Vol. 7 No. 03 Desember 2022

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Legalitas Penggunaan Sidik Jari Elektronik dan Tanda Tangan Elektronik Terkait Keabsahan Akta Notaris

Anak Agung Ayu Sisthayoni1, I Gede Pasek Eka Wisanjaya2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 12 Juli 2022

Diterima : 02 Desember 2022

Terbit : 21 Desember 2022

Keywords :

Notary deed, electronic signature, electronic fingerprint


Abstract

The purpose of this study is to determine the arrangement of fingerprints and electronic signatures in the creation of a notary deed as well as the legality of the fingerprint and electronic signature in relation to the notary deed's validity. In order to address the issue of ambiguity in norms, this research used a normative legal research methodology based on primary, secondary, and tertiary legal sources that were obtained through document study techniques and examined using content analysis techniques and argumentative tactics. The research in this paper shows that the use of fingerprints and electronic signatures on the minutes of notary deeds is not specifically regulated by the laws and regulations nowadays. As a result, the application of fingerprints and electronic signatures is unclear and their legality is put into question, which will affect the authenticity of the notary deed. Authentic deeds cannot be made in electronic form and cannot be taken into consideration as legal evidence, according to Article 5 Paragraph 4 of Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions.

Kata kunci:

Akta notaris, tanda tangan elektronik, sidik jari elektronik

Corresponding Author: Anak Agung Ayu Sisthayoni, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i03. p8


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan sidik jari dan tanda tangan elektronik dalam pembuatan akta Notaris, serta untuk mencari tahu mengenai legalitas dari sidik jari dan tanda tangan elektronik tersebut terkait keabsahan akta Notaris. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif mempergunakan pendekatan perundang-undangan untuk menyelesaikan permasalahan kekaburan norma berdasarkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang didapatkan dari teknik studi dokumen, serta dilakukan analisis dengan teknik analisis isi dan teknik argumentatif. Hasil penelitian dalam penulisan ini menunjukkan bahwa penggunaan sidik jari dan tanda tangan elektronik pada minuta akta Notaris saat ini belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga penerapan sidik jari dan tanda tangan elektronik menjadi tidak jelas dan menyebabkan legalitasnya dapat dipertanyakan, serta akan mempengaruhi keotentikan dari akta Notaris tersebut. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, akta otentik tidak dapat dibuat berbentuk elektronik dan tidak dapat dianggap

sebagai alat pembuktian secara legal.

  • I.    Pendahuluan

Perkembangan teknologi berupa alat dan media elektronik saat ini memberikan pengaruh positif di berbagai bidang kegiatan, mulai dari ekonomi, sosial budaya, pendidikan, serta hukum, khususnya di Indonesia. Dengan adanya perkembangan tersebut, maka diperlukan adanya ketentuan hukum yang juga sesuai untuk mengaturnya. Hukum harus bersifat dinamis dengan menyesuaikan perkembangan yang terdapat dalam masyarakat sehingga aturan-aturan hukum dapat menjadi lebih fleksibel.1 Oleh karenanya, diperlukan adanya perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku agar mampu menyesuaikan dengan perkembangan di masyarakat saat ini.

Berkembangnya teknologi informasi dan elektronik yang terus berlanjut memberikan berbagai perubahan dan kemudahan dalam menjalankan berbagai kegiatan seperti komunikasi, proses belajar mengajar, transaksi keuangan, berbagai jenis pekerjaan, maupun pelaksanaan tugas jabatan, salah satunya dalam implementasi pelaksanaan jabatan Notaris. Bentuk perkembangan teknologi saat ini, salah satunya berupa adanya tanda tangan elektronik dan sidik jari elektronik. Kedua hal tersebut kemudian mulai diimplementasikan dalam pelaksanaan jabatan Notaris guna pembuatan secara elektronik akta Notaris. Kelebihan dari pembuatan secara elektronik akta Notaris, seperti mengefisienkan biaya dan waktu. Akan tetapi, selain memberikan berbagai manfaat untuk masyarakat, penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan beberapa permasalahan, salah satunya berkaitan dengan permasalahan hukum.2

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut dengan UUJN-P) Pasal 1 angka 1 mengatur, yakni “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Notaris memiliki wewenang seperti dijabarkan pada UUJN-P Pasal 15, dimana terdapat pula kewenangan lain Notaris yang merupakan lingkup cyber notary sebagaimana diatur melalui UUJN-P Pasal 15 Ayat (3) beserta bagian penjelasan pasal tersebut. Pasal 15 Ayat (3) UUJN-P mengatur “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan” dan selanjutnya dijelaskan lebih rinci pada bagian penjelasan, yaitu “Yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain, kewenangan mensertfifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.” Dari penjabaran pasal beserta penjelasannya, maka melakukan

sertifikasi terhadap transaksi elektronik dalam bidang cyber notary adalah salah satu kewenangan dari Notaris yang tentu memiliki kaitan pula dengan media elektronik yang digunakan dalam transaksi elektronik tersebut.

Cyber notary menurut Law Wrence Leff dikatakan sebagai seorang yang memiliki kemampuan pada bidang yang khusus berkaitan dengan hukum dan komputer, atau dapat dikatakan bahwa cyber notary tersebut adalah sebuah konsep yang mampu menggunakan perkembangan teknologi guna menjalankan kewenangan dan tugas Notaris.3 Cyber notary menimbulkan kemungkinan pada akta Notaris memanfaatkan sidik jari elektronik dan tanda tangan elektronik. Sesuai Pasal 16 Ayat (1) huruf m UUJN-P, “Akta Notaris harus ditandatangani oleh penghadap, saksi, dan Notaris pada saat itu juga”. Kemudian, Pasal 44 Ayat (1) UUJN-P mengatur yakni “Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya”. Sedangkan dalam UUJN-P Pasal 16 Ayat (1) huruf c menentukan “Notaris wajib melekatkan surat dan dokumen, serta sidik jari penghadap pada minuta akta”.

Dapat diartikan bahwa akta Notaris dalam cyber notary dibuat menggunakan media elektronik atau Notaris melakukan pengesahan terhadap sebuah perjanjian yang aktanya tidak ditandatangani di hadapan Notaris, begitu pula dengan sidik jari, dimana pelekatannya pada minuta tidak secara langsung dilakukan dihadapan Notaris. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimanakah keberlakuan penggunaan sidik jari elektronik dan tanda tangan elektronik pada minuta akta dalam bidang cyber notary. Selain itu, terdapat kekaburan dalam pelaksanaan penandatanganan secara elektronik dan pelekatan sidik jari pada minuta akta sebagai kewajiban Notaris, dimana tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana aturan pelaksanaannya, sehingga dapat mempengaruhi keabsahan akta Notaris sebagai akta otentik. Penerapan penggunaan sidik jari dan tanda tangan elektronik juga berkaitan erat dengan aturan-aturan yang termuat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan UU ITE Perubahan) sebagai payung hukum dari kegiatan transaksi elektronik.

Mengacu pada penjabaran sebelumnya, maka terdapat dua rumusan masalah yang dikemukakan pada penulisan ini dan dirasa perlu untuk dibahas lebih lanjut, yaitu: bagaimanakah pengaturan sidik jari elektronik dan tanda tangan elektronik dalam pembuatan akta Notaris? serta bagaimanakah legalitas sidik jari serta tanda tangan elektronik elektronik terkait keabsahan akta Notaris? penulisan penelitian ini memiliki tujuan, yaitu untuk memahami mengenai pengaturan sidik jari dan tanda tangan elektronik dikaitkan dengan akta Notaris, serta untuk mencari tahu mengenai legalitas dari sidik jari dan tanda tangan elektronik tersebut apabila dikaitkan dengan keabsahan akta Notaris.

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Musdamayanti dan Ahdiana Yuni Lestari pada tahun 2021 dalam jurnal Media of Law Sharia dengan judul “Kekuatan Pembuktian Tanda Tangan Elektronik dengan Menggunakan Cyber Notary”, dimana pembahasannya mengenai perbedaan antara tanda tangan konvensional dan elektronik, serta menjelaskan mengenai kekuatan pembuktian tanda tangan elektronik.4 Penelitian lainnya juga pernah dilakukan oleh Ranti Fauza Mayana dan Tisni Santika pada tahun 2021 dalam jurnal Acta Diurnal: Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan dengan judul “Legalitas Tanda Tangan Elektronik: Posibilitas Dan Tantangan Notary Digitalization Di Indonesia” yang membahas mengenai legalitas tanda tangan elektronik, serta membahas mengenai formulasi implementasi cyber notary di Indonesia.5 Dari uraian tersebut maka terlihat adanya perbedaan antara fokus pembahasan penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu, dimana penelitian ini berfokus mengkaji perihal sidik jari dan tanda tangan elektronik yang digunakan dalam akta Notaris sebagai pengimplementasian dari cyber notary.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian hukum normatif dan beranjak dari kekaburan norma mengenai penggunaan sidik jari dan tanda tangan elektronik pada akta Notaris, serta menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait. Bahan hukum yang dipergunakan, yakni bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder, seperti buku-buku, karya tulis ilmiah, artikel ilmiah, serta bahan hukum tersier berupa kamus. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen dan dilanjutkan dengan analisis melalui teknik analisis isi (content analysis) dan teknik argumentatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan Sidik Jari Elektronik dan Tanda Tangan Elektronik dalam Pembuatan Akta Notaris

Tan Thong Kie mengemukakan bahwa “tanda tangan merupakan sebuah pernyataan kehendak dari orang yang membuat tanda tangan, dimana dengan mencantumkan tanda tangan miliknya pada sebuah tulisan, maka ia menginginkan agar tulisan tersebut dianggap sebagai tulisan yang dibuatnya sendiri menurut hukum”. Secara umum, tanda tangan diartikan sebagai suatu rangkaian huruf atau tanda yang merupakan tulisan dari pembuat tanda tangan tersebut, sehingga mampu mengindividualisasi orang yang membuat pernyataan/keterangan tersebut.6 Secara konvensional, keberadaan tanda tangan dapat memperlihatkan beberapa fungsi, yakni:7

  • a.    Fungsi Simbolik  (Symbolic function)  yang merepresentasikan karakteristik

identitas seseorang walaupun terdapat kesamaan nama, tetapi bentuk tanda tangannya akan selalu berbeda, serta menunjukkan bahwa dengan membubuhkan identitas dari subyek hukum maka ia yang bertanggung jawab mengenai segala sesuatu yang telah dituliskan maupun disampaikan.

  • b.    Fungsi Otentifikasi (Authentication function) memiliki makna bahwa segala sesuatu yang ditandatangani oleh subyek hulum telah dibaca dan diketahui oleh subyek hukum itu sendiri, serta dikunci dengan mencantumkan nama dari penandatangan.

  • c.    Fungsi Persetujuan (Agreement Function) memiliki makna bahwa perbuatan penandatanganan merupakan penerapan dari sebuah bentuk penerimaan atau persetujuan terhadap isi di dalam perjanjian.

  • d.    Fungsi Pembuktian (Evidentiary Function) memiliki makna bahwa berikutnya isi dari perjanjian itu akan dijadikan bukti hukum bagi pihak-pihak yang terkait.

Pada dasarnya, tanda tangan elektronik memiliki kesamaan fungsi sebagaimana tanda tangan konvensional yang dibuat pada suatu kertas.

Tanda tangan yang digunakan dalam akta Notaris diatur melalui UUJN-P Pasal 16 Ayat (1) huruf m, yakni “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”. Perihal tanda tangan tersebut diatur pula pada UUJN-P Pasal 44 Ayat (1), yaitu “Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya”.

Sedangkan, sidik jari bisa dipergunakan untuk menegaskan identitas penghadap yang membuat perjanjian. Sebelum diundangkannya UUJN-P, penggunaan sidik jari pada praktik kenotariatan ditujukan untuk menggantikan paraf atau tanda tangan milik pihak-pihak terkait pada akta Notaris jika mereka tidak bisa mencantumkan tanda tangan mereka. Namun, setelah diberlakukannya UUJN-P, sidik jari wajib Notaris lekatkan pada minuta akta, serta sidik jari bukan lagi hanya dijadikan pengganti dari tanda tangan, seperti ditentukan pada Pasal 16 Ayat (1) huruf c UUJN-P, yaitu “Notaris wajib melekatkan surat dan dokumen, serta sidik jari penghadap pada minuta akta dalam menjalankan jabatannya”.8 Notaris melakukan pelekatan sidik jari dengan tujuan sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu para penghadap melakukan penyangkalan terhadap tanda tangan miliknya yang terdapat pada minuta akta, sehingga sidik jari milik penghadap tersebut nantinya digunakan sebagai bukti tambahan.9 Bentuk sidik jari setiap manusia tidaklah sama dan tidak mungkin memiliki kemiripan dengan orang lain, selain itu, bentuk sidik jari akan selalu sama dan tidak akan berubah. Hal inilah yang menjadi keistimewaan dari sidik jari. Selain itu, sidik jari juga bisa dipakai dalam pembuktian asli atau tidaknya identitas

seseorang, serta memastikan identitas penghadap yang melakukan perjanjian dihadapan Notaris.10 Namun, tidak terdapat penjelasan lebih jelas mengenai pelekatan sidik jari tersebut, baik mengenai bagaimana bentuk serta cara untuk sidik jari dilekatkan maupun sidik jari dari jari manakah yang dilekatkan. Dikarenakan Pasal 16 Ayat (1) huruf c UUJN-P tidaklah menjelaskan terkait sidik jari manakah yang dilekatkan, maka bisa diinterpretasikan bahwa selama Notaris konsisten, maka sidik jari manapun dapat dilekatkan.11

Selanjutnya, teknologi yang terus berkembang, memunculkan adanya tanda tangan elektronik dan sidik jari elektronik sebagai salah satu media yang dipergunakan pada kegiatan transaksi elektronik dan berbagai kegiatan lainnya, termasuk dalam pelaksanaan jabatan Notaris. Transaksi elektronik sendiri diatur lebih lanjut dalam UU ITE dan UU ITE Perubahan, dimana mengacu pada Pasal 1 angka 2 UU ITE Perubahan, “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Transaksi secara elektronik juga dikenal dengan sebutan online contract yang merupakan suatu hubungan hukum atau perikatan yang dilangsungkan secara elektronik dan mengkolaborasikan antara jaringan kerja suatu sistem informasi dimana komputer adalah basisnya, serta dilengkapi dengan jaringan dan jasa telekomunikasi dalam suatu sistem komunikasi dengan didukung oleh jaringan komputer global internet.12

Kemudian, Pasal 1 angka 12 UU ITE Perubahan menentukan, yakni “Tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan dan berkaitan dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi”. Tanda tangan elektronik ialah suatu data yang memiliki kaitan terhadap kegiatan mengkode pesan digital, dimana fungsinya adalah memberi kepastian perihal orisinalitas data, serta memberi kepastian data tidaklah dimodifikasi. Tanda tangan pada sebuah dokumen bertujuan untuk memberikan kepastian mengenai keotentikan dari dokumen tersebut.13 Terdapat prinsip hukum yang menentukan sebuah dokumen seharusnya bisa disimpan, dilihat, dan dikirim dalam bentuk kertas, sehingga konsepsi tanda tangan elektronik sesungguhnya tidaklah sejalan sesuai prinsip tersebut. Namun, keberadaan tanda tangan elektronik ini berkekuatan hukum dan diakui dengan adanya UU ITE.14

Sejalan dengan teknologi yang berkembang, dapat ditemui berbagai bentuk dari tanda tangan elektronik saat ini, yaitu:15

  • a.    Passwords (kata kunci) maupun hybrid methods (kombinasinya).

  • b.    Scanned signatures, yakni tanda tangan yang dipindai dengan media elektronik atau bisa dilakukan melalui typed names, yaitu pengetikkan nama pada suatu informasi.

  • c.    Accept button atau OK button, yaitu pilihan tombol tanda penerimaan atau persetujuan secara elektronik dengan didukung oleh secure socket layer atau saluran komunikasi yang aman.

  • d.    Digital signatures, yaitu tanda tangan digital dengan basis suatu pesan yang dienkripsi.

  • e.    Tanda yang unik dari anggota tubuh yang disebut biometric. Biometric ini berupa biometric fisiologis, yaitu iris, retina, sidik jari, DNA, serta geometri wajah. Penerapan biometric memunculkan beberapa risiko berkaitan dengan privasi atau perlindungan data pribadi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) dikarenakan data biometric akan disimpan dalam jumlah besar dan bersifat personal.

Berdasarkan bentuk-bentuk tanda tangan tersebut dapat diketahui bahwa sidik jari dapat dikategorikan sebagai bagian dari tanda tangan berupa biometric. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Sidik jari adalah rekaman sidik jari yang merujuk pada cap jempol. Sidik jari juga dapat diartikan sebagai penyelidikan bekas jari untuk mengetahui dan membedakan orang dengan meneliti garis-garis rekaman ujung jari”. Namun, sama halnya dengan pelekatan sidik jari secara konvensional, terdapat pula ketidakjelasan sehubungan mengenai kewajiban pelekatan sidik jari elektronik yang dilakukan oleh Notaris dikarenakan dalam ketentuan yang ada saat ini tidak menjelaskan mengenai sidik jari dari jari mana yang harus digunakan, tahapan menggunakan sidik jari elektronik, serta cara dilekatkannya sidik jari penghadap tersebut secara elektronik dalam minuta akta. Meskipun Pasal 15 Ayat (3) UUJN-P mengatur perihal cyber notary yang memungkinkan adanya penggunaan sidik jari elektronik sebagai bagian dari traksaksi elektronik, namun dalam UUJN-P sendiri belum secara spesifik mengatur mengenai sidik jari elektronik tersebut, sehingga menyebabkan penggunaan sidik jari elektronik mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 12 UU ITE Perubahan, yaitu sebagai tanda tangan yang dipergunakan untuk alat autentikasi maupun verifikasi.

Pada akta Notaris, penggunaan sidik jari dan tanda tangan elektronik sebagai bagian dari transaksi elektronik memiliki korelasi dengan cyber notary, sesuai dijelaskan melalui UUJN-P Pasal 15 Ayat (3) termasuk bagian penjelasannya, dimana ditentukan, yakni “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Kemudian bagian penjelasannya menjelaskan, yakni “Yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang”. Emma Nurita berpendapat bahwa “Sertifikasi adalah prosedur dimana pihak ketiga memberikan jaminan tertulis

bahwa suatu produk, proses atas jasa telah memenuhi standar tertentu, berdasarkan audit yang dilaksanakan dengan prosedur yang disepakati”.16

Notaris memiliki peranan selaku pihak ketiga yang terpercaya (trusted third party) untuk mensertifikasi guna menjaga keamanan serta mengesahkan transaksi elektronik sehingga Notaris bisa menerbitkan digital certificate bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Selain itu, dalam cyber notary Notaris mempunyai suatu fungsi utama, yaitu melakukan autentifikasi dan sertifikasi terkait proses kegiatan transaksi elektronik.17 Namun, belum terdapat definisi secara pasti mengenai kewenangan Notaris mensertifikasi transaksi elektronik. Terdapat beberapa pasal dalam UU ITE Perubahan yang mengatur mengenai sertifikasi transaksi elektronik, salah satunya pada Pasal 1 angka 10 yang menentukan “Penyelenggara sertifikasi elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik”, kemudian Pasal 1 angka 9 menentukaan bahwa “Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik”. Kewenangan Notaris melaksanakan sertifikasi bagi transaksi yang diselenggarakan melalui upaya elektronik berkesinambungan dengan kewenangan melaksanakan legalisasi oleh Notaris. Tugas Notaris sebagai pihak ketiga hanyalah memastikan sidik jari dan tanda tangan elektronik, status maupun identitas para penghadap, serta tanggal sertifikat elektronik sebagaimana ditentukan sebagai kewenangan dari Notaris melalui UUJN-P Pasal 15 ayat (2) huruf a.18

  • 3.2.    Legalitas Sidik Jari Elektronik dan Tanda Tangan Elektronik Terkait Keabsahan Akta Notaris

Kewenangan Notaris terkait cyber notary memungkinkan adanya pembuatan akta otentik elektronik beserta tanda tangan dan sidik jari elektronik. Namun, dalam penerapannya saat ini, masih terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana cara maupun prosedur penggunaan tanda tangan dan sidik jari elektronik yang wajib Notaris lekatkan pada minuta akta. Secara umum, tanda tangan elektronik bisa dianggap sah jika berbentuk rangkaian kode (tidak berupa gambar ataupun hasil scan dari tanda tangan). Tanda tangan elektronik diharuskan pula mengikuti 6 (enam) syarat sesuai ditentukan pada Pasal 11 Ayat (1) UU ITE, beserta 1 (satu) pengaman, dan mengikuti minimal 3 (tiga) persyaratan yang dimuat pada UU ITE Pasal 12 Ayat (2) sehingga mampu memberikan suatu pengakuan yang benar dan tegas, yakni tanda tangan elektronik mempunyai akibat maupun kekuatan hukum, serta kedudukannya adalah sama seperti tanda tangan manual atau konvensional.19 UU ITE Pasal 11 Ayat

  • (1)    tersebut mengatur, yakni “Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • a.    Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan;

  • b.    Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan;

  • c.    Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

  • d.    Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

  • e.    Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan

  • f.    Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.”

Sedangkan pada Pasal 12 Ayat (1) diatur, yaitu “Setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya”. Pasal 12 Ayat (2) mengatur, yaitu “Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:

  • a.    Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak;

  • b.    Penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan tanda tangan elektronik;

  • c.    Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh penanda tangan dianggap memercayai tanda tangan elektronik atau kepada pihak pendukung layanan tanda tangan elektronik jika:

  • 1.    Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan elektronik telah dibobol; atau

  • 2.    Keadaan yang diketahui oleh penanda tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan tanda tangan elektronik.

  • d.    Dalam hal sertifikat elektronik digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik, penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan sertifikat elektronik tersebut.”

Akan tetapi, saat ini peraturan perundang-undangan yang ada belumlah menjelaskan dengan rinci terkait bagaimana mekanisme agar tanda tangan elektronik dapat dianggap sah dalam suatu minuta akta Notaris, sehingga legalitas dari tanda tangan elektronik dalam minuta akta Notaris menjadi dapat dipertanyakan dan dapat mempengaruhi keotentikan dari akta Notaris tersebut. Sama halnya dengan sidik jari elektronik, dimana baik UUJN-P ataupun UU ITE belum mengatur dengan spesifik mengenai bagaimana cara dan prosedur pelekatan sidik jari elektronik pada akta Notaris, sehingga tidak dapat diketahui bagaimana prosedur agar sidik jari elektronik dapat dianggap sah, khususnya terkait dengan keabsahan akta Notaris sebagai akta otentik.

Namun, pada penerapannya secara konvensional, sidik jari berupa cap jempol/ibu jari tangan kiri atau kanan dapat dibubuhkan pada minuta akta segera setelah akta dibacakan yang digunakan untuk menggantikan tanda tangan karena penghadap tidak dapat mencantumkan tanda tangan miliknya akibat suatu alasan yang jelas dan alasan tersebut harus disebutkan pada bagian penutup akta yang dalam praktek kenotariatan dikenal dengan surrogaat. Apabila sidik jari elektronik digunakan dalam keadaan tersebut, maka pelekatan sidik jari elektronik dapat mempengaruhi keotentikan dari akta Notaris akibat belum adanya pengaturan yang jelas mengenai sidik jari elektronik tersebut, apakah sidik jari elektronik dapat digunakan untuk menggantikan tanda tangan.20

Kemudian, dalam praktek kenotariatan, penerapan Pasal 16 Ayat (1) huruf c perihal pelekatan sidik jari pada minuta akta dilakukan oleh Notaris dengan menyediakan lembaran kertas kosong untuk dibubuhi rekaman dari ibu jari atau jempol tangan kiri atau tangan kanan sebagai bentuk sidik jari pihak yang menghadap pada Notaris yang kemudian dituliskan atau diketikkan nama dari pengahadap yang bersangkutan. Lembaran tersebut kemudian Notaris lekatkan pada minuta akta. Dalam keadaan tersebut, maka pelekatan sidik jari yang dimaksud tidak berpengaruh terhadap keotentikan akta Notaris. Karena sidik jari tersebut hanya merupakan warkah dari akta Notaris yang dilekatkan pada minuta akta. Namun, penerapan pelekatan sidik jari seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni dengan menyediakan lembaran kertas kosong untuk dibubuhi rekaman dari ibu jari atau jempol tangan kiri atau tangan kanan penghadap dalam praktek kenotariatan bukanlah hal yang pasti dikarenakan tidak adanya aturan yang jelas dalam UUJN maupun UUJN-P mengenai bagaimana prosedur pelekatakan sidik jari penghadap tersebut. Oleh karenanya, pelekatan sidik jari elektronik yang dimaksudkan sebagai warkah akta seharusnya juga tidak mempengaruhi keotentikan dari akta Notaris. Akan tetapi, dikarenakan pengaturannya yang belum jelas, maka legalitas dari penggunaan sidik jari tersebut juga dapat dipertanyakan seperti halnya tanda tangan elektronik sehingga dapat mempengaruhi keotentikan dari akta Notaris.21

Merujuk pada UU ITE Pasal 5 Ayat (1) dan (2) diatur, yakni “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”. Sedangkan dalam UU ITE Pasal 5 Ayat (4) huruf b diatur, yakni “Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku untuk surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta”. Jika dicermati mengenai UU ITE Pasal 5 Ayat (4), maka terkait pembuatan akta melalui media elektronik dalam bidang cyber notary dewasa ini belum mampu dilaksanakan sepenuhnya, sebagaimana dikemukakan oleh Edmon Makarim, bahwa “konsep cyber notary di Indonesia masih dalam perdebatan, meskipun teknologi memungkinkan peranan Notaris secara online dan remote, namun

secara hukum hal tersebut seakan tidak dapat dilakukan”.22 Oleh karenanya, penggunaan sidik jari dan tanda tangan elektronik pada minuta akta Notaris menjadi dapat dipertanyakan legalitasnya. Namun, tetap terdapat kemungkinan hal tersebut peraturan jabatan Notaris dengan peraturan perundang-undangan lainnya agar kewenagan Notaris dalam konsep cyber notary dapat dilaksanakan dengan baik.

Apabila dikaitkan dengan kewenangan Notaris yang didasarkan pada UUJN-P Pasal 15 Ayat (3), yaitu melaksanakan sertifikasi terhadap transaksi elektronik, maka dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam pelaksanannya karena tidak terdapat penjelasan secara rinci terkait bagaimana prosedur menggunakan tanda tangan elektronik untuk peresmian akta Notaris, serta tidak terdapat penjelasan spesifik mengenai prosedur pelekatan sidik jari elektronik dari pengahadap, serta sidik jari dari jari tangan penghadap manakah yang dapat dilekatkan dalam minuta akta sebagai sidik jari elektronik. Selain itu, akta Notaris sebagai akta otentik bila didasarkan pada Pasal 5 Ayat (4) UU ITE tidak bisa dibuat berbentuk elektronik dan tidak bisa dijadikan suatu bentuk alat pembuktian secara legal, sedangkan tanda tangan maupun sidik jari elektronik yang digunakan merupakan bagian dari transaksi elektronik dan dokumen elektronik. Hal-hal tersebut kemudian dapat mempengaruhi keabsahan akta Notaris sebagai akta otentik, serta bisa menyebabkan degradasi akta Notaris menjadi akta di bawah tangan.

Untuk menyelesaikan permasalahan kekaburan norma tersebut maka diperlukan adanya penafsiran hukum (interpretasi) oleh hakim, yaitu sebuah pendekatan hukum dimana sudah terdapat peraturan, namun peraturan tersebut kurang jelas agar mampu diterapkan atau dilaksanakan. Penafsiran adalah metode yang digunakan untuk mengerti maksud atau arti yang termuat dalam berbagai teks hukum, serta digunakan untuk menyelesaikan berbagai kasus atau untuk membuat keputusan terkait hal-hal konkret yang ditemui. Dalam kaitannya dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini, maka penafsiran hukum (interpretasi) dilakukan terhadap undang-undang terkait. Hakim, peneliti hukum, dan pihak-pihak yang berkaitan dengan peraturan-peraturan hukum atau permasalahan hukum, seperti advokat, Notaris, atau jaksa. Namun, hanya interpretasi hakim yang selanjutnya dituangkan pada putusan dengan kekuatan hukum mengikat. Ditinjau dari peraturan yang umum, diputuskan bahwa keabsahan undang-undang bukanlah kewenangan hakim, namun hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan penafsiran terhadap undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang ada, dimana makna sesungguhnya dari bagian tertentu undang-undang dipermasalahkan.23

Para ahli mengemukakan 9 (sembilan) teori penafsiran, antara lain : 24

  • 1.    Teori penafsiran gramatikal (interpretasi bahasa), berfokus terhadap makna dari teks yang mengandung kaidah hukum di dalamnya.

  • 2.    Teori penafsiran teleologis, berfokus pada menguraikan mengenai perumusan kaidah-kaidah hukum menurut jangkauan dan tujuannya.

  • 3.    Teori penafsiran harfiah (letterlijk), berfokus pada makna atau arti dari setiap kata yang tercantum.

  • 4.    Teori penafsiran filosofis, yaitu penafsiran dimana aspek filosofis ada fokus kajiannya.

  • 5.    Teori penafsiran historis memiliki dua makna, yakni pertama, menafsirkan sejarah perumusan undang-undang yang difokuskan terhadap hal yang melatarbelakangi sejarah perumusan naskah dan kedua, penafsiran sejarah hukum melalui pencarian makna yang dihubungkan dengan perihal masyarakat di masa lalu. Pencarian makna tersebut juga mengacu pada norma-norma hukum dan pendapat-pendapat pakar masa lampau yang masih sesuai.

  • 6.    Teori penafsiran sosiologis, menekankan bahwa hal-hal sosial saat perumusan sebuah naskah bisa digunakan sebagai kajian untuk melakukan penafsiran naskah yang dimaksud.

  • 7.  Teori penafsiran sosio-historis, yaitu berfokus terhadap perihal sejarah

masyarakat yang memengaruhi perumusan naskah hukum.

  • 8. Teori  penafsiran  holistik, yaitu menafsirkan  dengan menghubungkan

keseluruhan jiwa dari suatu naskah hukum dengan naskah itu sendiri.

  • 9.    Teori penafsiran holistik tematis-sistematis, mencari tahu bagaimana tema dari artikel yang dirumuskan atau bagaimana memahami artikel secara sistematis sesuai dengan pengelompokan formulasi.

Teori-teori penafsiran hukum di atas dapat digunakan untuk mencari penyelesaian dari kekaburan norma yang ada, dimana teori yang mungkin dapat digunakan, antara lain adalah teori penafsiran gramatikal, teori penasiran teologis, serta teori penafsiran letterlijk yang penafsirannya dilakukan dengan menafsirkan bahasa untuk mengetahui makna dari setiap kata atau kalimat, serta mencari tahu tujuan maupun jangkauan yang ingin dicapai dari kaidah-kaidah hukum terkait.

Penafsiran hukum atau interpretasi oleh hakim ini dibutuhkan untuk mencari tahu atau memahami makna yang termuat pada peraturan perundang-undangan terkait yang memberikan pengaturan tentang penggunaan sidik jari maupun tanda tangan elektronik pada suatu akta Notaris, sehingga mampu menghadirkan sebuah produk regulasi hukum yang secara rinci mengatur perihal prosedur membuat akta Notaris berbasis cyber notary, salah satunya terkait pelekatan sidik jari elektronik dan penggunaan tanda tangan elektronik pada minuta akta. Oleh karenanya, diperlukan pula adanya pembaruan dalam peraturan perundang-undangan terkait, seperti UUJN-P dan UU ITE terkait dengan pembuatan akta Notaris berbasis cyber notary sehingga dapat memberikan kepastian hukum mengenai keabsahan dari akta otentik berupa akta Notaris.

  • 4. Kesimpulan

Pengaturan tanda tangan dalam akta Notaris diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf m, serta Pasal 44 Ayat (1) UUJN-P. Kemudian, bentuk elektroniknya diatur melalui UU ITE Perubahan Pasal 1 angka 12. Sedangkan pelekatan sidik jari ditentukan melalui Pasal 16 Ayat (1) huruf c UUJN-P. Akan tetapi, terkait sidik jari elektronik belum diatur secara jelas, sehingga mengenai sidik jari elektronik masih mengacu pada

ketentuan UU ITE, yaitu sebagai tanda tangan yang dipergunakan sebagai sarana autentikasi dan verifikasi. Selain itu, tidak terdapat penjelasan rinci mengenai prosedur penggunaan tanda tangan elektronik maupun pelekatan sidik jari elektronik dari pengahadap terkait peresmian akta Notaris, sehingga tanda tangan dan sidik jari elektronik tersebut menjadi dipertanyakan legalitasnya yang dapat mempengaruhi keotentikan akta Notaris. Kemudian, mengacu pada UU ITE Pasal 5 Ayat (4), akta otentik berupa akta Notaris tidak diperbolehkan berbentuk elektronik dan tidak bisa dianggap suatu bentuk alat pembuktian yang legal, sedangkan penggunaan sidik jari dan tanda tangan elektronik merupakan bagaian dari transaksi elektronik. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi keabsahan akta Notaris. Untuk itu, diperlukan adanya penyelarasan dan penjelasan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan terkait mengenai penggunaan sidik jari dan tanda tangan elektronik pada akta Notaris yang bisa diwujudkan melalui penafsiran hukum terhadap undang-undang yang berkaitan tersebut yang dilakukan oleh peneliti hukum, hakim, maupun pihak-pihak yang berkaitan dengan peraturan-peraturan hukum tersebut, seperti Notaris. Namun, hanya interpretasi hakim yang kemudian dituangkan dalam putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat.

Daftar Pustaka

Buku

Ali, A., (2015), Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cet. ke-VI, Jakarta: Kencana.

Arliman, S.L, (2015), Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim, Yogyakarta: Deepublish.

Edmon, M., (2020), Notaris dan Transaksi Elektronik Kajian Hukum Tentang Cyber Notary Atau Electronic Notary, Edisi Ke-III, Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Kusuma, I.M.H., (2019), Problematik Notaris dalam Praktik (Kumpulan Makalah), Bandung: P.T. Alumni.

Jurnal

Darmaangga, I. D. G. C. D., & Mayasari, I. D. A. D. (2021). Legalitas Peresmian Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Melalui Media Konferensi Zoom. Acta Comitas: Jurnal       Hukum       Kenotariatan,       6(01),       185-197.       DOI:

https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i01.p16.

Dewi, A. S. K. (2015). Penyelenggaraan RUPS Melalui Media Elektronik Terkait Kewajiban Notaris Melekatkan Sidik Jari Penghadap. Jurnal Arena Hukum, 8(1), 108-126. DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2015.00801.7.

Dewi, W., & R, I. (2020). Kekuatan Hukum Pelekatan Sidik Jari Penghadap Oleh Notaris Pada Minuta Akta. Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, 5(3), 436445. DOI: 10.24843/AC.2020.v05.i03.p01.

Jaya, J. A., Zulaeha, M., & Suprapto, S. (2022). Kewenangan Notaris dalam Mensertifikasi Transaksi Elektronik ditinjau dari Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Notary Law Journal, 1(2), 131-144. DOI: https://doi.org/10.32801/nolaj.v1i2.19.

Khalid, A. (2014). Penafsiran Hukum oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Al-Adl: Jurnal Hukum, 6(11). DOI: http://dx.doi.org/10.31602/al-adl.v6i11.196.

Listyana, D. S., & Wati, I. A. (2014). Kekuatan Pembuktian Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Perspektif Hukum Acara Di Indonesia Dan             Belanda. Verstek, 2(2).             146-154.             DOI:

https://doi.org/10.20961/jv.v2i2.38859.

Makarim, E. (2011). Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian Hukum Terhadap Kemungkinan Cyber Notary di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan 41(3). DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol41.no3.287.

Mayana, R. F., & Santika T. (2021). Legalitas Tanda Tangan Elektronik: Posibilitas dan Tantangan Notary Digitalization di Indonesia. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum             Kenotariatan, 4(2),             244-262.             DOI:

https://doi.org/10.23920/acta.v4i2.517.

Musdamayanti, M., & Lestari, A.Y. (2021). Kekuatan Pembuktian Tanda Tangan

Elektronik dengan Menggunakan Cyber Notary. Media of Law and Sharia, 3(1), 75-86. DOI: https://doi.org/10.18196/mls.v3i1.13229.

Novelin, T., & Sarjana, I. (2021). Peran Notaris Dalam Penentuan Pembubuhan Sidik Jari Penghadap Dalam Minuta Akta. Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, 6(02), 238 – 247. DOI:10.24843/AC.2021.v06.i02.p02.

R, N., & Dharmawan, N. (2022). Cyber Notary di Era Globalisasi 4.0: Suatu Kebutuhan Ataukah Ancaman. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 7(01), 1-12. DOI:10.24843/AC.2022.v07.i01.p01.

Rukmana, R., Savitri, N. D., & Padha, Y. A. (2021). Peran Notaris Dalam Transaksi Perdagangan Berbasis Elektronik. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 7(1), 495508. DOI: https://doi.org/10.23887/jkh.v7i1.32324.

Setiadewi, K., & Wijaya, I. M. H. (2020). Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Sebagai Akta Otentik. Jurnal Komunikasi Hukum, 6(1), 126-134.  DOI:

http://dx.doi.org/10.23887/jkh.v6i1.23446.

Sulaiman, E., Arifudin, N., & Triyana, L. (2020). Kekuatan Hukum Digital Signature Sebagai Alat Bukti Yang Sah Di Tinjau Dari Hukum Acara Perdata. Risalah Hukum, 95-105. DOI: https://doi.org/10.30872/risalah.v16i2.207.

Susanti, D., & Efendi, A. (2019). Memahami Teks Undang-Undang dengan Metode Interpretasi Eksegetikal. Kertha Patrika, 41(2),   141-154. Retrieved

from https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika/article/view/51178.

Widiasih, N. (2020). A Kewenangan Notaris dalam Mensertifikasi Transaksi yang Dilakukan Secara Elektronik (Cyber Notary). Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 5(1), 150-160. DOI: 10.24843/AC.2020.v05.i01.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952.

457