Vol. 7 No. 03 Desember 2022

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Pemaknaan Frasa “Untuk Sementara Berhalangan Menjalankan Jabatan” Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris

W Ida Junana1, Pande Yogantara S2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 11 Juli 2022

Diterima : 02 Desember 2022

Terbit : 21 Desember 2022

Keywords :

Meaning, Inability to Run a Position, Notary.


Kata kunci:

Pemaknaan, Berhalangan Menjalankan Jabatan, Notaris.

Corresponding Author:

W Ida Junana, E-mail: [email protected]

DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i03.

p6


Abstract

The purpose of this paper is to find out and examine the meaning of the phrase "temporarily unable to carry out his position as a Notary" and also to find out and examine the legal consequences for a Notary who is temporarily unable to carry out his position. The legal research method in this journal uses normative legal research, with a statutory approach and a conceptual approach. law. Based on the results of the study, the phrase "temporarily unable to carry out his position as a Notary" can be interpreted as being unable to do so due to overmacht conditions and unable to do so because the Notary holds positions as civil servants, state officials, advocates, or other positions. For a Notary who is temporarily unable to carry out his position, he can apply for leave with a maximum total leave of 12 (twelve) years. As for those who cause legal consequences, if the Notary does not apply for leave, he will be subject to sanctions in the form of respectful dismissal. However, the UUJN/UUJN-P does not stipulate sanctions if the Notary is on leave for more than 12 (twelve) years.

Abstrak

Tujuan dalam penulisan ini yakni mengetahui dan mengkaji pemaknaan frasa “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris” dan juga untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum bagi Notaris yang sementara berhalangan menjalankan jabatannya. Metode penelitian hukum dalam artikel ini memakai penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep hukum. Berdasarkan hasil penelitian, frasa “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris” dapat dimaknai sebagai “berhalangan dikarenakan keadaan memaksa (overmacht) dan berhalangan dikarenakan Notaris memangku jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau jabatan lain”. Bagi Notaris yang sementara berhalangan menjalankan jabatannya, maka dapat melakukan permohonan cuti dengan jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun. Adapun yang menimbulkan akibat hukum yakni apabila Notaris tidak melakukan permohonan cuti, maka dikenakan sanksi berupa pemberhentian dengan hormat. Namun, dalam UUJN/UUJN-P tidak diatur perihal sanksi apabila Notaris cuti lebih dari 12 (dua belas) tahun.

  • I.    Pendahuluan

Notaris berperan melayani kepentingan masyarakat dalam hal pembuatan suatu akta untuk memberikan jaminan kepastian, perlindungan hukum, dan keadilan bagi masyarakat.1 Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Notaris harus: “bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang berkepentingan dalam melakukan perbuatan hukum”.2 Jaminan perlindungan dan jaminan tercapainya kepastian hukum terhadap pelaksanaan tugas Notaris telah diatur dalam UU 30/2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Namun, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga dirubah dengan UU 2/2014 tentang Perubahan Atas UU 30/2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P). Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris harus berpedoman pada KUHPerdata, UUJN-P, kode etik, dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan jabatan Notaris.3

Pasal 1 angka 1 UUJN-P mengatur “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Berdasarkan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa “Notaris merupakan pejabat yang diberikan kewenangan oleh Negara untuk melaksanakan sebagian tugas dan wewenang Negara di bidang hukum khususnya bidang hukum perdata bagi warga Negara yang membutuhkan alat bukti terhadap perbuatan-perbuatan hukum melalui produk hukum Notaris berupa akta autentik”.4 Oleh karena itu, ketika Notaris cuti, sakit, atau berhalangan menjalankan jabatan, sebagaimana Pasal 32 ayat (1) UUJN-P mengatur “Notaris yang menjalankan cuti wajib menyerahkan Protokol Notaris kepada Notaris Pengganti”5. Pasal 1 angka 3 UUJN- P mengatur mengenai definisi Notaris Pengganti yakni “Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris”. Mengenai hal tersebut juga diatur dalam Pasal 1 angka 3 Permenkumham 19/2019 tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Cuti, Perpindahan, Pemberhentian, Dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris (Permenkumham 19/2019). Sama halnya dengan Notaris, Notaris pengganti dalam menjalankan jabatan juga berpedoman pada KUHPerdata, UUJN-P, kode

etik, dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan jabatan Notaris. Notaris pengganti juga memiliki kewenangan yang sama dengan Notaris seperti membuat akta autentik. Pasal 1868 KUHPerdata mengatur “suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Namun, dalam Pasal 1 angka 3 UUJN-P dan Pasal 1 angka 3 Permenkumham 19/2019 tidak menjelaskan lebih lanjut perihal frasa “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris” sehingga hal tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda/multitafsir.

Dalam suatu aturan hukum seharusnya tidak terdapat multitafsir agar tercapainya kepastian hukum. Hulman Panjaitan berpendapat bahwasannya “Kepastian hukum merupakan sesuatu hal yang prinsip dan mendasar yang menjadi harapan semua orang”6. Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis berpendapat “Kepastian merupakan ciri-ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum bagi setiap orang tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman orang untuk berperilaku. Kepastian hukum merupakan nilai lebih dari peraturan tertulis daripada tidak tertulis. Dengan adanya peraturan tertulis, orang dapat lebih mudah untuk menemukan, membaca, dan memastikan bagaimana hukumnya”7. Adapun teori kepastian hukum sebagaimana dikemukakan oleh Jan Micheal Otto, bahwa “kepastian hukum nyata telah mencakup pengertian dari kepastian hukum. Kepastian hukum nyata adalah titik akhir dari setiap sistem hukum yang mampu memberikan kepada setiap warga negara untuk dapat memperoleh aturan hukum yang mudah, jelas, dan efektif melalui sistem hukum yang ada dan hasil seperti ini seyogyanya sudah dapat diperkirakan sebelumnya”8. Maka dari itu, suatu aturan hukum haruslah jelas dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, adapun permasalahannya yakni bagaimana pemaknaan frasa “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris”?dan bagaimana akibat hukum bagi Notaris yang sementara berhalangan menjalankan jabatannya?

Tujuan dalam penulisan ini yakni mengetahui dan mengkaji pemaknaan frasa “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris” dan juga untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum bagi Notaris yang sementara berhalangan menjalankan jabatannya. Adapun penelitian terdahulu dilakukan oleh Wirya Adhy Utama dan Ghansham Anand pada tahun 2018 yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Pengganti Dalam Pemanggilan Berkaitan Dengan Kepentingan Peradilan”9. Penelitian tersebut berfokus pada perlindungan hukum terhadap Notaris Pengganti, sedangkan penelitian ini berfokus pada kekaburan norma dalam Pasal 1 angka 3 UUJN-P perihal pemaknaan Frasa “Untuk Sementara Berhalangan Menjalankan Jabatan” Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Adapun penelitian terdahulu juga dilakukan oleh Gde

Bagus Nugraha dan I Made Arya Utama yang berjudul “Perlindungan hukum Terhadap Masyarakat Terkait Notaris Yang Diberhentikan Sementara”10. Penelitian tersebut berfokus pada perlindungan terhadap masyarakat terkait Notaris yang diberhentikan sementara, sedangkan penelitian ini berfokus pada kekaburan norma dalam Pasal 1 angka 3 UUJN-P perihal pemaknaan Frasa “Untuk Sementara Berhalangan Menjalankan Jabatan” Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Berdasarkan pendahuluan ini, maka Penulis tertarik mengangkat judul “Pemaknaan Frasa “Untuk Sementara Berhalangan Menjalankan Jabatan” Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris”.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yakni “berpedoman pada bahan hukum”11. Penelitian ini menggunakan “pendekatan UU dan analisis konsep”. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yakni “bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder yakni buku dan jurnal ilmiah”12. Pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik studi kepustakaan. Penelitian jurnal ini menggunakan “sistem bola salju” yaitu “terus menggelinding dari aturan yang tertinggi hingga yang terendah dengan cara mencari norma pada Undang-Undang dan peraturan-peraturan dibawahnya yang berkaitan dengan isu hukum dan permasalahan pada penelitian ini”13. Teknik analisis bahan hukum dalam jurnal ini menggunakan “teknik deskripsi yang merujuk pada peraturan UU terkait, Peraturan Menteri, dan literatur-literatur yang dikumpulkan terkait permasalahan jurnal ini”.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Analisis Pemaknaan Frasa “Untuk Sementara Berhalangan Menjalankan Jabatannya Sebagai Notaris”

“Notaries as general officials under the supervision of the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia are given confidence by the government to carry out some private (civil) legal functions for the benefit of public law” 14 yang dalam bahasa Indonesianya berarti “Notaris sebagai pejabat umum di bawah pengawasan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia diberikan kepercayaan oleh pemerintah untuk menjalankan beberapa fungsi hukum privat (perdata) untuk kepentingan hukum public”. Dalam UUJN-P, pengertian Notaris diatur pada Pasal 1 angka 1 yakni “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Kewenangan mana yang dimaksud pada Pasal 15 yakni:

“(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang- undang.

  • (2)    Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:

  • a.    mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

  • b.    membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

  • c.    membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

  • d.    melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

  • e.    memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;

  • f.    membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

  • g.    membuat Akta risalah lelang.

  • (3)    Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Kewenangan Notaris sebagaimana pasal tersebut juga merupakan kewenangan dari Notaris Pengganti15. Mengenai definisi Notaris Pengganti diatur dalam Pasal 1 angka 3 UUJN-P dan Pasal 1 angka 3 Permenkumham 19/2019 yakni “Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris”. Selanjutnya,Pasal 33 ayat (1) UUJN-P yakni “Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris adalah warga negara Indonesia yang berijazah sarjana hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut. Pasal 27 ayat (3) Permenkumham 19/2019 juga mengatur:

Notaris Pengganti yang ditunjuk harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  • a.    warga negara Indonesia;

  • b.    berijazah sarjana hukum; dan

  • c.    telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut.

Mengenai frasa “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris” tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 3 UUJN-P dan Permenkumham 19/2019. Dalam penjelasan pasal tersebut hanya mengatur “cukup jelas” dan tidak dijelaskan lebih lanjut perihal alasan-alasan Notaris berhalangan menjalankan jabatannya. Dalam aturan lainnya yaitu Kode Etik Notaris, Peraturan Perkumpulan, Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga juga tidak dijelaskan lebih lanjut alasan-alasan apakah yang tergolong kedalam “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatan sebagai Notaris”, apakah atas kehendak dari Notaris itu sendiri, ataukah dikarenakan alasan-alasan tertentu seperti force majeur. Dengan tidak jelasnya makna dari “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris” menyebabkan Notaris tidak dapat mengetahui batasan-batasan atau alasan-alasan apa saja yang diperbolehkan kepada Notaris untuk berhalangan menjalankan jabatannya.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kepastian hukum sebagaimana dikemukakan oleh Jan Micheal Otto, bahwa “kepastian hukum nyata telah mencakup pengertian dari kepastian hukum. Kepastian hukum nyata adalah titik akhir dari setiap sistem hukum yang mampu memberikan kepada setiap warga negara untuk dapat memperoleh aturan hukum yang mudah, jelas, dan efektif melalui sistem hukum yang ada dan hasil seperti ini seyogyanya sudah dapat diperkirakan sebelumnya”.16 Jan Micheal Otto kemudian membagi kepastian hukum nyata sebagai berikut :

  • 1.    Peraturan perundang-undangan merupakan norma hukum yang jelas, konsisten, mudah diperoleh (accesibel), dan diterbitkan oleh atau diakui negara (pemerintah).

  • 2.    Bahwa instansi-instansi atau Lembaga-Lembaga pemerintahan menerapkan Undang-Undang sebagai aturan hukum secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya.

  • 3.    Bahwa pada dasarnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga negara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut

Jan Micheal Otto menyatakan bahwa “peraturan perundang-undangan merupakan norma hukum yang jelas, konsisten, mudah diperoleh (accesibel), dan diterbitkan oleh atau diakui negara (pemerintah)”. Maka dari itu, dalam peraturan perundang-undangan khususnya UUJN-P seharusnya diberikan penjelasan lebih lanjut perihal makna dari frasa “untuk sementara berhalangan menjalankan jabatan” agar tidak terdapat penafsiran yang berbeda-beda sehingga kepastian hukum dapat tercapai.

Dalam kamus hukum, tidak terdapat mengenai definisi dari berhalangan. Definisi berhalangan menuut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni berhalangan berasal dari kata dasar halang, ada rintangan sehingga suatu rencana tidak terlaksana17. Jika menggunakan penafsiran sistematis (logis), dimana “penafsiran sistematis (logis) merupakan penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya”, maka frasa “berhalangan” dibedakan menjadi 2 (dua) yakni:

  • 1.    Berhalangan tetap

  • 2.    Berhalangan sementara

Jika merujuk pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni pada penjelasan Pasal 78 ayat (2) huruf b mengatur bahwa “yang dimaksud dengan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap dalam ketentuan ini adalah menderita sakit yang mengakibatkan fisik atau mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berweanang dan/atau tidak diketahui keberadaannya

dan/atau meninggal dunia”. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka ditarik simpulan bahwa makna “berhalangan tetap” adalah:

  • 1.    tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan

  • 2.    disebabkan menderita sakit yang mengakibatkan fisik atau mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang

  • 3.    pejabat yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya18

Secara sederhana, dapat dipahami bahwa “berhalangan tetap” berarti “seorang pejabat tidak akan kembali memangku jabatan yang ditinggalkannya dan hal ini dapat terjadi karena banyak sebab seperti misalnya pejabat tersebut menderita sakit keras yang tidak memungkinkan ia mampu lagi menjalankan jabatannya”. Sementara itu, “berhalangan sementara” berarti bahwa “pejabat yang bersangkutan meninggalkan jabatannya untuk sementara waktu dan ia akan kembali lagi untuk memangku jabatannya. Seperti misalnya keadaan memaksa (overmacht) misal tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris atau misal karena Notaris memangku jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris atau misal karena Notaris memangku jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris”19. Maka dari itu, Notaris diberikan hak untuk mengambil cuti dengan syarat sebagaimana Pasal 21 Permenkumham 19/2019, sebagai berikut:

  • a.    telah menjalani masa jabatan selama 2 (dua) tahun;

  • b.    belum memenuhi jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun; dan

  • c.    menunjuk seorang Notaris Pengganti

  • 3.2 Akibat Hukum Bagi Notaris Yang Sementara Berhalangan Menjalankan Jabatannya

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum .Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum20

Menurut Soeroso, “akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan ini dinamakan tindakan hukum. Jadi dengan kata lain, akibat hukum adalah akibat

dari suatu tindakan hukum. Contoh: membuat wasiat, pernyataan berhenti menyewa”. Menurut A.Ridwan Halim, “akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum”21.

Dalam UUJN-P dan Permenkumham 19/2019,terdapat beberapa sanksi bagi Notaris yang melakukan pelanggaran, yakni berupa22:

  • a.    peringatan tertulis;

  • b.    pemberhentian sementara;

  • c.    pemberhentian dengan hormat; atau

  • d.    pemberhentian dengan tidak hormat

Mengenai pemberhentian dengan hormat, Pasal 55 Permenkumham 19/2019 mengatur:

Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat, karena:

  • a.    meninggal dunia;

  • b.    telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun atau telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Notaris yang telah diperpanjang masa jabatan;

  • c.    atas permintaan sendiri;

  • d.    tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus- menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

  • e.    merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris

Selanjutnya, mengenai pemberhentian sementara, Pasal 86 Permenkumham 19/2019 mengatur:

Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:

  • a.    dalam    proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;

  • b.    berada di bawah pengampuan;

  • c.    melakukan perbuatan tercela;

  • d.    melakukan      pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan

serta kode etik Notaris; atau

  • e.    sedang menjalani masa penahanan

Mengenai pemberhentian dengan tidak hormat, Pasal 89 Permenkumham 19/2019 mengatur:

Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul MPP apabila:

  • a.    dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

  • b.    berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

  • c.    melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan, martabat dan jabatan Notaris;

  • d.    melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan Notaris; dan/atau

  • e.    tidak melaksanakan serah terima protokol tanpa alasan yang sah dalam jangka waktu yang ditentukan

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, “berhalangan sementara” berarti bahwa “pejabat yang bersangkutan meninggalkan jabatannya untuk sementara waktu dan ia akan kembali lagi untuk memangku jabatannya, seperti keadaan memaksa (overmacht), misal Notaris tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani untuk melaksanakan tugas jabatan selama tidak lebih dari 3 (tiga) tahun berturut-turut”. Apabila Notaris tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani untuk melaksanakan tugas jabatan secara terus- menerus selama lebih dari 3(tiga) tahun, maka sebagaimana Pasal 55 huruf d Permenkumham 19/2019 mengatur “Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat, karena tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus- menerus lebih dari 3 (tiga) tahun”. Dalam hal Notaris memangku jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris, maka Notaris wajib mengajukan cuti sebagaimana Pasal 11 ayat (1) UUJN-P mengatur “Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti”. Selanjutnya, Pasal 30 ayat (1) dan (2) Permenkumham 19/2019 mengatur:

  • (1)    Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada MPP.

  • (2)    Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara

Dapat diketahui bahwa tidak ada kewajiban terhadap Notaris untuk berhenti menjalankan jabatan sebagai seorang Notaris23. Ia tetap berstatus sebagai Notaris , hanya saja tidak menjalankan jabatan untuk sementara dan wajib mengajukan cuti24. Adapun yang menimbulkan akibat hukum yakni apabila Notaris merangkap jabatan, maka sebagaimana Pasal 55 huruf e Permenkumham 19/2019 mengatur “Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris”.

Perihal pengajuan cuti, jumlah waktu cuti bagi Notaris sebagaimana Pasal 26 UUJN mengatur sebagai berikut:

  • (1)    Hak cuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dapat diambil setiap tahun atau sekaligus untuk beberapa tahun.

  • (2)    Setiap pengambilan cuti paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk perpanjangannya.

  • (3)    Selama masa jabatan Notaris jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun

Mengenai hal tersebut, dalam UUJN/UUJN-P dan Permenkumham 19/2019 tidak diatur lebih lanjut perihal sanksi bagi Notaris apabila Notaris cuti selama lebih dari 12 (dua belas) tahun sehingga masih terdapat kekosongan norma.

4. Kesimpulan

Frasa “Untuk Sementara Berhalangan Menjalankan Jabatannya Sebagai Notaris” dapat dimaknai sebagai “berhalangan sementara untuk melaksanakan tugas jabatan dikarenakan keadaan memaksa (overmacht) misal tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani untuk melaksanakan tugas jabatan dan Notaris yang memangku jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris”. Bagi Notaris yang sementara berhalangan menjalankan jabatannya, maka dapat melakukan permohonan cuti dengan jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun. Adapun yang menimbulkan akibat hukum yakni apabila Notaris tidak melakukan permohonan cuti, maka dikenakan sanksi berupa pemberhentian dengan hormat. Namun, dalam UUJN/UUJN-P tidak diatur perihal sanksi apabila Notaris cuti lebih dari 12 (dua belas) tahun. Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yakni perlu diatu lebih lanjut perihal frasa “Untuk Sementara Berhalangan Menjalankan Jabatannya Sebagai Notaris” agar tidak terdapat penafsiran yang berbeda-beda sehingga kepastian hukum dapat tercapai.

Daftar Pustaka

Buku

Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.

(2018). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kelima. Kementerian Pendidikan Kebudayaan: Jakarta.

Efendi, A. dan Poernomo F. (tanpa tahun). Hukum Administrasi. Sinar Grafika: Jakarta.

Otto, J.M. (2012). Kajian Sosial Legal.Pustaka Larasan:Denpasar.

Panjaitan,H. (2021). Hukum Perlindungan Konsumen. Jala Permata Aksara:Jakarta.

Rumokoy, D.A. dan Maramis, F. (2018). Pengantar Ilmu Hukum .PT Raja Grafindo Persada: Depok.

Suratman dan H.Philips D. (2015). Metode Penelitian Hukum. Alfabeta : Bandung.

Jurnal Ilmiah

Arsawan, I. G. Y., & Cahyono, A. B. (2021). Perlindungan Hukum Bagi Klien Atas

Pembuatan Akta Di Hadapan Notaris Pengganti Yang Tidak Sah. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 6(03), 535-548. doi: 10.24843/AC.2021.v06.i03.p6

Devi, N. M. L. S., & Westra, I. K. (2021). Akibat Hukum serta Sanksi Pemalsuan yang Dilakukan Notaris Kepada Penghadap Ketika Pembuatan Akta Otentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 6(02), 248-258.doi: 10.24843/AC.2021.v06.i02.p03

Edwar, E., Rani, F. A., & Ali, D. (2019). Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Ditinjau Dari Konsep Equality Before The Law. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(1), 180-201. doi: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1916

Fitriyeni, C. E. (2012). Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta Akta Sebagai Bagian Dari Protokol Notaris. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 14(3), 391-404. E-ISSN: 2527-8428.

Gitayani, L. P. C. (2018). Penerapan Etika Profesi oleh Notaris dalam Memberikan Pelayanan Jasa Kepada Klien. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 426-435.doi:

10.24843/AC.2018.v03.i03.p0 3

Krisnayanti, N. N. C., Widiati, I. A. P., & Astiti, N. G. K. S. (2020). Tanggung Jawab Notaris Pengganti dalam Hal Notaris yang Diganti Meninggal Dunia Sebelum Cuti Berakhir. Jurnal         Interpretasi         Hukum, 1(1),         234-239.         doi:

https://doi.org/10.22225/juinhum.1.1.2218.234-239

Kumala, I. A. R., & Usfunan, Y. (2018). PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 4(2), 16, E-ISSN: 2303-0569

Ma’ruf, U., & Wijaya, D. (2015). Tinjauan Hukum Kedudukan dan Fungsi Notaris Sebagai Pejabat Umum dalam Membuat Akta Otentik (Studi Kasus di Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang). Jurnal Pembaharuan Hukum, 2(3),   299-309. doi:

http://dx.doi.org/10.26532/jph.v2i3.1507

Mahadewi, I., Laksmi, G. A. I., & Purwanto, I. W. N. (2021). Tanggung Jawab Notaris Pengganti yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum dalam Pembuatan Akta Autentik. Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan Universitas Udayana, 6(2)., 450-460., doi: https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i02.p18.

Mido, M. T. C., Nurjaya, I. N., & Safa’at, R. (2018). Tanggung Jawab Perdata Notaris terhadap Akta yang Dibacakan oleh Staf Notaris di Hadapan Penghadap. Lentera Hukum, 5(1), 156-173. doi: https://doi.org/10.19184/ejlh.v5i1.6288

Nugraha, G. B., & Utama, I. M. A. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Terkait Notaris yang Diberhentikan Sementara. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3).523-534, doi: https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i03.p11

Purnayasa, A. T. (2018). Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang Tidak Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Autentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 395-409. doi: 10.24843/AC.2018.v03.i03.p0 1

Syahyu, Y. (2022). Legal Protection of Instrumenter Witnesses if there is a Problem with a Notary    Deed. Lambung    Mangkurat    Law    Journal, 7(1).    1-15.    doi:

https://doi.org/10.32801/lamlaj.v7i1.298

Utama, W. A., & Anand, G. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Pengganti Dalam Pemanggilan Berkaitan Dengan Kepentingan Peradilan. Jurnal Panorama Hukum, 3(1), 105-124. doi: https://doi.org/10.21067/jph.v3i1.2344

Internet

https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-perbuatan-hukum--bukan-perbuatan-hukum-dan-akibat-hukum-lt5ceb4f8ac3137 diakses pada tanggal 6 Juni 2022.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Tahun 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).

Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Cuti, Perpindahan, Pemberhentian, Dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris

423