Vol. 7 No. 03 Desember 2022

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Pengaturan Keberlakuan Surat Izin Usaha Perdagangan Bagi Pelaku Usaha E-Commerce

Made Ary Suta1, I Wayan Wiryawan2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 22 Juni 2022 Diterima : 02 Desember 2022

Terbit : 15 Desember 2022

Abstract

The purpose of this study is to examine the regulation of Trading Business Licences towards e-commerce business actors and the legal consequences that arise when e-commerce business actors do not have a Trading Business Licenses. The approach method used in this article is normative legal research wuth statute and

Keywords :

Licenses; Trading; Ecommerce

conceptual approaches. The results show that e-commerce business actors are required to have a Trading Business Licenses in the form of SIUPMSE as stipulated in Government Regulation Number 80 of 2019 and Minister of Trade Regulation Number 50 of 2020 while legal consequences that arise for e-commerce business actors with no SIUPMSE will be subject to criminal sanctions as regulated in Article 46 Section 34 Chapter III of the Job Creation Law which amends the provisions of Article 106 of the Law on Trade in the form of imprisonment for a maximum of 4 (four) years or a fine of a maximum of Rp. 10,000,000,000.00 (ten billion rupiah) and administrative sanctions based on Article 80 paragraph (2) of Government Regulation Number 80 of 2019 and hereinafter specifically regulated in Article 44 paragraph (2) of the Regulation of the Minister of Trade Number 50 of 2020.

Abstrak

Kata kunci:

Surat lzin; Perdagangan; Ecommerce

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengkaji terkait pengaturan perizinan usaha perdagangan terhadap pelaku usaha e-commerce dan akibat hukum yang timbul ketika para pelaku usaha ecommerce tidak memiliki lzin Usaha Perdagangan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum secara

Corresponding Author:

Made Ary Suta, E-mail: [email protected]

normatif serta melalui statute approach dan conceptual approach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi para pelaku usaha ecomerce wajib mempunyai Surat lzin Usaha Perdagangan berupa SIUPMSE sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Perdagangan

DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i03. p1

Nomor 50 Tahun 2020. Sementara akibat secara hukum yang timbul bagi para pelaku usaha e-commerce yang tidak mengantongi SIUPMSE akan dikenai sanksi pidana yang diatur pada Pasal 46 Bagian 34 Bab III UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 106 UU tentang Perdagangan berupa pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 80 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 dan selanjutnya diatur secara khusus dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020.

  • I.    Pendahuluan

Perkembangan ekonomi di Indonesia sudah berjalan dengan pesat hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang sudah berbasis digital. Pada era 5.0 seperti saat ini perkembangan teknologi sudah sangatlah pesat, sehingga membantu kebutuhan hidup manusia dalam segi berkomonikasi maupun aktifitas yang dilakukan, hal ini dapat memberikan inovasi-inovasi baru dalam merubah gaya hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya jaringan internet merupakan perkembangan teknologi yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kegiatan perdagangan atau bisnis saat ini telah banyak memanfaatkan adanya internet sebagai media informasi dan komunikasi untuk menunjang keberlangsungan kegiatan perdagangannya.1

Hadirnya internet dalam dunia perdagangan menyebabkan kemajuan dalam peningkatan perekonomian yang menimbulkan munculnya perdagangan dengan sistem elektonik. Kegiatan perdagangan atau bisnis yang menggunakan jaringan internet dikenal dengan electronic comerce (disebut e-comerce).2 Dari adanya perkembangan internet ini membuat orang-orang memulai berdagang dan melakukan aktivitas jual beli dengan elektronik. E-Commerce merupakan kegiatan perdagangan yang memakai jaringan elektronik seperti jaringan komunikasi atau komputer dalam proses bisnis atau perdagangannya.3 Hadirnya sistem elektronik dalam perdagangan menyebabkan konsumen tidak perlu melakukan kontak fisik selama bertransaksi, perkembangan bisnis e-commerce memudahkan pembeli untuk berbelanja dikarenakan tidak harus langsung ke lokasi penjual, selain itu penjual juga diberikan kemudahan yang dimana penjual tidak harus mencari toko untuk menawarkan produk atau jasanya akan tetapi bisa melakukan pemasaran secara online.

Media internet dalam dunia bisnis dapat memberikan kemudahan dan kepraktisan dalam menggerakan perekonomian terutama dalam bidang teknologi. Hadirnya bisnis berbasis internet juga berdampak kepada pertumbuhan e-comerrce di Indonesia hal ini dapat dilihat dari beberapa klasifikasi usaha berikut :

  • a.    Listing atau Iklan Baris, seperti Carousell dan OLX.

  • b.  Online Marketpalce, seperti Tokopedia ataupun Shopee.

  • c.    Retain online, contohnya tiketpesawatnya.com

  • d.    Shopping Mall seperti blibli.com.

  • e.    Toko Online, contohnya adalah seperti penggunaan aplikasi Lazada dan aplikasi Sorabel.

  • f.    Toko Online di Sosial Media seperti Usaha yang memanfaatkan media Instagram atau Facebook dan/atau sosial media lain.4

Jual beli online atau yang sering disebut dengan istilah e-commerce sudah menjadi kebutuhan keseharian masyarakat perkotaan.5 Menjamurnya macam-macam bentuk usaha perdagangan dengan media elektronik di Indonesia disebabkan oleh tersedianya berbagai macam cara untuk mendukung adanya transaksi secara online seperti yang telah diklasifikasikan di atas. Kebebasan e-commerce dalam melakukan perdagangan secara online dapat mempermudah jalannya transaksi antara para konsumen dengan pelaku usaha, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bisnis e-commerce masih juga dapat dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab oleh oknum tertentu. Berbelanja secara online ini telah menjadi suatu budaya dan kebiasaan sehari-hari di masyarakat, oleh karena telah menjdai suatu kebiasaan maka terdapat resiko akan terjadi hal-hal yang dapat merugikan konsumen. Kelemahan pada fungsi pengawasan dapat menjadi kesempatan guna melakukan kecurangan di dalamnya.6 Menghindari kerugian yang bisa terjadi dari kedua belah pihak diperlukan perhatian lebih dari pemerintah, dimana perdagangan secara online harus diawasi oleh pemerintah untuk mencapainya keselarasan antara pelaku usaha dan konsumen.

Legitimasi pemerintah untuk mengawasi e-commerce ini adalah berupa izin, mengingat dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (selanjutnya disebut sebagai UU tentang Perdagangan) menyatakan "pengendalian perdagangan dalam negeri meliputi perizinan, standar dan pelarangan serta pembatalan". Izin memiliki fungsi untuk mengupayakan adanya pengendalian dan pengawasan bagi masyarakat agar taat dengan peraturan yang telah berjalan. Pemerintah dalam melakukan pengawasan yakni dengan memberlakukan surat perizinan berusaha untuk perdagangan dengan memakai sistem elektronik bertujuan mengawasi pelaku-pelaku usaha jika terjadi kerugian. Jika terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen, konsumen dapat menuntut tanggungjawab kepada pelaku usaha akan tetapi transaksi yang dilakukan secara online akan menimbulkan kesusahan konsumen untuk menuntut kerugiannya karena pada umumnya toko online hanya mencantumkan letak kota pelaku usaha tanpa alamat yang pasti, sehingga diperlukannya perizinan perdagangan melalui sistem elektronik agar dapat memberikan kebenaran dan informasi pelaku usaha sehingga pemerintah dapat mengendalikan dan mengawasi pelaku e-commerce.

E-commerce telah menjamur di kalangan masyarakat beriringan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Untuk itu, penting dilakukan suatu perizinan usaha untuk pelaku e-commerce. Izin usaha ini tidak hanya menjadi sesuatu yang penting

dalam menjalankan suatu usaha, tetapi juga menjadi kewajiban pelaku usaha sesuai dengan ketentuan hukum. Terdapat konsekuensi hukum yang diterima oleh pelaku usaha ketika tidak menjalankan kewajiban yang diamanatkan oleh undang-undang kepadanya yakni adalah tidak mempunyai izin untuk melakukan aktivitas perdagangan dengan memakai sistem elektronik. Hal inilah yang selanjutnya akan ditinjau secara yuridis normatif yang rumuskan dalam dua rumusan masalah, yakni: (1) bagaimanakah pengaturan perizinan usaha perdagangan bagi pelaku usaha e-commerce? dan (2) akibat hukum apa yang timbul ketika pelaku usaha e-commerce tidak memiliki surat izin usaha perdagangan ? Selanjutnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaturan perizinan usaha bagi para pelaku usaha e-commerce dan apa akibat hukum yang timbul ketika para pelaku usaha e-commerce tidak memiliki izin usaha perdagangan

Apabila penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian-penelitian yang terlebih dahulu telah dilakukan, terdapat kesamaan dari segi topik, tetapi penelitian ini memiliki fokus kajian yang berbeda yaitu menekankan pada perizinan usaha melalui sistem elektronik serta akibat hukum dari tidak adanya izinan usaha melalui sistem elektronik. Terdapat penelitian terdahulu yaitu penelitian yang disusun oleh Desi Arianing Arrum pada tahun 2019 yang mengkaji mengenai "Kepastian Hukum Dalam Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) di Indonesia".7 Kajian ini perfokus pada keabsahan perizinan berusaha melalui penggunaan sistem pelayanan yaitu Online Single Submission (atau biasa disebut OSS), serta pada problematika penerbitan izin melalui sistem OSS tersebut. Pada tahun 2020, Gabriel Gloria mengkaji mengenai "Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Hukum Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Terhadap Barang Yang Tidak Sampai".8 Kajian ini memiliki titik fokus pada permasalahan terkait hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam aktivitas jual beli secara online dan tanggungjawab hukum dari perdagangan dengan memakai sistem elektronik tersebut ketika terjadi masalah yaitu seperti barang yang tidak sampai/diterima oleh pembeli.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian berikut ini memakai metode yuridis-normatif, yang mengutamakan penelitian berdasarkan kepustakaan. Berdasarkan atas pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian yuridis normatif ini dilakukan untuk menjawab permasalahan hukum yang terjadi dan dihadapi dengan menggali aturan-aturan hukum, prinsip hukum, ataupun doktin hukum.9 Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan yakni melalui statute approach dan secara conceptual approach. Penelitian ini menerapkan teknik kepustakaan dengan menggunakan bahan-bahan hukum sebagai sumber penelitian. Bahan hukum yang dipakai adalah berupa undang-undang atau peraturan

perundang-undangan lainnya yang berlaku yang berkaitan pula dengan permasalahan yang dibahas sebagai bahan hukum primer serta buku-buku ataupun jurnal hukum sebagai bahan hukum sekunder. Dalam proses menganalisis, penelitian ini memiliki sifat yang deskriptif dan memakai metode analisis yaitu secara kualitatif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    3.1 . Pengaturan Perizinan Usaha Perdagangan Bagi Usaha E-Commerce

Pada dimensi 5.0 seperti saat ini perkembangan teknologi sangat berperan utama terutama dalam menjalankan kegiatan ekonomi dunia.10 Adapun dalam kegiatan perekonomian, pelaku usaha menjadi faktor utama yang memberikan pengaruh besar dalam kondisi perkenomian.11 Perkembangan dimensi 4.0 saat ini mendorong kemajuan teknologi yang saat ini telah dibantu dengan berbagai fitur layanan aplikasi yang membantu mempermudah setiap orang untuk saling berkomunikasi dengan tidak terbatas ruang, jarak, dan waktu ataupun melakukan pekerjaan-pekerjaan tanpa terbatas, seperti salah satu contohnya adalah dengan adanya perdagangan melalui sistem elektronik.12 Perdagangan secara elektronik juga dikenal dengan sebutan ECommerce.

Menurut Sjahran Basah, izin merupakan perbuatan hukum administrasi Negara dalam hal menerapkan peraturan secara konkrit yang bersumber kepada persyaratan ataupun prosedur-prosedur yang telah dinyatakan dalam peraturan perunclang-undangan yang berlaku. Izin merupakan salah satu pengawasan oleh pemerintah yang dimana pengawasan ini pada prinsipnya merupakan upaya preventif bahwa apakah kegiatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada.13 Dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko dijelaskan bahwa Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Maka dari itu melalui pendaftaran izin usaha ini akan diberikan suatu persetujuan berbentuk surat atau keputusan yang berisi pemenuhan persyaratan atau komitmen menjalankan usaha. Pemberlakuan izin bagi pelaku usaha ini dapat membawa kepastian secara hukum dalam melaksanakan aktivitas usaha perdagangannya, sebagai akibatnya tujuan yg sudah ditetapkan pada pada usaha perdagangannya itu bisa tercapai.14

Pengaturan perizinan berusaha bagi perdagangan diatur dalam ketentuan Pasal 46 Bagian 6 Bab III Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 (yang selanjutnya disebut sebagai UU Cipta Kerja) yang mengubah ketentuan UU tentang Perdagangan terutama Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa "Setiap pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat". Hal ini menyatakan setiap kegiatan usaha perdagangan wajib untuk memenuhi perizinan, dan kewajiban memperoleh izin ini juga berlaku unutk pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usahanya dengan sistem elektronik.

Menciptakan perdagangan yang sehat bagi konsumen dalam melakukan transaksi melalui sistem elektronik, maka perlu diusahakan suatu bentuk pengaturan hukum yang baru yang mengatur segala aktivitas dalam bertransaksi secara elektronik melalui platform e-commerce.15 Perdagangan yang menggunakan sistem elektronik tercantum pada Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut PP PMSE) yang menetapkan bahwa "Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PMSE adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik". Penyelenggaraan perdagangan dengan sistem elektronik ini diatur pada ketentuan Pasal 1 angka 11 PP PMSE yang menetapkan bahwa "Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PPMSE adalah Pelaku Usaha penyedia sarana Komunikasi Elektronik yang digunakan untuk transaksi Perdagangan". Kemudian dijelaskan pula dalam Pasal 1 angka 12, yang dimaksud "Penyelenggara Sarana Perantara (intermediary seruices) adalah Pelaku Usaha Dalam Negeri atau Pelaku Usaha Luar Negeri yang menyediakan sarana Komunikasi Elektronik selain penyelenggara telekomunikasi yang hanya berfungsi sebagai perantara dalam Komunikasi Elektronik antara pengirim dengan penerima". Berdasarkan hal kegiatan usaha PMSE dijalankan oleh baik PPMSE dan Penyelenggara Sarana Perantasra (PSP). Sehingga pada pelaksanaan aktivitas usahanya diperlukanlah sebuah izin usah perdagangan melalui sistem elektronik yang digunakan sebagai upaya pengawasan dan pengendalian serta memberika kepastian hukum terhadap pemilik usaha PPMSE dan PSP. Pelaku usaha PMSE harus memiliki izin yang ditentukan dengan Pasal 15 ayat (1) PP PMSE yang menentukan "Pelaku Usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE." Dalam Pasal 15 ayat (4) PP PMSE menyatakan "Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi PPMSE mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri."

Pengaturan lain yang membahas mengenai perizinan perdagangan dengan sistem elektronik juga diatur lewat Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut sebagai Permendag 50/2020). Permendag ini mempertegas pengaturan mengenai kewajiban para pelaku usaha dalam bentuk E-Connmerce agar memiliki surat izin bagi usaha-usahanya, ketentuan ini dituangkan dalam Pasal 3 ayat (1) Permendag 50/2020 bahwa

"Pelaku Usaha wajib memiliki Izin Usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE." Kemudian dalam Pasal 3 ayat (2) menentukan bahwa “PSP dikecualikan dari ketentuan kewajiban memiliki izin usaha apabila bukan merupakan pihak yang mendapatkan manfaat (beneficiary) secara langsung dari transaksi dan tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan PMSE”.

Dalam Pasal 8 Permendag 50/2020 bahwa "PPMSE dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan dalam Pasal 3 ayat (2) wajib memiliki SIUPMSE". Pengaturan mengenai SIUPMSE itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka (15) Permendag 50/2020 yang menyatakan "SIUPMSE adalah Izin Usaha untuk melaksanakan kegiatan usaha PMSE". Sehingga bagi usaha dalam bidang e-commerce atau yang menjalankan kegiatan usaha PMSE khususnya bagi yang telah dinyatakan dalam pasal tersebut dinyatakan wajib memiliki SIUPMSE yang berlaku sebagai izin usaha dalam menjalankan kegiatan usaha e-comerrce sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh peraturan yang ada.

Menteri perdagangan menjelaskan dengan adanya peraturan hukum ini, diharapkan dapat memberikan kebijakan dan kpastian hukum yang jelas sehingga dapat memberikan perlindungan kepada konsumen agar tidak mengalami sesuatu yang dapat merugikannya, sebab kewajiban tersebut diatur dalam suatu aturan hukum, dan karena hukum dapat mengatur kehidupan bermasyarakat dan juga memberikan sanksi bagi pelanggarnya.16 Perizinan usaha pada bidang usaha perdagangan yang menggunakan sistem elektronik digunakan pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap usaha-usaha yang beroperasi di territorial hukum Negara Republik Indonesia karena salah satu ciri utama dalam dunia saat ini dengan revolusi industri 5.0 adalah perkembangan yang sangat cepat di bidang teknologi, khususnya teknologi yang digunakan sebagai alat transaksi elektronik, seperti perangkat elektronik dan atau komputerisasi.17

  • 3.2    Akibat Hukum Bagi Usaha E-Commerce Yang Tidak Memiliki Izin Usaha Perdagangan

Pengaturan mengenai perizinan usaha khususnya bagi pelaku usaha E-commerce telah diatur melalui Permendag 50/2020, bahwa sesuai ketentuan pasal 3 ayat (1) telah mewajibkan pelaku usaha PMSE atau E-Commerce sebelum menjalankan kegiatan usahanya harus mengantongi izin berusaha dalam usaha perdagangan yang dimana izin tersebut adalah berbentuk SIUPMSE. Permendag 50/2020 sebagai salah satu peraturan perundang-undangan melahirkan suatu ketentuan kewajiban yang menjadi hukum yang mengikat dan memaksa bagi pelaku usaha khususnya pelaku usaha PMSE untuk memiliki SIUPMSE sebagai surat izin usaha e-commerce. Sebagai suatu aturan yang menyatakan "wajib" maka subjek yang dikenakan aturan tersebut tidak dapat mengesampingkan kewajiban yang telah diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan dan ketika tidak menjalankan kewajiban tersebut maka dikatakan bahwa subjek hukum telah melakukan suatu tindakan melawan hukum. Tindakan melawan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah melawan atau melanggar kewajiban dengan tidak memiliki SIUPMSE bagi pelaku usaha PMSE khususnya PPMSE yang

berada di dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan menurut ketentuan Pasal 3 ayat (2) pada Permendag 50/2020.

Secara nyata, terdapat banyak kasus yang terjadi sebagai tindakan melawan hukum oleh para pelaku e-commerce yaitu dengan tidak mentaati dan melanggar kewajiban yang diatur dalam peraturan hukum yang sering ditemui pada marketplace-marketplace yang memanfaatkan metode dengan cara menggunakan sosial media untuk mempromosikan perdagangannya. Cara ini sering kali dilakukan untuk menghindari kewajiban mengurus SIUPMSE untuk usaha dagangnya dengan alasan usaha dagangnya masih dengan skala yang kecil sehingga tidak perlu untuk melakukan pengurusan izin usaha e-commerce.

Tindakan melawan hukum seperti ini akan menimbulkan suatu akibat hukum sebagai dampak dari tidak ditaatinya suatu aturan hukum. Menurut pendapat yang disampaikan oleh Soeroso, beliau menyatakan bahwa akibat hukum itu sendiri merupakan akibat dari adanya suatu perbuatan guna memperoleh suatu akibat yang dikehendakinya serta diatur oleh norma hukum.18 Akibat hukum ini berupa sanksi-sanksi yang lahir dari dilakukannya suatu tindakan melawan hukum. Berkaitan dengan suatu akibat hukum yang timbul bagi usaha PMSE ini yang dalam menjalankan aktivitas usahanya tidak memiliki SIUPMSE dibagi menjadi 2 jenis sanksi antara lain Sanksi Pidana dan Sanksi Administratif.

Perihal sanksi pidana telah diatur dalam Pasal 46 Bagian 34 Bab III UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 106 UU tentang Perdagangan yang menyatakan bahwa menurut Pasal 106 ayat (1) bahwa "Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan tidak memiliki Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)". Ketentuan sanksi pidana ini tidak mengkhususkan bagi pelaku e-commerce, namun ketentuan ini berlaku umum bagi setiap usaha perdagangan yang belum atau bahkan tidak memiliki suatu izin berusaha dalam bidang perdagangan ketika menjalankan usahanya. Selain ketentuan sanksi pidana, dalam UU Cipta Kerja juga menyatakan sanksi administratif ketika dalam menjalankan suatu usaha perdagangan, pelaku usaha tersebut belum atau bahkan tidak mengantongi izin berusaha. Pengaturan mengenai sanksi administrative ini menurut undang-undang tersebut pengaturannya ditentukan leboh lanjut dalam Peraturan Pennerintah.

Pengenaan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang menjalankan usaha e-comerce yang belum atau tidak memiliki izin usaha perdagangan, diberlakukan ketentuan sanksi administratif sesuai PP PMSE khususnya dalam Pasal 80 ayat (2) yang menentukan “Pengenaan Sanksi administratif adalah dengan pemberian sanksi seperti: a. peringatan tertulis; b. dimasukkan dalam daftar prioritas pengawasan; c. dimasukkan dalam daftar hitam; d. pemblokiran sementara layanan PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri oleh instansi terkait yang berwenang; dan/atau d. pencabutan izin usaha.”

Kemudian melalui Pasal 80 ayat (5) PP PMSE telah ditentukan mengenai ketentuan pengenaan sanksi administratif bagi pelaku usaha PMSE dan PSP, diatur dalam Peraturan Menteri. Dalam Permendag 50/2020 menyatakan bahwa dikenakannya sanksi

administratif terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap perizinan usaha bagi pelaku usaha perdagangan secara elektronik. Pasal 44 ayat (1) Permendag 50/2020 secara garis besar menyatakan bahwa, bagi PPMSE yang menjalankan usaha di dalam negeri dan PSP diluar ketentuan Pasal 3 (ayat 2) dinyatakan wajib mempunyai SIUPMSE sesuai ketentuan Pasal 8, namun ternyata melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut maka akan dikenakan suatu sanksi administratif yakni berupa peringatan tertulis.

Sanksi administrasi ini dilakukan dengan mekanisme pemberian peringatan secara tertulis dengan sebanyak 3 (tiga) kali peringatan secara maksimal dan masa tenggang waktu antara setiap peringatan adalah maksimal 14 (empat belas) hari secara kalender (Pasal 44 ayat (2)). Namun apabila peringatan tertulis yang diberikan tersebut tidak diindahkan atau dalam hal ketentuan Pasal 8 tetap tidak dijalankan maka bagi pelaku usaha tersebut akan dikenakan sanksi administratif lainnya yang lebih berat yakni berupa usaha yang dijalankan akan dilakukan blacklist/ masuk ke daftar hitam dan akan dilakukan pemblokiran secara non-permanent terhadap layanan yang dilakukan oleh PPMSE dan PSP, pemblokiran ini dilakukan oleh instansi terkait. Sanksi administratif ini sesuai yang telah diatur dalam Pasal 44 ayat (3) Permendag 50/2020.

  • 4.    Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan pada penelitian ini sesuai uraian di atas disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja telah menetapkan ketentuan bagi setiap pelaku usaha perdagangan wajib untuk memenuhi perizinan berusaha, tanpa terkecuali bagi mereka yang menjalankan kegiatan usaha e-commerce. Perizinan berusaha pagi pelaku usaha dengan sistem e-commerce ini diatur secara khusus melalui Permendag 50/2020 bahwa setiap pelaku usaha perdagangan e-commerce diwajibkan untuk memiliki suatu SIUPMSE yang tercantum pada Pasal 3 ayat (1). Dari adanya kewajiban pagi para pelaku e-commerce, maka ketika kewajiban tersebut tidak laksanakan maka akan menimbulkan suatu akibat hukum berupa sanksi secara pidana maupun sanksi secara administratif. Ketentuan sanksi pidana bagi usaha yang tidak memiliki lzin Usaha diatur dalam Pasal 46 Bagian 34 Bab III UU Cipta Kerja, bahwa bagi pelaku usaha dapat dikenai pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun atau pidana denda maksimal Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah). Ketentuan sanksi administratif bagi para pelaku usaha e-commerce yang tidak mengantongi SlUPMSE ditentukan berdasarkan Pasal 80 ayat (2) PP PMSE dan selanjutnya secara khusus diatur lebih lanjut dalam Pasal 44 ayat (2) Permendag 50/2020.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Antasari, Rina., & Fauziah. (2018). Hukum Bisnis. Malang: Setara Press

Fajar, ND Mukti., & Achmad, Y. (2013). Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sai, Muhamad. (2016). Hukum Perusahaan di Indonesia. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama. Cetakan ke-1

Soeroso, R. (2011). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Jurnal

Arrum, Desi Arianing. (2019). Kepastian Hukum Dalam Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) di Indonesia. JuristDiction, 2(5). doi: 10.20473/jd.v2i5.15222

Atikah, I. (2019). Pengaturan Hukum Transaksi Jual Beli Online (E-Commerce) Di Era Teknologi. Muamalatuna, 10(2), 1-27. doi: 10.37035/mua.v10i2.1811

Cahyadini, A., & Margana, I. O. (2018). Kebijakan Optimasi Pajak Penghasilan Dalam Kegiatan E-Commerce. Veritas Et Justitia, 4(2). doi: 10.25123/vej.307

Gloria, Gabriel., & Saly, Jeane Neltje. (2020). Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Hukum Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Terhadap Barang Yang Tidak Sampai. Jurnal Hukum Adgama, 3(2). doi: 10.24912/adigama.v3i2.10599

Lestarini, N. M. D. I., & Putra, D. N. R. A. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Kerugian Yang Ditimbulkan Oleh Pelaku Usaha Toko Online Diinstagram. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 7(10). doi: 10.24843/KM.2019.v07.i05.p14

Lidya, A. A. M. A. R., Budiartha, I. N. P., & Ujianti, N. M. P. (2020). Pengawasan terhadap Transaksi Bisnis E-Commerce dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Jurnal Konstruksi Hukum, 1(1). doi: 10.22225/jkh.1.1.2126.38-43

Lukito, I. (2017). Tantagan Hukum dan Peran Pemerintah dalam Pembangunan ECommerce.     Jurnal    Ilmiah     Kebijakan     Hukum,     11(3).     doi:

10.30641/kebijakan.2017.V11.349-367

Maulana, Shabur Miftah., & Riyadi, Heru Susilo. (2015). Implementasi E-Commerce Sebagai Media Penjualan Online (Studi Kasus Pada Toko Pastbrik Kota Malang),          Jurnal          Administrasi          Bisnis,          29(1).

http://administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jab/article/view /1165/1452

Puluhulawa, F. U. (2011). Pengawasan sebagai Instrumen Penegakan hukum pada pengelolaan Usaha pertambangan Mineral dan Batubara. Jurnal Dinamika Hukum, 11(2). doi: 10.20884/1.jdh.2011.11.2.189

Putri, P. D. P., & Sarjana, I. M. (2020). Pengaturan Lembaga Gadai Online dalam Dimensi 4.0 di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 9(1). doi: 10.24843/JMHU.2020.v09.i01.p12

Sitohang, E. (2015). Tindakan hukum terhadap pelanggaran izin usaha perdagangan. Jurnal Hukum, 2(2). https://adoc.pub/tindakan-hukum-terhadap-pelanggaran-izin-usaha-perdagangan.html

Putra, T. A., & Santoso, Y. (2019). Implementasi E-Commerce Sebagai Media Penjualan Online Pada Toko Tatashops. IDEALIS: InDonEsiA journaL Information System, 2(6),                                                                        408-414.

https://jom.fti.budiluhur.ac.id/index.php/IDEALIS/article/view/2055/991

Putri, F. A., & Saly, J. N. (2020). Tanggung Jawab Platform E-Commerce Dan

Merchant Terhadap Konsumen Dari Peredaran Kosmetika Tanpa Izin   Edar

(Contoh Putusan Nomor 142/PID. SUS/2020/PN. JKT. BRT).    Jurnal Hukum

Adigama, 3(2), 921-944. doi: 10.24912/adigama.v3i2.10598

Tesis atau Disertasi

Putri, Putu Dina Prajna., (2021). Pelaksanaan Ketentuan Perizinan Usaha Dalam

Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Universitas Udayana

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 222, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6420

Peraturan Pemerintah  Republik  Indonesia Nomor 5 Tahun 2021  tentang

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

353