesia, yang mana tak ada aturan yang secara khusus terkait dengan perjanjian tersebut.

Merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA, hanyalah WNI yang mampu mendapatkan hak milik atas tanah di Indonesia. Apabila dikaitkan dengan kasus sebagaimana tercantum di Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 82/PDT.G/2013/PN.DPS terdapatnya perjanjian pinjam nama WNI pada pengalihan hak milik atas tanah yang akan dikuasai oleh WNA. Perjanjian ini menunjukkan bahwasannya secara tak langsung melalui perjanjian yang dibuat oleh pihak Notaris. Adapun notaris ialah pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang menjaminkan autensitas atas tulisan yang tercantum pada akta yang dibuatnya sebagaimana dengan tugas, kewenangan, serta kewajiban dalam membuatkan akta autentik. Kewenangan seorang Notaris untuk membuat akta autentik secara tak langsung memberi kesempatan bagi Notaris untuk ikut andil membuat akta perjanjian pinjam nama tersebut, dan dapat dikategorikan bahwa Notaris yang membuat perjanjian pinjam nama tersebut mengenyampingkan peraturan yang ada dan turut serta dalam mewujudkan perjanjian yang bertolak belakang dengan aturan yang ada di Indonesia. Tentunya hal ini memicu konflik untuk seluruh pihak yang telah terikat dan terkait dengan perjanjian itu, sehingga Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap tindakan yang dilakukan. Berdasarkan pemaparan tersebut, rumusan permasalahan yang mampu ditarik yakni : 1. Apakah tindakan notaris dalam membuat perjanjian pinjam nama masuk unsur perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban si pelaku dalam perbuatan melawan hukum perdata? 2. Bagaimanakah kedudukan akta Notaris yang tidak memenuhi syarat formil dan itikad baik pada perjanjian pinjam nama dalam pembuktian di persidangan?

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui tindakan Notaris dalam menjalankan jabatannya membuat akta autentik dalam hal ini akta perjanjian pinjam nama apakah dapat dikategorikan maupun digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum, serta untuk mengetahui kedudukan akta Notaris yang dibuat oleh Notaris tak memenuhi syarat formil serta itikad baik pada akta perjanjian pinjam nama sebagai alat bukti di persidangan.

Orisinalitas terhadap penulisan ini berfokus mengkaji Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor.82/PDT.G/2013/PN.DPS mengenai akta perjanjian pinjam nama sebagai hak milik atas tanah oleh WNA. Penelitian ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Merujuk pada Penelitian terdahulu yang pertama dilakukan oleh Kadek Mery Herawati tahun 2021, dengan judul “Pertanggungjawban Notaris dan Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Orang Asing Akibat Perjanjian Nominee”. Penelitian tersebut berfokus mengkaji pengaturan pertanggungjawaban Notaris pada UUJN Perubahan. Hasil penelitian yang dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif tersebut mengungkap bahwa dalam pengaturan Undang-Undang Jabatan Notaris Perubahan mengatur sanksi yang jelas dan tegas mengenai pertanggungjawaban Notaris terhadap sengketa kepemilikan hak atas tanah oleh

warga negara asing melalui perjanjian nominee yang dibuat oleh Notaris.3 Penelitian terdahulu yang kedua dilakukan oleh Yosia Hetharie tahun 2019, dengan judul “Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Hasil penelitian tersebut yang dilakukan dengan metode penelitian hukum empiris bahwa Notaris menolak atas permintaan para pihak terhadap pelayanan jasanya untuk mewujudkan perjanjian pinjam nama dalam bentuk akta autentik karena Notaris tersebut mengetahui bahwa perjanjian pinjam nama yang akan dilakukan oleh para pihak bertentangan denga peraturan perundang-undangan, namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Yosia Hetharie tersebut juga mencantumkan bahwa apabila terdapat Notaris yang tetap merealisasikan perjanjian pinjam nama yang mengandung unsur itikad tidak baik maka dapat dimintai pertanggungjawaban secara penuh terhadap notaris.4 Berdasarkan hal tersebut di atas maka dirasa menarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pinjam Nama Oleh Warga Negara Asing”. Merujuk pada dua penelitian terdahulu sebagaimana di atas maka penelitian ini dirasa menarik untuk mengkaji dan menganalisis apabila terdapatnya notaris sebagai pejabat umum yang tetap merealisasikan atau mewujudkan perjanjian pinjam nama ke dalam bentuk akta autentik, serta mengkaji dan menganalisi kedudukan akta perjanjian pinjam nama yang dibuat dalam bentuk akta autentik apabila menjadi alat bukti di persidangan.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian hukum normatif yang didefinisikan sebagai penelitian hukum sesuai norma pada aturan perundang-undangan, sehingga penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif menghasilkan argumentasi atau nalar hukum atas validitas norma, tafsir norma, dan kreasi norma baru (ius constituendum).5 Pemakaian metode ini sebab penelitian memaparkan terkait isu yang berkembang, agar kemudian diuraikan menurut teori hukum dan konsep hukum lalu dihubungkan dengan aturan yang ada. Penelitian ini berfokus mengkaji Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor.82/PDT.G/2013/PN.DPS mengenai akta perjanjian pinjam nama yang merupakan hak milik atas tanah oleh WNA. Jenis pendekatan yang digunakan yakni peraturan perundang-undangan serta pendekatan kasus. Teknik penelusuran bahan hukum menggunakan studi dokumen khususnya teknik bola salju yaitu pada bahan hukum sekunder seperti buku hukum (text books) yang mencantumkan daftar pustaka pada bagian akhir penulisan, kemudian dilakukan penelusuran kembali terhadap buku

hukum yang terdapat di daftar pustaka tersebut.6  Teknik  analisis kajian

mempergunakan analisis deskriptif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Tindakan Notaris Dalam Membuat Perjanjian Pinjam Nama Memenuhi Unsur Perbuatan Yang Bertentangan Dengan Kewajiban Si Pelaku Dalam Perbuatan Melawan Hukum Perdata

Pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta autentik yang merupakan ruang lingkup hukum perdata yakni Notaris. Akta autentik yang dibuat oleh Notaris mengandung tiga unsur penilaiain sebagai kekuatan pembuktian yang sempurna di muka persidangan, tiga unsur penilaian tersebut yakni kekuatan pembuktian lahiriah, kekuatan pembuktian formal, dan kekuatan pembuktian material. Terdapat beberapa kategori untuk menyatakan akta tersebut sebagai akta autentik sehingga tidak pasti semua akta merupakan akta autentik. Kategori untuk menyatakan akta tersebut akta autentik harus terlebih dahulu mengasah keabsahan akta tersebut untuk memenuhi kriteria keabsahan sebagai akta autentik, dengan merujuk ke ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, dimana akta autentik harus dibuat dihadapan atau dibuat oleh pejabat umum, dan pejabat umum yang dimaksud yaitu pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembuatan akta autentik serta pembuatannya sesuai dengan wujud yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan. Berdasarkan salah satu keabsahan syarat sahnya suatu akta autentik sebagaimana tersebut di atas apabila dihubungkan dengan perjanjian pinjam nama maka perjanjian pinjam nama untuk mampu menjadi alat bukti yang sempurna harus dibuatkan dengan wujud akta autentik oleh pejabat umum berwenang.

Notaris yang merupakan pejabat umum memiliki kewenangan membuatkan akta autentik seperti dijelaskan pada Pasal 15 UUJN-P, sehingga dalam membuat perjanjian pinjam nama yang diinginkan para pihak yang menghadapnya sudah tentu Notaris memiliki kewenangan dalam membuatkan perjanjian pinjam nama yang berbentuk akta autentik. Apabila dikaji lebih mendalam perjanjian yang akan dibuat berbentuk akta autentik oleh Notaris terlebih dahulu harus memenuhi kriteria keabsahan perjanjian seperti ditentukan pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata terdapat empat kriteria keabsahan sebuah perjanjian, yakni pertama wajib terdapatnya kesepakatan yang menghasilkan persetujuan, kedua cakap menurut hukum dalam melaksanakan tindakan hukum, ketiga terdapat hal tertentu, serta keempat terdapat penyebab yang sifatnya halal. Merujuk Pasal 1320 KUH Perdata point keempat dan dihubungkan pada Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana tersebut mampu dikategorikan bahwa akta perjanjian yang dibuat terdapat tujuan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Point keempat pada Pasal 1320 KUH Perdata bukan merupakan syarat pembuatan akta, melainkan asas dari tolak ukur untuk mengukur apakah suatu akta dibuat dengan adanya tujuan yg sesuai pada aturan yg berlaku. Akta perjanjian pinjam nama pada putusan pengadilan negeri di atas mengandung kausa yang tidak halal yang mana terdapat kausa bahwa WNA bertujuan memperoleh hak atas tanah di Negara Indonesia.

Skema yang tercantum di perjanjian pinjam nama, berdasarkan hukum (de jure) WNI terdaftar namanya sebagai pemilik pada sertifkat hak milik atas tanah, namun pada faktanya (de facto) WNA yang mempunyai serta menguasai hak atas tanah tersebut. Skema perjanjian pinjam nama yang dilaksanakan mengandung unsur hukum misalnya perjanjian sewa menyewa dengan diikuti perpanjangan tanpa batas waktu dan perjanjian penguasaan tanah, mekanisme tersebut memiliki tujuan agar WNA mampu berkuasa ataupun mempunyai hak atas tanah di Negara Indonesia, entah dilaksanakan langsung ataupun tak langsung. Adapun perjanjian pinjam nama tidak diakui pada sistem hukum di indonesia dengan didukung tidak adanya aturan yang mengatur mengenai perjanjian pinjam nama pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian pinjam nama seperti itu memperlihatkan bahwa perjanjian pinjam nama tak memenuhi unsur persyaratan keabsahan suatu perjanjian khususnya pada point kausa yang sifatnya halal, Adapun perjanjian pinjam nama yang dibuat oleh para pihak sesuai putusan pengadilan negeri sebagaimana dipaparkan mengandung kausa yang tidak halal dimana perjanjian dibuat dengan adanya tujuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Perjanjian pinjam nama bertentangan dengan aturan yang ada di UUPA, yakni Pasal 21 Ayat (1) UUPA yang mengatur hanya WNI yang dapat memiliki hak atas tanah serta Pasal 26 Ayat (2) UUPA mengatur, tiap perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak milik ke WNA entah dengan cara langsung ataupun tak langsung dapat dikatakan batal secara hukum sehingga tanahnya akan dikembalikan ke negara.7

Merujuk pada Pasal 21 Ayat (3) serta Pasal 21 Ayat (4) UUPA apabila terdapat pemilik tanah yang tak memenuhi kriteria sebagai pemilik hak atas tanah, pada jangka waktu 1 (satu) tahun mengharuskan subjek yang tidak memenuhi syarat tersebut untuk melepaskan maupun mengalihkan kepada subjek yang memenuhi syarat sebagai pemilik hak atas tanah. Namun apabila hal itu tak dilaksanakan dan telah melewati periode yang ditetapkan, maka tanah itu akan hapus karena hukum sehingga tanah itu menjadi tanah milik negara. Apabila dihubungkan dengan Akta perjanjian pinjam nama sebagai wujud kepemilikan hak atas tanah oleh WNA yang terdapat pada putusan pengadilan negeri di atas dapat dikatakan telah batal demi hukum sejak dibuatnya perjanjian sehingga perjanjian yang dilakukan dianggap tak pernah ada. Sehingga akta perjanjian pinjam nama yang dibuat oleh para pihak tidak memberi kepastian hukum, tak mengikat para pihak sebagai sebuah undang-undang, apabila terjadinya sengketa yang menciptakan kerugian bagi suatu pihak maka akta perjanjian itu tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya di depan persidangan.

Wewenang Notaris dalam membuatkan akta autentik termasuk tindakan hukum yang mampu dimintai pertanggungjawaban secara hukum apabila dari suatu akta yang dibuatnya bersinggungan atau bertentangan aturan undang-undang. Sehingga seorang Notaris yang melaksanakan jabatannya apabila tidak berdasarkan pada UUJN, UUJN-P, Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Banten Tahun 2015 (kemudian dianamakan Kode Etik Notaris) dan aturan perundang-undangan lainnya mampu dimintakan pertanggungjawaban administratif, pidana, serta perdata berdasarkan pada perbuatan yang telah dilakukan. Tanah yang dimiliki WNA atas dasar akta pinjam nama adalah tindakan yang ditentang oleh hukum. Seharusnya Notaris dapat menolak untuk tidak membuat akta perjanjian pinjam nama tersebut

karena perbuatan yang akan dilakukan oleh pihak-pihak tersebut melawan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf e UUJN-P yang mengatur bahwa “memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya”. Ini pun berhubungan dengan sumpah jabatan seorang Notaris, dimana Notaris bersumpah untuk mematuhi serta setia pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI 45), Negara Republik Indonesia, UUJN, Kode Etik serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Pelanggaran dalam jabatan Notaris dapat dikualifikasikan atas, pelanggaran terhadap UUJN, Kode Etik, dan pelanggaran terhadap Undang-undang dan pertanggung jawaban tersebut biasanya secara perdata, yaitu ganti rugi, secara pidana yaitu penjara dan denda, dan secara administrasi adalah pemberhentian dari jabatannya. Setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, haruslah dipertanggungjawabkan oleh orang yang merugikan tersebut.8 Dalam teori kesalahan, hukum pidana mengenal dua bagian dari kesalahan, yaitu sengaja dan lalai, selain itu perbuatan yang merugikan orang lain secara tidak patut, dan melawan undang-undang adalah perbuatan melawan hukum. Pengaruh yang ditimbulkan akibat peran Notaris bisa positip dan bisa pula negatif. Dampak negatif ini akan mengurangi kredibilitas masyarakat terhadap jabatan Notaris dan dunia hukum di negara ini, khususnya dalam kaitannya dengan hubungan kepentingan antara seseorang dengan seseorang maupun dengan sejumlah orang.

Keberadaan Kode Etik Notaris bertujuan agar profesi seorang Notaris dapat dijalankan dengan profesional dengan motivasi dan tanggung jawab yang berorientasi pada keterampilan intelektual serta beragumentasi secara rasional dan kritis serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral.9 Pejabat Notaris harus berindak adil dan jujur bagi semua pihak, tidak membeda-bedakan para pihak yang membutuhkan jasanya, jabatan yang dimiliki bukan demi kebutuhan pribadinya tetapi kebutuhan umum sebagaimana diamanatkan pada UUJN, serta pejabat Notaris memiliki kewajiban untuk menjamin semua kebenaran formil yang tertulis pada produk akta yang dibuat. Sebagai seorang pejabat Notaris ketika melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris harus di bawah pengawasan badan yang sifatnya tak memihak serta mandiri. Pengawasan atas Notaris bertujuan supaya Notaris bersungguh-sungguh dalam melakukan pemenuhan kriteria serta melaksanakan tugas jabatan sejalan dengan aturan yang ada serta Kode Etik agar terwujud pengamanan demi kepentingan rakyat. Kode Etik Notaris dibuat dengan tujuan melindungi keluhuran serta kehormatan harkat-martabat jabatan seorang Notaris.

Berdasarkan Pasal 4 UUJN mengatur bahwa setiap Notaris ketika melaksanakan tugas-tugasnya harus patuh pada UUJN beserta semua aturan yang berlaku di Indonesia serta tiap individu memiliki posisi yang sama dimata hukum, sebagaimana sumpah jabatan bagi setiap orang yang akan mengemban jabatan Notaris. Salah satu peraturan perundang-undangan yang wajib dipatuhi oleh Notaris yakni KUH Perdata. Mencermati pembuatan akta perjanjian pinjam nama oleh Notaris maka dapat merujuk

Pasal 1365 KUH Perdata yang mengandung ketentuan bahwa seseorang yang melakukan tindak dan dari tindakan yang dilakukan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain maka diwajibkan orang yang melakukan tindakan tersebut untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan. Tahun 1919 di Pengadilan Belanda mengenai putusan Hoge Raad pada tingkat putusan kasasi memaparkan, tindakan melawan hukum berarti tak hanya melakukan pelanggaran atas ketentuan tertulis, tetapi juga masuk ke definisi yang bertentangan dengan dengan kesusilaan. Adapun unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum antara lain :10

  • 1.    Perbuatan yang melanggar hak orang lain yang mendapat jaminan oleh hukum.

Hak yang dilanggar merupakan hak seseorang yang dilindungi oleh hukum, dan hak tersebut tak dibatasi oleh hak yang dimiliki oleh seseorang yakni hak pribadi, hak atas kehormatan serta nama baik, hak kekayaan, dan hak kebendaan.

  • 2.    Perbuatan yang bertolak belakang dengan kewajiban hukum si pelaku.

Setiap individu harus memenuhi segala sesuatu mengenai hukum yang telah diatur dalam undang-undang baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

  • 3.    Perbuatan atau tindakan tidak sesuai dengan kesusilaan (goede zeden).

Hukum yang lahir, tumbuh, berkembang, dan berlaku dalam masyarakat yang dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat yang selanjutnya disebut hukum tak tertulis, jika sudah menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya, maka pihak yang merugi berhak menyampaikan tuntutan penggantian kerugian, sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.

  • 4.    Tindakan yang bertolak belakang dengan perilaku yang baik di tengah masyarakat guna memperhatikan kepentingan pihak lain.

Tindakan yang menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya, tak melakukan pelanggaran atas hukum tertulis namun masih mampu disebut pelanggaran ataupun kewajiban dalam kehidupan di tengah masyarakat.

Unsur-unsur perbuatan yang melawan hukum sebagaimana tersebut di atas, menurut pandangan saya Notaris memenuhi unsur pada point 2 (dua) Yang menyatakan bahwa perbuatan Notaris dengan melahirkan akta autentik berupa perjanjian pinjam nama bertentangan dengan kewajiban pelaku, seharusnya sebagai seorang yang mengemban jabatan Notaris dapat membuatkan akta perjanjian sesuai dengan syarat formil, syarat materil serta syarat sahnya suatu perjanjian, jadi mampu memberi perlindungan hukum serta kepastian atas hukum untuk pihak bersangkutan. Berkaitan dengan pembuatan akta pinjam nama yang dibuat dengan akta autentik, mampu dikategorikan tindakan notaris yang merealisasikan akta perjanjian pinjam nama termasuk suatu melawan hukum. Perjanjian pinjam nama yang mana salah satu subjeknya merupakan WNA yang bertujuan mempunyai hak atas tanah yang ada di Indonesia tak memenuhi persyaratan objektif di persyaratan keabsahan sebuah perjanjian yakni salah satunya kauasa yang halal. Materi perjanjian dalam perjanjian

pinjam nama bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA serta Pasal 26 ayat (2) UUPA maka perjanjian pinjam nama dinyatakan batal secara hukum.

Perjanjian pinjam nama yang dinyatakan batal secara hukum tak dapat memberi perlindungan hukum maupun kepastian atas hukum untuk pihak-pihak yang membuat maupun pada pihak terkait, sehingga perjanjian pinjam nama yang sudah dibuat dengan akta autentik tidak memiliki kekuatan mengikat serta pihak yang merasa dirugikan tak boleh memaksa dalam upaya memenuhi isi perjanjian yang ditujukan kepada pihak satunya dihadapan persidangan. Sehingga dari perbuatan perjanjian pinjam nama yang dilakukan WNA dengan WNI tersebut menimbulkan kerugian bagi WNA karena telah mengeluarkan materi yang digunakan dalam proses kepemilikan tanah yang secara yuridis tercantum atas nama WNI. Notaris yang memiliki peran dalam membuat akta autentik mengenai perjanjian pinjam nama seharusnya bisa mengarahkan kepada para pihak untuk tidak melakukannya, karena perjanjian pinjam nama yang mana tujuannya WNA mempunyai hak atas tanah di Negara Indonesia bertolak belakang dengan UUPA. Apabila Notaris kukuh membuatkan akta perjanjian pinjam nama dan mengabaikan aturan UUPA, maka jika suatu hari timbul sengketa serta terjadi kerugian di pihak WNA maupun ketertiban umum, Notaris mampu dimintai pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.

Produk akta notaris mengenai perjanjian pinjam nama sebagai wujud kepemilikan hak atas tanah oleh pihak WNA dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum bilamana telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana Pasal 1365 KUH Perdata. Notaris saat melaksanakan tugas maupun jabatan saat membuatkan akta autentik wajib mematuhi UUJN, disamping itu juga diwajibkan untuk mematuhi ketentuan KUH Perdata, UUPA serta aturan lain yang diberlakukan di Indonesia. Kategori perbuatan Notaris yang memenuhi unsur tindakan melawan hukum yakni Notaris tetap membuatkan akta perjanjian pinjam nama yang menjadi wujud kepemilikan hak atas tanah oleh pihak WNA yang mana sudah jelas materi dari perjanjian pinjam nama bertolak belakang dengan UUPA. Perbuatan melawan hukum adalah tindakan yang sebab kesalahan dari pihak Notaris menciptakan kerugian untuk pihak yang terlibat di perjanjian. Adapun kesalahan yang dilakukan Notaris sebagai pejabat umum diakibatkan oleh kelalaian dan kesengajaan. Kelalaian yang dilakukan Notaris merupakan kelalaian dalam meniadakan pengetahuan bahwa dalam ketentuan UUPA adanya aturan mengenai larangan kepemilikan hak terhadap tanah oleh WNA di Indonesia. Selanjutnya kesengajaan yang dilakukan Notaris berupa keadaan dimana Notaris yang sesungguhnya mengetahui bahwa perjanjian pinjam nama dengan tujuan WNA mempunyai hak atas tanah di Indonesia tetap dibuatkan akta perjanjian pinjam nama dalam bentuk akta autentik. Sehingga kelalaian dan kesengajaan yang dilakukan oleh Notaris dapat digolongkan menjadi tindakan melawan hukum dengan menciptakan kerugian untuk orang lain.11 Notaris mampu dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum dengan menciptakan kerugian untuk pihak lain, jadi Notaris mampu dimintakan pertanggungjawabannya atas tindakan yang dilakukan, berdasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata serta Pasal 84 UUJN yang mengatur, “tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.”

Maka dari itu, mengenai pembuatan akta perjanjian perjanjian pinjam nama yang dilakukan oleh Notaris, tanggung jawab secara perdata mampu dikenakan terhadap Notaris, karena Notaris telah melahirkan akta autentik berupa perjanjian pinjam nama yang melanggar Pasal 21 ayat (1) UUPA, Pasal 26 ayat (2) UUPA, serta Notaris tak memenuhi asas kecermatan dalam membuat akta Notaris seperti dituangkan pada Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P yakni saat melaksanakan tugasnya Notaris harus melaksanakannya secara seksama. Adapun Notaris berkewajiban memastikan bahwa akta autentik yang dibuatnya akan berjalan baik dan dapat melindungi para pihak. Tanggung jawab secara perdata oleh Notaris dikuatkan dengan adanya teori hubungan faktual, yang mana sesuatu hal yang terjadi disebabkan dari adanya suatu akibat, sedangkan suatu akibat tidak akan terjadi apabila sebab itu tidak ada. Sehingga menurut teori ini seseorang yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan hukum akan selalu dituntut untuk bertanggjawab bila tindakannya telah menimbulkan kerugian. Selain itu Notaris ketika melaksanakan tugas wajib memegang teguh dua hal yang ditetapkan pada UUJN yakni Notaris berwenang melaksanakan penyuluhan terkait hukum agar perbuatan hukum yang ingin dilakukan para pihak selaras dengan peraturan, dan Notaris harus melakukan penolakan atas pembuatan akta atas tindakan hukum yang bertentangan dengan aturan bertentangan dengan aturan hukum.12 Namun Notaris tetap membuat akta Perjanjian yang mana Notaris mengetahui perjanjian yang diinginkan pihak-pihak bertolak belakang dengan hukum maka menurut pandangan saya Notaris dapat dimintai pertanggungjawabannya dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata guna mengkategorikan tindakan Notaris melakukan perbuatan melawan hukum serta Pasal 84 UUJN merupakan dasar bagi para pihak yang mengalami kerugian atas pelanggaran yang telah dilakukan Notaris. Sebagaimana rujukan dari ketentuan Pasal tersebut dikembalikan kepada Hakim dalam memberikan putusan apakah Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban dan sudah memenuhi persyaratan tindakan melanggar hukum seperti tercantum pada Pasal 1365 KUH Perdata.

  • 3.2.    Kedudukan Akta Notaris Yang Tidak Memenuhi Syarat Formil dan Itikad Baik Pada Perjanjian Pinjam Nama Dalam Pembuktian Di Persidangan

Notaris berwenang membuatkan suatu akta autentik seperti ditentukan pada Pasal angka 1 UUJN-P. Pihak Notaris menggunakan asas praduga sah dalam mengkonstatir suatu akta yang berdasarkan dengan kehendak para pihak yang akan membuatnya. Notaris tunduk pada asas praduga sah dimana Notaris wajib menerima dokumen

apapun yang diberikan oleh para pihak kepada Notaris, hal tersebut dianggap sah, karena Notaris secara materiil memang benar ada para pihak yang memberikan dokumen tersebut. Notaris tidak menjamin keterangan itu maupun data yang di dalamnya adalah benar, Notaris menjamin kebenaran materiil dalam kebenaran formal, namun asas ini tidak dapat melindungi Notaris apabila Notaris terbukti turut serta atau atas pengetahuannya hal tersebut palsu. Jika para pihak yang menghadap kepada Notaris memiliki itikad buruk dalam memberikan keterangan pada proses pembuatan akta autentik dihadapan Notaris dengan memberikan keterangan yang palsu, akibatnya sesudah akta autentik tersebut diterbitkan, maka seluruh kewajiban, hak serta dampak hukum akibat adanya suatu akta autentik dapat mempunyai kekuatan mengikat serta dianggap sah. Akta Notaris yang sejatinya menjadi akta dengan pembuktian sempurna serta dipercaya oleh rakyat, namun kebenaran suatu keterangan yang disampaikan oleh para penghadap belum dijelaskan secara lengkap serta jelas di undang-undang. UUJN memaparkan kewenangan Notaris untuk membuatkan akta autentik sesuai kehendak serta yang ingin diuraikan oleh penghadap dihadapan Notaris, dari ketentuan tersebut mengandung makna bahwa Notaris tak berwenang menyelidiki kebenaran materiil secara lebih jauh mengenai hal-hal yang disampaikan maupun dokumen yang diberikan para penghadap ke Notaris. Hal ini memperjelas kondisi dimana peraturan yang berlaku belum sepenuhnya mampu melindungi jabatan Notaris untuk melaksanakan tugas. Masih terdapat pihak-pihak yang beritikad buruk ketika membuat sebuah akta autentik, sebab belum ada ketentuan yang mengatur terkait perlindungan jabatan notaris ini. Tak hanya itu, terkait ketentuan atas pihak ketiga yang berkaitan pun belum diatur secara mengkhusus di undang-undang khususnya aspek kenotariatan.13

Menganalisis kedudukan akta Notaris yang tidak memenuhi syarat formil dan itikad baik yang digunakan sebagai pembuktian di persidangan dengan merujuk pada Pasal 1338 KUH Perdata yang mengandung unsur niat baik dalam melakukan perjanjian, selanjutnya Pasal 1313 KUH Perdata terkait suatu perjanjian, Pasal 1868 KUH Perdata mengenai suatu akta autentik, juga Pasal 1320 KUH Perdata yang membahas mengenai kriteria keabsahan melakukan perjanjian. Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur, suatu perjanjian wajib terlaksana dengan niat baik. Adapun Pasal 1313 KUH Perdata mengatur, suatu perjanjian yaitu tindakan yang melibatkan satu pihak ataupu lebih yang mengikat diri ke pihak lain atau lebih. Sesuai Pasal 1868 KUH Perdata mengatur perihal akta autentik, yaitu “Suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.” Sesuai definisi itu, didapat tiga elemen akta autentik, yakni :

  • 1.    Pembuatan akta dilaksanakan dengan wujud yang sudah ditentukan selaras dengan undang-undang;

  • 2.    Pembuatan akta autentik dilakukan dengan berdasarkan pada pengawasan serta dihadapan pejabat yang memiliki kewenangan untuk itu;

  • 3.    Lokasi pembuatan akta disesuaikan dengan tempat dilakukannya perbuatan hukum terkait dengan pembuatan akta.

Akta autentik dapat diklasifikasikan melalui dua macam jenis, yakni:14

  • 1.    Pejabat yang membuatnya dengan akta yang dibuat seseuai wewenag berdasarkan penyaksian langsung. Akta ini memiliki perbedaan dengan definisi kontrak karena akta ini hanyalah pernyataan dari pihak pejabat saja;

  • 2.    Pihak yang membuatnya dengan akta yang dirancang oleh pihak yang berkaitan serta dinyatakan dalam pembuatannya dihadapan pejabat yang memiliki kewenangan, misalnya Notaris atau PPAT.

Menurut Irwan Soerodjo menyebutkan mengenai adanya 3 (tiga) unsur esenselia guna dipenuhinya syarat formil dari akta autentik, yaitu bentuknya ditetapkan oleh perundang-undangan, dibuatkan oleh dan dihadapan pejabat berwenang berdasarkan lokasi dibuatnya akta. Kemudian C.A. Kraan berpendapat bahwa akta autentik memiliki beberapa ciri, antara lain :15

  • 1.    Penulisan yang dilaksanakan secara sengaja dan diperuntukkan menjadi barang bukti dari suatu keadaan, dibuat oleh wewenang yang dimiliki pejabat, serta ditandatangani oleh pejabat terkait;

  • 2.    Pada pelaksanannya, jika terdapat perbedaan dalam penulisan maka bukti dianggap bersumber dari pejabat yang mempunyai kewenangan.

  • 3.    Aturan perundang-undangan wajib untuk terpenuhi mengenai prosedur pembuatan (setidaknya mencantumkan informasi penting seperti waktu akta dibuat, lokasi dan pejabat yang melaksanakannya;

  • 4.    Pejabat yang berdiri sendiri tanpa adanya turut campur oleh pejabat lainnya, dan pengangkatan pejabat dilakukan oleh negara;

  • 5.    Pernyataan atas kenyataan atau perbuatan yang dinyatakan oleh pejabat adalah korelasi hukum pada aspek hukum privat.

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata mengatur mengenai keabsahan perjanjian dibutuhkan empat kriteria :

  • 1.    Kehendak pihak yang satu sesuai dengan kehendak pihak yang lain secara timbal balik;

  • 2.    Perikatan dibuat oleh orang yang telah dewasa dan memiliki akal sehat;

  • 3.    Terdapatnya suatu hal yang sudah dapat dipastikan dan ditentukan;

  • 4.    Suatu hal yang diperbolehkan menurut ketentuan aturan hukum yang berkaitan;

Perjanjian diharuskan memenuhi empat kriteria keabsahan perjanjian yakni seperti dijelaskan pada Pasal 1320 KUH Perdata yakni terdapat kata mufakat, kecakapan dalam melakukan perjanjian, terdapatnya suatu hal yang pasti, juga suatu sebab yang bersifat halal. Dengan terpenuhinya empat kriteria keabsahan suatu perjanjian itu maka sebuah perjanjian bersifat mengikat secara hukum untuk pihak-pihak yang menyusunnya. Akan tetapi hal tersebut tak mampu menghindarinya dari peristiwa tertentu, dapat saja dikemudian hari timbul kejadian yang berkaitan dengan sengketa hukum.16 Proses pembuatan perjanjian yang telah memenuhi empat kriteria keabsahan suatu perjanjian seperti pada Pasal 1320 KUH Perdata juga wajib didasari oleh itikad baik seperti disebutkan di Pasal 1338 KUH Perdata. Menurut Subekti itikad baik berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata ialah satu dari sekian aspek krusial pada hukum kontrak yang memberi kekuasaan pada hakim guna melakukan pengawasan tindakan sebuah kontrak supaya tak melakukan pelanggaran kepatutan serta keadilan.17 Hal tersebut menunjukkan, hakim mempunyai kewenangan atas kontrak apabila implementasi kontrak bertentangan dengan rasa adil satu diantara kedua pihak. Asas itikad baik memaksa terlaksananya keadilan serta kepatutan, dalam artian tuntutan terdapat kepastian hukum berwujud penerapan kontrak tak diperbolehkan melanggar nilai keadilan serta norma kepatutan.18

Akta Notaris mempunyai kualitas sebagai akta autentik apabila dibuat menurut bentuk serta aturan yang telah ditentukan pada UUJN, seperti ditentukan pada Pasal 1 angka 7 UUJN-P. Hal ini memiliki makna bahwa sifat autentik sebuah akta yang dikeluarkan oleh Notaris akan terpenuhi jika wujud serta aturan pembuatannya dilakukan berdasarkan pada UUJN. Jika sudah memenuhi kualifikasi menjadi akta autentik, selanjutnya akta Notaris akan berkekuatan hukum (rechtskracht, the force of law) yaitu suatu kekuatan yang diberikan oleh hukum terhadap akta Notaris tersebut. Kekuatan hukum yang melekat pada akta Notaris sebagai sebuah akta autentik meliputi kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian (bewijskracht) dan kekuatan eksekutorial (executorialkracht). Sehingga akta Notaris memiliki fungsi sebagai syarat formil dalam korelasi hukum tertentu serta memiliki fungsi sebagai suatu instrumen pembuktian terbaik, terkuat, dan berdaya eksekusi dalam suatu persidangan.19

Tujuan pembuktian pada perkara perdata untuk menempuh tercapaianya kebenaran formal. Tercapainya kebenaran formal dalam akta Notaris memiliki tiga unsur kekuatan pembuktian yang sempurna di muka persidangan, antara lain :

  • 1.    Kekuatan Pembuktian Lahiriah

Keterampilan lahiriah akta Notaris yaitu keterampilan aktanya tersebut dalam memberi pembuktian keabsahan yang merupakan akta autentik (acta publica probant sese ipsa), bila diamati melalui lahirnya yang merupakan akta autentik

dan selaras terhadap peraturan hukum yang telah ditetapkan terkait persyaratan akta autentik, berarti akta itu diberlakukan sebagai akta autentik, hingga bisa dibuktikan kebalikannya, bermakna sampai ada yang memberi pembuktian yaitu akta itu bukanlah akta autentik dalam segi lahiriah. Parameter dalam menetapkan akta Notaris, yakni penandatangan oleh Notaris terkait, baik yang ada dalam salinan maupun minuta akta dan terdapatnya awal akta diawali dari judul hingga akhirnya.

  • 2.    Kekuatan Pembuktian Formal

Akta Notaris perlu memberi kepastian yaitu suatu fenomena serta fakta itu pada akta betul-betul dijelaskan oleh para pihak yang menghadap serta dicantumkan oleh Notaris di suatu akta selaras terhadap prosedur yang telah ditetapkan saat membuat akta. Dalam segi formalnya, guna memberi pembuktian kebenaran serta kepastiannya terkait tanggal, hari, bulan, waktu, tahun, pukul menghadapnya, serta pihak yang menghadapnya, paraf maupun tanda tangan pihak-pihak terkait, saksi serta Notaris, dan memberi pembuktian hal yang disaksikan, dilihatnya, didengarkan oleh Notaris, dalam akta pejabat ataupun berita acara, serta melakukan pencatatan para pihaknya ataupun penghadapnya.

  • 3.    Kekuatan Pembuktian Material

Notaris harus benar-benar melihat dan mengetahui apapun yang terkandung dalam suatu akta dari apa yang telah disampaikan oleh para pihak yang menghadapnya, maka semua materi yang terkandung dalam suatu akta Notaris sangat penting. Unsur dari pembuktian material yang terkandung ini menjadikan akta Notaris sebagai suatu alat bukti yang sah kepada berbagai pihak yang membuatnya ataupun yang memperoleh hak serta diberlakukan bagi publik, kecuali terdapat bukti kebalikannya.

Ketiga unsur yang terkandung dalam suatu akta autentik sebagaimana tersebut di atas merupakan tiga unsur penilaian sebagai kekuatan pembuktian yang sempurna di muka pengadilan, sehinga siapupun terikat oleh akta tersebut. Akta Notaris tidak selalu menjadi alat bukti yang sempurna apabila terdapatnya sangkalan dan hal tersebut dapat dibuktikan oleh yang menyangkal, apabila terbukti maka status akta menjadi terdegradasi di muka persidangan.20 Merujuk pada perkara yang termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor.82/PDT.G/2013/PN.DPS yang memuat suatu perjanjian pinjam nama yang dilakukan oleh WNA dengan WNI, agar WNA dapat menguasai suatu hak atas tanah dengan meminjam nama WNI. Sehingga apabila ditinjau dari suatu akta perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris dapat dikatakan tidak sesuai dengan kriteria dalam membuat suatu perjanjian. Merujuk pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dan menghubungkan dengan akta perjanjian pinjam nama yang dilakukan tidak memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif, dimana syarat subjektif yang terkandung dalam komparisi suatu akta perjanjian

pinjam nama mengandung unsur keterangan palsu dan pada bagian syarat objektif terdapatnya kausa yang tidak halal. Objek Perjanjian pinjam nama yang dilakukan tersebut berupa tanah, yang mana tujuan dari perjanjian pinjam nama dilakukan agar adanya peralihan hak milik atas tanah yang akan dikuasai oleh WNA, apabila dihubungkan pada ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA yang mengatur bahwa hanya warga negara indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, sebagaimana ditentukan dalam ketentua Pasal 21 ayat (1) UUPA maka perjanjian pinjam nama yang dibuat dalam bentuk akta perjanjian di hadapan Notaris bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sehingga mengenai akta perjanjian pinjam nama yang dibuat oleh Notaris tersebut kehilangan autensitasnya dan terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Dalam ketentuan Pasal 41 UUJN-P telah ditegaskan bahwa apabila ketentuan dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN tidak dipenuhi dalam pembuatan akta, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Namun pembuktian dari suatu akta dimuka pengadilan diserahkan kepada Hakim sebagaimana asas Res Judicata Pro Veritate Habetur yang memiliki arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Putusan pengadilan tidak dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan, putusan pengadilan memiliki sifat final dan mengikat yang bersifat mutlak. Menurut Sudikno Mertokusumo putusan pengadilan yang menetapkan, menghapuskan atau mengubah hubungan hukum merupakan sumber hukum materiil meskipun bisa terjadinya kesalahan dalam putusan tersebut. Putusan ini juga merupakan wewenang prosesuil dan putusan ini merupakan bukti apa yang ditetapkan dalam putusan sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Terikatnya pada putusan juga memiliki arti positif dalam arti bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata veritate habetur).

  • 4.    Kesimpulan

Tindakan Notaris dalam membuat Akta Perjanjian Pinjam Nama yang bertujuan untuk dapat memiliki hak terhadap tanah oleh WNA dapat digolongkan sebagai tindakan yang memenuhi salah satu unsur perbuatan yang dilanggar oleh hukum yakni bertentangan dengan kewajiban si pelaku. Tindakan Notaris tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya secara penuh dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata juncto Pasal 84 UUJN. Sebagaimana rujukan dari ketentuan Pasal tersebut dikembalikan kepada Hakim dalam memberikan putusan apakah Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban dan telah memenuhi unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum. Kedudukan akta perjanjian pinjam nama yang dibuat berbentuk akta autentik dihadapan pihak Notaris bertolak belakang dengan aturan undang-undang, sehingga tak memenuhi syarat formil dan itikad baik, merujuk Pasal 41 UUJN-P sehingga akta kehilangan autensitasnya menjadi alat bukti yang tidak sempurna, namun pembuktian dari suatu akta dimuka pengadilan diserahkan kepada Hakim sebagaimana asas Res Judicata Pro Veritate Habetur yang bermakna bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Saran yang dapat diberikan terkait penulisan karya ilmiah ini, ditujukan kepada Notaris yang memangku jabatan sebagai pejabat umum. Notaris memiliki pengetahuan intelektual khususnya pengetahuan di bidang hukum. Notaris memiliki tugas dalam jabatannya untuk memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat dalam menciptakan akta autentik yang mana harus selalu berpedoman dan mematuhi peraturan perundang-undangan. Notaris dapat memberikan penyuluhan hukum bagi para pihak yang membutuhkan jasanya dalam melakukan perbuatan hukum, sehingga tidak ada perbuatan-perbuatan hukum yang menyimpang

dari aturan hukum dan mampu terhindar dari permasalahan hukum. Sehingga terwujudnya tujuan dibentuknya hukum.

Daftar Pustaka

Buku – Buku :

Diantha I.M.P, Dharmawan, N.K.S, dan Artha, I.G. (2018). Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Disertasi. (Bali: Swasta Nulus).

Habib., A. (2018). Hukum Notaris Indonesia. (Bandung: PT. Refika Aditama

Munir, F. (2016). Konsep Hukum Perdata. (Jakarta: Rajawali Pers).

Salim., H. (2019). Peraturan Jabatan Notaris. (Jakarta: Sinar Grafika).

Syaifuddin Muhammad. (2012). Hukum Kontrak. (Bandung: Mandar Maju).

Jurnal

Aditya, R. (2019). Akibat Hukum Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) Dalam Kepemilikan Tanah Oleh Warga Negara Asing (Doctoral Dissertation, Fakultas Hukum Unpas). DOI. http://repository.unpas.ac.id/47541.

Bukido, R. (2013). Kedudukan Alat Bukti Tulisan Terhadap Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama Manado. Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 11(2). DOI. http://dx.doi.org/10.30984/as.v11i2.170.

Harun, R. S., Dungga, W. A., & Tome, A. H. (2019). Implementasi Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Transaksi Jual Beli Online. Jurnal Legalitas, 12(2), 90-99. DOI. https://doi.org/10.33756/jelta.v12i2.5796.

Herawati, K. M. (2021). Pertanggungjawaban Notaris Dan Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Orang Asing Akibat Perjanjian       Nominee. Jurnal       Yustitia, 15(2),       45-58.       DOI.

https://www.ojs.unr.ac.id/index.php/yustitia/article/view/817.

Hetharie, Y. (2019). Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum             Perdata. Sasi, 25(1),             27-36.             DOI.

https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.147.

Hindra, I. D. (2020). Penerapan Asas Praduga Sah Terhadap Akta Notaris Dengan Adanya Figur Palsu (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor   43/PDT/2017/PT.    BNA). Indonesian   Notary, 1(004).    DOI.

http://notary.ui.ac.id/index.php/home/article/view/625.

Tumilaar, M. (2015). Fungsi Meterai Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Surat             Perjanjian. Lex             Privatum, 3(1).              DOI.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/7026.

Niasari, P., Sanusi, S., & Dahlan, D. (2021). Unsur Perbuatan Melawan Hukum dalam Kasus Pembuatan Akta Pendirian Yayasan oleh Notaris. DIVERSI: Jurnal Hukum, 7(2), 192-216. DOI. https://doi.org/10.32503/diversi.v7i2.1843.

Putra, A. P. (2019). Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Cacat Secara Formal. Jurtama, 1(1), 1-11. DOI. https://doi.org/10.31090/jurtama.v1i1.800.

Saraswati, A., Marlyna, H. M., & Handayani, F. (2021). Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Perjanjian Yang Penghadapnya Tidak Memiliki Kewenangan Untuk Bertindak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 246/Pdt.  G/2019/PN

PBR). Indonesian                            Notary, 3(3).                            DOI.

http://notary.ui.ac.id/index.php/home/article/view/2028.

Suhardini, A. P., Imanudin, I., & Sukarmi, S. (2018). Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta Autentik. Jurnal             Akta, 5(1),              261-266.              DOI.

http://dx.doi.org/10.30659/akta.v5i1.2610.

Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Nyoman, A. M., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S., Putra, I. P. R. A., & Tribuana, P. A. R. (2016). Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata. Acta Comitas, 2, 180-188. DOI. https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p05.

Yustica, A., Ngadino, N., & Sukma, N. M. Peran Etika Profesi Notaris Sebagai Upaya Penegakan          Hukum. Notarius, 13(1),          60-71.          DOI.

https://doi.org/10.14710/nts.v13i1.29162.

Tesis

Hanif, I., (2017). Akibat Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Yang Dilakukan Berdasarkan Perjanjian Pinjam Nama Atau Nominee, Universitas Islam Indonesia.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, (2004), diterjemahkan oleh R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491.

442