PERLINDUNGAN HUKUM DALAM TRANSAKSI

MELALUI E-COMMERCE DI INDONESIA

Yessica Hartono Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Putri Triari Dwijayanthi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji mengenai regulasi di Indonesia dalam memberikan kepastian hukum bagi para konsumen dalam bertransaksi melalui e-commerce serta menganalisa bentuk perlindungan hukum yang seharusnya didapat oleh konsumen yang melalukan transaksi melalui e-commerce di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil studi penelitian ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada di Indonesia telah menjamin kepastian hukum terhadap konsumen-konsumen yang telah melakukan transaksi jual beli melalui e-commerce karena telah membahas secara detail mengenai penyelenggaraan sistem elektronik, hanya saja di dalam salah satu pasal bersifat relatif sehingga cenderung melemahkan dan tidak tegas. perlindungan hukum konsumen dalam bertransaksi jual-beli secara online melalui e-commerce bisa didapatkan karena dengan adanya eksistensi regulasi terkait perlindungan konsumen telah menjamin kepastian hukum konsumen sebagai penyelesaian permasalahan-permasalahan yuridis. Serta dengan adanya regulasi tentang perdagangan dalam menggunakan sistem elektronik, transaksi jual beli online melalui e-commerce dapat dijadikan sebagai dasar laporan pengaduan dengan ketentuan syarat-syarat kontrak menurut pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang telah menyatakan regulasi terkait syarat sahnya suatu perjanjian telah dipenuhi dan permasalahan tidak dapat ditempuh secara damai.

Kata Kunci: Perlindungan, Transaksi Online, E-commerce

ABSTRACT

This paper has it is purpose to examine the regulations in Indonesia in providing legal certainty for consumers in transactions via e-commerce and to analyze the forms of legal protection that should be obtained by consumers who carry out transactions via e-commerce in Indonesia. The writter using normative legal research refer to a statutory and a conceptual approach in this research. The results of the study show that the existing regulations in Indonesia have guaranteed legal certainty for consumers in conducting e-commerce transactions because they have discussed in detail about the implementation of the electronic system, only in one article it is relative so that it tends to weaken and not be firm. Consumer legal protection in online buying and selling transactions via e-commerce can be obtained because the existence of regulations related to consumer protection has guaranteed legal certainty for consumers as a solution to juridical problems. As well as with regulations regarding trade through electronic systems, online buying and selling transactions via e-commerce can be used as the basis for complaints reports provided that the terms of the contract according to the articles contained in the Civil Code regarding the legal requirements of an agreement have been fulfilled and problems cannot be reached peacefully.

Keywords: Consumer Protection, Online Transactions, E-commerce

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Adanya pandemi Corona Virus Disease 2019 (selanjutnya Covid-19) yang dimulai pada sekitar awal tahun 2020 di negara Indonesia telah memberi dampak dan perubahan terhadap pola hidup masyarakat Indonesia. Salah satu dampak yang timbul pasca pandemi Covid-19 adalah masyarakat harus lebih terbiasa untuk lebih banyak berada di dalam rumah dan mengurangi kontak fisik langsung pada benda-benda yang berada di tempat umum (fasilitas-fasilitas umum) maupun orang lain. Adapun penerapan pembatasan kegiatan masyarakat yang berakibat penting pada meningkatnya kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan bertransaksi jual beli secara online melalui sistem e-commerce. Dengan adanya pandemi Covid-19, setiap orang didorong untuk semakin terbiasa untuk berbelanja dan berjualan secara online melalui e-commerce. Hal ini semakin ditunjang dengan perkembangan teknologi informasi yang memberi kemudahan bagi masyarakat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari melalui e-commerce. Merujuk pada pendapat Jendral yang berpangkat Direktur dalam bidang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, yakni bapak Ahmad M Ramly menyatakan bahwa “Penetrasi atau jangkauan digital nasional sebesar 64 persen di seluruh wilayah Indonesia.”1

E-commerce sebagai media transaksi semakin diminati oleh masyarakat karena dianggap lebih efektif.2 Seperti layaknya perdagangan yang dilakukan dikalangan pada umumnya, perdagangan jual-beli melalui transaksi online juga memiliki sumber hukum. Mengingat kegiatan perdagangan merupakan kesepakatan antar dua pihak sehingga memiliki kontrak dalam bertransaksi jual beli mengandung klausula-klausula yang berbentuk tertulis dan bersifat jelas serta nyata3.

Perdagangan melalui sarana elektronik kala ini terdapat aturan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (selanjutnya UU Perdagangan), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya UU ITE), Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya PP PSTE), serta Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya PP PMSE). Dalam PP PMSE telah mengatur terkait Kontrak Elektronik yang merupakan sebuah perjanjian antar para pihak yang di sepakati melalui Sistem Elektronik.4 Kemudian diatur lebih lanjut pada Bab X tentang Kontrak Elektronik mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 57, yang dimana aturan yang dijelaskan dalam pasal tersebut masih bersifat parsial karena sejauh ini masih dianggap belum dapat menjangkau permasalahan utama yang muncul dalam penggunaan e-commerce seperti jaminan keamanan, penyelesaian sengketa dan perlindungan konsumen.

Merujuk pada pernyataan tersebut, dipahami bahwa telah terdapat beberapa aturan mengenai kontrak elektronik, namun masih terdapat beberapa permasalahan dalam berbelanja melalui e-commerce karena transaksi berlangsung tanpa bertemu secara fisik, contohnya seperti penipuan antara konsumen dan penjual yang secara daring sepakat untuk membeli suatu barang sesuai dengan foto, deskripsi dan telah melakukan transaksi pembayaran melalui E-Transfer namun ketika barang telah dikirim kepada konsumen, ternyata barang tersebut berbeda tidak sesuai denga napa yang telah disepakati sebelumnya. Maupun hal sebaliknya, beberapa penjual begitu percaya kepada pihak pembeli sehingga mengirimkan barang terlebih dulu dan pembayarannya dilakukan setelah pengiriman dilakukan. Namun setelah barang dikirimkan, pembeli tak kunjung membayar.

Menurut Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) terdapat 295 pengaduan kasus e-commerce per 11 Desember 2020. Jumlah pengaduan ini diketahui melonjak dari tahun 2017-2019 sebelum pandemi Covid-19 yakni hanya terdapat 32 kasus. Sedangkan berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia terdapat 7.047 kasus penipuan online pada tahun 2016 sampai dengan 2020. Maka dari itu, dapat disimpulkan secara rata-rata sekitar 1.409 kasus mengenai penipuan online telah terjadi di Indonesia setiap tahunnya.5 Dalam permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat dibiarkan karena berpotensi menyebabkan kerugian bagi para konsumen maupun penjual yang menggunakan jasa perdagangan e-commerce sehingga perlu diketahui perlindungan hukum terhadap konsumen dalam bertransaksi melalui ecommerce dan pengaturan e-commerce di Indonesia dalam memberikan kepastian hukum bagi konsumen.

Penelitian ini apabila dibandingkan dengan beberapa jurnal ilmiah yang sudah menggunakan tema mengenai analisis terhadap kepastian hukum transaksi online melalui e-commerce di Indonesia salah satunya yakni6 jurnal yang di tulis oleh Stefani dlaam Jurnal Indonesia Sosial Teknologi yang berjudul “Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-commerce di Indonesia secara online” membahas lebih lanjut sama-sama membahas mengenai transaksi jual beli online melalui e-commerce dari segi yuridisnya, namun dalam penelitian kali ini pembahasannya akan berbeda dengan artikel ilmiah yang telah disebutkan diatas. Dalam jurnal tersebut membahas mengenai penyelesaian sengketa yang timbul dari bertransaksi jual beli jasa/barang secara online melalui e-commerce dapat di selesaikan secara litigasi maupun non litigasi berdasarkan Online Dispute Resolution (ODR). Sedangkan dalam Jurnal Ilmu Hukum yang ditulis oleh Yudha Sri Wulandari dengan judul “Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Transaksi Jual Beli E-commerce”7 juga sama-sama membahas mengenai transaksi jual beli online melalui e-commerce dari segi yuridisnya, hanya saja pembahasannya lebih mengarah kepada beberapa bentuk wanprestasi yang telah muncul akibat dari perjanjian jual beli e-commerce. Dari kedua jurnal ilmiah yang lebih terdahulu tersebut tentunya memiliki beberapa hal yang berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan dalam penulisan artikel ini, yakni akan lebih mengkhususkan membahas mengenai pengaturan transaksi melalui ecommerce dalam memberikan kepastian hukum bagi tiap-tiap konsumen dan bentuk-

bentuk perlindungan hukum yang didapatkan oleh konsumen dalam melakukan transaksi melalui e-commerce. Maka dari itu terdapat 2 (dua) rumusan masalah mengenai kepastian hukum bagi tiap-tiap konsumen yang bertransaksi melalui sistem e-commerce serta bentuk perlindungan hukum dalam bertransaksi melalui ecommerce yang akan dibahas lebih lanjut dalam sub-bab dan bab selanjutnya.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dikaji berdasarkan dengan uraian latar belakang yang telah dijabarkan diatas yakni sebagai berikut:

  • 1.    Apakah pengaturan di Indonesia telah memberikan kepastian hukum bagi konsumen dalam transaksi melalui e-commerce?

  • 2.    Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang seharusnya di dapat oleh konsumen yang melakukan transaksi melalui e-commerce di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan daripada penelitian ini adalah untuk memberi jawaban terhadap dua hal yang menjadi rumusan masalah yakni, Pertama, untuk mengkaji pengaturan di Indonesia dalam memberikan kepastian hukum bagi konsumen dalam transaksi melalui e-commerce. Kedua, untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang seharusnya di dapat oleh konsumen-konsumen yang telah melakukan transaksi melalui e-commerce di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian berupa Yuridis Normatif. Selain itu, penulis juga menggunakan pendekatan yang merujuk padaperundang-undangan serta juga menggunakan pendekatan konsep. Metode penelitian yuridis normatif merupakan penelitian hukum lewat sudut pandang internal melalui obyek penelitiannya yakni norma hukum. Penulisan artikel ilmiah mempergunakan sumber menggunakan cara mengkaji bahan hukum yang berbentuk primer yakni perundang-undangan juga menggunakan bahan hukum yang bersifat sekunder yaitu berupa doktrin ataupun teori yang didapatkan dari kepustakaan hukum dan penelitian ilmiah dan selanjutnya dihubungkan pada pembahasan pengaturan transaksi melalui e-commerce dalam hal untuk memberikan kepastian hukum terhadap tiap-tiap konsumen dan bentuk perlindungan hukum yang didapatkan oleh konsumen-konsumen dalam bertransaksi jualbeli melalui e-commerce.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

3.1 Pengaturan Transaksi melalui E-Commerce di Indonesia dalam memberikan

Kepastian Hukum Bagi Konsumen

Dalam hukum terdapat asas-asas ynag menurut Paul Scholten asas ini berperan dalam ilmu hukum berupa beberapa kecenderungan apabila dilihat oleh sudut pandang terhadap kesusilaan kita pada hukum yang berlaku, selain itu juga sebuah bentuk sifat-sifat umum dan segala keterbatasannya sebagai pembawaan garis umum yang harus ada8. Dari pendapat Paul Scholten ini, R. Tony Prayogo menyimpulkan bahwa asas-asas dalam hukum telah mengandung ciri-ciri senagai

8 Atmadja, Dewa Gede. Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum”. Kertha Wicaksana

berikut9 “a) Asas hukum merupakan pikiran dasar atau norma dasar. b) Asas hukum itu bukan peraturan hukum kongkrit melainkan latar belakang dari peraturan hukum kongkrit. c) Asas hukum itu mengandung penilaian kesusilaan, jadi mempunyai dimensi etis. d) Asas hukum itu dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.”

Salah satu asas hukum yang paling sering ditemukan ialah asas kepastian hukum, yakni keadaan yang menentukan pasti atau tidaknya hukum yang berlaku terhadap masyarakat karena cenderung terdapat adanya kekuatan-kekuatan yang konkret terhadap hukum yang ada di kalangan masyarakat. Eksistensi asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi setiap orang yang menjadi pencari keadilan terhadap setiap tindak-tindakan yang dilakukan dengan sewenang-wenang untuk tujuan tertentu.

Adapun ahli hukum yang bernama Gustav Radbruch telah mengemukakan 4 (empat) hal yang menajdi alas atau landasan berhubungan dengan kepastian hukum10. Pertama, bahwa hukum itu bersifat positif, hal ini memiliki makna bahwa hukum positif itu berupa perundang-undangan yang sedang berlaku di wilayah tersebut. Kedua, bahwa hukum itu harus didasarkan pada fakta yang ada, hal ini dimaknai bahwa hukum harus didasarkan pada kenyataan yang ada bukan mengada-ada. Ketiga, bahwa fakta telah dirumuskan dengan berbagai cara yang jelas untuk mengurangi kekeliruan ambigu dalam pemaknaan, selain itu juga agar dapat dengan mudah dilaksanakan. Keempat, bahwa hukum positif harus dibuat dengan sebenar-benarnya karena hukum positif tidak dapat dengan mudah untuk diubah-ubah. Keempat hal yang dikemukakan Gustav Radbruch tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa pandangan-pandangannya yang ia katakana bahwa “Kepastian hukum ialah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum itu sendiri dari perundang-undangan.”11

Menurut Tony Prayogo, kepastian hukum adalah salah satu dari ketiga ide-ide dasar seputar hukum menurut Gustaf Radbruch. Adapun ide-ide tersebut yakni ide dasar hukum dengan harapan adanya hukum dapat berperan menjadi aturan-aturan yang harus dan wajib ditaati oleh tiap-tiap masyarakat. Namun begitu, tidak sebatas mengenai begaimana peraturan-pertaturan tersebut di indahkan namun bagaimana nilai dari norma-norma serta inti dari muatan dalam tiap-tiap peraturan tersebut berisikan prinsip-prinsip yang ada sebagai dasar hukum.12

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Utrech yang menyaktakan bahwa “Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.”13

Asas kepastian hukum yang ada ini tentu saja sangat berperan penting dalam kegiatan jual-beli. Mengingat proses dalam transaksi jual beli merupakan kegiatan-kegiatan umum yang dilakukan antar dua pihak yakni penjual dan pembeli menggunakan metode yang menyatakan kepemilikan untuk selamanya serta didasari dengan saling merelakan.14 Dalam masa pandemi Covid-19 sekarang seperti ini, setiap individu dalam masyarakat dipaksa agar dapat lebih terbiasa berada dalam rumah dan mengurangi kontak fisik dengan setiap benda yang berada di tempat umum (fasilitas umum) maupun dengan orang lain. Seperti yang telah diketahui tiap masyarakat bahwa dengan terjadinya pandemi Covid-19 masyarakat Indonesia dipaksa untuk lebih terbiasa berada di dalam rumah dan mengurangi kontak fisik dengan benda-benda yang ada di tempat umum maupun orang lain. Namun walaupun masyarakat harus mengurangi kontak fisik, kegiatan perdagangan tidak dapat dihentikan begitu saja demi memperbaikin pembangunan dan perkembangan perekonomian nasional.

Selain itu juga, masyarakat juga harus tetap untuk dapat memenuhi setiap kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari mereka yakni dengan cara bertransaksi jual beli. Dari sini timbullah kebiasaan baru salah satunya dalam bertransaksi jual-beli secara online untuk mengurangi kontak fisik dengan benda-benda maupun orang lain. Kegiatan jual-beli secara online semakin diminati sejak adanya pembatasan kegiatan di masa pandemi ini. Maka perlu diperhatikan lebih lanjut aturan-aturan yang mengatur kegiatan jual-beli secara online mengingat ini adalah kebiasaan baru yang muncul di kalangan masyarakat.

Seperti layaknya kegiatan jual-beli pada umumnya, begitu pula dalam bertransaksi melalui e-commerce di Indonesia tentu saja memiliki beberapa dasar-dasar dan acuan untuk memenuhi aturan yang mengatur. Dari beberapa aturan-aturan yang mengatur pengaturan transaksi melalui e-commerce di Indonesia tentu saja harus mementingkan kepastian hukum bagi konsumen yang bertransaksi.

Merujuk pada ketentuan dalam UU Perdagangan Pasal 1 Angka 24 menyebutkan “bahwa perdagangan melalui Sistem Elektronik adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.” Ditinjau dalam BAB VIII Pasal 65 terdapat aturan yang mengatur mengenai sanksi yang di dapatkan bahwa “Setiap pelaku usaha yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar yakni sanksi administratif berupa pencabutan izin.”15 Selain beberapa aturan diatas, juga terdapat pula dalam Pasal 115 bahwa “Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa melalui system elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi dapat di pidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.

Maka dari itu secara luas dapat disimpulkan apabila seorang konsumen berbelanja dengan melakukan transaksi melalui e-commerce dan ternyata setelah menerima barang dan atau jasa ternyata tidak selalu sesuai dengan apa yang di harapkan berdasarkan foto, judul, deskripsi dan keterangan barang dan/atau jasa yang di beli maka tersebut merupakan pelanggaran yang memiliki resiko dan sanksi yakni sanksi administratif berupa pencabutan izin dan seperti yang telah di sebutkan juga terdapat sanksi pidana penjara yang berlaku paling lama 12 (dua belas) tahun

dan atau pidana denda paling banyak sebesar Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pengaturan berbeda tampak pada UU ITE Pasal Angka 9 diketahui bahwa “Sertifikat Elektronik16 adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan Identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.” Selain itu pada angka 10 dan 11 dijelaskan mengenai definisi Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dan Lembaga Sertifikasi Keandalan yang dapat diketahui bahwa dinyatakan dalam angka tersebut bahwa “Penyelenggara Sertifikasi dan Lembaga Sertifikasi Elektronik yang di awasi oleh pemerintah untuk mengawasi sertifikasi keandalan dalam bertransaksi secara elektronik” termasuk melalui ecommerce.

Dalam pengaturan UU ITE ini secara keseluruhan lebih fokus mengatur mengenai perbuatan melawan hukum penyebaran informasi dan transaksi elektronik seperti transmisi dan penyebaran informasi yang melanggar nilai-nilai kesusilaan, memuat penghinaan, perjudian, pemerasan dan pencemaran nama baik seseorang. Dalam undang-undang ini sangat di sayangkan tidak membahas lebih lanjut mengenai aturan maupun sanksi mengenai kepastian hukum konsumen maupun penjual yang bertransaksi secara online sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan transaksi jualbeli secara online tmelalui e-commercce tidak diatur dalam undang-undang ini.

Kegiatan bertransaksi jualbbeli secara online melalui e-commerce juga dapat ditinjau dari PP PSTE sudah sangat detail dalam membahas mengenai transaksi jualbeli melalui elektronik. Mulai dari membahas penyelenggaraan sistem elektronik, apa yang di sebut perangkat keras dan perangkat lunak sebagai pendukung dalam bertransaksi secara online melalui e-commerce, apa yang di maksud oleh tanaga ahli, tata kelola sistem elektronik, penyelenggaraan transaksi elektronik, pengamanan penyelenggaraan sistem elektronik, persyaratan transaksi elektronik, penyelenggara agen elektronik, kekuatan, jenis, data pembuatan, proses, identifikasi, autentikasi dan verifikasi tanda tangan elektronik, penyelenggaraan sertifikasi elektronik, pengawasan, Lembaga sertifikasi dan lain-lain.

Dengan adanya eksistensi Undang-Undang Naraga Republik IndonesiaNomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya UUPK), maka UUPK dianggap sebagai kepastian hukum dalam terciptanya kondisi yang baik dalam kegiatan jual beli baik secara offline maupun secara online. Hanya saja penulis masih menemukan kelemahan dalam peraturan ini, yakni terdapat dalam pasal yang memiliki frasa yang ambigu karena memiliki makna yang relatif sehingga tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Hal ini terdapat pada Pasal 46 Ayat 2 yang menyatakan bahwa “Penyelenggaraan Transaksi Elektronik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan: a. Iktikad baik; b. Prinsip kehati-hatian; c. Transparansi; d. Akuntabilitas; dan e. Kewajaran”

Pada poin huruf e dinyatakan bahwa penyelenggaraan dalam Transaksi Elektronik yang telah dilakukan antar pihak juga harus dapat memperhatikan frasa “kewajaran”. Mengingat bahwa “kewajaran” setiap individu berbeda karena bersifat sangat relatif. Maka dari itu, kepastian hukum dari kata “kewajaran” ini sangat dipertanyakan apakah semua kendala yang dimunculkan dalam penyelenggaraan traksaksi elektronik ini dapat di wajarkan atau tidak. Mengingat kendala

bertransaksi antar penjual dan pembeli sangatlah banyak seperti barang yang tidak sesuai dengan foto di pasang dalam iklan pada sebuah e-commerce yang dikarenakan satu dan lain hal contohnya seperti kualitas foto akibat keterbatasan sang penjual dalam mengambil foto dapat menjadi alasan si penjual apabila mendapat complain dari konsumen yang merasa barangnya tidak sesuai dengan barang yang di inginkan konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa frasa “kewajaran” dalam PP PSTE Pasal 46 ini bersifat sangat subjektif dan belum memiliki kepastian hukum sehingga berpotensi menjadi dua mata pisau bagi kedua pihak apabila dilihat dari sisi mana yang dapat menguntungkan pihak tertentu.

Berdasarkan paparan tersebut ditas dapat dipahami bahwa dari asas kepastian hukum mengenai kegiatan bertransaksi jualbeli secara online melalui e-commerce yang ada di Indonesia dianggap cukup memadai. Dilihat dari UU Perdagangan Bab VII Pasal 65 telah mengatur mengenai apabila seorang konsumen berbelanja dengan melakukan transaksi melalui e-commerce dan ternyata setelah menerima barang danatau jasa ternyata tidak sesuai dengan yang di harapkan berdasarkan foto, judul, deskripsi dan keterangan barang danatau jasa yang di beli maka tersebut adalah pelanggaran yang memiliki resiko dan sanksi yakni sanksi dalam administratif seperti pencabutan izin dan sanksi berupa pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana paling banyak sebesar Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Sehingga dalam hal ini dapat memberikan kepastian hukum terhadap konsumen bahwa konsumen berhak untuk menerima barang dan/atau jasa sesuai dengan apa yang diharapkan berdasarkan foto, judul, deskripsi dan keterangan barang dan/atau jasa yang di beli. Begitupun juga penjual, memiliki kewajiban untuk mengirim barang dan/atau jasa sesuai dengan apa yang diharapkan berdasarkan foto, judul, deskripsi dan keterangan barang dan/atau jasa yang di jual.

Hanya saja apabila mencari kepastian hukum dalam UU ITE penulis anggap kurang efektif karena dalam undang-undang tersebut lebih fokus mengatur mengenai perbuatan melawan hukum penyebaran informasi dan transaksi elektronik seperti transmisi dan penyebaran informasi yang melanggar nilai-nilai kesusilaan, hal-hal yang terdapat unsur penghinaan, memuat perjudian dan pencemaran nama baik seseorang dan pemerasan saja. Dari segi transaksi kegiatan jual-beli secara online tidak di atur melainkan transaksi elektronik yang dimaksud mengarah kepada data-data pribadi.

Apabila dilihat dalam PP PSTE, kepastian hukum dalam bertransaksi online melalui e-commerce sangat terjamin karena didalamnya telah membahas secara detail mengenai penyelenggaraan adanya sistem elektronik, megnenai apa ynag disebut perangkat keras serta perangkat lunak sebagai pendukung dalam bertransaksi secara online melalui e-commerce, apa yang di maksud oleh tanaga ahli, tata kelola sistem elektronik, pengamanan penyelenggaraan sistem elektronik, penyelenggara agen elektronik, penyelenggaraan transaksi elektronik, persyaratan transaksi elektronik, kekuatan, jenis, data pembuatan, proses, identifikasi, autentikasi dan verifikasi tanda tangan elektronik, penyelenggaraan sertifikasi elektronik, pengawasan, Lembaga sertifikasi dan lain-lain. Hanya saja masih memiliki kelemahan dalam Pasal 46 Ayat 2 Pada poin huruf e dinyatakan bahwa “penyelenggaraan Transaksi Elektronik yang dilakukan antar pihak harus memperhatikan “kewajaran””. Mengingat bahwa frasa “kewajaran” setiap individu berbeda karena bersifat sangat relatif. Maka dari itu, kepastian hukum dari kata “kewajaran” ini sangat dipertanyakan apakah semua kendala yang dimunculkan dalam penyelenggaraan traksaksi elektronik ini dapat di wajarkan atau tidak.

Sehingga dengan adanya PP PSTE dapat melemahkan UU Perdagangan Bab VII Pasal 65 dimana seharusnya telah dapat memberikan kepastian hukum terhadap

konsumen bahwa tiap-tiap konsumen memiliki hak untuk menerima barang danatau jasa sesuai dengan apa yang diharapkan berdasarkan foto, judul, deskripsi dan keterangan barang dan/atau jasa yang di beli. Begitupun juga penjual, memiliki kewajiban untuk mengirim barang dan/atau jasa sesuai dengan apa yang diharapkan berdasarkan foto, judul, deskripsi dan keterangan barang dan/atau jasa yang di jual. Sehingga kepastian hukum dalam bertansaksi jual-beli secara online melalui e-commerce di Indonesia dapat dikatakan cenderung lemah dan tidak tegas.

3.2 Perlindungan Hukum yang Saharusnya di dapat dalam Bertransaksi melalui

E-Commerce bagi Konsumen di Indonesia

Sebagaimana telah dibahas pada subab sebelumnya, diketahui bahwa kepastian hukum dalam bertansaksi jual-beli secara online melalui e-commerce dapat dikatakan cenderung lemah dan tidak tegas berdasarkan beberapa peraturan mengenai transaksi online. Hal itu dikarenakan ada Peraturan Pemerintah yang salah satu pasalnya yang penulis anggap melemahkan undang-undang karena frasanya yang ambigu atau memiliki makna ganda yang relatif.

Ahli hukum Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa “Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.”17

Begitu pun menurut ahli hukum Bernama Muchsin menyatakan bahwa “Perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.” Perlindungan hukum menurutnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu: pertama, perlindungan hukum bersifat preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah bertujuan untuk mencegah hal-hal yang sesuai dengan tujuan dibentuknya aturan sebelum terjadinya sebuah pelanggaran. Kedua, perlindungan hukum yang bersifat represif yang dimana perlindungan tersebut merupakan perlindungan terakhir yang kerap kali berupa sanksi denda, snaksi penjara dan hukuman-hukuman tambahan yang biasanya diberikan kepada pelanggar apabila telah terjadinya sebuah pelanggaran.18

Perlindungan hukum dalam bertransaksi jual beli melalui e-commerce ini tentu saja sangat penting dan berperan besar dalam pembangunan dan perkembangan ekonomi negara terlebih lagi dimasa-masa sulit pandemi Covid-19 ini. Hal itu dikarenakan perlunya aspek keamanan yang memiliki pertimbangan khusus antara konsumen dengan pelaku usaha. Karena, apabila perlindungan hukum tidak dijamin oleh negara maka antara konsumen dan pelaku usaha akan mempertimbangkan keamanan dalam bertransaksi online melalui e-commerce yang tidak menutup kemungkinan dapat mengurangi kegiatan bertransaksi apabila tidak terjamin perlindungan hukumnya.

Menurut UUPK Pasal 4 menjelaskan beberapa hak-hak konsumen yang kerap kali sering diabaikan oleh pelaku usaha yakni:19 “1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/jasa; 2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Informasi yang dimaksud ialah informasi produk maupun identitas produsen yang membuat produk; 4) Hak untuk di dengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau pengganti apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau tidak sebagaimana mestinya; 6) Hak atas ganti kerugian yang dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang tidak seimbang, akibat adanya penggunaan barang/jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen”

Selain itu, dalam menjamin perlindungan konsumen UUPK telah terdapat regulasi mengenai Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha dalam bab IV serta Tanggungjawab Pelaku Usaha dalam bab VI. Walaupun UUPK telah menjabarkan lebih lanjut dan telah memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, kerap kali konsumen belum memahami isi UUPK dan tidak tahu peran hak dan kewajiban konsumen dalam penyelesaian permasalahan dalam bertransaksi melalui e-commerce ditempuh jalur pengadilan maupun di luar pengadilan.

Apabila ditilik kembali pada pengertian dari e-commerce, menurut Kamles K. Bajaj dan Debjani Nag20E-commerce adalah suatu bentuk pertukaran informasi bisnis yang Paperless atau dapat di artikan pertukaran infirmasi bisnis tanpa menggunakan kertas yang di alihkan menggunakan Electronik Data Interchange, Electronic Mail (E-mail), Electronic Buleting Boards, Electronic Funds Transfer dan menggunakan jaringan-jaringan teknologi lainnya.” Dapat dilihat bahwa transaksi jual beli biasa dengan transaksi melalui e-commerce terdapat banyak hal yang berbeda. Sehingga tidak menutup kemungkinan muncul permasalahan-permasalahan yuridis yang timbul dari transaksi jual-beli melalui e-commerce.

Merujuk pemikiran Ibu Dosen Fakultas Hukum UNISRI Dahlia dalam penelitiannya yang berjudul “Perlindungan Konsumen terhadap Transaksi Jual Beli melalui Media Internet (e-commerce)”21, diungkapkan bahwa salah satu yang menjadi permasalahan yuridis kerap kali timbul adalah mengenai perlindungan konsumen karena dalam e-commerce terdapat karakter yang khas seperti adanya perusahaan yang ternyata tidak memiliki alamat secara fisik atau dapat di artikan tidak memiliki kantor berupa bangunan di wilayah-wilayah tertentu sehingga dapat menyudutkan pihak konsumen diposisi yang sangat lemah yang memiliki kemungkinan untuk dirugikan karena konsumen akan kesulitan mendapat local follow up service or repair. Selain itu, apabila dilihat dari mekanisme pembayaran pihak konsumen pada umumnya harus membayar terlebih dahulu kemudian barulah pesanan akan di proses, terlebih lagi tidak terjaminnya perlindungan terhadap data individual konsumen seperti nomor telepon, alamat lengkap dan nomor rekening yang digunakan saat bertransaksi.

Apabila dilihat dari UU Perdaganagan Pasal 66 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” Apabila ditinjau dari PP PMSE Pasal 27 bahwa “Pelaku usaha wajib menyediakan layanan pengaduan bagi konsumen, hal itu mencakup alamat dan nomor kontak pengaduan, prosedur pengaduan konsumen, mekanisme tindak lanjut pengaduan, petugas yang kempeten dalam memproses layanan pengaduan dan jangka waktu pengaduan.”

Hal ini terjawab sudah permasalahan yuridis yang dikemukakan ibu dosen Dahlia sebelumnya bahwa seiring berkembangnya zaman dan berkembangnya sistem hukum di Indonesia terdapat kemajuan dalam PP PMSE. Artinya apabila konsumen memiliki kendala dalam bertransaksi melalui e-commerce proses awalnya adalah mengadukan dan melaporkan kepada pihak e-commerce. Lalu apabila hal tersebut masih dirasa belum memberikan keadilan yang cukup, pihak konsumen dapat melaporkan hal ini kepada pihak berwenang berdasarkan PP PMSE Pasal 29 juga menyatakkan bahwa “Bukti transaksi PMSE dapat dijadikan sebagai alat bukti lain dalam hukum acara dan tidak dapat ditolak pengajuannya sebagai suatu alat bukti dalam persidangan hanya karena dalam bentuknya yang elektronik selain itu Bukti transaksi PMSE dapat dijadikan bukti tulisan yang autentik jika menggunakan tanda tangan elektronik yang didukung oleh suatu sertifikat elektronik yang terpercaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.”

Selain itu, PP PMSE dapat dijadikan dasar laporan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan dari Pasal 30 yakni dinyatakan bahwa “Suatu perjanjian harus dilakukan dalam bentuk yang tertulis diatas media kertas, maka persyaratan tersebut dianggap telah terpenuhi oleh keberadaan bukti transaksi PMSE.” Maka dari itu, bukti-bukti bertransaksi dari PMSE dapat dijadikan bukti yang valid dalam memberi jalan terang untuk suatu keadaan dan peristiwa hukum yang muncul. Hal ini juga diharapkan untuk para konsumen-konsumen agar disimpan dalam bentukoriginal dalam artian bukti-bukti bertransaksi PMSE itu telah terjamin akan hal keutuhan serta integritasnya. Adapun bukti transaksi PMSE juga harus bisa ditampilkn kembali agar dapat ditunjukkan kepada pihak berdasarkan kesepakatan-kesepakatan teknis dalam artian bukti transaksi PMSE bukan hanya sekedar Tangkapan Layar atau yang kerap kali dikenal dengan kata screenshot.

Namun, terdapat beberapa hal mengenai barang yang dapat di ajukan atau dimintai tanggung jawab dari konsumen kepada seller salah satunya adalah apabila barang yang dikirimkan terdapat sebuah kecacatan. Merujuk pada pasal 1504 KUH Perdata mengharuskan penjual untuk menjamin cacar tersembunyi yang ditemukan pada barang yang dijualnya. Hal ini tidak menjadi masalah apabila seller mengetahui kecacatan pada barang tersebut atau tidak. Pernyataan ini di dukung oleh pasal 1505 KUH Perdata “Penjual tidak wajib menjamin barang terhadap cacat yang kelihatan dan dapat diketahui sendiri oleh pembeli”.22 Menurut Subekti kata-kata dalam KUH Perdata dapat ditafsirkan bahwa barang cacat yang mudah dilihat dan konsumen dapat melihat tanpa kesulitan, maka cacat seperti itu penjual tidak bertanggung jawab. Karena cacat seperti itu seharusnya menjadi tanggung jawab konsumen dan cacat tersembunyi adalah cacat yang membuat barang itu tidak bisa digunakan

sesuai dengan fungsinya dan tidak diketahui oleh konsumen.23 Dapat diketahui tadi adalah salah satu hal mengenai barang yang dapat di minta pertanggungjawabannya oleh konsumen.

Maka perlindungan hukum bagi tiap-tiap konsumen yang bertransaksi melalui e-commerce dapat di proses jika syarat-syarat kontrak antar dua pihak yang bertransaksi telah terpenuhi seperti yang dinyatakan pada pasal 1320 KUH Perdata yakni “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3) Suatu pokok persoalan tertentu. 4) Suatu sebab yang tidak terlarang.”, maka dari itu kontrak kegiatan transaksi jual beli melalui e-commerce adalah sah. Dalam artian, bukti transaksi jual beli tidak dapat disangkal keabsahannya semata-mata karena hanya berbentuk elektronik24. Meninjau kembali pada PP PSTE Pasal 45 yang menyatakan apabila penyelesaian sengketa tidak dapat ditempuh secara damai barulah pihak dari konsumen dapat bahkan berhak untuk menuntut pelaku usaha berdasarkan pasal-pasal yang berlaku.

Berdasarkan penyataan-pernyataan yang di bahas, maka perlindungan hukum bagi konsumen yang bertransaksi secara online melalui e-conmerce bisa didapatkan karena dengan adanya eksistensi UUPK telah menjamin kepastian hukum konsumen sebagai penyelesaian permasalahan-permasalahan yuridis. Serta dengan adanya UU PMSE, transaksi jual beli online melalui e-commerce dapat dijadikan sebagai dasar laporan pengaduan dengan ketentuan syarat-syarat kontrak menurut pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi dan permasalahan tidak dapat ditempuh secara damai.

Adapun perlindungan hukum yang saharusnya di dapat dalam bertransaksi melalui e-commerce bagi konsumen di Indonesia terdapat 2 (dua) jenis ruang dalam menyelesaikan permasalahan konsumen yakni melalui Pengadilan dan Luar Pengadilan. Konsumen yang bertransaksi melalui e-commerce di Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam menyelesaikan permasalahannya di pengadilan apabila dapat memenuhi ketentuan serta hukum yang berlaku.

IV. Kesimpulan

Regulasi yang ada di Indonesia telah menjamin kepastian hukum bagi tiap-tiap konsumen dalam bertransaksi melalui e-commerce karena telah membahas secara detail mengenai penyelenggaraan sistem elektronik, hanya saja di dalam salah satu pasal bersifat relatif sehingga cenderung melemahkan dan tidak tegas. Perlindungan hukum terhdap konsumen dalam bertransaksi jual-beli secara online melalui ecommerce bisa didapatkan karena dengan adanya eksistensi regulasi terkait perlindungan konsumen telah menjamin kepastian hukum konsumen sebagai penyelesaian permasalahan-permasalahan yuridis. Regulasi elektronik, transaksi jual beli online melalui e-commerce dapat dijadikan sebagai dasar laporan pengaduan dengan ketentuan syarat-syarat kontrak menurut pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait syarat sahnya suatu perjanjian telah dipenuhi dan permasalahan tidak dapat ditempuh secara damai. Sehingga perlindungan hukum yang saharusnya di dapat dalam bertransaksi melalui e-

commerce bagi konsumen di Indonesia terdapat 2 (dua) jenis ruang dalam menyelesaikan permasalahan konsumen yakni melalui Pengadilan dan Luar Pengadilan. Konsumen yang bertransaksi melalui e-commerce di Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam menyelesaikan permasalahannya di pengadilan apabila dapat memenuhi ketentuan serta hukum yang berlaku.

Daftar Pustaka

Buku

Atsar, Abdul dan Rani Apriani. Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen (Yogyakarta: Deepublish, 2019)

Mulhadi. Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers., 2017)

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. Filsafat, Teori & Ilmu Hukum Pemikiran (Jakarta: Rajawali Pers, 2014.)

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek) Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. XXXIV, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004)

Jurnal

Alydrus, Sayyid Muhammad Zein, Suhadi, dan Ratna Lutfitasari. 2020. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen PT. PLN (PERSERO) Balikpapan Terkait Adanya Pemadaman Listrik. Jurnal Lex Suprema Vol. 2 No. 1 Maret 2020: 365.

Atmadja, Dewa Gede. 2018. Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum. Kertha Wicaksana Vol. 12 No. 2. 2018: 145-155.

Azizah, Lutviana, Supandi dkk. 2019. Electronic Commerce) E-Commerce on a Perpective of Defense Economic. Jurnal Ekonomi Pertahanan, Vol. 5 No. 2, 2019: 276-277.

Dahlia. 2009. Perlindungan Konsumen terhadap Transaksi Jual Beli melalui Media Internet (e-commerce). Jurnal Wacana Hukum Vol. VIII. No. 1 (2009): 39

Mahawyahrty, Ni Ketut Esa Savitri dan Ayu Putu Laksmi Danyathi. 2020. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi Perdagangan Barang Cacat Tersembunyi melalui Internet. Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum Vol. 8 No. 2 2020: 11

Pramono, Nindyo. 2001. Revolusi Dunia Bisnis Indonesia Melalui E-commerce dan ebusiness: Bagaimaan Solusi Hukumnya. Mimbar Hukum No.39/x/2001

Prayogo, R. Tony. 2016. Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 13 No. 02 Juni 2016: 191-202

Putra, I Putu Erick Putra, I Nyoman Putu Budiartha dan Ni Made Sukaryati Karma. 2019. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Jual Beli Barang Melalui E-commerce. Jurnal Analogi Hukum Vol. 1 No. 2 2019, 239-243

Putri, Elisabeth Laksmi Hapsoro, Moch. Djais, Adya Paramita Prabandari. 2020. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi Jual Beli melalui Line Messenger. Notarius Vol. 13 No. 1 2020: 288-297

Sanusi, M. Arsyad. 2001. Transaksi Bisnis dalam Electronic Commerce (E-Commerce). Jurnal Hukum No. 26 Vol. 8 Maret 2001: 10-29

Sari, A.A Made Yuni. 2021. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Konsumen Transaksi E-commerce dalam Hal Terjadinya Wanprestasi. Jurnal Kertha Semaya Vol. 9 No. 3 Tahun 2021. H. 446-457

Stefani. 2021. Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia Secara Online. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi Vol.2, No.7 Juli 2021

Wulandari, Yudha Sri. 2018. Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Transaksi Jual Beli E-commerce. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, 2018, 199-210

Internet

Fauziah, Mursid. Kominfo: Pengguna Interner di Indonesia Capai 175,5 Juta. https://republika.co.id/berita/qhgibx335/kominfo-pengguna-internet-di-indo nesia-capai-1755-juta-jiw. (accessed May 20, 2022)

Yosepha, Pusparisa. Ribuan Penipuan Online Dilaporkan dalam Lima Tahun Terakhir. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/11/ribuan-penipuan-online-dilaporkan-tiap-tahun. (accessed May 18, 2022)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 5 Tahun 2022 hlm 482-496

496