JMU

Jurnal medika udayana



ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.12,DESEMBER, 2022

I—λ Idirectoryof OPEN ACCESS

I_J <JΛAU JOURNALS


Diterima: 2022-04-22 Revisi: 2022-10-28 Accepted: 30-11-2022

HUBUNGAN NLR, KADAR CRP DAN D-DIMER TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN PENYAKIT PASIEN COVID-19 DI RSUD WANGAYA DENPASAR

Ni Wayan Sunardi Asih departemen instalasi laboratorium RSUD Wangaya 1. Program Studi Pendidikan Dokter e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penyakit Coronavirus 19 (COVID-19) adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini berasal dari keluarga Coronaviridae dan bertanggung jawab atas terjadinya wabah penyakit respirasi atipikal akut yang awalnya bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.1 Sejak dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020, infeksi COVID-19 menjadi ancaman yang besar bagi kesehatan manusia karena penyakit ini memakan banyak sumber daya sistem kesehatan.2 Peningkatan kasus dan kematian di Indonesia meningkat secara drastis pada pertengahan Juni 2021. Jumlah kasus yang meningkat secara dramatis meningkatkan beban sumber daya kesehatan, sehingga penilaian tingkat keparahan penyakit menjadi hal yang penting untuk dilakukan pada kondisi keterbatasan sumber daya di masa pandemi ini. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara NLR, kadar CRP dan D-dimer terhadap derajat keparahan penyakit pasien COVID-19 yang dirawat di RSUD Wangaya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan yang digunakan adalah retrospective pada pasien COVID-19 terkonfirmasi (metode rRT-PCR) yang melakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap. Penelitian ini menggunakan sampel berjumlah 80 orang pasien COVID-19 yang dirawat selama rentang periode Juni sampai Agustus 2021 di RSUD Wangaya Denpasar. Sampel pasien dengan derajat berat kemudian dibandingkan dengan derajat tidak berat. Dari hasil analisa didapatkan nilai P dari NLR yakni <0,001, CRP <0,001, dan D-dimer 0,004, sehingga terdapat perbedaan bermakna NLR, kadar CRP dan D-dimer pada pasien derajat keparahan penyakit berat dan tidak berat.

Kata Kunci : COVID-19., NLR, CRP, D-dimer.

ABSTRACT

Coronavirus disease 19 (COVID-19) is a contagious disease caused by Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) virus. The virus originated from the Coronaviridae family and is responsible for acute atypical respiratory disease that started in Wuhan, Hubei Province, China. Since it was declared as pandemic by WHO on March 11 2020, COVID-19 infection has become a big threat for human health because this disease consumes many health care resources. The increasing cases and death in Indonesia dramatically occured in June 2021. Increasing case numbers dramatically lead to increased health care resources, therefore disease severity evaluation becomes important in situations where resource is limited during this pandemic. The aim of this research is to know the relationship between NLR, CRP level, and D-dimer toward disease severity of COVID-19 patients. This research is observational analytic with retrospective design in confirmed COVID-19 patients (rRT-PCR method) that also underwent complete laboratorium examination. This study used 80 samples that were hospitalized during the period June until August 2021 in Wangaya Public Hospital Denpasar. The sample of patients with severe grades then compared with non-severe grades. From the results of the analysis, the P values of the NLR were <0,001, CRP <0,001, and D-dimer 0,004, so there were significant differences in NLR, CRP and D-dimer levels in patients with severe and non-severe disease severity.

Keywords : COVID-19., NLR, CRP, D-dimer.

PENDAHULUAN

Penyakit Coronavirus 19 (COVID-19) adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini berasal dari keluarga Coronaviridae dan bertanggung jawab atas terjadinya wabah penyakit respirasi atipikal akut yang awalnya bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.1 Sejak dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020, infeksi COVID-19 menjadi ancaman yang besar bagi kesehatan manusia karena penyakit ini memakan banyak sumber daya sistem kesehatan.2

Menurut data WHO per Juli 2021 jumlah kasus di seluruh dunia adalah 190 juta kasus dengan jumlah kematian 4 juta orang di seluruh dunia. Untuk di Indonesia sendiri menurut data dari Komite Penanggulangan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, terjadi peningkatan kasus sejak bulan Juni 2021 yaitu jumlah kasus hampir 3 juta dengan lebih dari 70 ribu kematian. Di Bali, jumlah kasus juga mengalami peningkatan menjadi 60 ribu kasus dengan 1700 kematian.3

Peningkatan kasus dan kematian di Indonesia meningkat secara drastis pada pertengahan Juli 2021, dimana terjadi peningkatan kasus sebesar hampir 8 kali lipat. Begitu pula dengan angka kematian, terjadi lonjakan hampir 7 kali lipat.3

Jumlah kasus yang meningkat secara dramatis meningkatkan beban sumber daya kesehatan, sehingga penilaian tingkat keparahan penyakit menjadi hal yang penting untuk dilakukan pada kondisi keterbatasan sumber daya di masa pandemi ini. Stratifikasi risiko awal untuk pasien COVID pada saat admisi di rumah sakit adalah kunci untuk memberikan intervensi yang optimal dan mampu menempatkan sumber daya yang terbatas dengan teliti. Sehingga hal ini dapat memastikan sumber daya yang terbatas tersebut diberikan kepada pasien yang tepat.2

Selain beberapa parameter seperti presentasi klinis, komorbiditas, luasnya infiltrasi secara radiologis, dan kadar oksigenasi pasien dapat menjadi penentu derajat keparahan penyakit, beberapa parameter laboratorium juga menjadi prediktor dan memberikan penilaian tingkat keparahan penyakit pasien. Berbagai penelitian dan meta analisis menunjukkan bahwa terdapat berbagai parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan serta prognosis pasien yakni parameter hematologi, inflamasi, koagulasi, cardiac marker, fungsi liver, otot, renal, serta elektrolit.2

Pemeriksaan hematologi merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan secara luas untuk diagnosis dan penilaian derajat keparahan pasien COVID-19. Selain itu, pemeriksaan hematologi juga mampu memberikan gambaran prognosis pasien, di samping itu juga mudah dilakukan dan bisa memberikan hasil yang cepat serta mudah ditemui di fasilitas kesehatan.2

Pada pasien COVID-19 terjadi serangkaian proses inflamasi dalam tubuh. Beberapa bukti menunjukkan bahwa perburukan penyakit pada pasien COVID-19 berkaitan erat dengan disregulasi dan pelepasan sitokin yang berlebihan. Rasio neutrofil-limfosit (neutrophil-lymphocyte ratio/NLR) merupakan parameter stres dan respon imun serta merupakan faktor risiko independen derajat keparahan pasien COVID-19. Selain NLR, parameter inflamasi seperti C Reactive Protein dan parameter koagulasi seperti D-Dimer merupakan faktor risiko independen terhadap perburukan klinis pasien COVID-19.2

Dengan mengetahui pentingnya peran dari pemeriksaan parameter hematologi, inflamasi dan koagulasi dalam menentukan derajat keparahan dan prognosis pasien COVID-19 serta sifatnya yang simpel, cepat dan tersedia luas, dan dapat dilakukan sejak awal penyakit, sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap parameter tersebut terutama neutrophil-lymphocyte ratio (NLR), C Reactive Protein (CRP), dan D-dimer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara neutrophil-lymphocyte ratio (NLR), C Reactive Protein (CRP), D-dimer terhadap derajat keparahan penyakit pasien COVID-19 yang dirawat di RSUD Wangaya.

CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19)

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Coronavirus. Penyakit ini berawal dari munculnya kasus atipikal pneumonia di Provinsi Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Setelah dilakukan penyelidikan epidemiologi, pada tanggal 7 Januari 2020, pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang dinamakan SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Meskipun berasal dari famili yang sama dengan SARS dan MERS, namun SARS-CoV-2 lebih menular.4

Kasus COVID-19 di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tanggal 2 Maret 2020 dan jumlahnya terus meningkat. Usia lanjut dan adanya penyakit komorbid merupakan faktor risiko penyakit yang lebih berat bahkan kematian. Faktor lain yang mempengaruhi risiko kematian yakni penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis, hipertensi, dan kanker.4

Coronavirus adalah virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen dengan panjang mulai dari 26 Kb hingga 32 Kb, yang merupakan genom terpanjang yang diketahui di antara virus RNA. Coronavirus terdiri dari 4 struktur protein utama yakni protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung).4 Penularan COVID-19 terjadi melalui droplet dala jarak 1 meter pada seseorang yang bergejala yang dapat mengenai bagian mukosa mulut dan hidung serta

konjungtiva mata. Penularan secara tidak langsung juga dapat terjadi pada permukaan benda yang terkontaminasi droplet.4

Siklus hidup virus SARS-CoV-2 terdiri dari beberapa langkah yakni perlekatan (attachment), penetrasi (penetration), bio sintesis materi genetik, maturasi, dan pelepasan virion. Ketika virus berikatan dengan reseptor host (attachment), virus kemudian masuk ke dalam sel host melalui endositosis atau fusi membran (penetration). Ketika konten virus dilepas ke dalam sel host, RNA virus memasuki nukleus untuk replikasi. MRNA virus kemudian digunakan untuk membuat protein virus (biosintesis). Dan terakhir, partikel virus baru dibuat (maturasi) untuk kemudian dilepas.5 Berdasarkan berbagai literatur yang dipublikasikan, patogenesis COVID-19 terjadi melalui 3 fase yakni fase pulmoner, fase proinflamasi dan fase protrombotik.6

Berdasarkan studi epidemiologi, pada awal pandemi, 40% pasien COVID-19 menderita gejala ringan, 40% menderita gejala sedang seperti pneumonia, 15% pasien akan mengalami penyakit parah, serta 5% kasus akan mengalami kondisi kritis.6

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan, tes diagnostik cepat berbasis antigen dan antibodi, serta pemeriksaan molekuler. WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler terhadap sampel saluran respirasi untuk identifikasi dan konfirmasi laboratorium kasus COVID-19. Diagnosis pasti adalah dengan metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT-PCR (Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction).7

Sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Zhang dkk, menemukan bahwa dari 4.663 pasien di China, hasil temuan laboratorium yang paling banyak dijumpai yakni peningkatan C Reactive protein (CRP;) diikuti dengan penurunan kadar albumin, peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR), penurunan eosinofil, peningkatan interleukin-6, limfopenia, dan peningkatan laktat dehidrogenase.8

Neutrophil-lymphocyte Ratio

Rasio neutrofil terhadap limfosit merupakan penanda status inflamasi yang didapat dari nilai neutrofil absolut dan limfosit, dimana kedua parameter ini diperiksa secara rutin.17 NLR telah terbukti bermanfaat dalam menentukan mortalitas cardiac event, faktor prognostik kuat pada beberapa jenis kanker atau sebagai prediktor dan penanda inflamasi dari penyakit infeksi atau inflamasi serta komplikasi paska operasi.9

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa nilai NLR lebih tinggi pada pasien dengan gejala berat dan dianggap memiliki nilai prognostik pada pasien COVID-19. Peningkatan nilai neutrofil mengindikasikan derajat respon inflamasi, sedangkan penurunan limfosit mengindikasikan derajat ketidakseimbangan sistem imunitas.10 Rasio neutrofil-

limfosit diketahui merupakan faktor risiko independen yang paling penting terhadap COVID-19 berat.11

Neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) dapat dihitung menggunakan jumlah atau persentase sel absolut.12 Nilai normal NLR pada orang dewasa berkisar antara 1 sampai dengan 2,3. Nilai cut off yang dapat memprediksikan prognosis pasien COVID-19 bervariasi antara literatur. Nilainya berkisar antara 3,13 - 9,38.2

C- reactive Protein

C- reactive protein (CRP) adalah suatu protein inflamasi dari famili pentraxin, diperkenalkan sebagai respon terhadap fase inflamasi akut. Ia pertama kali ditemukan pada tahun 1930 oleh Tillet dan Francis dan dinamakan demikian karena kemampuannya untuk membentuk presipitat somatik polisakarida-C Streptococcus pneumoniae. Induksi transkripsional pada gen CRP terutama terjadi di hepatosit sebagai respon terhadap peningkatan sitokin inflamasi terutama interleukin-6 (IL-6) dengan IL-6 memperbesar efek tersebut. CRP ekspresinya meningkat selama kondisi inflamasi seperti reumatoid artritis, beberapa penyakit kardiovaskuler dan infeksi. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar CRP yakni usia, jenis kelamin, merokok, berat badan, kadar lipid dan tekanan darah.13

Konsentrasi serum CRP meningkat diatas 5 mg/L dalam 6 jam setelah awitan dan mencapai puncak dalam 48 jam. Waktu paruh plasma adalah sekitar 19 jam dan konstan pada segala kondisi.13 Immunoassay dan laser nephelometry merupakan metode untuk mengukur kadar CRP dan pemeriksaan ini murah, akurat dan cepat. Untuk mendeteksi kadar CRP yang rendah (0,3-1,0 mg/dL), metode high-sensitivity CRP direkomendasikan karena deteksi CRP biasa kurang presisi.14

CRP bukan hanya berperan sebagai penanda inflamasi, tetapi juga berkontribusi terhadap respon inflamasi. Terkait dengan peningkatan kadar CRP pada infeksi SARS-CoV-2, hal ini berkaitan dengan mortalitas dan telah diidentifikasi sebagai molekul yang mampu menyebabkan kerusakan selama infeksi SARS-CoV-2.13

D-dimer

D-dimer merupakan suatu produk degradasi fibrin dan memainkan peranan penting dalam mekanisme thrombo inflamasi pada pasien COVID-19. Pasien dengan D-dimer >1000 ng/ml memiliki risiko kematian 20 kali lebih tinggi dibandingkan pasien dengan D-dimer yang lebih rendah. Sehingga pemeriksaan D-dimer ini menjadi alat skrining potensial terhadap kejadian tromboembolisme vena pada pasien COVID-19, dan dengan merujuk pada nilai peningkatan D-dimer, memberikan antikoagulan dosis terapeutik lebih bermanfaat dibanding dosis profilaktik. Sehingga, kadar D-dimer sebaiknya dimonitor pada pasien COVID-19 di awal admisi.15

Pada pasien COVID-19 diperkirakan terjadi proses protrombotik yang berlebihan yang menyebabkan terjadinya trombosis vena dan arteri. Kondisi hiperkoagulopati yang terjadi dalam bentuk tromboembolisme vena dan arteri, menjadi sekuele yang paling berat dari infeksi SARS-CoV-2 dan menjadi faktor prognosis buruk. Emboli paru merupakan salah satu manifestasi trombotik paling sering terjadi pada pasien COVID-19. Dibandingkan insiden trombosis vena, trombosis arteri jarang dijumpai pada pasien COVID-19. Trombosis arteri biasanya bermanifestasi sebagai miokard infark, stroke, dan trombosis mikrovaskuler. Kondisi hiperkoagulabilitas pada pasien COVID-19 biasanya dijumpai peningkatan D-dimer, fibrinogen, faktor VIII, faktor von Willebrand, dan menurunnya antitrombin.16

Biomarker koagulasi mampu menjadi indikator keparahan dan mortalitas penyakit COVID-19, sehingga pemeriksaan biomarker ini perlu dilakukan karena dapat menentukan triage pasien, strategi terapi dan supervisi prognosis.15

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan retrospective pada pasien COVID-19 terkonfirmasi (metode rRT-PCR) yang melakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap. Tempat penelitian adalah di RSUD Wangaya Denpasar dalam jangka waktu mulai 1 Juni sampai dengan 31 Agustus 2021. Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang berusia lebih dari atau sama dengan 18 tahun dengan diagnosis konfirmasi COVID-19 yang dirawat di RSUD Wangaya Denpasar dan melakukan pemeriksaan di laboratorium darah lengkap di RSUD Wangaya Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian dilakukan dengan melakukan review terhadap rekam medis pasien yang berisi data mengenai informasi medis pasien termasuk data laboratorium pasien. Penelitian dilakukan setelah mendapatkan izin dari Direktur RSUD Wangaya dan memenuhi kelayakan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Wangaya dengan nomor 053/V.5/KEP/RSW/2022.

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien post tindakan operasi atau pasien dengan kehamilan yang dinyatakan terkonfirmasi positif COVID-19 dari pemeriksaan PCR. Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) adalah hasil dari jumlah neutrofil absolut dibagi jumlah limfosit absolut dalam 103/mL unit yang diperoleh dari hasil hematologi rutin menggunakan sampel darah K3EDTA whole blood dan diukur menggunakan hematology analyzer Sysmex XN-1000. Data NLR diperoleh dari Laboratory Information System (LIS). C reactive protein adalah kadar nilai C reactive protein dalam mg/L dengan menggunakan sampel darah K3EDTA plasma dan diukur dengan immunoanalyzer Ichroma II. Data CRP diperoleh dari Laboratory Information System (LIS). D-dimer adalah kadar

nilai D-dimer dalam µg/ml dengan menggunakan sampel darah sitrat plasma dan diukur dengan immunoanalyzer Ichroma II. Data D-dimer diperoleh dari Laboratory Information System (LIS). Derajat keparahan COVID-19 adalah derajat penyakit pasien COVID-19, dibagi menjadi 2 yakni derajat berat (gejala berat dan kritis) dan derajat tidak berat (sakit ringan dan sedang) berdasarkan klasifikasi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/4641/2021 dan WHO.

Data yang dikumpulkan diolah menggunakan software komputer. Analisis uji normalitas pada parameter NLR, CRP dan D-dimer akan dilakukan uji normalitas (data dianggap memiliki distribusi yang normal apabila p>0,05). Uji komparatif independent t-test untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara NLR, kadar CRP dan D-dimer antara kelompok pasien derajat berat dan tidak berat. Analisis korelasi untuk mengetahui hubungan antara parameter NLR, CRP dan D-dimer dengan derajat keparahan COVID-19 menggunakan uji Pearson correlation. Analisis risiko menggunakan metode regresi logistic untuk mengkaji peranan NLR , CRP dan D-dimer terhadap derajat keparahan pada pasien COVID-19 dengan mengontrol perancu yang ada dalam penelitian dalam hal ini ada tidaknya penyakit komorbid. Seluruh nilai dianggap bermakna apabila p<0,05.

HASIL

Karakteristik Demografi

Dari total 80 sampel ini, jumlah sampel pasien berdasarkan kelompok usia yakni terbanyak kelompok usia 40-60 tahun sebanyak 39 sampel (49%), kemudian usia 6080 tahun sebanyak 25 sampel (31%), usia 20-40 tahun sebanyak 12 sampel (15%), dan terakhir usia 80 tahun ke atas sebanyak 4 sampel (5%) (gambar 5.1). Sampel pasien meninggal pada penelitian ini dijumpai pada rentang usia 5081 tahun dengan rata-rata usia 64 tahun.

Berdasarkan derajat keparahan penyakit, sampel pasien dibagi menjadi berat dan tidak berat. Pada sampel pasien derajat berat sebagian besar dijumpai pada kelompok usia 4060 tahun yakni sebanyak 13 pasien (43%). Sampel pasien yang mengalami derajat berat, sedikit lebih banyak dijumpai pada pasien perempuan yakni 16 pasien (53%).

Karakteristik Klinis

Berdasarkan derajat keparahan penyakit, jumlah sampel pasien yang mengalami penyakit tidak berat yakni 50 sampel (62,5%) dibandingkan dengan 30 sampel dengan penyakit berat (37,5%). Jumlah sampel pasien berdasarkan ada tidaknya komorbid yakni 42 (52,5%) sampel tanpa komorbid sedangkan 38 (47,5%) sampel dengan komorbid. Jumlah sampel pasien berdasarkan ruang perawatan yakni non ICU 17

sebanyak 72 (90%) sedangkan perawatan di ruang ICU sebanyak 8 sampel (10%). Sedangkan untuk jumlah kesembuhan sampel pasien, sebanyak 69 (86%) sampel sembuh sedangkan 11 (14%) sampel meninggal. Berdasarkan lama perawatan yang diterima, sampel pasien rata-rata dirawat selama 9,6 hari.

Sampel pasien dengan derajat berat, sebagian besar memiliki penyakit komorbid yakni 17 pasien (57%), dan 13 (43%) pasien tidak memiliki penyakit komorbid. Sampel pasien dengan derajat berat sebagian besar dirawat di ruangan non ICU yakni 23 pasien (77%), dan 7 (23%) pasien dirawat di ruangan ICU. Sedangkan berdasarkan kondisi sampel pasien saat keluar rumah sakit, sebagian besar pasien dengan derajat berat keluar dalam keadaan sembuh yakni 19 pasien (63%) dan 11 pasien (37%) meninggal.

Karakteristik NLR, Kadar CRP, dan D-dimer

Hasil penelitian terhadap data NLR sampel pasien menemukan bahwa rentang nilai NLR yakni 0,5 sampai 18,9 dengan nilai mean 4,9, nilai median 4 dan nilai standar deviasi 3,7. Kadar CRP sampel pasien berkisar antara 5 sampai dengan 185 mg/L, dengan nilai mean 52 mg/L, nilai median 41,5 mg/L, dan nilai standar deviasi 42,5 mg/L. Sedangkan kadar D-dimer sampel pasien dijumpai pada rentang nilai 136,1 µg/ml sampai dengan 6648 µg/ml, dengan nilai mean 780,8 µg/ml, nilai median 397 µg/ml, dan nilai standar deviasi 1182,1 µg/ml.

Sampel pasien dengan derajat berat bila dibandingkan dengan derajat tidak berat memiliki rentang nilai NLR 2,5 -18,9 vs 0,5 - 6,3, nilai mean 7,5 vs 3,3, nilai median 5,3 vs 3,4, dan nilai standar deviasi 4,8 vs 1,4. Karakteristik kadar CRP pada sampel pasien derajat berat dibandingkan derajat tidak berat yakni memiliki rentang nilai antara 15 mg/L - 185 mg/L vs 5 mg/L - 117 mg/L, nilai mean 82,3 mg/L vs 33,9 mg/L, nilai median 75,5 mg/L vs 26 mg/L, dan standar deviasi 46,3 mg/L vs 27,4 mg/L. Sedangkan untuk kadar D-dimer, sampel pasien derajat berat dibandingkan derajat tidak berat yakni memiliki rentang nilai 226,3 µg/ml - 5066,4 µg/ml vs 136,1 µg/ml - 6648 µg/ml, nilai mean 1264,2 µg/ml vs 490,8 µg/ml, nilai median 637,9 µg/ml vs 321,4 µg/ml, dan standar deviasi 1427,5 µg/ml vs 904,5 µg/ml.

Analisis Hubungan NLR Kadar CRP, dan D-dimer dengan Derajat Keparahan Penyakit

Berdasarkan hasil uji normalitas data dengan menggunakan tes Shapiro-Wilk didapatkan nilai P dari NLR yakni 0,741, CRP 0,888 dan D-dimer 0,499, dimana ketiga nilai ini lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti data dalam penelitian berdistribusi normal.

Analisa data dengan independent samples t test didapatkan nilai P dari NLR yakni <0,001, CRP <0,001, dan D-dimer 0,004. Semua nilai P dari ketiga parameter lebih

kecil dari 0,05. Maka terdapat perbedaan bermakna NLR, kadar CRP dan D-dimer pada pasien derajat keparahan penyakit berat dan tidak berat.

Analisa data kemudian dilanjutkan dengan analisis korelasi menggunakan uji Pearson correlation. Dari hasil analisis didapatkan NLR, CRP dan D-dimer memiliki hubungan dengan derajat keparahan penyakit COVID-19 dimana nilai P NLR yakni <0,001, CRP <0,001, dan D-dimer 0,004 dengan tingkat korelasi sedang (nilai r 0,40-0,59) untuk NLR dan CRP dan korelasi rendah (nilai r 0,20-0,399) untuk D-dimer.

Analisis risiko menggunakan metode regresi logistik diketahui nilai P untuk NLR yakni 0,006 dengan nilai Odds Ratio (OR) 0,482 (IK95% 0,288 - 0,807), nilai P CRP yakni 0,014 dengan nilai OR 0,977 (IK95% 0,958 - 0,995), serta nilai P D-dimer yakni 0,131. Dari ketiga parameter ini, NLR dan CRP memiliki nilai P kurang dari 0,05 sedangkan nilai P D-dimer lebih besar dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat peranan antara NLR dan kadar CRP dalam memprediksi derajat keparahan penyakit pasien COVID-19. Hasil analisis regresi logistik peranan variabel perancu dalam penelitian ini yakni ada tidaknya komorbid menunjukkan bahwa nilai P yakni 0,793 lebih besar dari 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa komorbid tidak memiliki peranan terhadap derajat keparahan penyakit pasien COVID-19.

Analisis kurva Receiver Operating Curve (ROC) dilakukan untuk mengetahui performa ketiga parameter NLR, CRP dan D-dimer dalam memprediksi derajat keparahan penyakit COVID-19. Dari hasil analisis didapatkan nilai Area Under Curve (AUC) dari NLR yakni 83,9% dengan nilai cut-off 4,03 (sensitivitas 83,3% dan spesifisitas 68%), CRP nilai AUC 82,1% dengan nilai cut-off 38 mg/L (sensitivitas 80% dan spesifisitas 60%), dan D-dimer memiliki nilai AUC 77,8% dengan nilai cut-off 384,35 (sensitivitas 76,7% dan spesifisitas 60%). Apabila ketiga parameter ini dinilai bersama akan didapatkan nilai AUC 91,3% (sensitivitas 88%, dan spesifisitas 66,7%). Hasil analisis kurva ROC menunjukkan performa NLR, CRP dan kombinasi antara NLR dan CRP yang baik (80-90%) dalam memprediksi derajat keparahan penyakit COVID-19 (Gambar 1).

PEMBAHASAN

Hasil analisis data menunjukkan terdapat perbedaan signifikan NLR, kadar CRP dan kadar D-dimer antara pasien dengan derajat keparahan penyakit berat dan tidak berat. Selain itu juga terdapat hubungan antara NLR, kadar CRP, D-dimer terhadap derajat keparahan penyakit COVID-19 dimana NLR dan CRP memiliki tingkat korelasi yang sedang

sedangkan D-dimer memiliki derajat korelasi yang rendah. Namun, diantara ketiga parameter ini, hanya NLR dan CRP yang menunjukkan peranan sebagai prediktor derajat keparahan penyakit COVID-19 di RSUD Wangaya Denpasar. NLR, kadar CRP, dan kombinasi NLR dan kadar CRP memiliki kemampuan yang baik dalam memprediksi derajat keparahan penyakit COVID-19.

Gambar 1. Kurva ROC NLR, CRP, dan D-dimer

Neutrophil-lymphocyte Ratio

Neutrophil-lymphocyte ratio merupakan indikator yang penting terhadap kasus berat dan keluaran klinis yang buruk dan secara signifikan meningkat pada pasien berat dari pada pasien tidak berat.17 Hal ini sesuai dengan sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Selanno, dkk pada bulan April-September 2020 di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, Makassar menemukan bahwa nilai NLR berbeda secara signifikan antara pasien berat (9,81±7,06) dan tidak berat (4,02±5,22) (p < 0,001).18

Sebuah meta analisis yang dilakukan oleh DM Simadibrata, dkk pada 23 Juli 2020 menunjukkan bahwa pasien COVID-19 berat dan meninggal memiliki nilai NLR admisi yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak berat.19

Neutrofil adalah salah satu predominan leukosit yang menginfiltrasi paru-paru pada infeksi SARS-CoV-2 berat, dan neutrofilia merupakan penanda keluaran klinis yang buruk. Analisis post-mortem dari sampel paru-paru pasien COVID-19 menunjukkan infiltrasi neutrofil ke dalam kapiler http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2022.V11.i12.P03

pulmonal dan ekstravasasi neutrofil ke dalam ruang alveolar. Dengan aktivasi neutrofil, seperti yang terjadi pada kondisi badai sitokin, menyebabkan terjadi pelepasan Neutrophil Extracellular Traps (NETs). Pembentukan NETs berkaitan dengan penyakit paru-paru, terutama ARDS.10

Limfopenia merupakan karakteristik klinis yang sering dijumpai pada pasien COVID-19. Limfopenia merupakan penurunan drastis dari jumlah sel imun yang bersirkulasi di dalam darah. Pasien COVID-19 menunjukkan limfopenia terhadap sel dendritik, makrofag dan sel T.6 Limfopenia adalah fitur penting yang terjadi pada pasien COVID-19, terutama pada kasus berat. Pasien dengan COVID-19 berat sebagian besar mengalami limfopenia saat admisi yang menjadi prediktor yang signifikan pada pasien berat. Persentase limfosit ditemukan lebih rendah dari 20% pada kasus berat. Analisis lebih jauh menunjukkan penurunan signifikan dari jumlah sel T terutama sel T CD8+ pada kasus berat dibanding kasus ringan. Terdapat beberapa mekanisme potensial yang berperan terhadap deplesi dan disfungsi limfosit. Diketahui bahwa SARS-COV-2 menginfeksi sel epitel respirasi melalui interaksi antara protein spike pada virus dengan reseptor ACE-2. Selain itu, SARS-COV-2 juga menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung yang menjadi fitur utama patogenesis COVID-19. Studi lain menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel T berkorelasi secara negatif dengan kadar TNFα, IL-6, dan IL-10 , yang mengindikasikan adanya peningkatan level sitokin yang dapat memicu deplesi dan kelelahan populasi sel T. Selain itu, virus SARS-COV-2 dapat secara langsung menghancurkan organ limfatik termasuk limpa dan nodus limfe, dimana dijumpai adanya atrofi limpa dan nekrosis nodus limfe yang kemudian memperburuk limfopenia. Terakhir, peningkatan asam laktat dijumpai pada pasien berat dimana hal ini dapat menghambat proliferasi limfosit.17

Over produksi sitokin yang terjadi akibat infeksi SARS-CoV-2 dapat meningkatkan permeabilitas membran dinding kapiler di sekitar alveoli yang terinfeksi yang menyebabkan terjadinya edema paru, dyspnea, dan hipoksemia. Masuknya cairan plasma ke dalam alveoli dan hilangnya elastisitas akibat kurangnya produksi surfaktan akibat infeksi pneumosit tipe 2 menyebabkan terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan acute lung injury (ALI) pada pasien COVID-19.6

C- reactive Protein

Sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Hariyanto dkk dengan 4.848 pasien menunjukkan bahwa pasien COVID-19 berat memiliki kadar procalcitonin, CRP, D-dimer, dan LDH yang lebih tinggi dibanding pasien yang tidak sakit berat. Penelitian ini menunjukkan nilai cutoff yakni 33.55 mg/L untuk CRP, dan 0.635 μ/L untuk D-dimer.20

Peningkatan kadar CRP pada stadium awal COVID-19 berkaitan dengan kerusakan paru dan keparahan penyakit.

Analisis terhadap perubahan paru-paru dengan CT scan menunjukan kadar CRP yang tinggi telah ada sebelum adanya lesi paru. Hal ini memungkinkan CRP memiliki nilai prediktif terhadap keparahan penyakit. Progresi penyakit menjadi pneumonia berkaitan dengan peningkatan CRP sirkulasi. Studi juga menunjukkan hubungan antara peningkatan CRP dengan penurunan rasio tekanan parsial oksigen arteri terhadap fraksi oksigen inspirasi (PaO2/FiO2), mengindikasikan CRP merupakan faktor prediktor kegagalan paru.14

Patogenesis CRP dimediasi oleh tipe isoformnya. CRP memiliki 3 isoform yang berbeda, yakni native CRP (nCRP), monomeric (mCPR) and mixed isoform (mCRPm). nCRP merupakan protein yang dibentuk oleh 5 monomer (penta-monomerik). Molekul ini memiliki 2 ligan pada sisi yang berlainan, yang berikatan dengan kalsium dan sisi lain berikatan dengan komplemen C1q dan reseptor Fc. Isoform ini disintesis terutama di liver, namun juga di sel lain seperti sel endotel, makrofag, limfosit, sel otot, dan adiposit.14

Setelah terjadinya ikatan antara SARS-CoV-2 dengan reseptor ACE2, kompleks ini kemudian diinternalisasi ke dalam sel dan menimbulkan respon hiperaktivitas dari angiotensin II, dimana salah satu efeknya adalah produksi CRP dan sitokin proinflamasi. CRP memicu efek yang buruk terhadap organisme yang dimediasi oleh aktivasi komplemen, berikatan dengan reseptor Fc dan menginduksi apoptosis. Produksi CRP dan sitokin proinflamasi merupakan bagian dari badai sitokin yang dijumpai pada COVID-19.14 D-dimer

Berbagai studi pada pasien COVID-19 menunjukkan nilai prognostik dari peningkatan D-dimer. Beberapa studi menunjukkan hubungan antara peningkatan D-dimer (prevalensi sampai 46,4%) dengan peningkatan keparahan dan keluaran klinis yang buruk pada pasien COVID-19.15

Laporan menyebutkan tingginya angka insiden trombosis meskipun sudah mendapatkan terapi antikoagulan profilaksis dan terapeutik memunculkan pertanyaan mengenai patofisiologi yang hanya terjadi pada pasien COVID-19. Hipotesis yang diajukan yakni respon inflamasi yang berlebihan yang menyebabkan terjadinya tromboinflamasi melalui mekanisme badai sitokin, aktivasi komplemen dan endoteliitis. Selain itu juga diperkirakan bahwa virus SARS-CoV-2 itu sendiri yang kemungkinan mampu mengaktivasi kaskade koagulasi.21

Peningkatan agregasi platelet, dan peningkatan faktor koagulasi dianggap menjadi faktor penyebab koagulopati pada infeksi SARS-CoV-2.6 Bukti terkini mengimplikasikan bahwa neutrofil dan ketidakseimbangan antara pembentukan dan degradasi neutrophil extracellular trap (NET) memainkan peranan yang penting dalam patofisiologi inflamasi, koagulopati, kerusakan organ dan imunotrombosis yang khas pada kasus COVID-19 berat.22 Efek proinflamasi dari NET adalah induksi interferon tipe 1 dan sitokin

proinflamasi, peningkatan respon imun adaptif, kerusakan endotelium, dan imunotrombosis. Selain itu, agregasi NET dapat menyumbat berbagai organ dan memicu kerusakan organ.11 Tingginya kejadian hiperkoagulabilitas pada pasien kritis juga disebabkan adanya imobilisasi, ventilasi mekanik, akses vena sentral, kekurangan nutrisi.16

Penelitian yang dilakukan oleh Naymagon dkk, keluaran klinis COVID-19 tidak hanya dipengaruhi oleh kadar D-dimer pasien, namun juga tren peningkatan D-dimer yang dialami pasien. Hazard ratio kematian pada pasien dengan D-dimer stabil yakni 0,29 bila dibandingkan dengan kelompok pasien dengan D-dimer yang meningkat (IK95% 0,17–0,49, p < 0,0001).23

SIMPULAN DAN SARAN

Sejak menjadi pandemi global, kasus COVID-19 masih tetap meningkat pada beberapa negara bahkan negara maju sekalipun dan belum menunjukkan tanda akan segera berakhirnya pandemi ini. Dengan tingkat kesakitan, kematian yang tinggi menyebabkan tingginya beban baik secara materi maupun mental dari masyarakat dunia. Di tengah keterbatasan ruang rawat, alat kesehatan, serta sumber daya manusia, membuat keluaran klinis yang buruk bagi pasien. Untuk itu diperlukan sebuah parameter penilaian yang tepat, mudah, cepat dan tersedia di fasilitas kesehatan, seperti hasil laboratorium yang dapat membantu menentukan keluaran klinis pasien dalam hal ini derajat keparahan pasien.

Di antara beberapa parameter laboratorium seperti parameter NLR, kadar CRP dan D-dimer merupakan parameter laboratorium yang rutin dikerjakan di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar pada pasien COVID-19. Ketiganya merupakan penanda inflamasi yang menjadi dasar patogenesis infeksi SARS-CoV-2.

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya baik di dalam maupun luar negeri. Dengan mengetahui adanya hubungan antara NLR dan CRP dengan derajat penyakit pasien COVID-19, maka dapat membuktikan adanya hubungan yang erat antara proses inflamasi dengan keluaran klinis pasien. Pemeriksaan yang dilakukan pada awal admisi juga membantu klinisi untuk memberikan tatalaksana yang tepat bagi pasien dan memberikan gambaran terhadap kemungkinan keluaran klinis yang buruk. Hasil pemeriksaan yang cepat dan mudah dilakukan juga membantu pasien untuk mendapatkan penanganan yang cepat terutama dalam kondisi darurat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapkan kepada DR. dr. Gede Ngurah Budiyasa, Sp. PK selaku pembimbing dalam pembuatan dan penyusunan jurnal ilmiah ini. Demikian pula

teman sejawat dan rekan-rekan analis di bagian laboratorium RSUD Wangaya atas masukan dan kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Parasher A. “COVID-19: Current understanding of its pathophysiology, clinical presentation and treatment.” Postgrad Med J. 2021;97:312–320.

  • 2.    Hashem MK, et al. “Prognostic biomarkers in COVID-19 infection: value of anemia, neutrophil-to-lymphocyte ratio, platelet-to-lymphocyte ratio, and D-dimer.” Egypt J Bronchol. 2021;15(29): 1-9.

  • 3.    Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Indonesia: Peta Sebaran COVID-19. 2021, diunduh dari: https://covid19.go.id/peta-sebaran on 8th August 2021

  • 4.    Kemenkes. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). 2020, diunduh dari:

https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/KMK_ No._HK.01.07-MENKES-413-

2020_ttg_Pedoman_Pencegahan_dan_Pengendalian_C OVID-19.pdf on 8th August 2021.

  • 5.    Yuki K, Fujiogi M, Koutsogiannaki S. COVID-19 pathophysiology:  A review. J Clin Immunol.

2020;215:108427.

  • 6.    Lee C, Choi WJ. Overview of COVID-19 inflammatory pathogenesis from the therapeutic perspective. Arch Pharm Res. 2021;44(1):99–116.

  • 7.    World Health Organization. Advice on the use of point-of-care immunodiagnostic tests for COVID-19; 2020. [updated 2020 April 8; cited 2021 August 8]. Available from:                     https://www.who.int/news-

room/commentaries/detail/advice-on-the-use-of-point-of-care-immunodiagnostic-tests-for-covid-19

  • 8.    Zhang Z, Hou Y, Lib D, Lic F. Laboratory findings of COVID-19: a systematic review and meta-analysis. Scand J Clin Lab Invest. 2020;80(6):441-7.

  • 9.    Forget P, Khalifa C, Defour J, Latinne D, et al. What is the normal value of the neutrophil-to-lymphocyte ratio? BMC Res Notes. 2017;10:12.

  • 10.    Sokolowska M, et al. Immunology of COVID-19: mechanisms, clinical outcome, diagnostics and perspectives – a report of the European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI). Eur J Allergy Clin Immunol. 2020;75:2445-2476.

  • 11.    Ackermann M, Anders H, Bilyy R, et al. Patients with COVID-19: in the dark-NETs of neutrophils. Cell Death Differ. 2021;28:3125–3139.

  • 12.    Farkas J. Neutrophil-Lymphocyte Ratio (NLR): Free upgrade to your WBC. PulmCrit; 2019. [updated 2019

may 23; cited 2021 August 8]. Available from: https://emcrit.org/pulmcrit/nlr/

  • 13.    MosqueraSulbaran JA, Pedreañez A, Carrero Y, Callejas D. Creactive protein as an effector molecule in Covid19 pathogenesis. Rev Med Virol. 2021;e2221: 18.

  • 14.    Nehring SM, Goyal A, Bansal P, Patel BC. C Reactive Protein; 2021. [updated 2021 May 10; cited 2021 October        24].         Available        from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441843/

  • 15.    Zhan H, Chen H. Diagnostic Value of D-Dimer in COVID-19: A Meta-Analysis and Meta-Regression. Clin Appl Thromb/Hemost. 2021;17:1-10.

  • 16.    Abou-Ismail MY, Diamond A, Kapoor S. The hypercoagulable  state  in COVID-19:  Incidence,

pathophysiology,  and  management. Thromb Res.

2020;194:101–115.

  • 17.    Yang L, Shasha L, Liu J, et al. COVID-19: immunopathogenesis and Immunotherapeutics. Signal Transduct Target Ther. 2020;5:128.

  • 18.    Selanno Y , Widaningsih Y , Esa T , Arif M. Analysis of Neutrophil Lymphocyte Ratio and Absolute Lymphocyte Count as Predictors of Severity of COVID-19 Patients. Indones J Clinical Pathol Med. 2021;27(2):184-189.

  • 19.    Simadibrata DM, et al. Neutrophil-to-lymphocyte ratio on admission to predict the severity and mortality of COVID-19 patients: A meta-analysis. Am J Emerg Med. 2021;42:60–69.

  • 20.    Hariyanto TI, Japar KV, Kwenandar F. Inflammatory and hematologic markers as predictors of severe outcomes in COVID-19 infection: A systematic review and meta-analysis. Am J Emerg Med. 2021;41:110-119.

  • 21.    Surendra H, Elyazar IR, Djaafaraa BA, et al. Clinical characteristics and mortality associated with COVID-19 in Jakarta, Indonesia: A hospital-based retrospective cohort study. The Lancet Regional Health - Western Pacific. 2021;9:100108.

  • 22.    Suhartono, Wijaya I, Indra Wijaya, Dalimoenthe NZ. The correlation of neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) and monocytes-to-lymphocytes ratio (MLR) with disease severity in hospitalized patients with Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Bali Med J. 2021;10(2):653-658.

  • 23.    Naymagon AL, Zubizarreta N, Felda J. Admission D-dimer levels, D-dimer trends, and outcomes in COVID-19. Thromb Res. 2020;196:99-105.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2022.V11.i12.P03

21