Vol. 7 No. 01 April 2022

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas


Kedudukan Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dilangsungkan Terhadap Pihak Ketiga


Ida Bagus Adhitya Prayoga D.1, Dewa Gede Pradnya Yustiawan2


1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]


Info Artikel

Masuk : 8 September 2021

Diterima : 11 Desember 2021

Terbit : 1 April 2022


Keywords :

Legal standing; Agreement;

Marriage


Kata kunci:

Kedudukan Hukum;

Perjanjian; Perkawinan


Corresponding Author:

Ida Bagus Adhitya Prayoga D., E-mail: [email protected]


DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i01.p09


Abstract

The purpose of this paper is to determine the arrangement of the marriage agreement before the decision of the constitutional court number 69/PUU-XII/2015 and the position of the marriage agreement made after the marriage took place against a third party. The method used in this research is the normative method and the type of approach used is the law and conceptual. Marriage agreements are more about property and there is no clear understanding of this. Marriage is regulated in Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and the marriage agreement is regulated in Article 29 of Law Number 1 of 1974 which discusses the time of making a marriage agreement. Prior to the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015, prospective husband and wife who will make a marriage agreement must comply with Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, namely Article 29 paragraph (1) which discusses the time of making of the marriage contract. marriage agreement. In the Decision of the Constitutional Court number 69/PUU-XII/2015 which allows the marriage contract to be made after marriage, it will have an impact on third parties related to debt. Marriage agreements relate to third parties starting from the registration of the agreement.

Abstrak

Dalam penulisan ini mempunyai tujuan untuk dapat mengetahui pengaturan mengenai perjanjian perkawinan sebelum adanya putusan mahkamah konstitusi nomor 69/PUU-XII/2015 dan kedudukan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan terhadap pihak ketiga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif dan jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang dan konseptual. Dalam pengertian perjanjian perkawinan, tidak adanya pengertian yang spesifik terhadap hal ini, namun dari semua pengertian yang berbeda perjanjian perkawinan lebih besar membahas mengenai harta benda. Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang spesifik membahas mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, calon pasangan suami-istri yang


hendak untuk membuat perjanjian perkawinan harus patuh terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu pada Pasal 29 ayat (1) yang membahas mengenai waktu pembuatan dari perjanjian perkawinan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XII/2015 yang mengizinkan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah pernikahan akan berpengaruh bagi pihak ketiga terkait adanya hutang piutang. Perjanjian perkawinan dibuat bersifat mengikat pihak ketiga yang terhitung saat didaftarkannya perjanjian.

  • I.    Pendahuluan

Manusia akan selalu berinteraksi dengan sesama dan tidak pernah bisa hidup sendiri. Setiap manusia juga akan memilih pasangannya untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan perkawinan yang sekaligus merupakan hal yang sangat penting yang pasti akan dijalankan oleh setiap manusia pada umumnya. Perkawinan terlaksana untuk menciptakan garis keturunan selanjutnya yang akan menjadi generasi penerus dalam keluarga dan hal tersebut diatur oleh hukum dan diakui oleh Negara. Perkawinan terlaksana dikarenakan manusia dibekali naluri untuk hidup berdampingan dengan lawan jenisnya. Perkawinan juga bisa di artikan sebagai sebuah ikatan sakral yang dilakukan setiap orang terhadap lawan jenisnya dan membentuk sebuah keluarga.

Sebuah keluarga terbentuk karna didasari dari adanya sebuah hubungan yang diikat secara sah dimata hukum dan adat, sehingga seseorang mampu membentuk sebuah keluarga yang nantinya mempunyai keturunan guna meneruskan generasi yang akan melanjutkannya. Generasi inilah yang nantinya akan membentuk sebuah keluarga kembali dan meneruskan keturunannya berikutnya. “Perkawinan adalah suatu ikatan bathin seumur hidup untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang kekal dan abadi, antara laki-laki dan perempuan yang disebut dengan suami– istri), tujuan yang paling utama dari sebuah perkaiwnan adalah tidak lain dan tidak bukan untuk mendapatkan keturunan sebagai penerus garis keturunan keluarga.”1

Ikatan Perkawinan tentu bisa dikatakan menjadi hal yang sakral dan penting sehingga dapat juga menimbulkan suatu perbuatan hukum tentunya, hal tersebut tentu di atur dalam sebuah peraturan yang diharapkan mampu memberikan sebuah keadilan dari pihak-pihak yang ada di dalamnya. Segala bentuk pengertian dan aturan yang dilarang ataupun dibolehkan khususnya membahas perkawinan diatur didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya disebut UU Perkawinan, sehingga hal tersebut menjadi pedoman untuk dapat menjalankan segala jenis aturan mengenai perkawinan dengan baik.

Peraturan mengenai perkawinan di Indonesia sangatlah beragam, karena peraturan mengenai perkawinan di setiap daerah dipengaruhi besar dari adat istiadat setempat

dan juga dipengaruhi dari faktor keyakinan masyarakat melihat banyaknya adat budaya yang ada di Indonesia. “Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat”2

Seiring berjalannya waktu, perkawinan menciptakan sebuah kebahagiaan bagi setiap manusia, akan tetapi bisa juga menciptakan sebuah masalah di dalamnya. Di dalam sebuah perkawinan tidak selalu memberikan keadaan yang harmonis dalam keluarga, akan tetapi bisa juga timbul sebuah permasalah bahkan hingga terjadinya perceraian yang dirasa siapapun tidak menginginkannya. Permasalahan di dalam sebuah hubungan dirasa sanagat wajar terjadi, namun apabila terjadinya masalah yang besar tentu akan menimbulkan hal yang sanagat serius. Hal tersebutlah yang bisa saja menjadi sebuah konsekuensi hukum di dalam keluarga tersebut, baik bagi suami ataupun istri. Banyaknya permasalahan hukum yang muncul dari adanya perkawinan tersebut ialah, mengenai tentang hak serta kewajiban dari setiap pihak sepanjang perkawinan itu dilangsungkan, pertanggungjawaban mereka untuk merawat, menjaga, dan membesarkan anak-anaknya, konsekuensi juga terhadap adanya harta benda yang dihasilkan pada saat pernikahan ataupun kekayaan yang dibawa sebelum adanya pernikahan, serta lain-lainnya.3 Hal-hal ini perlu diperhitungkan oleh semua orang yang akan berumah tangga untuk menghindari adanya permasalahan pada masa mendatang yang mengganggu perkawinannya tersebut, “kebutuhan atas hidup bersama tersebut kemudian diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang jika meninjau dari aspek politik hukumnya dijelaskan bahwa kebutuhan hidup bersama merupakan sebuah hak kodrati seorang manusia.”4

Harta benda memang menjadi sebuah dilema tersendiri, karena sering kali harta benda menjadi masalah utama dalam sebuah rumah tangga. Jika membahas mengenai harta benda pada perkawinan, maka pada dasarnya harta perkawinanpun menjadi satu, dan yang lebih dikenal dengan harta bersama. Harta benda dirasa sangat sensitif untuk dibicarakan oleh semua kalangan, tidak terkecuali pasangan suami istri. Lalu apabila dikemudian hari terjadinya putusan perkawianan atau perceraian, harta yang didapat pada saat pernikahan pun akan selalu menimbulkan persoalan yang begitu rumit dalam pembagiannya secara adil, justru selalu menjadi masalah yang Panjang dan berlarut-larut yang tentu menjadi persoalan tersendiri terhadap pihak-pihak yang bersangkutan didalamnya. Adanya harta bersama sebagai akibat hukum dilangsungkannya suatu perkawinan tidak jarang menimbulkan sebuah konflik. Terbentuknya Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan menjadi sebuah jalan keluar agar terhindar dari masalah-masalah tersebut.

Walaupun aturan mengenai perkawinan sudah dirancang dengan baik dalam peraturan perundang-undangan, tetapi hal tersebut bukan sebuah jaminan bahwa peraturan tersebut berjalan dengan baik pada kenyataannya. Masalah demi masalah yang sering kali muncul dalam perkawinan sebagian besar menyangkut permasalahan mengenai harta benda. Untuk mengantisipasi timbulnya persoalan menganai masalah harta benda di dalam perkawinan maka berkembang pula tentang pembuatan perjanjian perkawinan yang bisa mengatur hak serta akibat hukum dari harta perkawianan itu sendiri. Sehingga melalui peraturan ini diharapkan mampu memberikan dampak yang baik dan adil bagi pihak-pihak yang ada di dalamnya.

Perkembangan pola fikir masyarakat yang semakin kritis dan demokratis, berpengaruh pada isi dari perjanjian perkawinan yang setiap tahunnya berkembang juga, sehingga bukan lagi hanya kepentingan tentang pembagian harta benda dan hutang piutang, tapi juga kini membahas pertanggungjawaban keluarga secara materi, lalu terhadap penyelesaian permasalahan dalam keluarga, hingga masalah yang paling sering terjadi yaitu tentang kekerasan dalam rumah tangga atau lebih dikenal sebagai KDRT. Kini hal tersebut mendapat perhatian serius dan erat kaitannya dengan perjanjian perkawinan.

Sebelum dilangsungkannya perkawinan, demi mengatur akibat dari perkawinan dimasa mendatang khususnya terhadap harta benda, hak-hak dan kewajiban mereka, para calon suami dan calon istri baiknya mengikat diri mereka dalam sebuah perjanjian perkawinan. Tujuannya guna memperjuangkan hak dari masing-masing pasangan manakala dikemudian hari terjadi masalah-masalah yag tidak diinginkan dan apabila terjadi sebuah masalah maka setidaknya penyelesaian masalah tersebut telah disepakati sebelumnya.

Akan tetapi, mulainya keberadaan perjanjian perkawinan di Indonesia sendiri belum mendapat perhatian oleh sebagian masyarakat, karena melakukan perjanjian kawin apalagi menyangkut harta antara calon pengantin dirasa sebagai hal yang kurang sopan yang dapat menimbulkan ketersinggungan antara pihak pengantin ataupun pihak keluarga dari masing-masing calon pengantin. Kebanyakan orang menganggap hal perjanjian perkawinan tersebut tidak perlu dilaksanakan. Hingga seiring berjalannya waktu, hal mengenai perjanjian perkawinan dirasa sangat penting untuk kedepannya mengingat banyaknya konflik yang terjadi yang menyangkut harta benda perkawinan dikemudian hari, sehingga permasalahan ini menarik untuk dipahami lebih jauh lagi demi mendapat keadilan dalam permasalahan tersebut.

Dari sekian yang dibahas didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ada yang dirasa perlu diketahui yaitu kapan seharusnya perjanjian tersebut dibuat. Dalam “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu pada Pasal 29 ayat (1), menentukan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan”. Yang dimana perjanjian tersebut tidaklah dapat dilaksanakan pada saat perkawinan berlangsung. Hal ini menjadi sangat penting mengingat kebanyakan orang yang cenderung mengabaikan pentingnya perjanjian perkawinan tersebut. Sehingga dikemudian hari banyak calon pengantin yang membuat perjanjian perkawinan saat berlangsungnya perkawinan dikarenakan keadaan sangat mendesak kepentingan lainnya seperti halnya dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Beranjak dari pembahasan tersebut maka penulis tertarik untuk membahas hal ini dengan judul penulisan “Kedudukan Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dilangsungkan Terkait Pihak Ketiga” dan dalam permasalahan tersebut dapat ditarik dua permasalahan yang menarik untuk dibahas yaitu bagaimana pengaturan mengenai perjanjian perkawinan sebelum adanya putusan mahkamah konstitusi nomor 69/PUU-XII/2015 dan kedudukan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan terhadap pihak ketiga.

Adapun tujuan dari pembahasan di atas guna mengetahui pengaturan mengenai perjanjian perkawinan sebelum adanya putusan mahkamah konstitusi nomor 69/PUU-XII/2015 dan kedudukan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan terhadap pihak ketiga.

Penulisan ini dibuat dengan berbagai referensi lainnya yang kemudian digabungkan dengan pemikiran penulis, walaupun sebelumnya terdapat beberapa tulisan yang membahas hal yang serupa namun pembahasan ini memiliki suatu unsur pembaharuan didalamnya. Adapun 2 tulisan terdahulu yang menjadi bahan perbandingan adalah Jurnal yang ditulis oleh “Siti Arifah Syam, diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Sumatra Utara, tahun 2020. Judul Perjanjian Pranikah Pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 (Analisis Putusan Mahkamah Agung)” Dengan permasalahan yaitu, “Bagaimana Perjanjian Pranikah Pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 (Analisis Putusan Mahkamah Agung).”5 Perbedaan dalam penulisan tersebut yang dimana dalam penulisan ini terkait dengan pihak ketiga di dalam perjanjian tersebut, dan Jurnal yang ditulis oleh “Eva Dwinopianti, diterbitkan oleh Magister Kenotariatan, Universitas Islam Indonesia, tahun 2017. Judul Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris”. Dengan permasalahan yaitu, “bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap pembuatan akta perjanjian perkawinan setelah kawin yang dibuat di hadapan Notaris dan bagaimana akibat hukum pembuatan akta perjanjian perkawinan setelah kawin sebelum dan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap status harta bersama dan pihak ketiga yang dibuat di hadapan Notaris.”6 Perbedaan dalam penulisan tersebut yang dimana dalam penulisan ini membahas bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan dan juga terkait mengenai pihak ketiga.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian akan selalu diperlukan dalam setiap penelitian ilmiah guna membantu untuk memecahkan permasalahan dari masalah yang di bahas. Sebuah penelitian sebagai suatu proses penalaran alur berpikir dan dengan ditunjang dengan metode yang membantu untuk menemukan sebuah pemecahan masalah atau sebuah

pembuktian. Dalam metode ini digunakan sebuah metode yuridis normatif. Metode normatif lebih memusatkan kepada analisis yang tertuang di dalam buku ataupun hukum yang berasal dari putusan pengadilan yang diputuskan oleh Hakim. Metode ini juga disebut dengan metode doktrial. Jenis pendekatan yang dipergunakan ialah pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum penelitian ini bersumber langsung dari bahan primer dan sekunder. Teknik analisis dengan evaluative dan deskriptif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Mengenai Perjanjian Perkawinan Sebelum Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015

“Perjanjian perkawinan di Indonesia mulai diperbolehkan dibuat sejak diberlakukannya KUHPerdata pada tanggal 1 Mei 1848. Dalam hal perjanjian perkawinan ini, kemudian dimuat dan dipertegas kembali dengan diundangkannya Undang-Undang Perkwinan Nomor 1 Tahun 1974. Sementara itu akibat daripada perkembangan zaman yang semakin pesat serta adanya tuntutan persamaan derajat antara laki-laki dengan wanita, menyebabkan perjanjian perkawinan tersebut lebih sering dibuat sebelum calon pasangan suami istri melangsungkan perkawinan.”7

Perjanjian perkawinan bisa di artikan sebagai sebuah komitmen atau kesepakatan yang dibuat oleh kedua calon pengantin yang harus mengikuti apa yang telah di tuangkan dalam perjanjian tersebut. “Untuk membuat suatu perjanjian perkawinan, tidak ada unsur yang bersifat memaksa, artinya apabila salah satu pihak tidak mengkehendaki diadakannya perjanjian perkawinan maka pihak lain tidak boleh memaksakan diri untuk mengadakannya.”8 “Perjanjian Kawin Setelah perkawinan diadakan untuk mengatur sebab akibat harta perkawinan setelah perkawinan terjadi, manakala terdapat sejumlah harta yang tidak sama atau lebih besar pada satu pihak istri ataupun suami.”9

Dalam pengertian perjanjian perkawinan, tidak adanya pengertian yang spesifik terhadap hal ini, namun yang dijelaskan seperti pengaturan tentang kapan harusnya perjanjian perkawin dibuat, mengatur bagaimana keabsahan perjanjian tersebut, dan tentang diubahnya perjanjian tersebut. Menurut “Soetojo Prawirohamidjojo, mengatakan bahwa perjanjian perkawinan ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk

mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.”10 UU Perkawinan kurang menjelaskan secara detail tentang pengertian dari perjanjian perkawinan tersebut serta tidak adanya kepastian secara rinci mengenai hal yang di bolehkan atau yang dilarang dalam suatu perjanjian tersebut. Dalam peraturan perjanjian perkawinan hanya diatur dalam pasal 29 saja.

Beragamnya pengertian dan tujuan terhadap perjanjian perkawinan itu sendiri menimbulkan banyak pengertian yang berbeda pula. Tidak terkecuali menurut beberapa para ahli. Para ahli mempunyai pendapat yang beragam akan hal ini. Perbedaan pengertian dari setiap para ahli cenderung sama pada dasarnya. “Pengertian perjanjian kawin menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safiodien menjelaskan bahwa perjanjian kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami-isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.”11

Dari beberapa definisi tentang perjanjian perkawinan dapat di ketahui bahwa perjanjian perkawinan lebih besar membahas mengenai harta kekayaan saja, karena permasalahan ekonomi sering mendorong terjadinya suatu masalah di dalam rumah tangga. Mengenai perjanjian perkawinan yang menyangkut harta benda tersebut, calon suami ataupun calon istri dapat menerangkan kehendaknya atas harta perkawinan mereka lalu di tuangkan didalam sebuah perjanjian perkawinan, apakah mereka berkomitmen untuk tidak menggabungkan harta benda secara bersama-sama, atau mereka sepakat untuk bersama-sama memiliki harta tersebut secara penuh, atau mereka sepakat untuk menyatukan harta mereka dengan berbagai syarat tergantung dari kesepakatan mereka masing-masing.

Sebuah hal yang besar harus dilandaskan pada sebuah peraturan yang menjamin keamanan dari hal yang dilakukan. Perkawinan pun harus didasari dari adanya sebuah peraturan yang mengikat para pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai pengaturan perjanjian perkawinan tersebut juga tidak mutlak membahas mengenai harta benda saja, Adapun hal yang memungkinkan di bahas dalam perjanjian tersebut yang berhubungan dengan kepentingan terhadap kedua calon suami dan istri tersebut.

Manfaat perjanjian perkawinan di rasa sangat membantu agar tidak terjadinya sebuah konflik dikemudian hari atau setidaknya mampu memberi jalan keluar apabila adanya masalah terutama yang bersangkutan terhadap harta benda. Perjanjian perkawinan dapat menjadi dasar apabila dikemudian hari timbul konflik dalam keluarga, sehingga dikemudian hari masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Dengan adanya hal-hal yang mengatur perihal perkawinan tersebut, sehingga hal ini juga dirasa mampu mencegah banyaknya masalah yang akan datang.

“Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pengertian mengenai perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah

tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tujuan dari hal tersebut diharapkan mampu menjadikan keluarga yang harmonis dan sejalan dengan prinsip serta tujuan dari suatu perkawinan tersebut.

Harta benda menjadi sebuah alasan terjadinya suatu perjanjian di dalam sebuah perkawinan. Namun pada kenyataanya, perjanjian perkawina justru jarang untuk di lakukan oleh calon pengantin karena harta benda menjadi hal yang sensitif untuk di bicarakan terlebih lagi bisa saja menimbulkan ketersinggungan antara masing-masing keluarga dari calon pengantin.

Dalam UU Perkawinan terdapat adanya berbagai jenis harta perkawinan, ada harta asal yang diperoleh sendiri sebelum adanya perkawinan, harta asal murni menjadi milik pribadi dan sifatnya mutlak, dan sedangkan harta bersama ialah harta yang didapatkan setelah perkawinan. “Sedangkan harta bersama yaitu seluruh kekayaan yang didapat oleh pasangan semasa dalam perkawinan, baik itu harta yang diperoleh secara tersendiri ataupun harta yang didapat secara bersama-sama.”12 “Suami-istri dalam perkawinan dapat mengatur harta benda mereka terpisah setelah masuk dalam perkawinan. Dengan dilakukannya pemisahan harta benda maka konsekuensinya adalah masing-masing pihak berhak untuk mengurus sendiri harta bendanya baik yang diperoleh sebelum perkawinan dilangsungkan maupun pada saat dan selama berkawinan berlangsung.”13

Ketentuan menyangkut perjanjian perkawinan, sebagaimana sebenarnya Undang-Undang Perkawinan menangani perihal tentang harta dari sebuah perkawinan. Langsung mengkaji aturan perjanjian perkawinan. “Ini perlu ditekankan sejak awal, bahwa perjanjian perkawinan dibuat oleh para calon mempelai karena keduanya berkehendak untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur seluk beluk masalah harta perkawinan.”14 “Proses peradilan pada dasarnya mengembangkan semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama dalam proses peradilan. Berdasarkan pengembangan tersebut maka, suami dan istri memiliki kedudukan yang sama dalam harta bersama, yaitu dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak sesuai yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan.”15 “Menjadi masalah adalah perjanjian kawin di Indonesia hanya memuat konsep pemisahan harta tanpa mengatur hal-hal yang

sekiranya patut diperjanjikan di depan agar tidak menimbulkan konflik bagi pasangan yang akan membina perkawinan.”16

Awal dalam proses pembuatan perjanjian perkawinan yang dimana calon suami-istri mempunyai kesepakatan tanpa paksaan untuk mengikat diri mereka dalam sebuah perjanjian perkawinan yang sebagian besar dari isi perjanjian tersebut mengenai tentang harta benda/harta bersama dalam perkawinan dalam bentuk tertulis. Agar perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat maka perjanjian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Para pasangan suami-istri dalam hal ini menentukan sendiri dan dapat menggunakan haknya dalam persetujuan yang mereka hendaki atas harta bawaan mereka pribadi ataupun harta bersama yang didapat pada saat perkawinan. Setelah dibuatnya akta dihadapan Notaris maka para pasangan suami-istri lalu melaksanakan pendaftaran atas perjanjian perkawinan yang telah disepakati, tujuannya guna mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap pihak lainnya ataupun pihak ketiga. Pengadilan Negeri lalu memberikan pengesahan terhadap perjanjian perkawinan yang telah terlebih dahulu didaftarkan, dan pengesahan tersebut berupa legalisasi oleh Pengadilan berupa cap atau stempel Pengadilan Negeri lalu tanda tangan pengesahan oleh Panitera Hukum Perdata dan dicatat di Buku Registrasi Perjanjian Perkawinan.

Bukan hanya tentang apa saja yang diatur, namun demi menjaga norma-norma yang terkandung di dalam perjanjian perkawinan, ada beberapa larangan yaitu tidak dibolehkannya melampaui batas-batasan hukum, agama, dan kesusilaan seperti yang diterangkan pada pasal 29 ayat (2).

Alasan serta tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut, semata-mata bukan berencana untuk bercerai, akan tetapi lebih tepatnya untuk mendapatkan keadilan atas hak dari setiap pihak apabila dikemudian hari menimbulkan problematika yang dapat mengancam keharmonisan rumah tangga. Karena perjanjian perkawinan dirasa mampu membentuk keluarga yang harmonis dan tidak untuk mempermainkan sebuah perkawinan itu sendiri. Tujuan lainnya yaitu lebih untuk menjaga dan mempertahankan hak dari harta benda yang dimiliki.

Perjanjian perkawinan masih dirasa asing di dalam lingkungan masyarakat namun apabila diteliti lebih mendalam terdapat banyak sekali manfaat yang positif. Mengenai harta benda, seluruh harta dari suami dan istri secara otomatis nantinya menjadi harta bersama sejak melaksanakan perkawinan dan dengan hadirnya perjanjian perkawinan ini mereka dapat sepakat untuk memisahkan harta mereka. Sehingga dalam hal ini mereka bebas mengkehendaki harta kekayaan mereka agar terlindungi hak-haknya dan bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa mereka tidak akan menyatukan harta kekayaan mereka sepenuhnya. Manfaat dalam perjanjian bukan bermaksud untuk menghalangi dalam perkawinan justru dapat membantu mereka yang terlibat di dalamnya. Dalam hal bagaimana syarat sahnya suatu perjanjian, perjanjian tersebut haruslah dibuat oleh dasar kesepakatan dari pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Menurut ketentuan “Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan namun perjanjian perkawinan mulai berlaku setelah perkawinan berlangsung”. Perjanjian tidaklah berlaku bila tidak adanya sebuah perkawinan. Harta perkawinan mulai terbentuk adalah ketika perkawinan tersebut telah resmi atau sah dilangsungkan dan apabila tidak adanya sebuah perkawinan maka tidak ada harta perkawinan tersebut.

Awalnya perjanjian perkawinan khusus berlaku untuk mereka yang membuat perjanjian saja dan tidak berdampak bagi pihak lainnya, akan tetapi perjanjian perkawinan juga berpengaruh terhadap pihak yang berkaitan didalamnya. Berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga telah diatur dalam “Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi ketentuan yang tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari persatuan menurut Undang-undang selaluakan berlaku terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakanuntuk itu di Kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerahhukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri, di Kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya.”

Perjanjian perkawinan dipastikan berkaitan terhadap pihak ketiga, setelah perjanjian perkawinan tersebut didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan Pasal 147 ayat (2) juncto Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat disimpulkan secara singkat bahwa pada saat perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan hanya berlaku untuk pasangan suami-istri saja, sedangkan mengenai perjanjian perkawinan yang baru berlaku juga terhadap pihak lainnya atau pihak ketiga sejak didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

  • 3.2    Kedudukan Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dilangsungkan Terhadap Pihak Ketiga Pasca Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015

Perjanjian Kawin selalu berkembang kapanpun dan dimanapun dan menjadi budaya praktis bagi sebagian dari gaya hidup orang-orang. Dasar terciptanya perjanjian perkawinan tersebut tidak inginnya direpotkan atau dibebankan dengan adanya permasalahan didalam perkawinan yang akan merusak keharmonisan hubungan masing-masing pasangan dikemudian hari. Hal ini dikarenakan semakin tingginya tingkat Pendidikan suami dan istri maka berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan individu, masing-masing pasangan tersebut mencari nafkah dan mempunyai aset atau penghasilannya masing-masing. Alasan renggangnya rumah tanggapun menjadi solusi untuk mempertahankan harta kekayaan mereka apabila dikemudian hari terjadinya perceraian.

Perkawinan menjadi sebuah peristiwa penting bagi setiap manusia, selain sebagai memenuhi kebutuhan biologis manusia, perkawinan dapat melahirkan keturunan yang akan melanjutkan generasi dan sebagai penerus keturunanan selanjutnya dalam sebuah keluarga. Dari sekian banyak pembahasan mengenai perkawinan, perjanjian perkawinan menjadi aspek penting di dalamnya. “interaksi hidup berumah tangga

dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga”17 . “Perjanjian kawin bukan hanya tentang materi ataupun harta saja, ada juga hal-hal lain perlu untuk diperjanjikan, contoh tentang sikap kasar baik terhadap istri ataupun suami, perjanjian salah satu dari mereka tetap melanjutkan pendidikan meski telah berumah tangga.”18

Banyaknya pasangan calon suami-istri yang tidak memikirkan hal tersebut, terlebih lagi harta benda menjadi hal yang sensitif untuk dibicarakan. “Di sisi lain budaya praktis menjadi bagian dari gaya hidup, yang kemudian mempengaruhi sikap pemikiran untuk menimbang secara untung dan rugi secara materi pada saat memasuki jenjang perkawinan, termasuk di dalamnya mengenai pandangan terhadap harta kekayaan suami istri sebagai akibat dari perkawinan”19 Diharuskannya perjanjian perkawinan terlaksana pada saat sebelum menikah seakan hal tersebut membuat setiap pasangan menjadi dilema. Disamping setiap orang berhak untuk menjaga hak nya dikemudian hari namun realitanya banyak yang enggan untuk membuat perjanjian perkawinan karena justru dapat merusak kepercayaan antara pihak lainnya. Apabila sebelum perkawinan para pihak sepakat secara bersama-sama dan tanpa paksaan, maka dari masing-masing pihak tidak dapat mengubah hal tersebut dengan cara bagaimanapun.

Di samping hal tersebut, perlu baiknya dipahami hal yang mendasari alasan dibuatkannya perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan khususnya bagi pihak calon suami atau calon istri atau pihak lainnya yang berhubungan dengan harta benda perkawinan serta hal-hal penting lainnya serta apa saja masalah hukum yang nantinya akan mempengaruhi perjanjian perkawinan tersebut dilaksanakan pasca perkawinan berlangsung, menyangkut penyelesaian hutang yang ada pada saat perkawian berlangsung sebelum dibuatkan nya perjanjian perkawinan serta hal yang tidak terduga lainnya yang baiknya dibahas dan dikaji lebih lanjut lagi.

Pada saat sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, seseorang atau calon suami dan istri yang hendak membuat perjanjian perkawinan harus patuh akan hukum yang berlaku terutama pada mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan tersebut.

Perjanjian yang dilaksanakan saat perkawinan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dinilai sangat dilematis pada kenyataannya, di dimana syarat pembuatan perjanjian bergantung berdasar asas-asas dari perjanjian supaya nantinya menghindari permasalahan yang dapat merugikan.

Untuk menjaga dan menjamin kemanan dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian perkawinan, pihak ketiga di dalamnya harus juga di lindungi kepentingannya. Karena bukan hanya suami-istri yang berkepentingan di dalamnya namun bisa saja juga ada pihak ketiga yang terlibat.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 lebih spesifik membahas tentang waktu pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, dengan adanya putusan tersebut dapat melonggarkan aturan yang dulunya tidak di bolehkannya membuat perjanjian setelah perkawinan berlangsung kini dibolehkannya membuat perjanjian perkawinan atas kemauan para pihak.

Dalam hal pihak ketiga atau kreditor dalam perjanjian perkawinan tentu dirasa sangat penting untuk mengetahui status dari harta benda yang bersangkutan karena kaitannya dengan kejelasan terlunasinya hutang mereka. Apabila pasangan suami-istri mempunyai harta bersama, maka hutang yang dibuat oleh mereka berhak dimintai pertanggungjawaban pelunasannya melalui harta bersama tersebut, dan apabila tidak adanya harta bersama atau mereka memisahkan harta mereka maka pelunasan hutang menjadi pertanggungjawaban dari pihak yang membuat perjanjian. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XII/2015 yang mengizinkan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah pernikahan berpengaruh bagi pihak ketiga terkait hutang piutang.

Permasalahan bisa terjadi apabila pasangan suami-istri tidaklah menentukan waktu perjanjian mulai berlakunya dan diartikan perjanjan perkawinan akan berlaku pada saat perkawinan berlangsung. Dikemudian hari hal tersebut bisa saja memicu sebuah permasalahan baru akibat adanya perubahan kedudukan harta dalam perkawinan yang sebelumnya harta bersama atau harta bulat berubah statusnya menjadi harta terpisah apabila sebelumnya sudah terdapat perbuatan hukum terkait dengan pihak ketiga atau kreditor.

Sebagai contoh kasus yang berkaitan, apabila suami-istri yang hendak melakukan kredit dengan bank dan sebuah jaminan objek diperoleh dari harta bersama, kemudian suami-istri membuat perjanjian perkawianan yang memisahkan harta benda mereka masing-masing dan status kepemilikan objek yang dijaminkan tersebut berubah maka akan bisa memunculkan permasalahan bagi pihak bank apabila dikemudian hari suami-istri tersebut wanprestasi dan mengakibatkan pihak bank tidak mudah untuk melakukan eksekusi terhadap objek yang dijaminkan di awal.

Dari kasus diatas terlihat bahwa dibuatnya perjanjian perkawinan saat berlangsungnya perkawinan membuat akibat terhadap bergantinya status hukum harta mereka dan harusnya pembuatan perjanjian perkawinan tidaklah untuk membebani pihak manapun kususnya pihak ketiga. Perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan tentu bersifat mengikat pihak ketiga yang terhitung saat didaftarkannya perjanjian tersebut. Perjanjian perkawinan tersebut mengikat kedepan dan tidak berlaku surut apabila terkait dengan pihak ketiga.

Perjanjian tentu didasari dengan itikad baik terhadap para pihak didalamnya, para pihak diwajibkan untuk menghormati isi dari perjanjian yang telah disepakati di awal sehingga mampu memciptakan kedamaian dan kehormanisan antar para pihak dan mencegah timbulnya sengketa dikemudian hari. Selain membahas mengenai harta

benda, perjanjian perkawinanpun juga membahas mengenai hutang yang akan menjadi tanggungjawab bersama atau hutang yang dipetanggungjawabkan secara pribadi. Seperti dalam pembahasan sebelumnya para pihak memerlupan sebuah itikad baik di dalam pelaksanaannya agar dikemudian hari tidak adanya sebuah perbuatan yang melawan hukum atau merugikan pihak ketiga yang bersangkutan di dalamnya. Sehingga dalam hal ini pihak ketiga dapat memintakan sebuah perlindungan hukum.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan pada penelitian tersebut, maka penulis mengambil sebuah uraian atau penjelasan singkat atas permasalahan dalam penelitian yaitu pengaturan mengenai perjanjian perkawinan sebelum adanya putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 perjanjian perkawinan bisa di artikan sebagai sebuah komitmen atau kesepakatan kedua calon pengantin yang masing-masing harus mentaati apa yang telah di tuangkan dalam perjanjian tersebut. Dalam pengertian perjanjian perkawinan, tidak adanya pengertian yang spesifik terhadap hal ini, namun dari semua pengertian yang berbeda perjanjian perkawinan lebih besar membahas mengenai harta benda. Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang spesifik membahas mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan. Terkait dengan kedudukan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan terhadap pihak ketiga yaitu awalnya perjanjian perkawinan khusus berlaku untuk pihak yang membuat perjanjian saja dan tidak berdampak bagi pihak lainnya, akan tetapi perjanjian perkawinan juga berpengaruh terhadap pihak ketiga. Pada saat sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, seseorang atau calon pasangan suami-istri yang hendak untuk membuat perjanjian perkawinan harus patuh terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu pada Pasal 29 ayat (1) yang pada intinya membahas mengenai waktu pembuatan dari perjanjian perkawinan tersebut. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XII/2015 yang mengizinkan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah pernikahan berpengaruh bagi pihak ketiga terkait hutang piutang. Perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan tentu bersifat mengikat pihak ketiga yang terhitung saat didaftarkannya perjanjian tersebut. Perjanjian perkawinan tersebut mengikat kedepan dan tidak berlaku surut apabila terkait dengan pihak ketiga.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku:

Ahmad Azhar Basyir. (1995). Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas

HukumUniversitas Islam Indonesia.

Hadikusuma, H. (2020). Hukum Perkawinan Indonesia: menurut perundangan, hukum adat, hukum agama.

Prawirohamidjojo, R. S., & Safioedin, A. (1987). Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan V. Bandung: Alumni.

Prawirohamidjojo, R. S. (1988). Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia (Surabaya).

Jurnal:

Afrianto, E., Yaswirman, Y., & Oktarina, N. (2020). “Akta Perjanjian Perkawinan: Analisis Perbandingan Antara Hukum Islam Dan Hukum Positif Serta Kedudukanya Terhadap Harta Perkawinan.” Soumatera Law Review, 3(2), 197-212. DOI : https://doi.org/10.22216/soumlaw.v3i2.5744

Arief, H. (2016). “Implementasi Yuridis Perjanjian Kawin Dalam Sistem Hukum Positif Di Indonesia.” Syariah:   Jurnal Hukum dan   Pemikiran,   15(2).

https://dx.doi.org/10.18592/syariah.v15i2.551

Arief, H. (2017). “Perjanjian Dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Positif Di Indonesia).” Al-Adl:    Jurnal Hukum, 9(2). DOI:

http://dx.doi.org/10.31602/al-adl.v9i2.935

Bahtiar, R. (2019). “Pandangan Masyarakat Terhadap Perjanjian Pra-Nikah di Kelurahan Bugih Kabupaten Pamekasan.” Al-Manhaj: Journal of Indonesian Islamic Family Law, 1(2). DOI : https://doi.org/10.19105/al-manhaj.v1i2.3139

Djuniarti, E. (2017). “Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 17(4). DOI : http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2017.V17.445-461

Dwinopianti, E. (2017). “Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris” (Doctoral dissertation, Universitas Islam Indonesia).

Istrianty, A., & Priambada, E. (2016). “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung.” Privat Law, 3(2), 164410.

Lestari, N. (2018). “Problematika Hukum Perkawinan Di Indonesia. JURNAL ILMIAH MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi, dan Keagamaan”, 4(1), 43-52.

Murniati, R. (2018). “Pembaharuan Hukum Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Dalam Perkawinan.” Jatiswara, 33(3). DOI : https://doi.org/10.29303/jatiswara.v33i3.184

Prihandini, Y. D. (2019). “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga Atas Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan.” Lex Renaissance, 4(2). DOI : https://doi.org/10.20885/JLR.vol4.iss2.art9

Rokhim, A. (2012). “Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian.” Masalah-Masalah Hukum, 41(1), 59-64

Sari, F. N. (2017). “Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Akta Perjanjian Kawin Yang Dibuat Oleh Notaris Bagi Warga Negara Indonesia Yang Beragama Islam” (Doctoral dissertation, Fakultas Psikologi UNISSULA).

Sari, N., Indrawati, A. S., Darmadha, I. N., & Udayana, F. H. (2017). “Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Warga Negara Indonesia Dalam Perkawinan Campuran.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 5(1), 1-13.

Septiandini, K. M., & Wiryawan, I. W. (2016). “Ketentuan Tentang Pembatalan

Perkawinan Oleh Jaksa Terhadap Hak Waris Anak Dalam Hukum Perkawinan.” Jurnal Kertha Semaya Universitas Udayana, 4(02).

Susanti, D. O. (2018). “Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pasangan Suami Istri (Perspektif Maqashid Syari’ah).” Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, 1(2). DOI : https://doi.org/10.30659/jua.v1i2.2456

Syam, S. A. (2020). “Perjanjian Pranikah Pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 (Analisis Putusan Mahkamah Agung).” Islamic Circle, 1(1), 53-67.

Peraturan Perudang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015

119