Hak Ingkar Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Kewajiban Menjadi Saksi Pada Proses Penyidikan Ataupun Peradilan
on
Vol. 7 No. 02 Agustus 2022
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Hak Ingkar Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Kewajiban Menjadi Saksi Pada Proses Penyidikan Ataupun Peradilan
I Made Satria Brahmanta1, I Gede Yusa2
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: satriabrahmantaaa.com 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 28 Mei 2022
Diterima : 4 Agustus 2022
Terbit : 8 Agustus 2022
Keywords : right of refusal, notary, witness
Abstract
This paper aimed to find out the position of PPAT's right to deny and the legal impact of PPAT if revealing secrets, to find out the position of the PPAT right of denial in the investigation and court process, this research used statute approach, this research was a normative research. The results are, in the investigation stage, PPAT can choose to carry out one of the two obligations (the right to vote in carrying out one of the obligations). And in court proceedings, PPAT might exercise the right of denial after the reasons presented are approved by the judge, but in certain cases PPAT cannot exercise the right of refusal or carry out the obligation to keep secrets. The application of legal sanctions for a PPAT who intentionally discloses the secrets of the parties to the land registration deed made by him, then the PPAT can be sentenced or strict sanctions in the form of dishonorable dismissal. PPAT will be given a punishment or sanction and will be dismissed from his position dishonorably given from the Indonesian National Land Agency. For those who are proven to have made a mistake, the imposition of penalties on civil matters, legal sanctions that can be imposed on those who are proven guilty are the necessity to fulfill an achievement whose amount is in accordance with the loss of the injured party, but in criminal matters, the punishment given to the defendant is in the form of punishment.
Kata kunci: hak ingkar, notaris, saksi
DOI :
10.24843/AC.2022.v07.i02.p12
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hak ingkar PPAT dan dampak hukum PPAT jika membongkar rahasia. Selanjutnya untuk dapat mengetahui kedudukan hak ingkar PPAT dalam proses penyelidikan dan pengadilan. Menggunakan pendekatan perundang-undangan, dimana penelitian ini merupakan penelitian normatif. Hasil yang diperoleh dari penulisan artikel ini adalah dalam tahapan penyidikan, PPAT dapat melaksanakan salah satu dari dari dua kewajiban tersebut (hak pilih dalam menjalankan salah satu kewajiban). Pada proses di pengadilan, PPAT boleh menggunakan hak ingkar setelah alasan yang disampaikan disahkan oleh hakim, namun dalam kasus-kasus tertentu PPAT tidak bisa menggunakan hak ingkar atau menjalankan kewajiban menyimpan rahasia. Penerapan sanksi hukum bagi seorang PPAT yang dengan sengaja membuka rahasia para pihak terhadap akta pendaftaran tanah
yang dibuat olehnya, maka Bentuk tanggungjawab hukum akibat kelalaian, kesengajaan atau kekhilafan seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam pelaksanaan penyusunan suatu akta yang tidak mematuhi dan mengikuti ketentuan formil dan materiil, maka PPAT akan diberikan penghukuman berupa sanksi dimana PPAT akan diberhentikan dari jabatannya secara tidak hormat yang diberikan dari perwakilan instansi terkait yaitu Badan Pertanahan Nasional Indonesia. Kepada pihak yang terbukti melakukan kesalahan, penjatuhan hukuman pada permasalahan perdata, sanksi hukum yang dapat dijatuhi pihak yang terbukti bersalah adalah adanya keharusan untuk memenuhi suatu prestasi yang besarnya sesuai dengan kerugian pihak yang dirugikan, namun dalam permasalahan pidana, hukuman yang diberikan kepada terdakwa berupa hukuman badan, yaitu berupa kurungan atau penjara.
-
I. Pendahuluan
Kepemilikan hak milik atas tanah diharapkan dapat memberikan kesejahteraan hidup bagi masyarakat, beberapa bentuk tindakan yang dapat dilakukan dalam rangka pengelolan tanah adalah dengan cara jual beli dan sewa menyewa. Dalam pemberlakuan terkait kegiatan pertanahan di Indonesia telah dilindugi secara hukum seperti menguasai, memanfaatkan dan mendapatkan manfaat terhadap hak milik atas tanah.1 Tujuan dari pemerintah indonesia mengatur pendaftaran tanah yang dilakukan adalah untuk memberi penjagaan dan ketetapan hukum terhadap pemilik hak atas sebidang tanah, yang dapat dibuktikan melalui suatu alat bukti autentik berupa serifikat sebagai suatu alat bukti yang sempurna yang berisikan tentang luas tanah, lokasi dan keadaan tanah tersebut, sertifikat ini mempunyai hak bukti yang paling kuat sepanjang tidak dapat dibuktikan lain.2
Permasalahan hukum yang sering timbul berkaitan dengan tanah adalah munculnya dua sertifikat tanah hak milik. Faktor – faktor yang mempengaruhi hal ini adalah faktor individu masing – masing pihak yang melakukan pendaftaran tanah yang tidak berdasarkan pengaturan dinyatakan pada UU No. 5 Tahun 1960 yang membahas dan mengatur tentang Pokok-Pokok Agraria.3 Selain itu faktor- faktor lain seperti kesengajaan dari salah satu pihak untuk memalsukan data, memberikan keterangan palsu terkait lokasi dan letak batas tanah yang sengaja di lebihkan sehingga terjadi kesalahan dimana data tersebut berisi data palsu.4
Dalam rangka membuktikan bahwa telah terjadi suatu peristiwa hukum atas pendaftaran tanah, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai pejabat umum yang diberikan tanggung jawab dalam menjalankan sebagaian tugas menjalankan hak dan kewajiban yang berkaitan kepada peristiwa hukum atas
pendaftaran atas tanah. Hal tersebut diatur pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan pejabat Pembuat Akta Tanah Pasal 1 ayat 1, dalam pengaturan tersebut mengatur terhadap pelaksanaan terkait pendaftaran tanah di Indonesia, dimana menetapkan yang tersebut berikut :5 “Pejabat Pembuat Akta Tanah atau dinamakan PPAT, ialah pejabat umum yang diberikan wewenang sebagai pembuat akta-akta otentik terkait tindakan hukum tertentu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
Adapun tindakan pemerintah Indonesia yang teratur dan terorganisir sebagai langkah yang digunakan untuk menjamin dan mengupayakan perlindungan hukum yang berkaitan dengan kewenangan atas bidang lahan dan hak atas tanah lainnya, khususnya memberikan bukti kepemilikan lahan tersebut dengan menerbitkan sertifikat untuk bidang-bidang lahan tersebut, serta lahan yang tertentu yang telah memperoleh sertifikat sebagai alat bukti dan menjadi bebannya, yang dilaksanakan dengan cara mendatanya, mencatat serta menyimpan informasi fisik dan informasi yuridis yang dapat digunakan sebagai alat bukti dan menggunakannya sebagai suatu alat bukti kepemilikan.”6
Pengaturan pada kegiatan yang berkaitan dengan hak atas tanah diatas menyatakan bahwa “dengan dilaksanakannya kegiatan pendaftaran terhadap tanah tersebut merupakan bentuk upaya pemerintah Indonesia secara berkelanjutan dan terorganisir dalam rangka memberi perlindungan serta kepastian hukum terhadap surat-surat yang menjadi tanda bukti kepemilikan serta hak-hak yang sudah melekat dan membebani tanah tersebut dan kepemilikan atas suatu bidang-bidang tanah. Berdasarkan hal tersebut pemerintah Indonesia mengupayakan hal-hal yang dapat mendukung pelaksaaan tersebut dengan cara mengumpulkan, mencatatkan informasi fisik dan informasi yuridis yang dapat digunakan sebagai alat bukti dan menggunakannya sebagai suatu alat bukti kepemilikan.”7
Dalam pembuatan suatu akta autentik, PPAT wajib menggunakan prinsip terang dan tunai dan prisip kehati – hatian, pelaksanaanya dengan cara pengecekan terhadap identitas penghadap (hak investigasi PPAT) yang disampaikan kepada PPAT. Tindakan pengecekan ini dilaksanakan dalam rangka untuk mengetahui para pihak yang hadir tersebut memang benar – benar pihak terkait mempunyai kedudukan hukum dalam melaksanakan suatu perbuatan yang oleh PPAT akan dituangkan kedalam suatu tulisan sebagai alat bukti yang berwujud akta autentik, dan perbuatannya tersebut akan dapat di pertanggung jawabkan oleh para pihak, selain itu PPAT juga dapat membuktikan kebenaran surat – surat yang disampaikan
kepadanya terkait dengan obyek pendaftaran tanah yang akan dijadikan sebagai bukti atas perbutan hukum perjanjian.8
Jabatan PPAT ialah jabatan kepercayaan yang diberikan untuk melaksanakan sebagian tugas dari negara, dengan ini dimaksudkan bahwa sebagai pejabat publik yang berada ditengah-tengah masyarakat diwajibkan untuk menjalankan tugas dan jabatannya secara sebaik mungkin dengan mengacu kepada ketentuan yang terdapat didalam kode etik profesi PPAT dan peraturan hukum yang mengaturnya, apabila ketentuan tersebut dilanggar maka kesalahannya tersebut baik disengaja maupun tidak maka PPAT wajib bertanggung jawab.9 terkait dengan kegiatan pendaftaran tanah, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya seorang PPAT diberikan tugas dan tanggung jawab untuk merahasiakan, melindungi dan menjaga rahasiakan peristiwa hukum terkait pendaftaran tanah yang dibuatnya serta keterangan-keterangan yang disampaikan kepadanya oleh para pihak, hak ini telah sesuai pada sumpah profesi atau ikatan jabatan dengan megacu kepada aturan yang diatur dalam kode etik PPAT. Ketentuan ini dibuat berkaitan dengan kepentingan para pihak terhadap akta yang dibuatnya serta untuk menjaga dan merahasiakan surat-surat lainya.10
Peraturan terhadap penggunaan hak ingkar PPAT belum diatur secara tegas dalam pelaksanaan tugas dan jabatan seorang PPAT, hal demikian menimbulkan kekaburan norma hukum sehingga terjadi ketidak pastian aturan terhadap PPAT dalam pelaksanaan tugas profesi dan jabatannya. Ketika terjadi perbuatan hukum terhadap PPAT terkait kesalahan akta yang dibuatnya sehingga diminta untuk memberikan keterangannya sebagai saksi baik dalam perkara pidana maupun perdata, baik karena kesengajaan ataupun kesalahan dirinya serta para pihak yang memberikan keterangan dan informasi palsu yang menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
Dapat kita lihat pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 603/Pid.B/2017/PN Denpasar tentang tindak pidana pemberian keterangan palsu terhadap nota pembayaran yang dilakukan oleh tersangka R. Gerard Aria yang memalsukan dokumen dan surat dengan tujuan memberikan data atau alat bukti palsu untuk membohongi PPAT bahwa terdakwa sudah melunasi pebayaran tanah kepada pemilik tanah atas nama I Slamet Santoso. Akibat dari perbuatan tersebut PPAT I Wayan Sugita S.H dipanggil untuk memenuhi panggilan pada persidangan atas akta perjanjian jual beli tersebut. Dalam menjalakan jabatannya PPAT mendapatkan kewenangan dalam membuat suatu akta autentik tentang sesuatu yang diperbuat dan kesepakatan yang ditetapkan undang-undang untuk dituangkan menjadi suatu alat bukti autentik.
Perbuatan menjadi saksi bagi seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pada saat proses penyelidikan maupun didalam pengadilan merupakan kegiatan yang
bertentangan dengan sumpah atau janji PPAT yang diatur dalam kode etik. Dalam hal ini seorang PPAT diharuskan untuk memberikan keterangannya sebagai seorang saksi, sedangkan disisi lainnya PPAT juga diharuskan untuk menjaga dan menyimpan rahasia para pihak yang hadir kepadanya. Kedua kewajiban tersebut bila dilanggar memiliki sanksi. Ketika PPAT tidak mau memberikan keterangan sebagai saksi karena menjalankan kewajiban menyimpan rahasia, maka kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi menjadi terlanggar. Sebaliknya jika PPAT melaksanakan kewajiban meberi keterangan sebagai saksi dalam rangkaian penyidikan atau peradilan, maka kewajiban menyimpan rahasia menjadi terkangkangi.11
Seorang saksi dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti, Pemeritah Indonesia telah mengatur terkait kedudukan saksi apabila seseorang tersebut diperiksa dalam proses penyidikan dan peradilan, terhadap hal ini diatur pada ketentuan Pasal 224 KUHP, tentang kedudukan saksi yang berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dipanggil sebagai seorang saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dan orang tersebut dengan sengaja tidak mematuhi kewajibannya menjadi saksi berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam dengan: (1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan; (2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.”
Berdasakan ketetapan yang berkaitan dengan pelaksanakan profesi dan jabatan, PPAT sebagai pemegang jabatan mengemban tugas dan kewajiban untuk menyimpan, menjaga dan merahasiakan informasi dari pihak-pihak yang hadir kepadanya. Ketetapan ini dinyatakan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelakasanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau yang selanjutnya disebut Perkaban, pada pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa dalam proses pembuatan akta PPAT, salah satu tugas dan kewajibannya adalah untuk menjaga dan merahasiakan setiap keterangan yang telah disampiakan dan diberikan oleh para pihak terkait.
Ketentuan pada Pasal 16 ayat 1 huruf f undang-undang jabatan notaris, menyatakan pada saat melaksanakan jabatan seorang Notaris atau PPAT diberikan sesuatu yang harus dilaksakan yaitu untuk merahasiakan seluruh informasi berkaitan pada pembuatan akta autentik yang sedang atau telah dibuatnya serta menjaga rahasia terkait dengan segala bentuk informasi yang berkaitan dengan tanggung jawabnya sesuai dengan janji atau kode etik profesi, hal tersebut dapat dikecualikan apabila ada peraturan perundang-undangan yang menentukan lain sehingga tidak terjadi norma kabur berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi yang telah ditetapkan kedalam ketentuan pasal 224 Kitab undang-undang hukum pidana, tentang menjadi saksi
adalah kewajiban, namum apabila dilihat pada ketentuan pada pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa seseorang yang karena sedang melaksanakan pekerjaa, menjaga harkat, martabat atau jabatannya untuk menjaga dan menyimpan rahasia, memiliki hak untuk meminta dilepaskan dari kewajibannya untuk memberikan informasi yang diketahui terkait suatu hal yang dipercayakan kepadanya. Namun dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 603/Pid.B/2017/PN Denpasar dengan memperjelas bahwa PPAT tetap dihadirkan sebagai saksi dalam peradilan. Sehingga muncul problematika teoritis yaitu adanya ketidakpastian hukum terkait penggunaan hak ingkar PPAT karena dalam putusan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 603/Pid.B/2017/PN Denpasar PPAT tetap hadir sebagai saksi dalam peradilan.
Adapun rumusan masalah dalam penulisan artikel jurnal ini adalah bagaimanakah kedudukan hak ingkar PPAT didalam melaksanakan kewajibannya memberikan keterangan terhadap akta yang dibuatnya dalam proses penyelidikan dan di hadapan pengadilan dan bagaimanakah dampak hukum kepada pejabat pembuat akta tanah yang membuka informasi rahasaia terhadap aktanya, selain itu tujuan dari penulisan ini adalah pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum kenotariatan, yaitu untuk mengetahui kedudukan hak ingkar PPAT dan dampak hukum PPAT jika membongkar rahasia.
Orisinalitas terhadap penulisan ini penulis berfokus pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Andiny Rachmadani Ekaputri dan Rusdianto Sesung, tahun 2018 berjudul “Kewajiban Ingkar Notaris Untuk Menjaga Kerahasiaan Jabatan Dalam Proses Peradilan.”12 Penelitian tersebut berfokus pada “Batasan-batasan kerahasiaan akta Notaris dikaitkan dengan adanya hak ingkar dan tanggung gugat notaris akibat kesaksian Notaris di pengadilan yang menimbulkan kerugian yang diderita para pihak akibat kesaksian notaris di pengadilan”, selain itu Penelitian yang dilakukan oleh Dahlil Marjon, tahun 2017 berjudul “Aplikasi Kode Etik Hak Ingkar Notaris Sebagai Saksi Dalam Perkara Perdata dan Pidana”.13 Penelitian tersebut berfokus pada “Pelaksanaan hak ingkar Notaris dalam perkara perdata dan pidana” dan hak yang dimiliki oleh majelis sebagai orang yang mengawasi notaris dalam hal menerbitkan izin yang tertulis terhadap kehadiran notaris, apabila diperlukan informasinya didalam proses peradilan.” Sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan berfokus pada “Kedudukan Hak Ingkar Notaris didalam proses penyidikan dan peradilan”, penulis ingin meneliti lebih lanjut berkaitan dengan prosedur pengajuan hak ingkar PPAT didalam proses penyidikan maupun peradilan dimana pada ketentuan pada Pasal 16 ayat 1 huruf f undang-undang jabatan notaris dan pasal 224 undang-undang hukum pidana, tentang menjadi saksi adalah suatu kewajiban. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik mengangkat judul “Hak Ingkar Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Kewajiban Menjadi Saksi pada Proses Penyidikan ataupun Peradilan”
Penulisan artikel jurnal ini, pendekatan yang dilakukan penulis yaitu dengan mengkaji ketentuan peraturan yang dibuat oleh orang atau badan berwenang yang bersangkutan terhadap hak ingkar PPAT, penggunaan metode dalam penulisan ini adalah pengolahan data menggunakan kajian peraturan normatif, dengan mempelajari lebih lanjut isi dari peraturan hukum tentang hak ingkar PPAT dalam kewajibannya di dalam proses penyelidikan maupun di hadapan pengadilan dalam prespektif kode etik PPAT, untuk penulisan terkait penulis mengkaji tentang asas-asas hukum serta didukung dengan data empiris yang diambil dari kepustakaan dan penelitian lapangan.14 Terkait dengan pendekatan teori hukum yang diterapkan kedalam penulisan artikel ini adalah jenis penelitian dengan cara mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan hak ingkar PPAT dan kajian peristiwa hukum yang berhubungan dengan objek dalam penelitian secara kepustakaan sehingga mengetahui pengaruhnya terhadap masyarakat dengan cara meneliti putusan pengadilan negeri denpasar sebagai bahan hukum primer dan bahan kepustakaan sebagai bahan hukum sekunder sebagai data penunjangnya, kajian teori yang telah di pelajari akan dituangkan melalui analisis secara deskritif degan cara menjelaskan hasil penelitian yang telah kaji secara normatif kedalam suatu bentuk tulisan.
Ketentuan menyimpan rahasia dalam Perkaban PPAT sangat sederhana, hanya diatur dalam Pasal 34 yang merupakan ketentuan mengenai sumpah pengangkatan seorang PPAT dan di dalam sumpahnya terdapat perihal menyimpan rahasia, walaupun begitu, kewajiban menyimpan rahasia tetap berlaku pada PPAT karena isi sumpahnya itu. Setiap kewajiban, baik kewajiban menyimpan rahasia atau menjadi saksi dalam proses penyidikan dan peradilan merupakan kewajiban yang sangat serius, karena memiliki ancaman pidana, belum lagi sanksi lainnya berupa ganti rugi.15
Saat PPAT dipanggil oleh Penyidik untuk dimintai keterangan, maka PPAT bisa memilih salah satu dari dua kewajiban itu, boleh memilih menyimpan rahasia atau memberikan keterangan sebagai saksi. Orang yang memilih melaksanakan salah satu kewajiban hukum dari dua kewajiban hukum yang saling berbenturan tidak dapat dipidana. Pada situasi keadan semacam demikian dikatakan juga dengan keadaan memaksa (Overmacht), hal ini ini tertera dan diatur pada Pasal 48 KUHP, dimana menyebutkan sebagai berikut: “Barang siapa yang melakukan perbuatan pidana
disebabkan karena adanya pengaruh daya paksa dari orang lain, maka orang tersebut tidak dapat dipidana.”
Benturan dua kewajiban ini oleh Prof. Moeljatno disebut dengan keadaan darurat, maka orang yang dalam keadaan darurat ini bebas memilih perbuatan mana yang mesti dilakukan. Jadi, ketika PPAT tetap menjaga rahasia, maka pidana atas kewajiban menjadi saksi menjadi hapus, begitu juga sebaliknya, saat PPAT memilih menjalankan kewajiban sebagai saksi, maka pidana atas pelanggaran membuka rahasia tidak dapat diterapkan.
Dalam menjalankan jabatannya seorang PPAT telah mendapatkan perlindungan hukum dari negara, akan tetapi PPAT tetap diwajibkan untuk melindungi dan merahasiakan isi dari akta para pihak. Apabila terjadi kesalahan yang mengakibatkan para pihak mengalami kerugian, maka akta tersebut dengan tanpa unsur kesengajaan dari PPAT, maka PPAT dapat tidak melaksanakan kewajibannya untuk memberikan keterangan didalam proses penyidikan dan peradilan yang menyebabkan dirinya melanggar kewajibannya.
Kedudukan hak ingkar dalam proses peradilan terhadap PPAT yang yang diduga melakukan kelalaian dalam membuat akta autentik tanpa sepengetahuannya yaitu hak ingkar tersebut dapat digunakan dengan ketentuan bahwa PPAT tersebut dilakukan penyelidikan terhadap akta yang sudah dibuatnya dihadapan PPAT tersebut. Kedudukan hak ingkar sebagai hak yang sangat berharga bagi profesi PPAT dimana pengaturannya terdapat didalan UUJN, akan tetapi didalam proses peradilan hak ingkar ini tidak banyak digunakan, seorang PPAT dalam proses pemeriksaan dalam persidangan lebih sering untuk memberikan keterangan dan data-data yang berhubungan dengan akta yang telah dibuat dihadapannya, dalam hal ini jabatan kepercayaan yang seharusnya dijaga tersebut menjadi tidak dilindungi oleh PPAT sendiri.
Apabila dalam proses pemeriksaan persidangan PPAT tersebut memberikan informasi dan keterangan terkait akta yang dibuatnya, dimana isi akta dan informasnyai tersebut sebenarnya diwajibkan untuk dirahasiakan oleh UUJN, maka para pihak yang dirugikan dapat melaporkan PPAT tersebut kepada pihak yang berwajib atas kelalaian dan kesalahan PPAT tersebut. Tindakan membuka rahasia para pihak oleh PPAT yang seharusnya wajib untuk dirahasiakan, dapat diajukan tuntutan dengan Pasal 322 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Seorang PPAT berdasarkan kedudukannya menjadi saksi yang sedang menjalakan proses pemeriksaan dalam peradilan perdata, karena jabatannya memiliki hak untuk tidak memberikan keterangan dan informasinya dengan mengacu kepada Pasal 1909 ayat 3 BW yang dengan ini diwajibkan untuk merahasiakannya.
Seorang PPAT dalam melaksanakan jabatannya diwajibkan untuk memperhatikan peraturan perundang-undangan, kode etik jabatan, serta prinsip kehati-hatian dan kejujuran, apabila aspek-aspek tersebut dilanggar maka PPAT tersebut berindikasi melakukan tindakan pelanggaran jabatan yang tidak sesuai dengan aturan yang seharusnya. Bukan tidak mungkin PPAT dapat di minta untuk menjadi saksi berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Keadaan seperti ini mengakibatkan PPAT tidak dapat memberikan informasi dan keterangannya dengan alasan bahwa ia tidak
ingin melanggar sumpah jabatan dalam kedudukannya untuk memberikan kesaksian terhadap pengetahuannya tentang akta sesuai dengan apa yang diketahui, didengar dan disaksikan olehnya pada proses peradilan.16
Kedudukan hak ingkar PPAT berfungsi sebagai upaya untuk melindungi kepentingan para pihak yang sedang ataupun telah menghadap dan memberitahukan informasi berdasarkan kepercayaan kepada PPAT, dalam hal terdapat suatu bukti bahwa terjadi kelalaian dan pelanggaran terhadap akta tersebut, maka pihak berwajib akan mengajukan surat penyelidikan kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD). MPD akan melaksanakan pemeriksaan kepada PPAT tersebut untuk mendengan kesaksian dan keterangannya sebagai dasar untuk mempertimbangkan surat yang diajukan pihak berwajib apakah diterima atau tidak. Dalam hal surat permohohan pemeriksaan tersebut tidak diterima oleh MPD maka pihak berwajib tidak dapat melakukan proses pemeriksaan, sedangkan apabila surat permohonannya pemeriksaan diterima maka proses penyidikan dapat dilakukan.
Kedudukan hak ingkar dapat digunakan oleh PPAT untuk menolak memberikan keterangannya terkait kedudukannya memberikan kesaksian dalam proses persidangan berkaitan kepada akta autentik yang dibuatnya. Dasar dari penggunaan hak ingkar dalam memberikan keterangan ini mengacu kepada ketentuan Pasal 170 Ayat 1 KUHAP dan pasal 1909 ayat 2 KUHPerdata. Dalam hal PPAT megabaikan kewajiban untuk menjaga rahasia jabatan, maka PPAT dapat dijatuhi hukuman berdasarkan kepada Pasal 322 ayat 1 KUHP.
Dalam menjalankan tugas serta jabatannya seorang PPAT tidak terlepas akan hal yang akan menjadi masalah berkaitan dengan aktanya, maka atas sebab itu apabila terjadi permasalahan hukum seorang PPAT dapat melindungi dirinya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut : menerima pemanggilan penyidik berkaitan dengan aktnya jika pemanggilannya sudah dengan tatacara yang berlaku serta telah mendapat persetujuan dari MPD, Notaris dapat menolak pemanggilan apabila tidak sesuai dengan prosedur, PPAT dapat memberikan keterangannya dalam panggilan yang dilakukan oleh MPD sebagai dasar pertimbangan apakah pemanggilan penyidik disetujui atau tidak, PPAT memberikan keterangan hanya sebatas pada akta yang dibuatnya.
PPAT dalam proses pemeriksaan bersifat pasif, artinya hanya memberikan pengetahuannya terbatas hanya pada pembuatan akta dan pelaksanaan tugas jabatannya saja. Kewajiban menjaga rahasia merupakan hal multak yang dilaksanakan PPAT tidak terlepas pada aktanya saja melainkan juga segala bentuk informasi dalam menjalankan jabatannya.
Dalam konteks di pengadilan, seorang PPAT mendapatkan hak ingkar jika ingin melaksanakan kewajiban menyimpan rahasia, karena ini adalah hak, boleh dipergunakan atau tidak. Saat PPAT memilih untuk memberikan keterangan sebagai saksi di pengadilan-pun juga diperkenankan. Namun Jika PPAT memilih
menggunakan hak ingkarnya, maka didalam keputusannya hakim lah yang dapat menentukan perbuatan hukum tersebut apakah sah atau tidak dengan alasan penggunaan hak ingkar terhadap kewajibannya menjadi saksi, jadi hak ingkar ini tidak dapat dilaksanakan secara serta merta, tetap harus dimohonkan kepada hakim terlebih dahulu dan disahkan oleh hakim.17 Seorang PPAT didalam proses penyelidikan maupun peradilan jika dia tidak ingin memberikan kesaksiannya, maka dapat dibebaskan dari kewajibannya tersebut sebagai seorang saksi. Hal ini mengacu pada Pasal Pasal 34 ayat 1 Perkaban PPAT, hal yang mewajibkan seorang PPAT menjaga dan menyimpan rahasia para pihak telah diatur secara tegas, maka seorang PPAT yang mengajukan permohonan untuk tidak memberikan keterangannya sebagai saksi, dapat diterima oleh hakim karena alasan pekerjaan.
Berkaitan dalam hal penggunaan hak ingkar, penggunaanya telah dinyatakan kedalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor MA/Pemb/3425/86 tanggal 12 April 1986, khususnya dalam huruf g dan h. Huruf g, dalam kaitannya dengan sumpah jabatan PPAT (Pasal 4 Ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf e, dan pasal 54 Undang-undang jabatan notaris perubahan), Dalam proses penyelidikan ataupun pengusutan PPAT dalam kedudukannya memberikan kesaksiannya didalam persidangan, sehubungan dengan penggunaan hak ingkar tersebut PPAT dapat meminta kepada hakim untuk tidak memberikan keterangannya dan dibebaaskan dari segala kewajiban untuk memberikan keterangan berkaitan pada aktanya, hal ini telah diatur didalam Pasal 170 KUHAP atau dapat menolak memberikan keterangan sebagaimana diatur dalam Pasal 120Ayat (2) KUHAP.
Sedangkan pada huruf h, PPAT dalam penggunaan hak ingkar atau hak tolaknya berhak untuk tidak menggunakannya karena alasan yang lebih penting atau mendahulukan kepentingan orang banyak dan lebih besar manfaatnyaa daripada kepentingan dirinya sendiri yang berkaitan kepada isi dari akta maupun berdasrakan adanya peraturan umum yang memberikan pengecualian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf e, dan Pasal 54 UUJNP. Dapat dikatakan bahwa kedudukan hak ingkar PPAT akan menjadi tidak berlaku lagi apabila undang-undang menentukan lain seperti yang telah diatur berdasarkan undang-undang sebagaimana dicontohkan yaitu permasalahan hukum tindak pidana administrasi dan sebagainya.
Sebagai bentuk perwujudan asas perlindungan dan kepastian yang diberikan kepada seorang yang memiliki hak terhadap suatu lahan, hak atas lahan pada satuan rumah susun maupun kepemilikan lainnya terkait dengan lahan di Indonesia yang dapat digunakan sebagai suatu alat pembuktian yang sah dan sempurna, oleh sebab tersebut dalam menjalankan jabatan sebagai seorang PPAT diwajibkan selalu berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran lahan, serta pengaturan-pengaturan lainnya yang berkaitan dengan
proses pendaftaran lahan ataupun pada aturan yang diatur oleh menteri terkait tindakan admministrasi oleh PPAT.
Apabila pada saat pelaksanaan profesi dan jabatannya seorang PPAT melenceng dari peraturan yang berlaku maka PPAT tersebut dapat diberhentikan dari jabatannya, tindakan pemberhentian terhadap PPAT ini tidak meniadakan dan menghapuskan tanggung jawabnya terhadap akta yang telah dibuat olehnya, orang-orang terkait yang mendapatkan sesuatu yang merugikan karena disebabkan akibat perbuatan PPAT sebagai orang yang bertanggung jawab, memiliki hak menyatakan atau memperoleh kembali hak nya dengan cara membawa kedepan pengadilan atas dasar memohon tuntutan ganti rugi akibat dari kelalaian dan kesalahan akta yang dibuat. Hal ini diatur secara tegas didalam ketentuan Pasal 62 (Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).18
Seorang PPAT ditunjuk untuk menjalankan sebagian kewenangan negara untuk membuat akta autentik terkait pendaftaran tanah, dalam melakukan wewenangnya maka PPAT diharuskan menerapkan prinsip dalam membuat akta, selain itu juga harus cermat dalam mengidentifikasi pihak-pihak yang hadir kepadanya. Penyalahgunaan wewenang oleh PPAT karena kelalaiannya mengakibatkan akta yang dibuatnya tidak sah dan tidak berlaku, seorang PPAT tidak terlepas dari tuntutan hukum akibat adanya kecacatan akta yang dibuatnya, akta PPAT yang terbukti menyebabkan kerugian bagi salah satu maupun para pihak akan mengandung kecacatan dari segi hukum dan memiliki dampak hukum bahwa akta tersebut akan tidak berlaku dan batal demi hukum.19
Penerapan sanksi terhadap seorang PPAT karena dengan sengaja membuka rahasia para pihak terhadap akta pendaftaran tanah yang dibuat olehnya, maka PPAT tersebut dapat dijatuhi hukuman atau sanksi tegas berupa diberhentikan secara tidak hormat. Pemberhentian PPAT dari jabatannya tercantum pada Peraturan Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional 2 Tahun 2018. Hal tersebut telah terlampir pada lampiran ke-2 huruf f. Seorang PPAT dalam sumpah jabatannya diperintahkan dari sumpah atau janjinya untuk diwajibakan menjaga dan merahasiakan akta yang dibuatnya.
Kewajiban yang melekat untuk menyimpan dan menjaga rahasia yang berkaitan terhadap akta dan informasi lain yang disampaikan kepadanya berfungsi dalam melindungi hak-hak dari semua pihak yang berkaitan dengan akta tersebut. Apabila seorang PPAT belum diambil sumpah jabatan, maka PPAT tersebut tidak berwenang dalam melaksanakan pembuatan akta autentik. Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan mengakibatkan akta PPAT tersebut menjadi tidak memiliki kekuatan dan batal secara hukum. sebagai jabatan kepercayaan PPAT berjanji bahwa segala informasi yang disampaikan oleh kliennya akan dirahasiakan dan dijaga olehnya, hal ini dikecualikan apabila undang-undang menyatakan lain.
Penerapan sanksi pidana membuka rahasia diatur berdasarkan ketentuan pada pasal Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan :
“Barang siapa dengan sengaja mengungkapkan hal-hal khusus tentang suatu pertukaran, kerajinan atau pertanian, tempat ia bekerja atau baru saja bekerja, yang seharusnya ia tinggalkan dengan cukup baik, diancam dengan pidana kurungan paling lama sembilan bulan atau denda paling berat 9.000 rupiah”.
Dapat dilihat pada ketentuan pasal diatas tersebut, seorang PPAT diwajibkan untuk menjaga dan merahasiakan seluruh informasi yang berkaitan terhadap aktanya dimulai pada saat persiapan sampai dengan akta tersebut memiliki kekuatan hukum. ketika PPAT diminta untuk memberikan kesaksiannya didalam persidangan maka ia dapat menggunakan hak ingkar tersebut dengan alasan melindungi kepentingan klien dengan cara mengajukan permohonan pengunduran dirinya sebagai saksi.
Seorang PPAT yang sedang melaksanakan jabatannya dapat dikatakan melakukan pelanggaran secara hukum dan juga kode etik apabila berkaitan dengan ranah hukum pidana, sehingga dasar hukum pemidanaan menjadi lebih kuat (Dwija Priyatno). Suatu perbuatan apabila tidak terbukti melanggar ketentuan hukum dan juga kode etik maka sifat perbutan melawan hukumnya dapat dihapuskan dengan alasan pembenar. Pertanggungjawaban dapat dilaksanakann apabila yang bersangkutan secara obyek dapat dibuktikan sebagai peristiwa pidana dan secara subyek yang bersangkutan memenuhi syarat yang telah ditetapkan untuk dijatuhi hukuman pemidanaan atas kesalahannya. Hal tersebut didasari kepada asas “actus non facit reum nisi mens sit rea”, dimana jika diartikan adalah seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak ada kesalahan. Pertanggungjawaban lahir dikarenakan adanya kesalahan dan disertakn dengan 2 (dua) alat bukti.
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT haruslah memenuhi suatu syarat pemidanaan, pengenaan hukuman terhadap PPAT hanya sebatas pada kesalahan yang dilakukannya, artinya bahwa selain pelangaran yang dilakukan berkaitan dengan kode etik profesi dan undang-undang jabatan maka harus memenuhi syarat yang diatur pada KUHP.
Pengaturan terhadap bentuk tanggung jawab PPAT belum diatur secara tegas didalam kode etik ataupun undang-undang jabatan, penjatuhan hukuman dilakukan ketika PPAT melakukan perbuatan pidana. Hukuman pidana merupakan ultimum remidium yaitu hukuman yang paling terhair karena dianggap yang paling kuat atas kesalahan, apabila hukuman perdata dan administrasi dan kode etik PPAT tidak dapat membuat PPAT tersebut merasakan efek jera untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Dasar untuk menatuhi hukuman pemidanaan adalah mengacu kepada keputusan hakim dalam persidangan yang sudah mendapatkan dasar kepastian hukum yang tetap.
Keharusan dalam merahasiakan dan melindungi seluruh informasi yang disampaikan dihadapannya merupakan salah satu kewajiban yang diatur bagi seorang PPAT. Penjatuhan hukuman bagi seorang PPAT yang membeberkan rahasia dapat dijatuhi hukuman oleh MPD, dengan mengacu kepada ketentuan pada Pasal 85 Undang-Undang Jabatan yaitu : 1. Teguran lisan; 2. Teguran tertulis; 3. Pemberhentian sementara; 4. Pemberhentian dengan hormat; 5. Pemberhentian dengan tidak hormat oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat.
Sedangkan penerapan sanksi perdata membuka rahasia diatur pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang dapat disimpulkan sebagai berikut: “Setiap perbuatan hukum yang memiliki akibat hukum dan menyebabkan kerugian bagi seseorang, maka seseorang yang mengakibatkan kerugian tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkannya akibat kesalahan atau kelalaiannya.” Ketentuan ini mengatur secara umum mengenai sanksi perdata berupa ganti rugi atas setiap pelanggaran atau peristiwa yang mengakibatkan seseorang dirugikan pada orang lain. Jika pelanggaran kewajiban membuka rahasia menimbukan kerugian, seseorang yang dapat membuktikan bahwa akta tersebut merugikan dirinya dapat mengajukan tuntuan hukum di dalam pengadilan kepada Notaris/PPAT berdasarkan ketentuan pada pasal 1365 KUHPerdata.20
Bentuk tanggungjawab hukum akibat kelalaian, kesengajaan atau kekhilafan seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam pelaksanaan penyusunan suatu akta yang tidak mematuhi dan mengikuti ketentuan formil dan materiil, maka PPAT tersebut dapat diberhentikan dari jabatannya dan diberikan penghukuman berupa sanksi dimana PPAT akan diberhentikan dari jabatannya secara tidak hormat yang diberikan dari perwakilan instansi terkait yaitu Badan Pertanahan Nasional Indonesia. Kepada pihak yang terbukti melakukan kesalahan, penjatuhan hukuman pada permasalahan perdata, sanksi hukum yang dapat dijatuhi pihak yang terbukti bersalah adalah adanya keharusan untuk memenuhi suatu prestasi yang besarnya sesuai dengan kerugian pihak yang dirugikan, namun dalam permasalahan pidana, hukuman yang diberikan kepada terdakwa berupa hukuman badan, yaitu berupa kurungan atau penjara.
Ketika proses tahapan penyidikan dilaksanakan, PPAT bisa memilih menjalankan salah satu dari dua kewajiban itu (hak pilih dalam menjalankan salah satu kewajiban). Dan pada proses di pengadilan, PPAT boleh menggunakan hak ingkar setelah alasan yang disampaikan disahkan oleh hakim, namun dalam kasus-kasus tertentu PPAT tidak bisa menggunakan hak ingkar atau menjalankan kewajiban menyimpan rahasia. Baik hak pilih menjalankan salah satu kewajiban dari dua kewajiban yang saling berbenturan dan hak ingkar merupakan hak sakti yang dimiliki oleh PPAT, karena tidak semua orang memiliki hak ini. Penerapan sanksi pidana menurut pasal 322 KUHP diancam dengan pidana kurungan. Akibat hukum terhadap seorang PPAT yang membuka rahasia adalah dapat dijatuhi hukuman oleh MPD, dengan mengacu kepada ketentuan pada Pasal 85 Undang-Undang Jabatan yaitu : 1. Teguran lisan; 2. Teguran tertulis; 3. Pemberhentian sementara; 4. Pemberhentian dengan hormat; 5. Pemberhentian dengan tidak hormat oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat, Sedangkan penerapan sanksi perdata membuka rahasia diatur pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang dapat disimpulkan sebagai berikut: “Setiap perbuatan hukum yang memiliki akibat hukum dan menyebabkan kerugian bagi seseorang, maka seseorang yang
mengakibatkan kerugian tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkannya akibat kesalahan atau kelalaiannya.”
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku :
Adjie, H. (2011). Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT. Citra Aditya Bakti.
Adrian Sutedi SH, M. H. (2019). Sertifikat hak atas tanah. Sinar Grafika.
Kelsen, H. (2006). Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien. Cet. Pertama. Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa,
Hasan, D, (2004). Kajian Peraturan Pertanahan, Jakarta, PT. Harfarindo.
Soerjono, S., & Mamudji, S. (2006). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutedi, A. (2007). Peralihan hak atas tanah dan pendaftarannya.
Jurnal Hukum :
Darusman, Y. M. (2016). Kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik dan sebagai pejabat pembuat akta tanah. ADIL: Jurnal Hukum, 7(1), 46 DOI:
https://doi.org/10.33476/ajl.v7i1.331
Ekaputri, A. R. (2019). Kewajiban Ingkar Notaris Untuk Menjaga Kerahasiaan Jabatan Dalam Proses Peradilan (Doctoral dissertation, Universitas Narotama Surabaya). DOI: https://doi.org/10.29303/jatiswara.v33i2.167
Handayani, A. A. (2019). Pendaftaran Tanah Melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Notarius, 12(1), 537-549. DOI:
https://doi.org/10.14710/nts.v12i1.28903
Kristanto, Y., Budiartha, I. N. P., & Arini, D. G. D. (2020). Tanggung Jawab dan Wewenang Notaris/PPAT terhadap Kekeliruan dan Pembatalan Akta Jual Beli Tanah. Jurnal Interpretasi Hukum, 1(2), 197-202. DOI:
https://doi.org/10.22225/juinhum.1.2.2465.197-202
Marjon, D. (2016). Aplikasi Kode Etik Hak Ingkar Notaris Sebagai Saksi Dalam Perkara Perdata Dan Pidana. NOTARIIL Jurnal Kenotariatan, 1(1), 88-108. DOI:
https://doi.org/10.22225/jn.1.1.109.88-108
Muchsin, T., Saliro, S. S., Manullang, S. O., & Miharja, M. (2020). Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Hal Pendaftaran Tanah: Sebuah Tinjauan Kewenangan Dan Akibat Hukum. Madani Legal Review, 4(1), 63-80. DOI:
https://doi.org/10.31850/malrev.v4i1.566
Muyassar, M., Ali, D., & Suhaimi, S. (2019). Pertanggungjawaban Hukum Notaris Terhadap Pengingkaran Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat Oleh Pihak Yang
Dirugikan. Syiah Kuala Law Journal, 3(1), 147-166. DOI:
https://doi.org/10.24815/sklj.v3i1.12446
Prasstumi, D. A. (2022). Kewajiban Notaris Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Keterlibatannya Di Peradilan. Jurnal Education And Development, 10(2), 211216. DOI: https://doi.org/10.37081/ed.v10i2.3586
Salsabila, A. D. A., Suhariningsih, S., & Navianto, I. (2018). Hak Ingkar Notaris sebagai Saksi dalam Peradilan Pidana. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 3(1), 8-14. DOI: http://dx.doi.org/10.17977/um019v3i12018p008
Saputra, D., & Wahyuningsih, S. E. (2017). Prinsip kehati-hatian bagi notaris/ppat dalam menjalankan tupoksinya dalam upaya pencegahan kriminalisasi berdasarkan kode etik. Jurnal Akta, 4(3), 347-354. DOI:
https://dx.doi.org/10.30659/akta.4.3.347-%20354
Yamin, M., & Zaidar, Z. (2018). Pendaftaran Tanah Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Atas Kepemilikan Tanah Dan Upaya Meminimalisir Konflik Pertanahan. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 13(2), 201-210. DOI:
https://doi.org/10.33059/jhsk.v13i2.911
Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelakasanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 23 Tahun 2009
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pf^Iabat Pembuat Akta Tanah
329
Discussion and feedback