ACTA CtMITAS

Jurnal Hukum Kenotariatan

Vol. 7 No. 1 April 2022

e-ISSN: 2502-7573 | p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Pengaturan Upaya Perdamaian Oleh Debitor Pailit Setelah Adanya Putusan Pernyataan Pailit: Perspektif Hukum Kepailitan Indonesia

I Gede Khrisna Dharma Putra1, Kadek Agus Sudiarawan2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 20 April 2022 Diterima : 26 April 2022

Terbit : 6 Mei 2022

Keywords :

Bankruptcy, Bankrupt Debtor, Creditor, Peace


Kata kunci:

Kepailitan, Debitor Pailit, Kreditor, Perdamaian


Corresponding Author:

I Gede Khrisna Dharma Putra, E-mail: igedekhrisna@gmail.com

DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i01.p13


Abstract

The purpose of this study is to explain the legal consequences of the issuance of a bankruptcy declaration decision to a debtor by a commercial court and to explain the arrangement of reconciliation efforts by a bankrupt debtor after a bankruptcy declaration decision: the perspective of Indonesian bankruptcy law. A normative legal research method using a statutory approach and a legal concept analysis approach was employed in this study. The method for gathering legal materials is to do a literature review of primary, secondary, and tertiary legal sources. The data was then qualitatively analyzed before being presented in a descriptive analytical report. The results of this study show that the legal implications of the bankruptcy declaration judgment, namely the loss of the debtor's right to manage and control his assets, as well as the recommended peace, are specifically specified in Articles 144 to 177 UUK - PKPU.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan akibat hukum terhadap penjatuhan putusan pernyataan pailit kepada debitor oleh pengadilan niaga dan untuk menjelaskan pengaturan upaya perdamaian oleh debitor pailit setelah adanya putusan pernyataan pailit: perspektif hukum kepailitan Indonesia. Metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum digunakan dalam penelitian ini. Metode pengumpulan bahan hukum ialah dengan melakukan studi pustaka terhadap sumber hukum primer, sekunder, dan tersier. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif sebelum disajikan dalam laporan deskriptif analitis. Hasil studi ini menunjukan bahwa akibat hukum dari putusan pernyataan pailit yakni hapusnya hak debitor untuk mengurus, mengusasi harta kekayaanya serta terkait dengan perdamaian yang diajukan setelah adanya putusan pailit telah dicantumkan secara eksplisit pada Pasal 144 hingga Pasal 177 UUK - PKPU.

  • I.    Pendahuluan

Pada bidang perekonomian, utang-piutang merupakan suatu permasalahan yang kerap menimpa orang perseorangan maupun suatu perusahaan. Pelunasan utang adalah hal yang harus diselesaikan menurut tenggat waktu sesuai persetujuan dari para pihak.1 Debitor berkewajiban untuk memenuhi pelunasan utangnya yang telah jatuh tempo.2 Debitor merupakan pihak yang berutang yang harus dilunasi karena terdapat suatu perjanjian atau Undang-undang. Berbeda dengan kreditor yang merupakan pihak berpiutang karena adanya suatu perjanjian atau Undang-undang. Secara sederhananya, debitor dapat dikatakan sebagai pihak yang mempunyai kewajiban dan kreditor ialah pihak yang mempunyai hak untuk menerima serta menangih kewajiban yang dimiliki debitor. Hubungan hukum antara keduanya terjadi karena keduanya mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Permasalahan utang-piutang sering kali terjadi pada umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan debitor untuk memenuhi kewajibannya dalam hal pelunasan piutang kreditornya. Permasalahan ini tentunya memicu perdebatan antara debitor dan kreditor mengenai hak dan kewajiban yang tidak dapat terpenuhi.

Dalam rangka menyelesaikan permasalahan utang-piutang tersebut, Indonesia sebagai negara hukum tentunya telah melakukan pengaturan hukum dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang mengatur terkait dengan penyelesaian permasalahan utang-piutang. Bentuk pengaturan hukum yang dikeluarkan yakni “Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK - PKPU)”. Pada dasarnya UUK - PKPU merupakan ketentuan mengkhusus dari ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER) tepatnya Pasal 1131 dan 1132 KUHPER. Pasal 1131 KUHPER menyatakan “segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitor itu”. Pasal 1132 KUHPER menyatakan bahwa “barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”. Aturan tersebut sesuai prinsip “Pari Pasu Prorata Parte” artinya seluruh kekayaan milik debitor ialah jaminan bersama bagi para kreditornya, dimana kekayaan itu akan diberikan secara proporsional.

Pailit merupakan kondisi ketidakmampuan debitor untuk melunasi pembayaran utang-utangnya kepada pihak kreditor.3 Ketidakmampuan untuk melakukan pembayaran pada umumnya karena debitor mengalami krisis keuangan dari usahanya yang mengalami kemunduran. Kepailitan dapat dikatakan sebagai sarana yang bisa

digunakan oleh pihak yang terikat dalam penyelesaian perkara utang-piutang4. Adanya kepailitan ditujukan untuk melakukan suatu pembagian harta kekayaan si debitor secara proporsional kepada kreditor-kreditornya. Hal ini berkaitan pada “prinsip pari passu pro rata parte”.5 Pasal 1 angka 1 telah menguraikan definisi kepailitan yakni “sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Dengan adanya kepailitan, perebutan harta kekayaan debitor oleh para kreditornya diharapkan dapat dihindari serta mencegah adanya perbuatan debitor yang mungkin berpotensi merugikan kreditor.

Proses kepailitan berlangsung ketika adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga. Pengajuan permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan debitor sendiri ataupun para kreditornya. Dalam praktiknya, tidak semua permohonan pernyataan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Permohonan pernyataan pailit agar dapat dikabulkannya tentunya harus berdasarkan prasyarat yang tertuang pada UUK-PKPU sebagaimana Pasal 2 ayat (1). Adapun persyaratan dikabulkannya permohonan pernyataan pailit seperti: terdapat minimal lebih dari 1 (satu) kreditor, debitor tidak dapat melunasi sedikinya satu utang, serta utang debitor sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) menyatakan “permohonan pernyataan pailit dikabulkan ketika adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa syarat yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi”. Frasa dari “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” dalam hal ini ialah adanya fakta jika debitor memiliki minimal lebih dari 1 (satu) kreditor dan fakta bahwa utang debitor telah jatuh tempo dan tidak dibayar. Namun, terkait dengan adanya ketidaksamaan besaran jumlah utang yang dinyatakan oleh Pemohon Pailit dan Termohon Pailit, tidak mencegah dijatuhkanya putusan pernyataan pailit.6

Dengan terpenuhinya syarat dikabulkannya permohonan pernyataan pailit, maka permohonan tersebut harus dikabulkan pengadilan. Ketika debitor sudah dikatakan dalam kondisi pailit maka debitor itu akan disebut debitor pailit. Dengan ditetapkannya debitor dalam keadaan pailit tentunya menyebabkan hapusnya hak yang dimiliki oleh debitor untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang tergolong harta pailit. Namun meskipun dinyatakan pailit, debitor masih memiliki kesempatan untuk mengakhiri kepailitan dengan cara mengajukan rencana perdamaian. Rencana perdamaian merupakan perjanjian antara para pihak yakni debitor dan kreditor mengenai penyesuaian jumlah utang debitor dengan jumlah piutang kreditor untuk mencegah terjadinya likuidasi. Dalam kepailitan terdapat dua jenis perdamaian (akkord)

yaitu perdamaian yang terjadi sesudah adanya putusan pernyataan pailit dan perdamaian dalam proses PKPU.7 Pada saat upaya perdamaian (akkord) yang dilakukan debitor pailit ini berhasil tentunya akan mempermudah penyelesaian pembayaran utang debitor terhadap para kreditor dan kepailitan debitor akan berakhir.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat 2 (dua) pokok permasalahan yaitu; (1) Bagaimana akibat hukum terhadap penjatuhan putusan pernyataan pailit kepada debitor oleh pengadilan niaga?; dan (2) Bagaimana pengaturan upaya perdamaian oleh debitor pailit setelah adanya putusan pernyataan pailit: perspektif hukum kepailitan Indonesia?. Melalui 2 (dua) rumusan masalah tersebut, penulis berminat melakukan suatu penelitian hukum yang mendalam terkait “Pengaturan Upaya Perdamaian Oleh Debitor Pailit Setelah Adanya Putusan Pernyataan Pailit: Perspektif Hukum Kepailitan Indonesia”.

Penelitian pada jurnal ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami mengenai akibat hukum terhadap penjatuhan putusan pernyataan pailit kepada debitor oleh pengadilan niaga dan pengaturan upaya perdamaian oleh debitor pailit setelah adanya putusan pernyataan pailit: perspektif hukum kepailitan Indonesia, sehingga dapat diketahui ketika debitor telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap masih dapat menempuh upaya perdamaian untuk penyelesaian permasalahan utang-piutang dengan para kreditornya.

Dalam pembuatan jurnal ini, penulis telah melakukan pengamatan dengan mengkaji penelitian terdahulu. Adapun penelitian terdahulu tersebut berjudul “Implementasi Perdamaian (Accord) Pada Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan di Indonesia” oleh Anita Afriana, S.H.,M.H, dan Rai Mantili, S.H.,M.H8 serta penelitian dengan judul “Penyelesaian Kepailitan Melalui Perdamaian (Studi Kasus Nomor 05/PAILIT/2006/PN.NIAGA.SMG)” oleh Junaedi Saputro.9 Penelitian yang pertama lebih menekankan penerapan perdamaian setelah adanya putusan pernyataan pailit dalam praktik pada Pengadilan Niaga Jakarta dan hambatan yang terjadi dalam praktiknya sehingga perdamaian tidak dapat dicapai. Berbeda dengan penelitian yang kedua lebih menekankan penerapan perdamaian sesudah adanya putusan pernyataan pailit dan akibat hukum bagi debitor dan kreditor.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan, tentunya terdapat perbedaan substansi pada penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu. Penelitian ini lebih menekankan pada akibat hukum terhadap penjatuhan putusan pernyataan pailit kepada debitor oleh pengadilan niaga dan pengaturan upaya perdamaian oleh debitor pailit setelah adanya putusan pernyataan pailit: perspektif hukum kepailitan Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu penelitian hukum secara normatif dengan mengkaji peraturan Perundang-undangan secara terstruktur. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian terdapat 2 (dua) jenis pendekatan yakni pendekatan Perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi pustaka bahan hukum primer yang berbentuk peraturan perundang-undangan, kemudian bahan hukum sekunder seperti berbagai doktrin/gagasan dari para ahli, buku, jurnal ilmiah, dan bahan hukum tersier seperti ensiklopedia yang berhubungan dengan hukum. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif sebelum disajikan dalam laporan deskriptif analitis.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Akibat Hukum Terhadap Penjatuhan Putusan Pernyataan Pailit Kepada Debitor Oleh Pengadilan Niaga

Pailit dapat dikatakan sebagai suatu keadaan perusahaan maupun perseorangan yang perekonomiannya sedang  mengalami  penurunan sehingga  berdampak pada

terhambatnya pembayaran utang-utang yang dimilikinya.10    Akibat hukum

dijatuhkannya putusan pernyataan pailit pada dasarnya telah diatur di dalam UUK -PKPU, tepatnya Pasal 21 hingga Pasal 64. Berdasarkan UUK - PKPU, tepatnya Pasal 21 menyatakan “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”. Zainal Asikin menyatakan “akibat hukum dari putusan pernyataan pailit yang utama adalah dengan telah dijatuhkannya putusan kepailitan, si debitor (si pailit) kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya”.11 Menurut Munir Fuady, jika debitor dinyatakan pailit tentunya menimbulkan banyak akibat hukum dengan 2 model pembelakuan yakni: (a) Berlaku demi hukum

By the open nation of law, berartikan akibat hukum akan timbul segera ketika debitor telah dinyatakan pailit atau putusan pailit berkekuatan hukum tetap atau sesudah kepailitan berakhir.

(b) Berlaku Role of Reason

Berlaku Role of Reason berarti akibat hukum putusan pailit tidak langsung berlaku, tetapi akan berlaku ketika terdapat alasan wajar dari pihak tertentu untuk diberlakukan. Pihak tertentu dalam hal ini seperti Kurator, Hakim pegawas, dan lain sebagainya.12

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa terdapat berbagai macam akibat adanya putusan pernyataan pailit. Adapun akibatnya seperti: “(a) debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta

pailit sejak hari putusan pailit diucapkan, (b) kekayaan debitor pailit yang tergolong ke dalam harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit, (c) kepailitan pada dasarnya tidak mengenai diri pribadi debitor pailit dan hanyalah mengenai harta pailit, (d) harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua kreditor dan debitor, sedangkan hakim pengawas bertugas dalam memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan, (e)segala perikatan debitor yang timbul setelah putusan pernyataan pailit diucapkan tidak dapat dibayarkan dari harta pailit kecuali menguntungkan harta pailit, (f) tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator, (g) semua tuntutan atau gugatan yang tujuannya untuk memperoleh pelunasan suatu perikatan dari harta pailit, dan dari harta debitor sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan cara melaporkannya untuk dicocokkan, (h) kreditor memiliki jaminan hak gadai, hak fidusia, hak tanggungan, atau hipotek dapat melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada kepailitan, (i) hak eksekutif kreditor yang dijamin dengan hak-hak di atas serta pihak ketiga, untuk dapat menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan kurator, ditangguhkan maksimum untuk waktu 90 hari setelah putusan pailit diucapkan”.13

Dari berbagai akibat hukum di atas, setelah keluarnya putusan pernyataan pailit terdapat pula akibat yuridis yang terjadi terhadap perbuatan hukum yang dilakukan debitor. Adapun akibat hukumnya, yaitu:

  • (a)    Akibat hukum terhadap debitor pailit beserta harta kekayaannya

Pada dasarnya seluruh kekayaan debitorlah yang dinyatakan pailit, bukan pribadi si debitor sendiri, hal ini tertuang pada UUK - PKPU. Maka dari itu, mengacu pada Pasal 24 ayat (1) menyatakan akibat hukum dari dijatuhkannya putusan pernyataan pailit yakni “Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan", hal ini berarti Debitor yang sudah pailit tidak berwenang atau tidak dapat bertindak seperti biasa atas hartanya, tetapi debitor pailit masih berhak untuk melakukan suatu perbuatan hukum terkait dengan dirinya asalkan tidak berkaitan dengan pengurusan dan pengalihan harta pailit. Debitor pailit diperbolehkan melakukan perbuatan hukum asalkan mendatangkan keuntungan bagi debitor. Dalam hal perbuatan hukum yang dilakukan debitor terkait dengan harta kebendaan yang akan diterimanya, debitor masih bisa melakukan perbuatan hukum untuk menerima harta kebendaan tersebut, namun setelah itu harta kebendaan tersebut menjadi bagian harta pailit.14 Dalam kepailitan ini, kuratorlah mempunyai tugas melakukan kepengurusan harta debitor pailit.

Perlu diketahui bahwa kepailitan tidak meliputi semua harta kekayaan Debitor sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21 UUK- PKPU, tidak seluruhnya harta kekayaan Debitor ketika adanya kepailitan ada dibawah pengurusan dan penguasaan kurator. Terdapat beberapa barang-barang atau benda yang mendapat pengecualian dalam kepailitan yaitu: “(a)Benda, termasuk hewan yang sangat dibutuhkan oleh debitor berkaitan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang digunakan untuk Kesehatan, tempat tidur dan perlengkapan yang

digunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; (b) Segala sesuatu yang didapatkan Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu Jabatan atau jasa, sebagai upah, pension, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau (c) Uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang”.15

Dalam proses kepailitan Debitor, ketika harta kekayaan debitor telah berada dibawah penguasaan dan pengurusan Kurator, kemudian ditemukan tuntutan yang diajukan terkait hak maupun kewajiban yang berhubungan kekayaan Debitor Pailit harus diajukan kepada Kurator. Berdasarkan UUK - PKPU tepatnya Pasal 26 ayat (2) menyatakan “apabila gugatan hukum tersebut berakibat penghukuman terhadap debitor pailit, maka penghukuman tersebut tidak berpengaruh terhadap harta pailit”.

  • (b)    Akibat hukum terhadap Perikatan Debitor Pailit

Perikatan debitor pailit juga turut terkena akibat hukum atas kepailitan debitor. Berdasarkan Pasal 25 UUK - PKPU menyatakan bahwa “semua perikatan debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit”. Ketika sudah terdapat putusan pernyataan pailit, harta pailit tidak dapat dijadikan sarana melaksanakan perikatan yang dilakukan Debitor yang menimbulkan kewajiban bagi debitor pailit untuk membayarnya, kecuali bila harta pailit diuntungkan dengan adanya perikatan itu. Pasal 27 UUK-PKPU menentukan “selama kepailitan berlangsung tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap Debitor pailit hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan”.

  • (c)    Akibat hukum terhadap kreditor

Paritas Creditorium” ialah satu diantara prinsip hukum kepailitan yang berarti kreditor memiliki kesetaraan hak tanpa pembedaan terhadap seluruh Harta benda Debitor.16 Selanjutnya asas “Pari Passu Prorata Parte” berati harta benda Debitor menjadi jaminan bersama untuk para kreditor dan hasil penjualanya diberikan dengan cara proporsional. Namun hal ini mempunyai pengecualian terhadap kreditor yang memiliki hak untuk didahulukan berdasarkan UUK-PKPU. Pasal 55 ayat (1) menyatakan “…setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Maka dari itu, Rachmadi Usman berpendapat bahwa “asas Paritas Creditorium hanya berlaku bagi para kreditor konkuren saja”. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat akibat hukum terhadap masing-masing kreditor, yakni:

  • -    Kreditor separatis

Kreditor separatis merupakan Kreditor yang dapat bertindak sendiri atas jaminan kebendaan yang dimilikinya. Akibat hukum pailitnya debitor tidak berpengaruh bagi kreditor separatis. Dalam hal ini hak eksekusi yang dimilikinya tetap bisa dijalankan seperti tidak terjadi Kepailitan. Kreditor separatis berhak untuk menjual barang jaminanya dan mengambil hasil penjualannya sebesar piutang yang dimilikinya. Namun, jika hasil penjualan tersebut masih terdapat sisa maka harus dikembalikan ke kas Kurator sebagai harta pailit (boedel pailit), tetapi jika dari penjualan itu masih belum cukup untuk melunasi piutangnya, maka Kreditor separatis dapat memasukkan kekurangannya sebagai kreditor bersaing.

  • -  Kreditor preferen

Kreditor preferen ialah Kreditor istimewa dikarenakan sifat piutangnya yang mendapatkan prioritas pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan harta pailit.

  • -    Kreditor konkuren

Kreditor konkuren ialah kreditor yang tidak diistimewakan oleh UU ini serta tidak memiliki jaminan berupa hak kebendaan.

  • (d)    Akibat hukum terhadap eksekusi atas kekayaan debitor pailit

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 UUK - PKPU telah menyatakan akibat hukum dari adanya putusan pernyataan pailit terhadap eksekusi atas harta kekayaan Debitor pailit. Pasal 31 ayat (1) menerangkan “akibat hukum putusan pernyataan pailit yakni mengehentikan segala penetapan pelaksanaan pengadilan yang berkaitan dengan setiap bagian dari kekayaan debitor yang dimulai sebelum kepailitan”. Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya”. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa seluruh sita jaminan maupun sita eksekutorial yang berhubungan dengan kekayaan debitor pailit menjadi gugur. Namun apabila sebelum adanya putusan pernyataan pailit sudah sampai ditetapkannya hari penjualan benda milik debitor baik bergerak maupun tidak bergerak untuk di eksekusi, maka kurator yang akan meneruskan penjualan benda tersebut atas tanggungan harta pailit dengan izin dari hakim pengawas.

  • (e)    Akibat hukum terhadap suami/istri debitor pailit

Adanya putusan pernyataan pailit juga memiliki akibat hukum terhadap suami/istri Debitor pailit. Hal ini dikarenakan adanya persatuan harta yang timbul dari adanya perkawinan. Berdasarkan Pasal 119 KUHPER menyatakan bahwa “dilangsungkannya perkawinan menyebabkan terjadinya harta bersama menyeluruh antara suami istri”. Merujuk pada UUK – PKPU tepatnya Pasal 23 menyatakan bahwa “debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang menikah dalam persatuan harta”. Berdasarkan uraian tersebut tentunya terdapat akibat hukum terhadap kekayaan dari suami/istri yang memiliki ikatan perkawinan persatuan harta. Akibat hukum dari adanya putusan pernyataan pailit terhadap suami/istri yang memiliki ikatan perkawinan dalam persatuan harta dengan debitor pailit yakni dapat dikenakan sita kepailitan dan harta kekayaan tersebut otomatis menjadi harta pailit (boedel pailit).

Namun terkait dengan persatuan harta tersebut, dalam Pasal 62 UUK - PKPU telah mengatur terdapat beberapa benda yang bukan tergolong Persatuan harta. Adapun benda tersebut yaitu:

  • -    “Dalam hal suami atau istri dinyatakan Pailit maka istri atau suaminya berhak mengambil kembali semua Benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai Hadiah atau Warisan;

  • -    Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam Harta pailit maka istri atau suami memiliki hak untuk mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut;

  • -    Untuk tagihan yang sifatnya pribadi terhadap istri atau suami maka Kreditor terhadap Harta pailit adalah suami atau istri”.17

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa penjatuhan putusan pernyataan pailit kepada debitor oleh pengadilan niaga menimbulkan berbagai akibat hukum. Pertama, putusan pernyataan pailit berakibat pada hilangnya hak debitor pailit untuk mengurus dan menguasari harta kekayaannya. Kedua, harta pailit tidak bisa dipergunakan membayar pelunasan perikatan Debitor yang muncul sesudah adanya putusan pernyataan pailit kecuali bila membawa keuntungan bagi debitor. Ketiga, akibat hukum putusan pernyataan pailit juga dirasakan oleh para kreditor, khususnya kreditor konkuen yang tidak memiliki jaminan kebendaan. Keempat, putusan pernyataan pailit berakibat gugurnya sita jaminan maupun sita eksekutorial yang berhubungan dengan kekayaan debitor pailit. Kelima, putusan pernyataan pailit menyebabkan suami/istiri yang memiliki ikatan perkawinan dalam persatuan harta dengan debitor pailit dapat dikenakan sita kepailitan dan harta kekayaan tersebut otomatis menjadi harta pailit (boedel pailit).

  • 3.2.    Pengaturan Upaya Perdamaian Oleh Debitor Pailit Setelah Adanya Putusan Pernyataan Pailit Berdasarkan Hukum Kepailitan Indonesia

Seorang Debitor yang telah diputus pailit memiliki hak untuk mengajukan suatu perdamaian atau “akkord” kepada semua kreditornya.18 Perdamaian dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kesepakatan diantara Debitor maupun Kreditor untuk berdamai. Perdamaian dalam kepailitan terjadi ketika adanya kata sepakat diantara para pihak terhadap pengajuan Rencana Perdamaian oleh Debitor. Perdamaian dalam Kepailitan umumnya sama dengan perdamaian pada kasus keperdataan lainnya, namun terdapat pembeda yakni dalam kepailitan ketika seorang debitor telah diputus pailit masih dapat melakukan upaya perdamaian dengan cara mengajukan rencana perdamaian.

Dalam hukum kepailitan, perdamaian tidak wajib untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan undang-undang tidak mengharuskan perdamaian sebagaimana dalam perkara perdata pada umumnya yang dimana kedudukan hakim sangat kuat untuk mengusahakan perdamaian. UUK- PKPU telah mengatur tentang perdamaian. Pasal 144

telah menyatakan secara tegas bahwa “debitor pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor”. Ketentuan pasal tersebut menjadi dasar hukum diajukannya sebuah rencana perdamaian meskipun debitor telah dinyatakan pailit.

Pengajuan perdamaian yang dilakukan debitor diawali dengan memanggil semua kreditor yang terdaftar. Merujuk pada UUK- PKPU dalam Pasal 145 ayat (1) menyatakan “Rencana perdamaian yang akan diajukan Debitor pailit harus dilakukan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum adanya Rapat Pencocokan Piutang”. Mengacu pada pendapat Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menerangkan “Rapat pencocokan piutang merupakan rapat untuk mencocokkan jumlah piutang setiap kreditor konkuren dengan keterangan Debitor Pailit”.19 Pengajuan rencana perdamaian ini disediakan oleh kepaniteran pengadilan niaga supaya dapat dilihat secara cuma-cuma bagi setiap orang yang memiliki kepentingan. Tujuannya agar kreditor konkuren dapat memahami rencana perdamaian sehingga memberikan keputusan baik menolak ataupun menyetujui rencana perdamaian. Rencana perdamaian tersebut kemudian harus dibahas dan ditentukan keputusanya segera sesudah berakhirnya rapat pencocokan piutang oleh Kurator.

Dalam mengambil keputusan terkait dengan rencana perdamaian diterima atau tidak, perlu dilakukannya pemungutan suara (voting) para Kreditor Konkuren. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 149 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa “kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tangungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan kreditor yang diistimewakan, termasuk kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah tidak boleh ikut serta mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian”. Namun jika ingin ikut serta dalam pengambilan keputusan tersebut, kreditor separatis maupun kreditor konkuren harus melepaskan haknya dan menjadi kreditor konkuren.

Berdasarkan UUK - PKPU pada Pasal 151 menyatakan “Rencana Perdamaian yang diajukan debitor pailit dapat dikatakan diterima apabila telah disetujui lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat kreditor dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut”. Ketika rencana perdamaian tersebut telah disetujui, maka akan dilaksanakan sidang pengadilan (homologasi) untuk mengesahkan atau tidak rencana perdamaian tersebut. Selama berlangsungnya sidang, kurator dan kreditor dapat memberikan alasan mengapa menolak ataupun menerima pengesahan rencana perdamaian tersebut, begitupun sebaliknya debitor pailit juga memiliki hak untuk memberikan alasan untuk membela kepentingannya. Pasal 159 ayat (2) telah meyebutkan alasan-alasan yang memungkinkan bagi pengadilan tidak menerima/menolak pengesahan perdamaian. Adapun alasan-alasanya seperti; “harta Debitor termasuk hak untuk menahan suatu benda jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian, pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin, dan/atau perdamaian dicapai karena penipuan, persekongkolan atau penggunaan cara lain yang tidak jujur”. Namun ketentuan tersebut berpotensi tinggi menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda karena tidak dijelaskan secara rinci berapa banyak kekayaan Debitor dan hak untuk menunjang benda dengan

jumlah yang disepakati pada Perdamaiaan serta perlu dijelaskan lebih rinci mengenai arti pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin dan upaya lain yang tidak jujur.20

Dalam hal jika perdamaian tersebut telah diterima pengesahannya dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka pengesahan Perdamaian tersebut berlaku untuk para kreditor yang tidak memiliki hak didahulukan serta kepailitan menjadi berakhir. Namun jika ditolak, rencana perdamaian tidak bisa diajukan kembali oleh Debitor pailit dalam Kepailitan tersebut. Pada dasarnya, perdamaian tentunya dapat menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak yang terikat di dalamnya. Adapun akibat yuridis terjadinya perdamaian sebagai berikut:

  • (a)    kepailitan berakhir;

  • (b)    semua kreditor konkuren terikat pengesahan perdamaian;

  • (c)    kreditor separatis dan kreditor preferen tidak terikat pengesahan perdamaian;

  • (d)    debitor hanya dapat mengajukan perdamaian sekali;

  • (e)    perdamaian menjadi alas hak untuk garantor;

  • (f)    terhadap benda-benda pihak ketiga, hak-hak kreditor masih berlaku;

  • (g)    waktu penundaan eksekusi atas jaminan utang berakhir;

  • (h)    berakhirnya action paulina;

  • (i)    bagi debitor diberlakukan rehabilitas.21

Berdasarkan uraian tersebut, dalam hal debitor telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitor pailit masih dapat menempuh jalur perdamaian yang dapat diajukan sebelum dilakukannya pencocokan piutang. Upaya perdamaian setelah adanya putusan pernyataan pailit telah diatur secara tegas dalam Pasal 144 hingga Pasal 177 UUK – PKPU. Namun, jika upaya perdamaian yang ditempuh debitor pailit tidak berhasil, maka debitor pailit tidak dapat mengajukan perdamaian kembali dalam kepailitannya.

  • 4.    Kesimpulan

Akibat hukum adanya putusan pernyataan pailit telah diatur secara tegas pada Pasal 21 hingga Pasal 64 UUK - PKPU. Ketika dalam kondisi pailit, debitor tidak behak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaanya yang menjadi harta pailit. Debitor pailit juga tidak bisa menggunakan harta pailit untuk membayar pelunasan perikatannya yang muncul sesudah adanya putusan pernyataan pailit kecuali bila membawa keuntungan bagi debitor. Putusan pernyataan pailit juga berakibat gugurnya sita jaminan maupun sita eksekutorial yang berhubungan dengan kekayaan debitor pailit. Pada dasarnya meskipun seorang debitor telah diputus pailit, Debitor tersebut masih dapat menempuh upaya Perdamaian. Perdamaian dalam hukum kepailitan Indonesia diatur Pasal 144 hingga Pasal 177 UUK - PKPU.

Daftar Pustaka

Buku

Hadi Subhan, M. (2014). “Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan”. Jakarta: Kencana.

Nugroho, S. A., & SH, M. (2018). “Hukum Kepailitan Di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya”. Jakarta: Kencana.

Sutan Remy Sjahdeini, S. H. (2016). “Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (Memahami undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran)”. Jakarta: Kencana.

Jurnal

Anita Afriana, S. H. (2017). “Implementasi Perdamaian (Accord) Pada Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan di Indonesia”. Jurnal Ilmiah Hukum DE'JURE:     Kajian     Ilmiah     Hukum,     2(2),     219-233.     DOI:

https://doi.org/10.35706/dejure.v2i2.1301.

Arjaya, B. G. M. I., & Ariawan, I. G. K. (2018). PENETAPAN BOEDEL PAILIT DAN PENGELUARAN BENDA DARI BOEDEL PAILIT (Analisis Yuridis terhadap Putusan Nomor: 5/Pdt. Sus. Gugatan Lain-lain/2017/PN. Niaga. Sby Jo. No. 2/Pdt. Sus. Pailit/2017/PN. Niaga Sby). Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum.

Damlah, J. (2017). “Akibat Hukum Putusan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004”. Lex Crimen, 6(2).

Frija, R., Susilowati, E., & Saptono, H. (2016). “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Separatis terhadap Pelaksanaan Hak Eksekutorial dalam Kepailitan Perseroan Terbatas”. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1-18. DOI: http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/.

Ishak, I. (2016). “Perdamaian antara Debitor dan Kreditor Konkuren dalam Kepailitan”. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 18(1), 137-157.

Junaedi, S. (2011). “Penyelesaian Kepailitan Melalui Perdamaian (Studi Kasus Nomor

05/PAILIT/2006/PN. NIAGA. SMG)” (Doctoral dissertation, Diponegoro University).

Mahmudah, S., Gemilang, A. S. O., & Susilowati, E. (2013). “Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Diponegoro Law Review, 1(2), 18869. DOI: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/drl.

Nisa, C. (2019). “Akibat Hukum Pengesahan Perdamaian (Homologasi) Terhadap Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Hal Debitornya Perseroan Terbatas”. Jurist-Diction.

Normayunita, N. K., & Darmadi, A. S. W. (2018). “Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 4(3), 1-17.

Rohendi, A. (2020). “PERDAMAIAN DALAM KEPAILITAN SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN UTANG PIUTANG ANTARA DEBITUR DENGAN PARA KREDITUR”. Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik),  6(2),  58-66. DOI:

https://doi.org/10.35814/selisik.v6i2.2207.

Sembiring, G. (2020). “Akibat Hukum bagi Penjamin Utang yang Dinyatakan Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt. Suspailit/2017)”.

Theodora, G. (2019). “Upaya Hukum Kreditor Terkait Aset Yang Dialihkan Setelah Putusan Pencabutan Putusan Pernyataan Pailit”. Jurist-Diction, 2(4), 1257-1274. DOI: https://doi.org/10.20473/jd.v2i4.14490.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.

178