Vol. 7 No. 02 Agustus 2022

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Keabsahan Transaksi E-Commerce Dalam Pembuatan Akta Perspektif Cyber Notary Dengan Menggunakan Digital Signature

Komang Dicky Darmawan1, Nyoman Satyayudha Dananjaya2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 9 Mei 2022

Diterima : 4 Agustus 2022

Terbit : 8 Agustus 2022


Keywords :

E-commerce, Cyber Notary, Digital Signature


Kata kunci:

Perdagangan Elektronik, Cyber Notary, Tanda Tangan Elektronik


Corresponding Author:

Komang Dicky Darmawan, Email: [email protected]


Abstract

This research aims to examine and analyse whether making a notary deed using the cyber notary method is legal under many legislative laws and how to settle disputes if the notary deed is created via the cyber notary method. This research uses normative legal research methods by examining secondary data like library resources and uses a conceptual approach. Normative legal research applies primary, secondary, and tertiary legal information. The descriptive-qualitative research method was applied in this research. Making a relaas from the Cyber Notary’s perspective is permitted since the meeting procedure at the GMS via video conference is still legal, and the notary who produces the meeting’s minutes must fulfil the GMS standards. However, using the Cyber Notary perspective to make the partij deed is invalid since the notary is required to understand the detail of making deed by hearing and seeing the signing that occurred between the parties by the provisions of Article 16 paragraph (1) letter m UUJN. Electronic signature-enabled E-commerce transactions are legal if they have been registered with the Certification Authority. Nevertheless, the use of a digital signature in an Authentic Deed is prohibited under the UUJN, UU ITE, and PP PSTE. Therefore, to resolve Electronic signature-enabled E-commerce transactions usually result in losses for the parties to the agreement, followed by dispute resolution through arbitration in form of a peace deed. Arbitration is thought being more convenient than going via the courts, which takes a lot of time, money, and energy.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis apakah pembuatan akta notaris dengan metode cyber notary legal menurut banyak undang-undang perundang-undangan, serta bagaimana menyelesaikan perselisihan jika akta notaris dibuat melalui metode cyber notary. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji data sekunder berupa bahan pustaka. Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual. Penelitian hukum normatif menggunakan informasi hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode penelitian deskriptif-kualitatif diterapkan dalam penelitian ini. Pembuatan akta dalam perspektif Cyber Notary

DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i02.p5


diperbolehkan dalam pembuatan akta relaas karena tata cara rapat dalam RUPS melalui video conference masih sah, dan notaris yang membuat risalah rapat harus memenuhi standar RUPS. Namun, menggunakan perspektif Cyber Notaris untuk membuat akta partij tidak sah karena Notaris wajib memahami secara rinci pembuatan akta baik dengan mendengar maupun melihat penandatanganan yang terjadi antara para pihak dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN. Transaksi ecommerce dengan tanda tangan elektronik dianggap sah jika telah didaftarkan pada Otoritas Sertifikasi. Namun demikian, penggunaan tanda tangan digital dalam suatu Akta Otentik dilarang berdasarkan UUJN, UU ITE, dan PP PSTE. Oleh karena itu, upaya penyelesaian masalah transaksi E-Commerce dengan menggunakan tanda tangan elektronik biasanya menimbulkan kerugian bagi para pihak yang mengadakan perjanjian, yang dilanjutkan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam bentuk akta perdamaian. Arbitrase dianggap lebih mudah daripada melalui pengadilan, yang memakan banyak waktu, uang, dan, tentu saja, energi.

  • I.    Pendahuluan

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bertujuan untuk menjamin kemajuan teknologi yang tentunya memberikan perliundungan bagi pengguna sistem elektronik. Cyber notary merupakan konsep yang berkembang di era perkembangan teknologi ini, pihak notaris membuat akta dalam media online dalam menjalankan profesinya. Contohnya dalam penandatanganan akta yang dilakukan secara online dan biasanya dilakukan juga pada RUPS.1 Cyber Notary ini bertujuan untuk mempermudah pembuatan akta mengenai perjanjian-perjanjian atau ketentuan lainnya dalam Undang-Undang serta mengurangi mobilitas aktifitas masyrakat dan untuk memudahkan para pihak yang sedang berjauhan, sehingga dengan adanya ketentuan ini jarak bukanlah suatu masalah.2 Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta tercantum dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Peraturan Jabatan Notaris (UUJN). Dalam ketentuan tersebut menyatakan bahwa terdapat kewenangan lain mengenai transaksi yang dilakukan secara online. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN menyatakan bahwa dalam hal membacakan dan menandatangani akta, notaris diharuskan untuk hadir. Dalam hal ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah dalam konsep Cyber Notary dapat dikatakan bahwa akta yang sudah memenuhi kriteria keotentikannya seperti ketentuan mengenai keotentikan suatu akta terdapat dalam ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan Pasal 15 Ayat (3) dan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN terdapat konflik dalam hal sertifikasi transaksi yang

merupakan penjelasan dari ketentuan penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN dalam hal ini sulit dimengerti. Jikalau dipahami sebagai suatu kesepakatan atas kegiatan jual beli tersebut diartikan sebagai akta notaris, tentu jelas berlawanan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN, ketentuan pasal tersebut menentukan bahwa notaris wajib untuk membaca akta dengan syarat terdapat dua orang yang bertindak sebagai saksi. Pembuatan akta yang dilakukan secara online ini tentu tidak berhadapan langsung dengan notaris melainkan menggunakan media elektronik seperti video call. Disahkannya akta melalui online tentu menimbulkan permasalahan apabila salah satu pihak tidak beritikad baik dalam pembuatan akta tersebut.

Selain penggunaan konsep Cyber Notary dalam pembuatan akta otentik yang bertentangan dengan kode etik notaris, juga dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan e-commerce yang menggunakan digital signature. Permasalahan yang kemudian timbul ketika dalam penyampaian informasi terhadap pembuatan akta ataupun transaksi online biasanya pada koneksi yang digunakan oleh para pihak sehingga tentu dalam hal ini sangat berbahaya, dalam hal para pihak kurang jelas dalam mendengarkan keterangan dari para pihak. Pembuatan akta secara online atau Cyber Notary dan transaksi online dalam pembuktian dapat dijadikan sebagai bukti tertulis. Tetapi pada kenyataannya bukti tertulis harus membuka kemungkinan bagi seseorang untuk melihat, mengirim, dan menyimpannya dalam bentuk kertas. Keabsahan transaksi dan kekuatan dalam pembuktian baik dari Cyber Notary dan Transaksi Elektronik tentu tidak memerlukan hard copy, Namun dalam pembuktian, alat bukti dalam hukum bisnis diharuskan bukti yang tertulis.

Berdasarkan latar belakang yang diatas dapat dikemukakan permasalahan: Bagaimana Keabsahan Pembuatan Akta Notaris melalui Cyber Notary ditinjau dari Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan Bagaimana Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi ECommerce dengan Menggunakan Digital Signature. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis apakah pembuatan akta notaris dengan metode cyber notary legal menurut banyak undang-undang perundang-undangan, serta bagaimana menyelesaikan perselisihan jika akta notaris dibuat melalui metode cyber notary.

Penelitian ini dibuat dengan perspektif pemikiran baru dimana tulisan ini memiliki perbedaan dengan tulisan yang terlebih dahulu yakni “Tinjauan Yuridis Penerapan Cyber Notary Berdasarkan Perseptif UU ITE Dan UUJN” yang ditulis oleh Eri Pramudyo, Ranti Fauza, Tasya Safiranti dari Universitas Padjajaran pada tahun 2021. Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana hambatan penerapan Cyber Notary pada UUJN. Sehingga disebutkan bahwa UU ITE sebagai payung hukum di bidang teknologi dan UUJN sebagai payung hukum yang mengatur tentang notaris serta kewenangan yang melekat padanya belum mengatur secara jelas tentang pelaksanaan cyber notary sebagai suatu kesimpulan pada artikel tersebut. Mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU ITE dan Pasal 3 ayat (1) PP PSTE, setiap pihak yang terlibat dalam pelaksanaan cyber notary wajib memenuhi transaksi elektronik yang mampu

memberikan keamanan, keandalan, dan dapat dipertanggungjawabkan.3 Maka dari itu, ada tiga macam instrument dalam penerapan cyber notary yang harus disiapkan antara lain tanda tangan secara elektronik, dokumen yang terdigitalisasi, dan video konferensi yang keseluruhan instrumennya telah dipersiapkan, akan tetapi terhalang karena adanya pengecualian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE. Penelitian lainnya yang serupa juga berjudul “Cyber Notary di Era globalisasi 4.0: Suatu Kebutuhan Ataukah Ancaman” yang ditulis oleh Ngurah Justia Dharmadyawan, Ni Ketut Supasti Dharmawan dari Univesitas Udayana pada tahun 2022. Adapun rumusan masalahnya bagaimana kajian pemaknaan konsep pranata Cyber Notary berdasarkan kepada sistem hukum di Indonesia? Dan bagaimana urgensi dari implementasi praktek dari pranata Cyber Notary dalam sistem hukum di Indonesia. Kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa dalam UUJN telah menghasilkan suatu inovasi baru yakni pada konsep Cyber Notary, namun penerapannya masih diperlukan adanya pembaharuan, khususnya pada pembuatan akta secara online, sehingga notaris dalam menjalankan tugasnya dapat berjalan dengan baik di era globalisasi saat ini.4

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang tentunya kualitas dari suatu aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang terjadi dilanjutkan dengan duiji dengan dasar dari undang-undang, buku-buku, dan pendapat para ahli.5 Penelitian normatif ini digunakan cara dengan menelaah bahan kepustakaaan atau sering disebut data sekunder.6 Pendekatan yang digunakan dalam jurnal ini menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Penelitian hukum normatif ini mendayagunakan bahan hukum primer hingga bahan hukum tersier. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Keabsahan Pembuatan Akta Notaris melalui Cyber Notary ditinjau dari Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Notaris merupakan pejabat umum yang wewenangnya adalah untuk membuat akta otentik. Tugas dari notaris ialah membuat akta sekaligus menyimpannya dan menerbitkan grosse.7 Notaris dikatakan sebagai “Pejabat Umum” penjelasan tersebut

diatur dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) UUJN. KUHPerdata ketentuan tersebut tidak diterangkan secara terperinci dibandingkan dengan UUJN. Jika ditinjau dari segi hukum pembuktian, akta autentik mempunyai kekuatan hukum yang sempurna.8 Klausul yang terdapat dalam akta tersebut tentunya tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali dalam hal ini dapat dibuktikan bahwa apa yang dibuat oleh notaris tidak sesuai dengan kenyataanya dilapangan. Dalam menyusun perjanjian harus berdasarkan kehendak kedua belah pihak. Isi dari perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak harus berpedoman pada Pasal 1320 KUHperdata yakni mengenai syarat sahnya perjanjian. Apabila para pihak telah menyutujui perjanjian tersebut tentu berlaku menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. 9Setelah para pihak telah menyutujui perjanjian tersebut dilanjutkan dalam pembuatan akta sebagaimana notaris juga harus tetap berpedoman pada Pasal 15 ayat (1) UUJN. Wewenang dalam frasa “sepanjang yang tidak dilarang berarti diperbolehkan”. Apabila dikaji dalam hukum bisnis frasa tersebut perlu dikorelasikan dengan peraturan yang mengandung sifat imperatif. Pelaksanaan dari ketentuan tersebut oleh notaris wajib dikaitkan dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang isinya terkait dengan keotentikan suatu akta harus memenuhi unsur tersebut.10 Dalam melaksanakan tugasnya notaris harus berpedoman pada Undang-Undang Jabatan Notaris, dan Kode Etik Notaris.11 Seperti dikatakan diatas bahwa notaris dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 16 Ayat (1) huruf m Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 terdapat norma yang bertentangan. Bertentangan dalam hal ini Pasal 15 ayat (3) yang mengatur bahwa notaris berwenang untuk melaksanakan perbuatan hukum lain sebagaimana termaktub dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk melakukan sertifikasi transaksi secara online atau dapat disebut Cyber Notary. Istilah sertifikasi secara terminologi merupakan suatu proses, cara, perancangan menyertifikan yang dimana hasil dari itu adalah sertifikat yang memiliki arti atau berupa pernyataan tertulis atas dasar bukti kepemilikan atau suatu kejadian.12 Sedangkan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m mengharuskan membacakan akta di hadapan penghadap minimal 2 orang saksi dan tentunya diharuskan untuk para penghadap, saksi dan tentunya Notaris.

Ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN menentukan bahwa Cyber Notary tidak merupakan otoritas sertifikasi yang bertindak sebagai pihak yang memvalidasi dari suatu akta yang dikeluarkan secara digital kepada para pihak. Pasal 16 ayat (1) UUJN

tercantum tentang unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam keontentik suatu akta. Tentunya berkatian juga dengan Pasal 1868 KUHPerdata. Akta notaris dibagi menjadi dua bagian yakni akta yang dibuat oleh notaris (akta relass) dan Akta yang dibuat di hadapan notaris (partij acten).13 Akta yang dipergunakan pada saaat Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas menggunakan relaas acten. Hal tersebut didukung dengan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa dalam hal RUPS dapat dilakukan secara media elektronik yang pesertanya dapat melihat dan mendengar secara langsung.14 Menurut Yahya Harahap tersdapat syarat sahnya media elektronik yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 77 UUPT yakni:

  • 1.    Media Elektronik yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 77 Ayat (1) boleh melalui media telekoferensi, media video konferensi atau sarana lainnya.

  • 2.    Media Elektronik diwajibkan peserta untuk hadir dengan mendengarkan dan melihat secara langsung dalam rapat tersebut.15

Akta partij tentu sangat tidak memungkinkan untuk menggunakan Cyber Notary dikarenakan dalam hal ini notaris diharuskan untuk memahami secara terperinci terkait dengan pembuatan akta baik secara mendengar, melihat dalam pendandatanganan yang terjadi antara para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Ayat (1) huruf m UUJN. Namun, akta partij ini dapat digunakan apabila terdapat klausul penyelenggaraan ini dilakukan lebih dari satu kota sesuai dengan tempat para pihak yang melakukan dengan cara video conference. Isi dari akta yang dibuat di dalam notaris berisikan penjelasan dari para pihak yang tentunya penjelasan tersebut ditulis notaris untuk dibuatkan akta yang dasarnya pada penjelasan para pihak. Syarat ketidak otentikan sebuah akta otentik meluputi beberapa bagian, yaitu pembatalan keberlakuan akta otentik melalui kesepakatan para pihak, pembatalan keberlakuan akta otentik melalui permintaan kepada pengadilan, atau sejak awal akta otentik dipandang tidak pernah ada sebelumnya.16 Sudah seharusnya akta partij dapat diselenggarakan menggunakan Cyber Notary karena notaris merupakan pejabat yang tentunya memiliki wewenang untuk membuat perjanjian yang sifatnya otentik apalagi memasuki masa dimana perdagangan sering dilakukan melalui online.

Pandangan menurut Freedy Harris tentang Cyber Notary itu harus dibedakan dengan Notaris menggunakan teknologi Cyber. Cyber Notary menurut pandangannya adalah notaris yang dapat mensertifikasi sebuah berkas secara elektronik. Tentunya dalam hal ini sistem itu diakui sebagai sarana dalam pembuatan akta secara online. Notaris dalam menggunakan video conference terhadap para pihak yang tidak hadir secara langsung maka notaris terebut disebut sebagai notaris pengguna Cyber karena dalam hal ini

penerima kuasa berkewajiban diperlihatkan dan hadir.17 Pandangan lainnya menurut Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa Cyber Notary memiliki peran untuk mengotentikan suatu akta yang berbasis online, dalam hal ini akta tersebut dapat di print out dimana saja. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian tentunya kepada para pihak yang berada di beda wilayah yang cukup jauh jangkauanya. Namun, apakah saat melakukan transaksi dilakukan berdasarkan kesadaran dari para pihak itu sendiri tanpa diperbolehkanya adanya unsur paksaan dari siapapun untuk mentada tangani dokumen tersebut secara online. Digital Signature atau sering disebut dengan tanda tangan elektronik merupakan tanda tangan yang isinya perihal informasi yang dituangkan melalui media elektronik. Fungsi dari tanda tangan elektronik ini adalah untuk menvertifikasi identitas yang membuatnya serta tentunya menjamin keotentikan dari dokumen yang dibuatnya.18 Tanda tangan elektronik ini terdapat teknologi khusus yang tentunya untuk melindungi keaslian dari tanda tangan tersebut yakni:

  • 1.    Berkas elektronik demi menjamin kerahasiaan biasanya berformat PDF dan tentunya menggunakan password;

  • 2.    Tanda Tangan tersebut dapat dibuat melalui tanda tangan manual melalui diatas kertas dan di scan melalui printer atau media lainnya dan secara langsung melalui online;

  • 3.    Terdapat fitur persetujuan penerimanya melalui media elektronik yan tentunya menjamin keamanan dari tanda tangan tersebut (Secured socket layer);

  • 4.    Mengakses data tersebut harus menggunakan tanda anggota (Biometric);

  • 5.    Tanda tangan yang dilakukan secara online berbasiskan enkripsi suatu pesan. 19

Kewenangan notaris dalam mensertifikasi menggunakan Cyber Notary termasuk dalam dokumen yang bebentuk elektronik, yang dimana hasil dari dokumen yang dicetak dari sertifikasi tersebut dikatakan sebagai dokumen elektronik, dengan didukung adanya UU ITE mengatur mengenai dokumen elektronik yakni dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (4). Secara umum sebelum membuat akta otentik biasanya dalam hal ini notaris berpegang pada beberapa prinsip yakni: prinsip kehati-hatian, prinsip tidak melampaui kewenangannya, prinsip ketahuilah nasabah, dan tentunya memastikan dokumen yang dibawanya asli.20 Setelah berpedoman pada prinsip diatas notaris dalam pembuatan aktanya menggunakan format yang sesuai dengan ketentuan yang tertara dalam Pasal 38 UUJN. Sehingga dalam hal ini apabila ditinjau dari ketentuan pasal tersebut sudah dipastikan bahwa akta yang dilakukan melalui cyber notary dapat dikatan sah-sah saja menjadi akta yang otentik. Notaris setelah membuat akta sesuai dengan ketentuan Pasal 38 harus membacakan isi dari akta tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (4) Huruf a yang tentunya berkaitan dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf m UUJN. Sehingga apabila ketentuan mengenai pembacaaan akta tidak dilakukan maka akta tersebut kehilangan keotentikannya dan akta tersebut menjadi akta di bawah tangan terdapat dalam ketentuan Pasal 16 Ayat (9) UUJN, Namun terdapat pengecualiann apabila para

pihak meminta untuk tidak dibacakan aktanya sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Ayat (8) UUJN. Dalam isi akta tersebut harus berisikan klausul para penghadap berkehendak untuk tidak dibacakan dan membacanya sendiri sehingga, tidak menghilangkan keotentikan dari akta.21

Pasal 1868 KUHPerdata mengatur mengenai keotentikan suatu akta harus memenuhi beberapa unsur yakni: dibuat dalam bentuk undang-undang, dibuat oleh pejabat umun, dan tempat akta itu dibuat. Sehingga apabila dikaitkan dengan Cyber Notary yang menjadi permasalahan adalah tempat akta itu di buat, dalam hal ini misalnya para pihak sedang berada di luar bali dan notarisnya sedang berada di luar bali dalam hal melaksanakannya melalui video call. Tentu dalam hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 Ayat (1) huruf a. Selanjutnya, dalam hal pembacaan dan penandatangan akta yang dilakukan secara online (Digital Signature) sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Ayat (1) huruf m UUJN yang pada intinya dalam pembacaan akta diwajibkan dihadiri secara fisik yang minimal 2 orang saksi, yang dimaksud dengan dihadiri adalah ada pada saat pembacaan akta.22 Sehingga dalam hal ini tentu menimbulkan konflik norma. Ketentuan mengenai tersebut tentu mengurangi kinerja dari notaris yang melayani masyarakat, sehingga perlu diadakan pembaharuan dari UUJN antara lain: proses pembuatan akta otentik dengan menggunakan metode Cyber Notary, dan memberikan secara terperinci perihal sertifikasi akta dengan metode Cyber Notary. Tentunya dalam hal ini bermanfaaat guna melayani masyarakat secara maksimal dengan menggunakan teknologi dengan tetap mengindahkan regulasi yang berhubungan dengan hal tersebut. Keabsahan hukum dalam kamus besar Bahasa Inggris bermakna sebagai Legal Validitty, yang artinya sebagai berikut:

“For a rule to become a legal rule, it has to be legally valid. For a law to become a legal law, it has to be legally valid. Similarly, a valid rule is a rule and an invalid rule is not a rule. This chapter discusses the legal validity of rules. The first section explains the nature of legal validity and the validity of rules. The chapter also discusses systemic validity, wherein it is shown that the justification view of legal validity is compatible with the dependence on factual sources. It furthermore examines the other difficulties of the justification view found in the interpretation of detached legal systems, and includes a discussion of legal validity within the context of positivism”.

Ditinjau dari ketentuan diatas dimaknai dalam kamus oxford, yang memiliki arti bahwa hampir sama dengan kepastian hukum. Keabsahan hukum ini lebih memfokus kepada teori positivis yang tentunya dianut di Indonesia. Hukum yang lampau dan dinyatakan sah adalah hukum yang telah ada, tentunya dituangkan dalam Undang-Undang. Keabsahan hukum ini lebih menekankan kepada kepercayaan terhadap sumber-sumber yang telah ada. Keabsahan hukum di undonesia bermakna bahwa segala peraturan yang telah tertulis seperti perundang-undangan, peraturan pemerintah, surat edaran dan lain sebagainya23. Cyber Notary dengan teori keabsahan hukum dalam hal ini

sertifikasi akta tidak boleh terdapat unsur melawan hukum seperti dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang merupakan syarat sahnya perjanjian. Seperti yang telah dikemumakan dalam melaksanakan peranan pentingnya bagi masyarakat hukum memiliki tujuan adalah untuk kepastian hukum, kemanfaatan, dan memberikan keadilan. 24 Kaitannya dengan Cyber Notary tentu belum memenuhi kepastian hukum dikarenakan belum ada aturan yang jelas terkait dengan itu, dalam hal manfaat yang diberikan tentu dalam hal ini sudah memberikan kepada masyarakat maupun notaris dikarenakan dalam hal ini sama-sama dimudahkan dalam hal tidak harus bertemu apalagi dengan keadaan yang sekarang pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk mengurangi berpergian keluar rumah, dan dalam hal keadilan belum tercapai karena belum memberikan keadilan bagi para pihak ditambah belum adanya kepastian hukum apakah akta yang dilakukan secara Cyber Notary sudah memenuhi unsur keotentikannya atau belum. Sehingga dengan demikian keotentikan suatu akta dalam pembuatan akta melalui Cyber Notary tidak diperbolehklan apabila dalam RUPS. Namun, notaris dalam membuat berita acara RUPS dapat dilakukan melalui video call, terdapat pengecualian mengenai pembahasan RUPS yakni apabila dalam rapat tersebut membahas mengenai penjualan aset dikarenakan dalam penjualan aset tersebut harus disetujui yang tentunya dihadirkan dan disaksikan oleh para Direksi dari Perusahaan di hadapan Notaris, bahwa tanda tangan tersebut asli dan bukan tanda tangan yang dilakukan secara elektronik yang hasilnya dibuat menjadi Akta Partij. Sedangkan, dalam Pembuatan Akta Relass tidak memungkinkan dibuat melalui Cyber Notary dikarenakan dalam UUJN belum mengakomodir hal tersebut, hanya sebatas dalam RUPS.

  • 3.2 Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi E-Commerce dengan Menggunakan Digital Signature

Teori kewenangan menurut Philipus M. Hadjon mengartikan bahwa segala bentuk perbuatan pemerintah harus diisyaratkan dan bertumpu pada kewenangan yang memang seharusnya.25 Disimpulkan bahwa kaitannya dengan pembuatan akta menggunakan Cyber Notary terdiri dari beberapa hal yakni: Pembuatan akta yang otentik harus di hadapan notaris dan dibuat berdasarkan tata cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan; dan Sertifikasi yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (3) UUJN disamakan surat dibawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris maka dalam hal ini tentu tidak dikatakan sebagai akta yang otentik. Karena dalam legalisasi notaris harus memberikan kepastian sesuai dengan ketentuan dari Pasal 38 UUJN. Menurut George Whitecross Patton mendefinisikan yang dimaksud dengan alat bukti adalah dapat berupa perkataan, dan dokumen.26 Ketentuan mengenai alat bukti diatur dalam KUHPerdata, ketentuan Pasal 1866 yang terdiri dari bukti tertulis, bukti keterangan dari saksi, persangkaaan, pengakuan dari pihak, dan sumpah. Dengan perkembangan jaman yang serba digital terdapat alat bukti berupa bukti elektronik yang tentunya diatur dalam UU ITE. Keabsahan Transaksi yang dilakukan secara online apabila dilihat dari ketentuan Pasal 1 Angka 4 UU ITE disimpulkan bahwa segala bentuk dokumen elektronik yang dibuat dan tentunya dapat ditampilkan, didengar, dan

tidak terbatas oleh tulisan yang tentunya dapat dipahami oleh para pihak. Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti.27 Ketentuan mengenai media apa yang digunakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak menisyaratkan, sehingga dilihat daripada itu maka perjanjian yang ditanda tangani melalui elektronik sak-sah saja bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan lainnya yang memberikan bahwa tanda tangan elektronik (digital signature) sah-sah saja terdapat dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Ketentuan mengenai informasi, dokumen, dan tentunya tanda tangan elektronik atau disebut dengan digital signature diatur dalam UU ITE yakni dalam Pasal 5 sampai dengan pasal 12. Syarat Keabsahan dari digital signature terdapat dalam ketentuan Pasal 11 UU ITE. Sehingga dengan demikian baik tanda tangan secara langsung maupun tanda tangan yang dilakukan secara online memiliki kedudukan hukum yang sama.

UU ITE apabila dikaitkan dengan rumusan masalah yang pertama tentu menimbulkan konflik dalam hukum yang dimana dalam hal ini dokumen yang ditanda tangani secara elektronik mempunyai pembuktian layaknya akta otentik. Digital signature agar memiliki kekuatan pembuktian di pengadilan maka dalam hal ini harus di daftarkan di Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), Privyld, Vida, dan Digsign yang merupakan lembaga yang mengatur mengenai regulasi di dalam transaksi elektronik, sehingga tanda tangan tersebut mendapatkan sertifikat dari Lembaga di Indonesia akan lebih terjamin dalam otentiknya dan sulit dipalsukan.28 Dengan norma yang bertentangan baik UU ITE dengan UU Jabatan Notaris, maka hakim dalam hal ini dapat menggunakan asas hukum yakni asas lex specialis derogate lex generalis. Asas ini merupakan asas suatu peraturan bersifat khusus mengenyampingkan aturan yang umum.29 Sehingga dalam hal ini hakim bisa mengutamakan UU ITE yang menjadi patokan untuk mengambil keputusan dalam pembuktian dokumen elektronik yang tentunya di bubuhi dengan digital signature. Namun dalam hal ini terdapat pengecualian apa saja yang tidak boleh menggunakan digital signature yakni terdapat dalam ketentuan dalam Pasal 5 Ayat (4) UU ITE yang dapat disimpulkan bahwa surat yang dimaksud adalah surat yang berharga, surat yang dalam proses penegakan hukum acara di Indonesia. Penyelesaian sengketa apabila terdapat pihak yang dirugikan tentu dapat mengajukan gugatan tertulis diatur dalam Pasal 142 ayat (1) RBg, dan secara lisan sebagaimana diajukan secara lisan apabila orang yang mengajukan terdapat cacat/ tidak bisa membaca dan menulis yang tentunya ini diatur dalam ketentuan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 RBg.30 Adapun persyatan dalam mengajukan gugatan wajib berisi identitas para pihak, posita (fundamentum petendi), dan petitum (tuntutan). Perjanjian yang menggunakan digital signature tentu sangat beresiko dalam melakukan transaksi jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Para pelaku dalam transaksi elektronik yang dirugikan ini tentu mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui damai sebelum memutuskan

untuk menyelesaikan perkara melalui pengadilan. Perdamaian ini dapat dibuat dengan membuat perjanjian di bawah tangan atau di pejabat yang berwenang seperti Notaris dan pelaksanaannya dapat melalui pengadilan dengan akhir putusan perdamaian.31

Arbitrase online dapat dilaksanakan berpedoman pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan menggunakan Konvensi New York pada tahun 1958 dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981. Permasalahannya dalam hal ini apakah arbitrase online dapat memenuhi syarat sahnya perjanjian arbitrase. Jika orisinalitas dari perjanjian arbitrase menggunakan dokumen berupa kertas bagi masyarakat maka sudah tidak relevan lagi karena seharusnya pada dokumen yang disimpan di komputer sama saja dengan layaknya dengan bentuk cetakannya. Dengan demikian, maka tolok ukur legalitas perjanjian arbitrase bukan dilihat dari wujud atau bentuk perjanjiannya, melainkan dilihat dari penyusunannya. Ketentuan Pasal 1338 berlaku bagi perjanjian arbitrase ini yang pada dasarnya memberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian yang dimana perjanjian tersebut berlaku menjadi Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.32 Ketentuan Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dokumen yang dibuat harus ditanda tangani, sedangkan bagaimana dengan halnya tanda tangan yang dilakukan melalui online. Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 9 Ayat (2) pembuatan perjanjian tersebut dibuat melalui notaris. Namun, dalam pembuatan perjanjian arbitrase tidak dapat dilakukan menggunakan media online apalagi dengan menggunakan digital signature.

Mark Taylor pernah mengemukakan pendapatnya tentang tanda tangan digital dalam buku yang ia tulis dengan judul Uses Of Encryption: Digital Signatures. Menurutnya, apabila para pihak sepakat memerlukan tanda tangan digital dalam perjanjian arbitrase yang telah dibuat untuk menjamin keaslian dokumen, maka sudah sepatutnya tidak ada seorang pun yang dapat mempermasalahkan keabsahan dan kerahasiaannya. Sebab, pihak yang dapat mengakses hanyalah pihak yang menciptakan data dimaksud dan wajib menginput sandi untuk dapat mengaksesnya. Teori penyelesaian sengketa merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kategori atau penggolongan sengketa atau pertentangan yang timbul dalam masyarakat, faktor penyebab terjadinya sengketa dan cara-cara atau strategi yang digunakan untuk mengakhiri sengketa tersebut. Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan teori tentang penyelesaian sengketa. Ada 5 (lima), yaitu:

  • a.    Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang lainnya.

  • b.    Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan.

  • c.    Problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan dari kedua belah pihak.

  • d.    With drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis.

  • e.    In action (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa.33

Penyelesaian melalui jalur hukum yang menjadi pedoman adalah hukum positif Indonesia, namun dalam hal ini yang menjadi permasalahan apabila dalam hal ini kedua pihak berasal dari Indonesia namun berada di tempat yang berbeda. Tentu semakin rumit dalam proses penyelesaian sengketanya litigasinya, karena hal ini pemilihan hukum apa yang digunakan dijadikan dasar putusan guna mempermudah dalam penyelesaian sengketa dan dalam hal ini para pihak diberikan kebebasan dalam memilih hukum mana yang akan digunakan. UU ITE mengatur mengenai hal tersebut yakni dalam Pasal 18 Ayat (2), (3), (4), dan Ayat (5). Menurut Frank Elkoury arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa yang mudah dan hemat biaya dalam prosesnya para pihak dapat memilih juru pisah siapa yang digunakan guna dapat menghasilkan suatu keputusan yang bijak dalam perkara tersebut, sehingga penyelesaian secara ini tentu sangat menguntungkan dari para pihak dari segi waktu, biaya, dan tenaga dibandingkan dengan penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di pengadilan. 34 Keabsahan Digital Signature dalam pembuatan akta otentik terdapat dalam ketentuan Pasal 11 UU ITE, ketentuan lebih lengkap diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Sehingga, Apabila ditinjau dari ketentuan Pasal 5 Ayat 4 UU ITE penandatanganan dalam pembuatan akta otentik tidak termasuk dalam dokumen elektronik. Mengingat pada ketentuan Pasal 16 Ayat (1) huruf c, dan m UUJN dalam hal pembuatan akta otentik diwajibkan melekatkan sidik jari dari para penghadap dan membacakan akta dihadapan saksi dan para pihak. Sehingga dengan demikian Akta yang dibuat menggunakan Digital Signature menjadi akta di bawah tangan yang dalam pembuktian di pengadilan termasuk ke dalam alat bukti surat

  • 4. Kesimpulana

Pembuatan akta dalam perspektif Cyber Notary diperbolehkan dalam pembuatan akta relaas dikarenakan proses pertemuannya dalam RUPS melalui video call tetap sah dan dalam hal ini notaris membuat berita acara harus memenuhi kriteria dari RUPS tersebut. Namun, dalam pembuatan akta partij menggunakan perspektif Cyber Notary tidak sah dikarenakan notaris diharuskan untuk memahami secara terperinci terkait dengan pembuatan akta baik secara mendengar, melihat dalam pendandatanganan yang terjadi antara para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Ayat (1) huruf m UUJN. Sehingga apabila ketentuan mengenai pembacaaan akta tidak dilakukan maka akta tersebut kehilangan keotentikannya dan akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. Transaksi E-commerce yang menggunakan tanda tangan elektronik dapat dikatakan sah apabila telah didaftarkan di badan Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), Privyld, Vida, dan Digsign. atau hukum positif di Indonesia. Namun, apabila dalam pembuatan Akta Otentik tidak

diperbolehkan menggunakan digital signature dikarenakan bertentangan dengan UUJN, UU ITE, dan PP PSTE. Perihal Beban pembuktian di persidangan yakni orang yang merasa dirugikan harus menunjukan bukti bahwa tanda tangan tersebut berasal dari sistem yang terpecaya. Upaya Penyelesaian sengketa Transaksi E-Commerce yang menggunakan tanda tangan elektronik pada umumnya karena tentu terjadi kerugian di antara para pihak yang membuat perjanjian, maka dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam pembuatan akta perdamaian harus dibuat di hadapan notaris tidak dapat dilaksanakan menggunakan perspektif Cyber Notary. Penyelesian melalui arbitrase dianggap lebih mudah dibandingkan penyelesaian melalui peradilan umum yang banyak menghabiskan waktu, biaya dan tentunya tenaga.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Budi Untung. (2015). Karakter Pejabat Umum (Notaris dan PPAT) Kunci Sukses Melayani. Yogyakarta : Andi Offset.

Endang Hadrian. (2020), Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan Mediasi, Yogyakarta: Deeppublish.

Freddy Harris. (2017), Notaris Indonesia, Jakarta: PT Lintas Cetak Djaja.

Habib Adjie, (2011), Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung: Refika Aditama.

Makarim, (2011). “Notaris Dan Tanda Tangan Elektronik”. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.

Nurita, E., & Ayu, R. (2012). “Cyber notary: pemahaman awal dalam konsep pemikiran”. Bandung: Refika Aditama

Ochitorina. (2014). Penelitian Hukum (Legal Research). Jakarta: Sinar Grafika.

R. Soeroso. (2010), Perjanjian Di Bawah Tangan, Jakarta: Sinar Grafika.

Rai Asmara. (2018), Hukum Acara Dan Praktik Peradilan Perdata, Jakarta: Prenadamedia.

Soedjono Dirdjosisworo, (2013), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Pers.

Suratman. (2015). Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.

Umar Said. (2014), Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.

Jurnal

Adjie, H. (2017). “Konsep Notaris Mayantara Menghadapi Tantangan Persaingan Global. Jurnal       Hukum       Respublica, 16(2),       201-218.       DOI:

https://doi.org/10.31849/respublica.v16i2.1436

Bahri, S., Yahanan, A., & Trisaka, A. (2019). Kewenangan Notaris Dalam Mensertifikasi Transaksi Elektronik Dalam Rangka Cyber Notary. Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, 142-157, (https://repository.unsri.ac.id/2289/).

Boboy, J. T. B., Santoso, B., & Irawati, I. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi Berdasarkan Teori Dean G. Pruitt Dan Jeffrey Z. Rubin. Notarius, 13(2), 803-818. DOI : https://doi.org/10.14710/nts.v13i2.31168

Cahyadi, D. (2009). Tinjauan Kritis Atas CA (Certificate/Certification Authority) dalam UU ITE: Persfektif Akademis. Informatika Mulawarman: Jurnal Ilmiah Ilmu

Komputer, 4(1),                          27-34,                          .(http://e-

journals.unmul.ac.id/index.php/JIM/article/view/31).

Diana, P., Vera, P., Mertha, I. K., & Artha, I. G. (2015). Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak (Doctoral dissertation, Udayana University).

Entriani, A. (2017). Arbitrase Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. IAIN Tulungagung Research           Collections, 3(2),           277-293.           DOI           :

https://doi.org/10.21274/an.2017.3.2.277-293

Hudzaifah, H. (2015). Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Dalam Pembuktian Hukum Acara                     Perdata                     Indonesia. Katalogis, 3(5),

(http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Katalogis/article/view/5081).

Kurniawan, I. W. A. (2018). Tanggung Jawab Notaris Atas Akta yang Tidak Dibacakan Dihadapan Para Penghadap. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), DOI : https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i03.p08.

Monica, R., Panjaitan, S. P., & Mansur, A. (2018). Tanggung Jawab Hukum Notaris Dalam Membuat Akta Partij Yang Bukan Merupakan Kehendak Para Pihak (Studi Kasus Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3459 K/Pdt/2016) (Doctoral dissertation, Sriwijaya University).

Ngurah justia Dharma, Ni Ketut Supasti Dharmawan, (2022). Cyber Notary Di Era Globalisasi 4.0: Suatu Kebutuhan Ataukah Ancaman. Acta Comitas, 1, 2502-7573, DOI : https://doi.org/10.24843/AC.2022.v07.i01.p01

Pramudyo, E., Mayana, R. F., & Ramli, T. S. (2021). Tinjauan Yuridis Penerapan Cyber Notary Pada Situasi Pandemi Covid-19 Berdasarkan Perspektif UU ITE dan UUJN. Jurnal    Indonesia    Sosial    Sains, 2(8),    1239-1258,    DOI    :

https://doi.org/10.36418/jiss.v2i8.382.

Pramudya, P. K., Putra, D. N. R. A., & Martana, N. A. (2018). Pengaturan Arbitrase Online Sebagai Upaya Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa ECommerce. Kertha      Wicara:      Journal      Ilmu      Hukum,      (3),

(https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/40472).".

Rahman, F. A. (2018). Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Notaris Dalam Mengenal Para Penghadap (Master's thesis, Universitas Islam Indonesia).

Sari, I. G. A. D., Wairocana, I. G. N., & Resen, M. G. S. K. (2018). Kewenangan Notaris Dan PPAT Dalam Proses Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017,   41,   DOI:

https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p04.

Seto, W. (2017). Keabsahan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas dengan Bukti Kehadiran Para Pemegang Saham Secara Online (Doctoral dissertation, UNS (Sebelas Maret University)).

Siagian, S. S. (2020). Legalitas Cyber Notary dan Tandatangan Dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Medan:  Fakultas Hukum Universitas Sumatra  Utara,

(https://mkn.usu.ac.id/images/27.pdf)

Swandewi, I. A. P. (2016). Pengesahan Akta Notaris Bagi Penghadap Yang Mengalami Cacat Fisik (Doctoral      dissertation,      Udayana      University),      DOI:

https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i01.p03.

Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Nyoman, A. M., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S., Putra, I. P. R. A., ... & Tribuana, P. A. R. (2016). Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata. Acta Comitas, 2, 180-188, DOI : https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p05.

Wastu, I. B. G. G., Wairocana, I. G. N., & Kasih, D. P. D. (2017). Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit Di Bawah Tangan Pada Bank Perkreditan Rakyat. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2016, 83, DOI : https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p08

Widiyawati, C. W., & Mulyoto, M. (2016). Akta Notaris Dalam Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas Melalui Telekonferensi” (Doctoral dissertation, Sebelas                          Maret                          University),

(https://media.neliti.com/media/publications/213199-none.pdf).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Soedharyo Soimin, (2014), Jakarta : Sinar Grafika

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6400)

Website Resmi

Azizah. (2019). “Legalitas Tanda Tangan Elektronik Pejabat Dalam Rangka Mendukung E-Government.

(https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/3737/legalitas-tanda-tangan-elektronik-pejabat-dalam-rangka-mendukung-e-government)”, diakses pada 26 november 2021, pukul 15.04.

Joseph Raz, Legal Validity, Oxford Scholarship online, diakses melalui www.OxfordScholarship.com pada tanggal 05 Juni 2022, pukul 21.00

243