Akibat Hukum Akta Perjanjian Perkawinan yang Tidak Dicatatkan dalam Perkawinan Campuran
on
Vol. 7 No. 02 Agustus 2022
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Akibat Hukum Akta Perjanjian Perkawinan yang Tidak Dicatatkan dalam Perkawinan Campuran
Fira Adhisa Rivanda1, Gemala Dewi2
1Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Indonesia, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 22 Februari 2022
Diterima : 26 April 2022
Terbit : 8 Agustus 2022
Keywords :
Notary, Prenuptial Agreement, Marital Property, Mixed Marriage.
Kata kunci:
Notaris, Perjanjian
Perkawinan, Harta Perkawinan, Perkawinan Campuran
Corresponding Author:
Fira Adhisa Rivanda, E-mail: [email protected]
DOI :
10.24843/AC.2022.v07.i02.p4
Abstract
The purpose of this paper is to find out and analyze the arrangement of marriage agreements based on the Marriage Law and the Decision of the Constitutional Court Number 69/PUU-XIII/2015 and to analyze the legal consequences of marriage agreements that are not registered in mixed marriages. This study uses a normative juridical legal research method that is guided by written and unwritten legal norms or norms. The source of this legal research material uses primary legal materials, secondary legal materials. The collection of sources of legal materials is carried out using a literature study technique by examining books, literatures, notes, and reports that are related to the problem being solved. Qualitative analysis is used in this study, the data obtained can be emphasized on quality and analyzed in depth, and the author uses the truth and his own conclusions based on the research. The results of this study indicate that not registering a marriage agreement in mixed marriages does not affect the validity of the marriage agreement itself, it's just that the marriage agreement does not meet the principle of publicity where this can affect third parties.
Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan perjanjian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dan untuk menganalisis akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan dalam perkawinan campuran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yang berpedoman terhadap kaidah-kaidah atau norma hukum tertulis maupun tidak tertulis. Sumber bahan penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Pengumpulan sumber bahan hukum dilakukan dengan teknik studi pustaka dengan menelaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Analisis kualitatif digunakan pada penelitian ini, data yang diperoleh dapat ditekankan pada kualitas dan dianalisis secara mendalam, serta penulis menggunakan kebenaran dan simpulan sendiri berdasarkan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran tidak mempengaruhi keberlakukan dari perjanjian perkawinan itu sendiri, hanya saja perjanjian perkawinan tersebut tidak memenuhi asas publisitas dimana hal ini dapat berpengaruh kepada pihak ketiga.
Perkawinan merupakan peristiwa dalam kehidupan manusia yang tidak dapat dipungkiri seiring dengan berjalannya waktu menjadi peristiwa yang sangat besar kemungkinannya dialami dalam kehidupan manusia. Dalam perkawinan laki-laki dan perempuan memiliki tujuan untuk membentuk suatu keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik kebutuhan secara fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan terhadap aktualisasi diri sebagai manusia.1 Menurut Wirjono Projodikoro, Perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi persyaratan tertentu, dan jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir dan batin dengan dasar iman.2 R. Subekti berpendapat bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkawinan memiliki unsur-unsur yaitu, pertalian atau perikatan yang mengikat secara lahir dan batin, pertalian atau perikatan tersebut terjadi antara laki-laki dan perempuan, dan pertalian tersebut bertujuan hidup bersama untuk waktu yang lama.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai “UU Perkawinan”) memberikan pengertian yang lebih konkret sehubungan dengan perkawinan dimana dalam Pasal 1 disebutkan yang dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan peristiwa penting bagi manusia, mereka yang melangsungkan perkawinan dianggap sudah memiliki ikatan lahir dan batin satu sama lain.3 Untuk mengatakan suatu perkawinan adalah sah, UU Perkawinan kemudian memberikan ketentuan mengenai beberapa persyaratan sahnya perkawinan, yang kemudian dibedakan menjadi syarat materil dan syarat formil. Syarat materil ialah syarat yang mengenai pribadi calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan, sedangkan syarat formil ialah syarat yang mengenai formalitas-formalitas yang harus dipenuhi atau dilakukan pada saat pelangsungan perkawinan.4 Syarat materil terbagi kembali menjadi dua, yaitu:5 (i) syarat materil absolut, dimana pria dan wanita (kedua calon) dalam situasi tidak kawin, usia harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta telah
melewati waktu tunggu bagi wanita; dan (ii) syarat materil relatif dimana para calon mempelai tidak memiliki hubungan darah atau keluarga yang sangat dekat, tidak pernah melakukan overspel (perzinahan) dan tidak pernah melakukan reparatie huwelijk (kawin ulang) untuk yang ketiga kalinya. Selanjutnya, terkait dengan syarat formil terkait perkawinan telah diatur dan merujuk pada ketentuan dalam UU Perkawinan.
Salah satu syarat formil perkawinan ialah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinan, bahwa dalam ayat (1), perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya, dan syarat pencatatan perkawinan, yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2), bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana Undang-Undang Perkawinan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang memberikan ketentuan dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) bahwa pencatatan perkawinan di Indonesia dilakukan melalui lembaga catatan sipil bagi mereka yang pernikahannya tidak dilakukan berdasarkan agama Islam, dan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) bagi mereka yang melakukan pernikahan secara agama Islam. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan tersebut juga berlaku untuk perkawinan yang dilaksanakan di luar Indonesia. Perkawinan di Luar Negeri diatur dalam Pasal 56 UU Perkawinan menentukan bahwa:
-
(1 ) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia, atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
-
(2 ) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami-istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan tempat tinggal mereka.
Dalam hal ini, perkawinan sebagaimana dimaksud harus dicatatkan berdasarkan ketentuan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pencatatan tersebut kemudian dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Berdasarkan Pasal 40 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, pelaporan tersebut harus disertai dengan bukti pelaporan atau pencatatan perkawinan di luar negeri dan Kutipan Akta Perkawinan.
Aspek hukum dalam perkawinan dipahami dari pernyataan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian.6 Perkawinan sebagaimana dimaksud tersebut tentu memberikan pengaruh terhadap bagaimana harta yang diperoleh masing-masing suami dan istri. Harta benda merupakan sebuah aspek penting yang menjadi sarana keberlangsungan kehidupan rumah tangga dalam perkawinan dimana harta benda
sendiri merupakan salah satu faktor material yang memberikan pengaruh terhadap keberlangsungan dari perkawinan itu sendiri dan merupakan ranah perdata yang dapat menimbulkan konflik apabila terjadi perselisihan atas hal tersebut. UU Perkawinan memberikan pengaturan terhadap harta benda dalam perkawinan yang dituangkan pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan. Setelah terjadinya perkawinan, harta benda yang diperoleh oleh suami dan istri selama masa perkawinan dikatakan sebagai harta bersama. Hal ini memberikan arti bahwa seluruh tindakan yang dilakukan atas harta bersama tersebut, termasuk namun tidak terbatas pada tindakan penguasaan dan pengurusan atas harta bersama tersebut, harus memerlukan persetujuan dari suami atau istri atas setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap harta bersama tersebut.7 Sehingga, dengan terikatnya suami dan istri dalam sebuah perkawinan menimbulkan adanya percampuran harta yang diperoleh oleh suami dan istri selama masa perkawinan tersebut berlangsung dan pengurusan atas harta bersama tersebut harus dilakukan secara bersama-sama antara suami dan istri. Sehubungan dengan terjadinya percampuran harta yang terjadi akibat perkawinan, hal ini tentu memberikan permasalahan dalam hal terjadinya perkawinan campuran dalam hal perkawinan terjadi antara Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “WNI”) dan Warga Negara Asing (selanjutnya disebut sebagai “WNA”).
Dengan adanya percampuran harta yang terjadi akibat perkawinan, hal ini menimbulkan permasalahan terkait dengan kepemilikan harta bersama dalam perkawinan antara WNI dan WNA, khususnya terkait dengan kepemilikan harta bersama berupa tanah. WNI yang melangsungkan perkawinan dengan WNA setelah perkawinan tidak diperbolehkan untuk memiliki hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 35 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sehingga menimbulkan adanya percampuran harta dan menyebabkan WNA yang menjadi pasangan dari WNI tersebut turut menjadi pemilik atas harta bersama tersebut. Oleh karena itu, harta WNI tersebut menjadi satu dengan WNA sehingga haknya untuk dapat memiliki hak atas tanah menjadi terbatas layaknya WNA.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai “UUPA”), dalam ketentuan UUPA tersebut hanya WNI yang diperbolehkan untuk memiliki hak atas tanah berupa Hak Milik (Pasal 21 UUPA) dan hanya WNI dan Badan Hukum Indonesia yang diperbolehkan untuk memiliki Hak Guna Usaha (Pasal 30 UUPA) dan Hak Guna Bangunan (Pasal 36 UUPA). Sehingga WNA tidak boleh memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha, ataupun Hak Guna Bangunan. Apabila WNI yang kawin dengan WNA tetap memiliki ha katas tanah, maka WNI tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut harus melepaskan kepemilikan hak atas tanah tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka hak atas tanah tersebut dapat hapus karena hukum dan tanah tersebut jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tanah tersebut tetap berlangsung.
Namun, dalam hal WNI tersebut ingin tetap memiliki hak atas tanah setelah melakukan perkawinan dengan WNA, pasangan WNA dan WNI tersebut harus membuat perjanjian perkawinan yang secara khusus mengatur mengenai pemisahan harta yang diperoleh pada saat perkawinan. Perjanjian perkawinan, atau sering juga disebut sebagai perjanjian pra-nikah atau prenuptial agreement8, merupakan suatu bentuk perjanjian yang dibuat atas kesepakatan bersama antara laki-laki dan perempuan pada saat atau sebelum perkawinan.9 UU Perkawinan memberikan keleluasan bagi suami dan istri untuk dapat membuat perjanjian perkawinan dengan ketentuan sebagaimana merujuk pada Pasal 29 UU Perkawinan, dimana dalam hal suami dan istri mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, dimana isi atas perjanjian pernikahan tersebut juga dapat berlaku kepada pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian perkawinan yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akta perkawinan yang mana perjanjian itu dicatatkan pada akta perkawinan dengan tujuan agar pihak ketiga mengetahui adanya suatu perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan berlaku pula bagi pihak ketiga.
Namun, sering terjadi pencatatan perkawinan antara WNA dan WNI tersebut tidak menyertakan atau lupa melampirkan perjanjian perkawinan tersebut. Permasalahan tersebut sebagaimana Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 969/PDT.P/2016/PN.SBY. Pada tanggal 26 Juni 2016, pasangan Logan Trian (untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemohon I”), warga negara Australia dan Mariskha Halim (untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemohon II”) , warga negara Indonesia (selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai “Para Pemohon”) melangsungkan perkawinannya di Chua Phuoc Hue, Wetherhill Park, New South Wales, Australia dan dicatat dalam sebuah Marriage Certificate atau Akta Perkawinan yang diterbitkan oleh New South Wales Births, Deaths, and Marriage Registration atau Kantor Pendaftaran Kelahiran, Kematian, dan Perkawinan New South Wales – Australia dengan Nomor: 559109 / 2016. Setelah itu, pada tanggal 30 Juni 2016, perkawinan Pemohon I dan Pemohon II juga dicatatkan dan dilaporkan kepada Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Sidney – Australia dengan Nomor: 1189/KWN/SYD/KONS/VI/2016. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 2016, Pemohon I dan Pemohon II juga telah melakukan proses pencatatan dan pelaporan Perkawinan Luar Negeri pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya (untuk selanjutnya disebut sebagai “Dukcapil Kota Surabaya”) sebagaimana Pelaporan Perkawinan Luar Negeri Nomor 51 / 2016 tanggal 18 Agustus 2016 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Penduduk dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Pada saat Pemohon I dan Pemohon II melakukan proses pelaporan perkawinannya pada Direktorat Jenderal Penduduk dan Catatan Sipil Kota Surabaya, Pemohon I dan Pemohon II lupa untuk melampirkan Akta Perjanjian Kawin yang sebelumnya telah dibuat oleh dan di hadapan Notaris Sitaresmi Puspadewi Subianto S.H., Notaris di Surabaya, yaitu Akta Perjanjian Kawin Nomor 68 tanggal 29 Februari 2016 mengenai Pisah Harta antara Pemohon I dan Pemohon II (untuk selanjutnya disebut sebagai “Akta Perjanjian Kawin”). Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis
ingin menganalisa terkait dengan Akibat Hukum Akta Perjanjian Perkawinan yang Tidak Dicatatkan dalam Perkawinan Campuran.
Berdasarkan judul tersebut, maka dapat dirumuskan 2 rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana pengaturan perjanjian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015?; dan (2) Bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan dalam perkawinan campuran? Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu: (1) untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan perjanjian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015; dan (2) untuk menganalisis akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan dalam perkawinan campuran.
Berkaitan dengan state of art, terdapat artikel-artikel yang memiliki kemiripan dengan topik yang tengah diteliti. Artikel-artikel sebagaimana dimaksud, antara lain:
-
1) Jurnal yang ditulis oleh Erdyan Paramita dan Irnawan Dadori yang diterbitkan oleh Jurnal Repertorium. Berjudul “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan”. Permasalahan hukum yang dikaji, yaitu: (1) Keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan; (2) Akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
-
2) Jurnal yang ditulis oleh Nadia Valentina, Iwan Permadi dan Siti Noer Endah yang diterbitkan oleh Arena Hukum. Berjudul “Kepastian Hukum Perjanjian Kawin Yang Sudah Disahkan Namun Tidak Dicantumkan Di Kutipan Akta Perkawinan Yang Diterbitkan Oleh Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Malang”. Permasalahan hukum yang dikaji yaitu: (1) Kepastian hukum berlakunya perjanjian kawin yang sudah disahka namun keberadaannya tidak dicantumkan di Kutipan Akta Perkawinan yang diterbitkan oleh Dispendukcapil Kota Malang; (2) Upaya hukum pasangan suami istri yang keberadaan perjanjian kawinnya tidak dicantumkan di Kutipan Akta Perkawinan yang diterbitkan oleh Dispendukcapil Kota Malang; (3) Bentuk materi muatan pencantuman perjanjian kawin seharusnya tertera di Kutipan Akta Perkawinan yang diterbitkan oleh Dispendukcapil Kota Malang.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa penulisan ini memiliki unsur pembaharuan, baik dari segi judul maupun rumusan masalah yang dikaji.
Bentuk penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang berpedoman terhadap kaidah-kaidah atau norma hukum tertulis maupun tidak tertulis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang atau yang dikenal juga sebagai statute approach, pendekatan kasus atau yang dikenal juga sebagai case approach dan pendekatan konseptual atau yang dikenal juga sebagai conceptual approach. Sumber bahan penelitian hukum normatif adalah bahan hukum yang merupakan data sekunder, bahan hukum yang digunakan antara lain adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Pengumpulan sumber bahan hukum dilakukan dengan teknik studi pustaka dengan menelaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Analisis kualitatif digunakan pada penelitian ini, data yang diperoleh dapat ditekankan pada kualitas dan dianalisis secara mendalam, serta penulis menggunakan kebenaran dan simpulan sendiri berdasarkan penelitian.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
-
Perjanjian perkawinan berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh sepasang calon suami isteri pada saat atau sebelum perkawinan berlangsung. Hal ini mengisyaratkan bahwa perjanjian perkawinan sendiri tidak diisyaratkan harus berbentuk akta autentik, namun cukup dengan bentuk tertulis saja.10 Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi juga telah menerbitkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang memberikan perluasan makna pada Pasal 29 UU Perkawinan yang belum terakomodir secara menyeluruh, dimana inti pokok dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah seputar pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai telah mengubah dan menambah norma dari suatu perjanjian perkawinan yang diatur oleh Pasal 29 UU Perkawinan. Adapun beberapa perubahannya adalah sebagai berikut:11
-
1. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan hanya dapat
dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat perkawinan dilangsungkan atau dalam masa ikatan perkawinan.
-
2. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi pengesahan perjanjian perkawinan
dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan, Sesudah Putusan Mahkmah Konstitusi pengesahan perjanjian perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau Notaris.
-
3. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan mulai berlaku
pada saat setelah dilangsungkannya perkawinan, sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan mulai berlaku pada saat setelah dilangsungkannya perkawinan, atau sepanjang ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
-
4. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan hanya dapat
diubah dengan persetujuan kedua belah pihak sepanjang perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga, sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan bisa diubah atau dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak sepanjang perubahan dan pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan umumnya dibuat dengan akta Notaris. Akta Notaris adalah alat bukti otentik, yang mana berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata dijelaskan bahwa akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta
itu dibuat. Jadi, unsur-unsurnya adalah akta tersebut cara pembuatannya telah diatur khusus didalam undang-undang yaitu didalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN).12 Pejabat umum yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Notaris sebagaimana Pasal 1 angka 1 UUJN bahwa Notaris adalah pejabat umum, yang berwenang untuk membuatkan akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN atau Undang-Undang lainnya. Lebih lanjut, kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa Notaris berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dengan berlakunya Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memberikan kewenangan lebih kepada Notaris sehubungan dengan pengesahan perjanjian perkawinan. Pengesahan oleh Notaris disini berbeda dengan Pegawai Pencatatan Perkawinan. Para pihak dapat membuat perjanjian perkawinan bukan dalam bentuk akta notaris kemudian dilegalisasi atau disahkan oleh Notaris untuk kemudian dilakukan pencatatan oleh pegawai pencatatan perkawinan. Dengan demikian berlakunya Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam bentuk perjanjian di bawah tangan. Namun berdasarkan ketentuan dari Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan (“Surat Dirjen 472.2/2017”), perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan selama perkawinan berlangsung dengan akta Notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Instansi Pelaksana.13 Sehingga berdasarkan aturan tersebut perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk akta Notaris. Dalam Penetapan Nomor 969/PDT.P/2016/PN.SBY. ini, Para Pemohon telah membuat Akta Perjanjian Kawin Nomor 68 tanggal 29 Februari 2016 sedangkan perkawinan dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2016, dimana perjanjian tersebut telah dibuat di hadapan Notaris Sitaresmi Puspadewi Subianto S.H., Notaris di Surabaya. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa Akta Perjanjian Kawin yang dibuat oleh Para Pemohon merupakan akta otentik, dimana sifat dari akta otentik yaitu memiliki kekuatan bukti sempurna bagi kedudukan hukum para pihak di dalam lingkup hukum privat.14
Dalam pembuatan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran antara WNI dengan WNA, biasanya akan dibuatkan dalam dua bahasa, dikarenakan salah satu
pihak yang merupakan WNA tidak mengerti atau kurang mengerti Bahasa Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada Penetapan Nomor 969/PDT.P/2016/PN.SBY. ini bahwa Logan Trian (suami) merupakan WNA asal Australia, sehingga dalam pembuatan akta perjanjian perkawinan dibuat dalam dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut sebagai “UU Bahasa”), penyusunan nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan perseorangan warga negara Indonesia wajib menggunakan Bahasa Indonesia; adapun dalam hal perjanjian melibatkan pihak asing juga ditulis dalam Bahasa Inggris. Hal ini mengindikasikan bahwa pembuatan akta dalam bahasa asing diperbolehkan dengan kewajiban untuk tetap menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.15 Selain itu, pada Pasal 26 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, diperjelas bahwa bahasa Inggris digunakan sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing tersebut dengan tidak mengenyampingkan kebebasan bahasa yang berlaku dalam perjanjian tersebut dapat ditentukan dalam nota kesepahaman atau perjanjian tersebut.
Pembuatan perjanjian dengan akta otentik yang menggunakan bahasa asing yang dibuat di hadapan notaris juga harus memperhatikan dan bersesuaian dengan ketentuan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dimana harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
-
1) Akta wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia.
-
2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta tersebut dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
-
3) Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
-
4) Dalam hal Akta dibuat dalam bahasa asing, Akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
-
5) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada angka 2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
-
3.2 Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil dalam Perkawinan Campuran
Maksud perjanjian perkawinan adalah untuk memberikan aturan-aturan dari akibat-akibat yang mungkin akan timbul didalam ikatan perkawinan terhadap kekayaan dari suami atau isteri juga karena hal-hal tersebut atau ketentuan yang bertujuan lain tidak diperbolehkan. Suatu perjanjian perkawinan bisa dilaksanakan baik sebelum ataupun pada saat perkawinan berlangsung.16 Sebagaimana telah disampaikan pada
pendahuluan tulisan ini sehubungan dengan akibat hukum yang terjadi karena adanya perkawinan, sebagaimana merujuk pada Pasal 35 UU Perkawinan, adalah adanya percampuran harta antara suami dan istri yang diperoleh selama masa perkawinan dilangsungkan. Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan memberikan pembatasan mengenai harta bawaan dimana harta bawaan masing-masing suami dan isteri menjadi hak sepenuhnya dari suami isteri untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.17 Harta bawaan merupakan harta yang dibawa dari masing-masing suami dan isteri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, dimana penguasaanya berada pada masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Berbeda halnya dengan harta yang diperoleh oleh suami dan atau isteri selama perkawinan, dimana harta tersebut menjadi tercampur dan menjadikannya sebagai harta bersama. Dengan adanya percampuran harta yang diperoleh selama perkawinan tersebut, suami dan istri harus mendapatkan persetujuan pasangan dalam hal akan melakukan perbuatan hukum sehubungan dengan harta bersama tersebut. Perjanjian perkawinan ini diperlukan khususnya untuk perkawinan campuran guna memberikan pengesampingan ketentuan sehubungan dengan adanya percampuran harta yang terjadi setelah perkawinan berlangsung. Disatu sisi, berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Warga Negara Asing (WNA) tidak diperbolehkan mempunyai hak atas tanah di Indonesia seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, ataupun Hak Guna Bangunan. Dengan adanya peraturan terkait dengan percampuran harta sebagaimana merujuk pada ketentuan UU Perkawinan, hal ini akan berpengaruh pada hak dari WNI yang melakukan perkawinan dengan WNA, dimana karena ada percampuran harta setelah pelaksanaan perkawinan, WNI tersebut juga akan kehilangan hak untuk dapat memiliki hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha maupun Hak Guna Bangunan di Indonesia. Agar WNI tetap dapat memiliki hak untuk dapat memiliki hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha maupun Hak Guna Bangunan, WNI yang melangsungkan perkawinan dengan WNA perlu membuat perjanjian perkawinan sehingga tidak terjadi adanya percampuran harta antara WNI dan WNA tersebut setelah perkawinan terjadi.
Dalam Penetapan Nomor 969/PDT.P/2016/PN.SBY. ini, dapat diketahui bahwa Para Pemohon telah membuat Akta Perjanjian Kawin Nomor 68 tanggal 29 Februari 2016 sedangkan perkawinan Para Pemohon dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2016. Hal ini berarti, Akta Perjanjian Kawin Nomor 68 tanggal 29 Februari 2016 tersebut telah dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan Para Pemohon. Hal ini diperbolehkan berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dimana dalam peraturan tersebut perjanjian perkawinan tersebut dapat dilakukan sebelum pelaksanaan perkawinan. Pihak yang memiliki kewenangan untuk dapat mengesahkan atau mencatatkan Akta Perjanjian Kawin tersebut adalah pegawai pencatat perkawinan yang dalam kasus ini berarti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya. Hal ini menunjukan bahwa permohonan Para Pemohon yang dalam petitumnya meminta Hakim untuk memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya untuk mencatat dan
mendaftarkan Perjanjian Kawin tersebut telah benar dan sesuai dengan Pasal 29 Ayat 1 UU Perkawinan.
Berdasarkan Pasal 29 Ayat 4 UU Perkawinan, perubahan akan perjanjian perkawinan dimungkinkan jika disetujui kedua belah pihak. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat kemungkinan untuk perjanjian perkawinan yang dalam hal ini perubahan perjanjian perkawinan dicatatkan dan didaftarkan setelah perkawinan dilangsungkan. Hal tersebut diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang membuka kemungkinan perjanjian perkawinan untuk dibuat setelah perkawinan dilaksanakan. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukan bahwa seharusnya permohonan Para Pemohon dalam kasus ini yang lalai melampirkan Akta Perjanjian Kawin yang telah dibuat sebelum perkawinan untuk dapat didaftarkan agar dicatatkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya diterima oleh Hakim. Sehingga putusan Hakim untuk menerima permohonan ini sudah tepat.
Pada dasarnya, perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan tetap sah serta mengikat bagi para pihak dengan syarat tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dimana syarat-syarat sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian harus memenuhi paling tidak syarat-syarat sebagai berikut:
-
(i) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
-
(ii) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
-
(iii) suatu hal tertentu; dan
-
(iv) suatu sebab yang halal.
Sehingga, dalam hal para pihak mengadakan perjanjian perkawinan tanpa pencatatan pun, selama isi perjanjian tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma-norma yang berlaku serta kesusilaan, perjanjian perkawinan ini tetap mengikat para pihak. Namun implikasi yang dapat terjadi kepada perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan kepada pegawai pencatat perkawinan yaitu perjanjian tersebut tidak mengikat untuk pihak ketiga dan hanya berlaku kepada para pihak yang membuatnya.18
Pencatatan perjanjian perkawinan sangat penting bagi Para Pemohon yaitu Logan Trian dan Mariskha Halim, karena hal ini mempengaruhi harta kekayaan dari Para Pemohon dan bahkan mempengaruhi haknya terutama terhadap hak yang khusus diberikan kepada Warga Negara Indonesia yang dalam kasus ini adalah hak bagi Mariskha Halim. Dalam hal tidak terjadi perpisahan harta perkawinan maka hak Mariskha Halim yang diberikan oleh Negara dimana hak tersebut tidak diberikan kepada Warga Negara Asing dimungkinkan untuk tidak menjadi hak dari Mariskha Halim lagi. Hal tersebut dapat dilihat dari hak untuk memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan yang pada awalnya dimiliki Mariskha Halim, apabila Para Pemohon tidak membuat Akta Perjanijan Kawin, maka hak-hak yang dimiliki oleh Mariskha Halim tersebut menjadi hilang karena adanya percampuran harta sebagaimana ketentuan dalam UU Perkawinan. Oleh karena itu, pemisahan harta kekayaan yang dalam hal ini melalui perjanjian perkawinan sangat penting bagi Para Pemohon karena mempengaruhi hak dari masing-masing pihak. Selain itu, dalam perkawinan tentunya tindakan hukum yang dilakukan oleh suami isteri sering
melibatkan pihak ketiga, seperti halnya pemilikan hak atas tanah. Sehingga diperlukan pencatatan perjanjian perkawinan untuk memenuhi unsur publisitas agar pihak ketiga mengetahui dan mengikat pihak ketiga.
Berdasarkan hasil pembahasan, pengaturan perjanjian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, suami dan istri dapat memperjanjikan perihal terkait dengan pemisahan harta suami dan harta istri sehingga tidak terjadi percampuran harta. Perjanjian perkawinan memberikan perlindungan atas hak-hak yang diberikan oleh Negara kepada warga negara Indonesia, khususnya terkait hak atas kepemilikan tanah di Indonesia. Akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan dalam perkawinan campuran, tidak menjadikan perjanjian perkawinan tidak mengikat dan berlaku secara hukum kepada kedua belah pihak, tetapi hanya tidak memenuhi asas publisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UU Perkawinan dan peraturan turunannya dimana perjanjian perkawinan tersebut harus dicatatkan kepada pegawai pencatatan perkawinan sehingga atas perjanjian perkawinan tersebut dapat juga berlaku mengikat bagi pihak ketiga.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Cahyani, Tinuk Dwi. 2020. Hukum Perkawinan. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, 2020.
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. 2015. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia. Jakarta: Rizkita.
Mamudji, Sri, et al. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Purnomo, Agus dan Lutfiana Dwi Mayasari. 2021. Dinamika Hukum Perjanjian
Perkawinan di Indonesia: Kajian Terhadap Lembaga Eksekutorial dan Solusi Permasalahannya. Malang: Intelegensia Media.
Jurnal
Adonara ,Firman Floranta. (2021). Kewenangan Notaris Mengesahkan Perjanjian Kawin Sebagai Amanat Konstitusi. Jurnal Ilmu Kenotariatan. 1(2), 55-73. doi:
https://doi.org/10.19184/jik.v1i2.23599
Akbar, Abiandri Fikri dan Akhmad Budi Cahyono. (2021). Peran dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Dalam Bahasa Asing Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Jabatan Notaris. Pakuan Law Review. 7(2), 234-251. doi:
https://doi.org/10.33751/palar.v7i2.4098
Anisah, Nur. (2018). Pelaksanaan Perkawinan Campuran di KUA Tahunan, Jepara Dalam Tinjauan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Isti’dal. 5(1), 35-53, h. 36. doi: https://doi.org/10.34001/istidal.v5i1.854
Erwinsyahbana, Tengku. (2012). Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila. Jurnal Ilmu Hukum. 3(1), 166-178. doi:
http://dx.doi.org/10.30652/jih.v2i02.1143
Lestari, Dwi Endah. (2018). Akta Notaris Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Merek Dagang. Jurnal Hukum dan Kenotariatan. 2(2), 224-234. doi: http://dx.doi.org/10.33474/hukeno.v2i2.1503
Paramita, Erdhyan dan Irnawan Dadori. (2017). Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Oleh Pegawai Pencatat Perkaiwinan. Jurnal Repertorium. 4(2), 32-38. https://jurnal.uns.ac.id/repertorium/article/viewFile/18252/14458
Prasetyawan, Fhauzi. (2018). Peran Notaris Terkait Pengesahan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Justitia Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya. 2(1), 87-104. doi: http://dx.doi.org/10.30651/justitia.v2i1.1713
Sudarmawan, I Putu Gede Bayu. (2020). Status Kewarganegaraan Anak Hasil Perkawinan Campuran yang Lahir Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jurnal Analogi Hukum. 2(1), 88-92. doi: https://doi.org/10.22225/ah.2.1.2020.88-92
Widanarti, Herni. (2018). Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Harta Perkawinan (Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No:
536/Pdt.P/2015/PN.Dps). Diponegoro Private Law Review. 2(1), 161-169.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/dplr/article/view/2827/1767
Winandra, Desvia. (2020). Penerapan Asas Terang dan Tunai dalam Jual Beli Tanah yang Merupakan Harta Bersama dalam Perkawinan (Studi Putusan Nomor 1/PDT.G/2019/PN.LBT). Jurnal Hukum Adigama. 3(2), 1-24. doi:
http://dx.doi.org/10.24912/adigama.v3i2.10556
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria. UU Nomor 5 Tahun 1960. Lembaran Negara Nomor 014 Tahun 1960. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perkawinan. UU Nomor 1 Tahun 1974. Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. UU Nomor 24 Tahun 2013. Lembaran Negara Nomor 232 Tahun 2013. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5475.
Indonesia. Undang-Undang Jabatan Notaris. UU Nomor 2 Tahun 2014, Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 2014. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan. PP Nomor 9 Tahun 1975.
Indonesia. Peraturan Presiden Penggunaan Bahasa Indonesia. Perpres Nomor 63 Tahun 2019. Lembaran Negara Nomor 180 Tahun 2019.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahakan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet.41. Jakarta: Balai Pustaka, 2015.
228
Discussion and feedback