ACTA CtMITAS

Jurnal Hukum Kenotariatan

Vol. 7 No. 01 April 2022

e-ISSN: 2502-7573 | p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Penerapan Asas Equality Before The Law Dalam Pembuatan Akta Keterangan Waris Bagi Etnis Tionghoa di Indonesia

Nathasya Fransiska Nancy Kussoy1, I Made Dedy Priyanto2

1PT. Pinus Wahana Raya, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 7 Desember 2021 Diterima : 10 Januari 2022

Terbit : 1 April 2022


Abstract

Keywords :

Equality before the law;

Statement of Inheritance


The writing of this article is to find out the application of the principle of equality before the law in according to the Regulation Of The Minister Of State For Agrarian/Head Of The National Land Agency number 3 of 1997 concerning The Implementation Of Government Regulation number 24 of 1997 concerning Land Registration Article 111 paragraph 1 letter (c) especially with regard to distribution community groups related to the processing of inheritance certificates after the enactment of Law number 40 of 2008 concerning the Elimintation of Racial and Ethnic Discrimination. To answer this, the author uses a normative legal research, namely a research method that places positive legal norms as the object of study, in order to support this research, form the results of study that the distribution of community groups related to the management of inheritance certificates does not apply the principle of equality before the law because in the processing of the certificate of inheritance has different requirements for Indonesian citizens (native) and Indonesian citizens of Chinese descent, for native Indonesian citizens, the processing of an inheritance certificate can be done through the local urban village office and does not require a fee, while the citizens Indonesians of Chinese descent can make arrangements through a Notary which obviously requires a fee.

Kata kunci:

Equality before the law;

Keterangan waris


Corresponding Author:

Nathasya Fransiska Nancy

Kussoy, E-Mail:

[email protected]

DOI :


10.24843/AC.2022.v07.i01.p10


Abstrak

Penulisan artikel ini guna mengetahui penerapan asas equality before the law dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam Pasal 111 ayat 1 huruf (c) khususnya berkaitan dengan pembagian golongan masyarakat terkait dengan pengurusan surat keterangan waris setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Untuk menjawab hal tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian yang menempatkan norma hukum positif sebagai objek yang dikaji, norma hukum positif sebagai objek yang dikaji, guna mendukung penelitian ini, dari hasil penelitian bahwa dalam pembagian golongan masyarakat terkait dengan pengurusan surat keterangan waris tersebut tidak


menerapkan asas equality before the law dikarenakan pengurusan surat keterangan waris tersebut terdapat pembedaan syarat antara Warga Negara Indonesia asli (pribumi) dengan Warga Negara Indonesia keturunan tionghoa, terhadap Warga Negara Indonesia asli pengurusan surat keterangan waris dapat dilakukan melalui kantor kelurahan setempat dan tidak memerlukan biaya, sedangkanterhadap Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa dapat melakukan pengurusan melalui Notaris yang jelas memerlukan biaya.

  • I.    Pendahuluan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut (UUD NRI Tahun 1945) dalam Pasal 1 ayat (3) dengan tegas menyatakan Indonesia merupakan negara hukum, bahwa kedudukannya sebagai negara hukum memberikan konsekuensi bahwa dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara maka hukum harus dijadikan sebagai pondasi dengan kata lain hukum diletakkan sebagai panglima tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.1 Selain itu dalam suatu negara hukum juga terdapat pembatasan terhadap kebebasan kehendak dari pemegang kekuasaan.2 Sebagai negara hukum, Indonesia memberi konsekuensi dimana hukum harus bisa memberikan kepastian bagi masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.3 Sebagai negara hukum Indonesia menjamin adanya kesamaan dimuka hukum bagi setiap warga negara tanpa terkecuali seperti apa yang diatur pada UUD NRI Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) hal tersebut juga ditegaskan pada UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1) menyatakan setiap orang memiliki hak atas kepastian hukum yang berkeadilan serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.4 Keberadaan Pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memberikan gambaran bahwa Negara Indonesia dalam penegakan hukum serta pelayanan publik bagi masyarakat haruslah senantiasa menganut asas equality before the law atau yang sering dikenal dengan asas persaman di mata hukum. Asas equality before the law selain dianut dalam UU NRI Tahun 1945 juga dikenal dalam dunia internasional hal tersebut didasarkan pada ketentuan dalam pasal 7 Deklarasi Universal HAM. Perlakuan yang sama tanpa ada pengecualian merupakan konsepsi dasar dari adanya asas equality before the law.

Keberadaan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dengan tegas mengatur tentang asas equality before the law. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan UUD NRI Tahun 1945 mempunyai kedudukan paling tinggi atau dengan kata lain menjadi sumber hukum tertinggi memberikan konsekuensi hukum

bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari UUD NRI Tahun 1945 haruslah menjadikan asas equality before the law sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh peraturan perundang-undangan lainnya. Asas equality before the law diupayakan agar dapat diterapkan dalam setiap peraturan perundang-undangan tanpa terkecuali.

Mengingat Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 111 ayat 1 huruf (c), selanjutnya disebut (PerMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997) yang pada pokoknya menyatakan membagi masyarakat dalam beberapa kelompok berkaitan dengan pengurusan surat keterangan alhi waris, bagi penduduk asli warga negara Indonesia surat keterangan ahli waris dapat dibuat sendiri serta dikuatkan oleh kelurahan/ kepala desa dan disaksikan oleh 2 orang saksi sedangkan untuk warga negara Indonesia keturunan tionghoa hal tersebut harus melalui notaris. Ketentuan sebagaimana dimaksud tersebut ditujukan bagi para ahliwaris yang hendak mengurus peralihan hak terhadap harta warisa baik secara langsung maupun melalui kuasanya.

Keberadaan ketentuan hukum yang membedakan perlakuan berupa syarat guna pengurusan peralihan hak oleh ahli waris tersebut seolah-olah memberikan kesan bahwa dalam ketentuan tersebut secara tidak langsung telah memberikan pembedaan terhadap ras/golongan dengan penggunaan frasa “penduduk Indonesia asli” dan “penduduk Indonesia keturunan tionghoa” atau yang berarti keberadaan ketentuan dalam pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 telah menggunakan istilah yang mana pernah diatur dalam Indische Staatregeling khususnya pasal 131 dan pasal 163, ketentuan tersebut menjadi dasar pembagian golongan di Indonesia menjadi golongan Eropa, Timur Asing, bumiputera, sedangkan disisi lain keberadaan dari pada ketentuan tersebut oleh ketentuan dalam Intruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tertanggal 27 Desember 1966 telah ditiadakan, hal tersebut guna mencegah terciptanya perpecahan di dalam masyarakat Indonesia.5

Keberadaan dari Undang-Undang 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Dikriminasi Ras dan Etnis secara tidak langsung, selanjutnya disebut (UU No. 40 Tahun 2008) juga menegaskan tentang peniadaan dari pada istilah “penduduk indonesia asli” dan “penduduk indonesia keturunan tionghoa” sebagaimana digunakan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf c PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 tersebut, hal tersebut dikarenakan penggunaan istilah “penduduk Indonesia asli” dan “penduduk Indonesia keturunan tionghoa” secara tidak langsung telah membagi masyarakat Indonesia menjadi beberapa golongan yang mana hal tersebut mengarah pada adanya suatu bentuk diskriminasi.

Penggunaan frasa “penduduk Indonesia asli” dan “penduduk Indonesia keturunan tionghoa” berkaitan dengan syarat peralihan hak atas tanah oleh ahli waris tersebut juga memberikan perbedaan perlakuan, perbedaan perlakuan tersebut dapat dilihat yang mana “penduduk Indonesia asli” guna memenuhi syarat untuk peralihan hak atas tanah diwajibkan membuat surat keterangan waris yang dapat dibuat sendiri serta ditegaskan oleh Kelurahan maupun Kecamatan sedangkan terhadap “penduduk Indonesia

keturunan tionghoa” harus membuat keterangan waris di buat oleh/dihadapan notaris. Berdasarkan hal tersebut penulis tujuan dari penelitian ini yaitu guna mengetahui dan menganalisis penerapan asas equality before the law dalam pembuatan Akta keterangan waris bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Kedudukan hukum ketentuan Pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Berdasarkan hal tersebut penulis mengambil rumusan masalah yaitu: 1) bagaimana penerapan asas equality before the law dalam pengurusan surat keterangan waris? 2) bagaimana Kedudukan Pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 dengan adanya UU No 48 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis? Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana Penerapan asas equality before the law dalam pengurusan surat keterangan waris dan untuk mengetahui bagaimana Kedudukan pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 dengan adanya UU No 48 Tahun 2008.

Penelitian yang serupa juga pernah diteliti berkaitan dengan akta keterangan waris juga pernah ditulis dalam jurnal oleh Gede Afriliana Saputra, G. A.A Ariani, I Dewa Gede Palguna dengan judul Dasar Hukum Notaris Dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris akan tetapi dalam pembahasannya lebih menekankan pada dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada dalam pembuatan surat keterangan waris,6 sedangkan dalam penelitian ini, penulis membahas akta keterangan hak mewaris dikaitkan dengan asas equality before of the law. Jurnal yang ditulis oleh Ketut Nindy Rahayu Sugitha dan Cokorda Dalem Dahana dengan judul Urgensi Pengaturan Pembuatan Surat Keterangan Waris Terkait Pembagian Golongan Penduduk Di Indonesia, dalam jurnal tersebut juga membahas tentang surat keterangan waris, akan tetapi dalam pembahasannya lebih menekankan pada urgensi dari pada adanya pembagian golongan penduduk dalam pengaturan tentang pembuatan surat keterangan waris,7 sedangkan dalam penelitian ini, penulis membahas akta keterangan hak mewaris dikaitkan dengan asas equality before of the law. Maka dari itu, tentu adanya pembeda atau hal-hal baru yang dibahas oleh penulis dalam penelitian ini sehingga berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang Penerapan Asas Equality Before The Law Dalam Pembuatan Akta Keterangan waris Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa.

  • 2.    Metode Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah sebagaimana diatas, jenis penelitian yang digunakan penulis yakni penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.8 Dengan menggunakan metode penelitian ini menempatkan norma hukum positif sebagai objek yang dikaji hal tersebut dikarenakan fokus kajian berangkat dari adanya disinkronisasi norma antar norma yaitu norma yang terdapat dalam Pasal 111

ayat 1 huruf (c) PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008, selain adanya disinkronisasi norma juga terdapat adanya kekaburan norma terkait dengan siapa yang dimaksud dengan WNI keturunan tionghoa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Jenis pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analisis konsep. Sumber Bahan hukum dalam penelitian ini yaitu bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal ilmiah, serta pendapat dari para sarjana serta bahan hukum tersier berupa kamus hukum, dan internet sepanjang berkaitan dengan objek penelitian hukum ini. Guna mengolah bahan hukum berkaitan dengan penelitian ini, penulis memilih teknik konstruksi yang dengan menggunaakan pola-pola yuridis sebagai teknik penulisan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis adalah metode deskriptif sekaligus kualitatif. Deskriptif adalah menganalisis data dengan cara memaparkan secara terperinci dan tepat perihal fenomena tertentu terkait dengan penulisan hukum ini. Kualitatif adalah menganalisis pemaparan hasil-hasil penulisan yang sudah disistematisasikan tersebut dengan kajian dari teori-teori hukum dan hukum positif. Hal ini guna menjelaskan permasalahan penelitian hukum dengan kalimat yang logis, bersifat ilmiah dan mudah dipahami.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Penerapan Asas Equality Before The Law Dalam Pengurusan Surat Keterangan Waris bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa

Semua orang adalah sama dimuka hukum merupakan konsep sederhana dari asas Equality Before The Law yang menjadikan asas ini mempunyai peran guna penegakan hukum di era modern ini.9 Konsep sederhana dari asas tersebut di Indonesia juga dianut sebagai suatu bentuk dari pengakuan hak asasi manusia bahkan dengan tegas di atur dalam UUD NRI tahun 1945 yang dalam kedudukannya merupakan sumber hukum tertinggi Negara Republik Indonesia khususnya dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1). Asas equality before the law menandakan Indonesia merupakan negara hukum karena asas ini dapat disebut sebagai manifestasi dari pada negara hukum.10

Asas tersebut memberikan arta bahwa terhadap setiap masyarakat harus diperlakukan secara adil tanpa memandang latar belakang, baik itu latar belakang Pendidikan, ekonomi, agama, ras maupun etnis atau dengan kata lain pemerintah haruslah meniadakan perlakuan diskriminatif dalam kehidupan bernegara.11

Asas equality before the law memberikan kesetaraan untuk setiap individu dalam hukum tanpa adanya pengecualian. Asas equality before the law merupakan asas mendasar yang bersumber dari pengakuan akan hak asasi manusia, selain itu asas ini juga mendapat

tempat dalam hukum positif sehingga dapat disimpulkan bahwa asas equality before the law mutlak diperlukan dalam negara yang demokratis dan berdasarkan hukum. Asas tersebut mempunyai kedudukan sebagai prinsip dasar dalam negara hukum dipandang dari tataran teoritik.

Keberadaan asas equality before the law dalam UUD NRI Tahun 1945 memberikan jaminan kepada seluruh masyarakat guna memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum akan tetapi tidak terkecuali. Jika kita melihat jauh kebelakang di Indonesia sendiri, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap asas equality before the law baik itu didasarkan pada kebijakan pemerintah maupun UU. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pengolongan masyarakat yang pernah berlaku di Indonesia sebagai mana yang diatur dalam Indische Staatregeling khususnya Pasal 131 dan Pasal 163, ketentuan tersebut menjadi dasar pembagian golongan menjadi 3 (tiga) yaitu golongan eropa, timur asing, bumiputera, pembagian tersebut sengaja diadakan pada zaman kolonial sebagai wujud dari suatu politik hukum Belanda yang dikenal dengan istilah “politik memecah belah” yang dimaksudkan untuk memecah belah kesatuan masyarakat Indonesia.12

Konsekuensi dari adanya pembagian masyarakat Indonesia berdasarkan golongan tersebut juga terbawa dalam pengaturan terkait dengan pengurusan peralihan hak atas tanah oleh ahli waris baik secara langsung maupun melalui kuasanya sebagaimana di atur dalam PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 Pasal 111 ayat 1 huruf (c), yang pada pokoknya membagi masyarakat dalam beberapa kelompok berkaitan dengan pengurusan surat ahli warisan, bagi penduduk warga negara Indonesia yang asli surat ahli warisan dapat dibuat sendiri dengan dikuatkan oleh kelurahan/ kepala desa dan disaksikan oleh 2 orang saksi sedangkan untuk WNI keturunan tionghoa hal tersebut harus melalui notaris. Ketentuan sebagaimana dimaksud tersebut ditujukan bagi para ahli waris yang hendak mengurus peralihan hak terhadap harta warisan baik secara langsung maupun melalui kuasanya.

Dasar hukum pembagian golongan dalam pengurusan surat keterangan ahli waris yakni pada peraturan mengenai pertanahan, sehingga hal tersebut hanyalah berkaitan dengan pengurusan tanah. Surat keterangan waris sering juga dijadikan sebagai dasar guna melakukan perbuatan-perbuatan hukum diluar tanah misalnya perbuatan hukum menjaminkan maupun menggadaikan harta warisan hal tersebut dikarenakan belum adanya ketentuan hukum khusus mengatur tentang surat keterangan waris sehingga dalam pelaksanaannya penggunaannya surat keterangan waris dipergunakan dalam berbagai perbuatan hukum.13 Dalam proses pengambilan atau penarikan uang yang beratasnamakan pewaris pada suatu bank atau asuransi, maka surat keterangan ahli waris dapat dijadikan sebagai alat bukti bagi ahli waris guna melakukan tindakan hukum tersebut.14 Surat keterangan ahli warispun dapat menjadi dasar para ahli waris

untuk secara bersama-sama melakukan pengurusan peralihan hak milik terkait dengan objek hak atas tanah tersebut dikantor pertanahan.15 Sehingga dapat disimpulkan jika surat keterangan ahli waris merupakan bukti tertulis yang dapat bersifat autentik sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam perbuatan hukum terkait dengan harta warisan. Selain itu juga dapat menjadi bukti yang sah dan memiliki pembuktian yang sempurna.16

Keberadaan dari pada ketentuan terkait pembedaan golongan tersebut jelas telah menciderai nilai serta falsafah bangsa Indonesia yang mengharapkan adanya persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. Selain dari pada itu keberadaan dari ketentuan tersebut apa bila diterapkan saat ini juga menciptakan adanya suatu kekaburan norma beraitan dengan penentuan siapa yang dimaksud dengan “warga negara Indonesia asli” dan siapa yang dianggap sebagai “warga negara Indonesia keturunan tionghoa” mengingat berdasarkan pada Berdasarkan UU No 40 Tahun 2008 secara tidak langsung telah mentiadakan penggolongan masyarakat berdasarkan pada etnis, latar belakang diadakannya Undang-undang tersebut dikarenakan setiap manusia dilahirkan dengn martabat, derajat hak dan kewajiban yang sama sehingga dengan demikian setiap manusia memiliki kedudukan sama dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia dilahirkan dari berbagai ras maupn etnis hal tersebut merupakan anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri serta merupakan hak absolut hal tersebut dikarenakan ras maupun etnis bukan merupakan pilihan bagi seseorang ketika dilahirkan oleh karena itu perbedaan ras dan etnis tidak boleh dijadikan sebagai dasar pembeda dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya, agama, ras dan etnis merupakan kemajemukan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak menutup kemungkinan dapat menjadi pemicu adanya konflik.

Ras dan etnis di Indonesia sering dijadikan sebagai penyebab diskriminasi, diskriminasi berdasarkan pada perbedaan-perbedaan dalam kelompok masyarakat tersebut sering terjadi dalam beberapa sector kehidupan diantaranya sector pekerjaan sector ekonomi, serta sektor social akibat dari adanya diskriminasi tersebut diantaranya perusakan, perkelahian bahkan pembakaran serta pembunuhan yang menimbulkan kerugian bukan hanya secara materil tepati juga memakan korban jiwa. Kerugian bagi masyarakat baik itu secara luas maupun kerugian bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Pembangunan nasional pun menjadi terhambat dengan adanya konflik tersebut, selain itu juga konflik tersebut juga dapat mengganggu hubungan persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, keamanan serta perdamaian negara baik secara nasional maupun internasional.

Keresahan, perpecahan serta kekerasan mental dan fisik serta sosial yang mana keseluruhaannya adalah hal yang menciderai hak asasi manusia, hal tersebut merupakan akibat dari adanya diskriminasi ras dan etnis. Melalui Resolusi Majelis

Umum PBB 2106 A (XX) yang telah disetujui oleh PBB lahirlah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. sebagai anggota PBB, Indonesia berdasarkan UU No 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination, selanjutnya di sebut (UU No. 29 Tahun 1999) telah meratifikasi konvesi tersebut. Undang-Undang tersebut jugalah yang menjadi acuan penghapusan diskriminasi yakni UU No. 40 Tahun 2008

  • 3.2    Kedudukan pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 Dengan Adanya UU No 40 Tahun 2008.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beradab yang mana berdasarkan pada Pancasila telah meletakan HAM sebagai bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selain itu juga menjunjung tinggi harkat serta martabat manusia yang juga telah ditegaskan dalam UUD 1945 sebagai bentuk perjuangan dalam melawan segala tindakan diskriminasi yang didasarkan pada adanya perbedaan ras dan etnis serta golongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keberadaan UU No 40 Tahun 2008 sebagai dasar hukum yang menghapus segala pembedaan/pembagian golongan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia merupakan sebuah bentuk pencegahan terhadap adanya konflik-konflik yang terjadi ditengah masyarakat yang sering dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan ras dalam masyarakat. Beberapa konflik yang yang terjadi di Indonesia tersebut secara tidak langsung menunjukan bahwa di Indonesia masih terdapat tindakan-tindakan yang bersifat diskrimintif sebagai akibat dari adanya perbedaan ras/ golongan dalam masyarakat, memang dalam sejarah kehidupan bernegara di Indonesia tidak bisa kita pungkiri bahwa pernah terjadi konflik besar yang diakibatkan oleh adanya perbedaan ras tersebut. Konflik yang terjadi tersebut juga oleh sebagian oknum dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum lainnya seperti pembakaran, perusakan, perkelahian, pelecehan, pemerkosaan serta pembunuhan, sehingga hal tersebut kiranya dapat menjadi pembelajaran penting bagi Bangsa Indoensia untuk kedepannya diharapkan tidak pernah terjadi lagi konflik-konflik yang disebabkan oleh adanya perbedaan ras/ golongan maupun etnis dalam masyarakat. UU No. 40 Tahun 2008 tersebut merupakan solusi yang diberikan untuk mengurangi atau mencegah timbulnya konflik-konflik yang baru yang didasarkan oleh adanya perbedaan ras/ golongan maupun etnis. Konflik yang pernah terjadi di Indonesia sebagai akibat adnaya perbedaan ras dan golongan serta etnis di Indonesia yang sebagian oknum dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum lainnya seperti pembakaran, perusakan, perkelahian, pelecehan, pemerkosaan serta pembunuhan menyebabkan perpecahan, keresahan serta kekerasan baik itu mental maupun fisik merupakan bentuk dari pelanggaran HAM sehingga kita sebagai masyarakat dari bangsa yang beradab sudah seharusnya turut serta mencegah terjadiya konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan ras golongan serta etnis tersebut.

Keberadaan UU No 40 Tahun 2008 sebagai amanat yang secara konstitusional telah diberikan oleh UUD NRI 1945 yang secara tegas meniadakan perbedaan ras/golongan serta etnis tersebut guna mencegah adanya konflik dalam masyarakat juga harus didukung oleh adanya penghapusan segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih menerapkan perbedaan ras/ golongan serta etnis tersebut. Penerapan hukum yang didasarkan pada perbedaan ras etnis maupun golongan dapat kita lihat

juga dalam ketentuan pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997 yang isinya masih menggunakan istilah “warga negara Indonesia asli” dan “warga negara Indonesia keturunan Tionghoa” istilah yang digunakan dalam ketentuan tersebut secara jelas telah membedakan masyarakat berdasarkan pada ras maupun etnis sehingga dengan demikian ketentuan dalam peraturan tersebut tidaklah mendukung cita-cita bangsa dalam melakukan pencegahan terhadap konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan ras maupun etnis serta tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2008 tersebut yang dengan tegas menghapus segala bentuk diskriminasi yang didasarkan oleh adanya perbedaan ras dan etnis salah satunya dengan menghapuskan istilah WNI asli dan WNI keturunan tionghoa sebagaimana yang digunakan dalam peraturan Menteri tersebut di atas.

Berkaitan dengan adanya penggolongan masyarakat berdasarkan pada ras dan etnis dengan adanya penggunaan istilah WNI asli dan WNI keturunan tionghoa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri tersebut merujuk pada pengurusan surat keterangan waris guna pelaksanaan pengurusan peralihan hak dari pewaris kepada ahliwaris. Penggolongan masyarakat berdasarkan ras dan etnis tersebut juga berimplikasi prosedur pengurusan surat keterangan waris bagi WNI asil dan WNI keturunan tionghoa. Perbedaan prosedur pengurusan surat keterangan waris tersebut sampai saat ini masih eksis diterapkan dalam masyarakat dan notaris sebagai pihak yang diberikan kewenangan untuk membuat akta keterangan waris bagi WNI keturunan tionghoa juga tetap melaksanakan kewenangannya tersebut, walaupun demikian masih terdapat beberapa masyarakat yang digolongkan sebagai WNI keturunan tionghoa yang melakukan pengurusan surat keterangan waris ke kantor kelurahan/ desa setempat. Perbedaan prosedur pengurusan surat keterangan waris berdasarkan pada ras dan entis tersebut sejauh ini belum dapat dipahami tujuan diadakannya ketentuan tersebut alasan substansif dari pada adanya pembedaan tersebut ditambah lagi dengan adanya UU No. 40 Tahun 2008 membuat keberadaan dari Pembedaan prosedur pengrusuan surat keterangan waris berdasarkan pada ras dan etnis semakin tidak relevan.

Keberadaan UU 40 Tahun 2008 membuat adanya kekaburan norma terkait dengan istilah WNI asli dan WNI keturunan tionghoa yang masih digunakan dalam peraturan Menteri tesebut di atas. Akibat dari adanya kekaburan norma berkaitan dengan penentuan “warga negara Indonesia asli” dan “warga negara Indonesia keturunan Tionghoa” jelas memberikan ketidakpastian hukum terkait pembuatan surat keterangan ahli waris bagi masyarakat yang memerlukannya. Kekaburan norma juga bukan hanya terkait dengan siapa yang dimaksud dengan “warga negara Indonesia asli” dan siapa yang dianggap sebagai “warga negara Indonesia keturunan Tionghoa” akan tetapi juga berkaitan dengan siapakah yang mempunyai kewenangan terkait pembuatan surat keterangan mewaris setelah adanya UU Nomor 40 Tahun 2008 apakah sama dengan kewenangan tersebut masih tetap sesuai dengan pembagian sebagaimana yang diatur dalam pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997 ataukah tidak lagi mengacu pada aturan tersebut, di sisi lain jika kita berkaca dari ketentuan dalam UU Jabatan Notaris Sendiri juga tidak mengatur mengenai kewenangan membuat akta

keterangan waris.17 Kekaburan norma tersebut juga dapat berpengaruh pada notaris yang menjalankan kewenangannya berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan surat keterangan waris sebagai syarat dalam peralihan hak oleh ahli waris. Berdasarkan Pada 229 ayat (2), (3) dan (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah juga tidak menyebutkan adanya pengaturan mengenai kewenangan kepala desa/lurah guna menguatkan surat hak mewaris yang dibuat oleh ahli waris dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

Keberadaan pembedaan golongan penduduk berkaitan dengan pengurusan surat keterangan waris setelah adanya UU Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etins juga memberikan suatu ketidakpastian hukum berkaitan dengan akibat hukum terkait adanya penggunaan surat keterangan waris yang tidak sesuai dengan penggolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997. Berkaitan dengan adanya akibat hukum terkait adanya penggunaan surat keterangan waris yang tidak sesuai dengan penggolongan, jika dilihat dari ketentuan dalam PerMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997 maka tidak ditemukan jawaban terhadap permasalahan tersebut sehingga dengan dimikian hal tersebut merupakan suatu ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

Guna menjawab ketidakpastian hukum berkaitan dengan adanya pembagian golongan penduduk berkaitan dengan pengurusan surat keterangan ahli waris setalah adanya UU No. 40 tahun 2008 maka perlu dikaji terlebih dahulu terkait dengan asas-asas hukum yang berkaitan dengan konflik antar peraturan perundang-undangan. Asas yang berkaitan dengan adanya konflik antar peraturan perundang-undangan diantaranya Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, Asas Lex Posteriori Derogatt Legi Priori dan Asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori.

Dari ketiga asas diatas, maka Asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori yang merupakan asas yang tepat guna mengkaji masalah yang diangkat, asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori mempunyai makna bahwa norma hukum yang lebih tinggi kedudukannya dapat mengkesampingkan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya apa bila mengatur hal yang sama akan tetapi saling bertentangan satu dengan yang lainnya.18 Berkaitan dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia maka dengan acuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 yang mana mengurutkan urutan perundang-undangan dari yang tertinggi sampai yang terendah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelas bahwa UU No. 40 Tahun 2008 dapat mengesampingkan ketentuan dalam pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KaBPN No. 3 tahun 1997 sehingga dengan demikian maka sudah sepatutnya ketentuan mengenai pembedaan golongan dalam pengurusan surat keterangan waris haruslah ditiadakan.

Pembedaan golongan dalam pengurusan surat keterangan waris jelas secara langsung menggambarkan seolah-olah adanya ketidaksamaan perlakuan dalam masyarakat yang didasarkan pada penggolongan masyarakat. Berdasarkan pada penejelasan di atas jelas

bahwa pembagian golongan merupakan suatu tindakan diskriminasi serta suatu perbuatan yang menciderai ketentuan-ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 diantaranya pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Secara prosedural dengan adanya Pembedaan golongan dalam pengurusan surat keterangan waris memberikan sedikit konsekuensi berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan guna memperoleh surat keterangan ahli waris, untuk penduduk warga negara Indonesia asli yang hendak membuat surat ahli waris dapat dibuat sendiri dengan hanya membutuhkan penegasan dari kelurahan setempat tidak memakan biaya dibandingkan ketika warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang akan membuat surat keterangan ahli waris yang harus melalui jasa notaris yang jelas membutuhkan biaya lebih. Konsekuensi tersebut jika dikaitkan dengan UU No. 40 Tahun 2008 yang menggambarkan pembagian golongan sebagai bentuk dari diskriminasi maka dapat dipastikan bahwa keberadaan dari pada pembagian golongan dalam pengurusan surat keterangan waris tersebut tidaklah sesuai dengan prinsip equality before the law.

  • 4.    Kesimpulan

Pengurusan surat keterangan waris bagi WNI keturunan tionghoa dalam pelaksanaannya tidak menerapkan asas equality before the law dikarenakan berdasarkan apa yang diatur pada Pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KaBPN No. 3 tahun 1997 yang menjadi dasar hukum dalam Pengurusan surat keterangan waris telah mendiskriminasi WNI keturunan tionghoa dengan adanya penggolongan masyarakat serta perbedaan perlakuan terhadap WNI keturunan tionghoa. Ketentuan dalam Pasal 111 ayat 1 huruf (c) PerMNA/KaBPN No. 3 tahun 1997 menjadi tidak berlaku dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis yang meniadakan adanya pembagian golongan masyarakat berdasarkan ras dan etnis.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Budiono, Herlien. (2013). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harun, Arsyad. (2010). Tinjauan Yuridis Surat Keterangan Hak Waris Bagi Penduduk di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

HR, Ridwan (2014). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali

Marzuki,Peter Mahmud.2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenida Media.

Sochmawardiah. Hesti A. (2013). Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa. Yogyakarta: Genta.

Jurnal

Aedi, A. U., FX Adji S. (2016). Rekonstruksi Asas Kesamaan Di HadapanHukum: Equality Before The Law. Jurnal Law   Reform,   2(8),   1-19,   doi:

https://doi.org/10.14710/lr.v8i2.12421.

Kurniawan, M.I., (2021). Penerapan Asas Persamaan di Hadapan Hukum dalam

Praktik Peradilan Pidana. Jurnal Studi Hukum Pidana, 1(1), 23-28. doi:

http://repositori.lshp.or.id/index.php/jurnal/article/view/30 .

Mahendrawati, H.P.Y.,(2019). Inkonsistensi Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 dan Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019 Terkait Peraturan Jabatan Notaris. Jurnal Acta        Comitas,        4(3),        452-464.                DOI        :

https://doi.org/10.24843/AC.2019.v04.i03.p10.

Pramana, R. M. H. W. B., Suhariningsih, Boediono. A.R. (2014). Analisis Yuridis Surat Keterangan Waris Sebagai Alat Bukti. Jurnal Hukum, 1(1), 1-25. doi:

http://dx.doi.org/10.24912/adigama.v3i2.10606.

Saputra, G.A, Ariani,I.G.A.A, dan Palguna, I.D.G. (2016). Dasar Hukum Notaris Dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 1(2). 219-229, doi: https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p09

Sari, N.K.N., Sihabudin, Bambang Sutjito. (2019). Penggolongan Penduduk Dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris Terkait Pendaftaran Hak Atas Tanah Setelah Berlakunya UU No 12 Tahun 2006. Jurnal Rechtidee, 14(2), 207-224. doi:

https://doi.org/10.21107/ri.v14i2.2874.

Sugitha, N. R, Dahana, C.D. (2021). Urgensi Pengaturan Pembuatan Surat Keterangan Waris Terkait Pembagian Golongan Penduduk di Indonesia. Acta Comitas:Jurnal Hukum          Kenotariatan,           6(3),          523-534.          DOI:

https://doi.org/10.24843/AC/2021.v06.i03.p5.

Suka’arsana, I.K., Wangga. M. S. E (2016). Pengesampingan Prinsip Persamaan Dimuka Hukum Atas Izin Pemeriksaan Pejabat Negara. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, 45(1), 11-17. doi: 10.14710/mmh.45.1.2016.11-17

Walukow. J. M., (2013). Perwujudan Prinsip Equality Before The Law Bagi Narapidana Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Lex et Societatis, 1(1), 163-172. doi: https://doi.org/10.35796/les.v1i1.1320

Tesis atau Disertasi

Mohamad B Rifai. 2016. Asas Persamaan Hak Dimuka Hukum Menurut Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 Dikaitkan Dengan Penangguhan Penahanan Pasal 31 Ayat ( 1 ) Kuhap Dan Implementasinya Dalam Praktek. Tesis Fakultas Hukum Universitas Pasundan. Diakses dari http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/13973.

Hanum, Latifah. 2016. Kekuatan Hukum Surat Keterangan Ahli Waris Yang Dikeluarkan Kepala Desa Sebagai Alas Hak Dalam Pembuatan Akta Pengikatan Jual Beli (PJB) Oleh Notaris Bagi WNI Bumiputera. Tesis Program Magister Hukum,   Universitas   Sumatera   Utara   Medan.    Diakses    dari:

https://media.neliti.com/media/publications/161445-ID-kekuatan-hukum-surat-keterangan-ahli-war.pdf

Peraturan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrim 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852).

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4919).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

132