Vol. 06 No. 03 Desember 2021

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Kajian Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan

Ida Ayu Agung Nara Kirana Udiyana 1, I Made Sarjana2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: @[email protected].

Info Artikel

Masuk : 8 Juli 2021

Diterima : 21 November 2021

Terbit : 1 Desember 2021

Keywords : Notary Responsibility, Power, mortgage right


Kata kunci: Tanggung Jawab Notaris, Kuasa, Hak Tanggungan

Corresponding Author:

Ida Ayu Agung Nara Kirana

Udiyana, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2021.v06.i03.p15


Abstract

The purpose of this article is to find out a juridical study in making SKMHT according to the Mortgage Law and the responsibilities of a Notary in making SKMHT according to the applicable rules. The method on this article is used normative legal research with statutory approach, a conceptual approach, and a case approach. The results of the discussion, namely the SKMHT study of the UUHT contained in Article 15 paragraph

dalam membuat SKMHT dalam bentuk akta, namun dalam praktiknya mengisi isian/blangko/formulir yang telah disiapkan oleh instansi pertanahan. Rumusan norma hukum dalam pasal 15 ayat (1) UUHT mengandung pertentangan. Dalam satu sisi peraturan tersebut mewajibkan membebankan Hak Tanggungan yang dibuat atau dituangkan dengan akta Notaris, namun disisi lain mensyaratkan kuasa membebankan Hak Tanggungan dibuat dengan akta notaris/akta PPAT dalam bentuk “Surat”. Sehingga, SKMHT tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik. Serta, pertanggung jawaban Notaris berupa kewenangan dalam menjalankan tugas jabatannya tercantum dalam Pasal 15 UUJN, sehingga dalam kewenangan tersebut dapat memberikan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Notaris yang terdiri dari 3 aspek penting yaitu: Aspek Lahiriah; Aspek Formal dan Aspek materiil.

  • I.    Pendahuluan

Hukum dalam masyarakat selalu dinamis, berkembang mengikuti perkembangan jaman. Hukum di dalam kehidupan bermasyarakat berguna untuk memelihara dan menciptakan ketertiban serta keamanan sehingga tercipta kepastian dan keadilan. Oleh karena itu, dalam hidup bermasyarakat membutuhkan kepastian yang didorong dengan pelayanan jasa publik bidang hukum yaitu seorang Notaris. Profesi Notaris adalah bentuk jabatan sebagai pejabat umum yang dilantik/diangkat oleh negara guna membantu membuat perjanjian-perjanjian bagi masyarakat umum agar memberikan kepastian oleh pihak-pihak sehingga mempunyai nilai pembuktian sempurna. Peranan seorang Notaris yang disebut juga dengan pejabat umum sebenarnya berasal dari masyarakat dan dari negara itu sendiri.1 Penjelasan tersebut tertulis pada UU 2/2014 tentang Perubahan atas UU 30/2004 Tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya disebut UUJN tepatnya pada Pasal 1 angka 1 yang menerangkan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya” hal ini bermakna untuk mengetahui definisi dari Notaris. Pasal tersebut juga menerangkan mengenai definisi Notaris yang dikatakan: “Notaris ialah pejabat yang memiliki wewenang melakukan pembuatan suatu akta yang memiliki sifat otentik, termasuk juga kewenangan-kewenangan lain yang telah dibenarkan dan tertulis dalam UUJN-P ataupun yang tertulis dalam ketentuan lainnya.

Hukum adalah berkaitan dengan hidup bermasyarakat maka hukum tidak bisa dipisahkan, oleh karenanya pada lingkungan kemasyarakatan terdapat adanya sistem hukum, yaitu dapat disimpulkan bahwa jika terdapat kelompok masyarakat ada pula norma hukum atau dalam bahasa asing disebut dengan istilah “ubi societas ibi ius”. Istilah itu disebutkan oleh Cicero dengan makna “ Tata hukum diharuskan mengacu pada perlindungan dan penghormatan yang ditujukan untuk keluhuran martabat

manusia”. Upaya hukum lainnya adalah untuk mengatur serta menjaga keseimbangan suatu hasrat individu atau sebuah kepentingan dengan keseimbangan yang bersifat egoitis, dan kepentingan bersama supaya tidak adanya konflik antar keduanya. Hadirnya hukum dalam masyarakat ditujukan untuk menegakkan keseimbangan antara hak bersama dengan hak yang bersifat perorangan, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum diharuskan bersifat pasti dan mengandung sifat keadilan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.2

Di Indonesia kelembagaan keberadaan kenotariatan berasal dari lembaga kenotariatan yaitu dari negara-negara di Eropa, lebih spesifiknya yaitu berasal dari Belanda.3 Sebagai seseorang yang memiliki posisi sebagai profesional hukum, Notaris memiliki peranan untuk menciptakan kepastian hukum untuk masyarakat guna melaksanakan fungsinya dalam menegakkan hukum di masyarakat. Notaris ialah suatu profesi yang dihasilkan dari interaksi antara masyarakat yang selanjutnya berkembang guna memenuhi kebutuhan bagi masyarakat. Dalam hal ini fungsi Notaris ialah sebagai alat guna mencegah supaya meminimalisir masalah-masalah yang dapat berakibat fatal. Hal ini dilakukan dengan menggunakan cara penerbitan akta yang bersifat otentik yang digunakan sebagai alat pembuktian tertulis yang berkekuatan sempurna dalam hal pembuktian serta bisa memberi bantuan yang berbentuk nyata dalam hal menyelesaikan sengketa, sehingga dapat disimpulkan akta notariil atau bisa disebut akta otentik maupun disebut juga akta notaris dinyatakan bersifat otentik saat akta tersebut pembuatannya dilakukan dihadapan pejabat yang memiliki kewenangan dalam bidang itu yakni notaris.4

Di dalam hal memberikan hak tanggungan diprakarsai oleh perjanjian yang diperuntukan guna memberi hak tanggungan yang dijadikan suatu jaminan untuk melunasi piutang. Dalam memberi hak tanggungan dijelaskan dan tertulis pada bagian suatu perjanjian utang-piutang dari yang berkepentingan ataupun perjanjian lain yang mengakibatkan terjadinya utang-piutang tersebut. Dalam memberi hak tanggungan, dapat dilaksanakan dengan membuat akta (APHT) oleh PPAT dan dibenarkan aturan yang memuat tentang hal ini. Dalam hal ini berdasarkan peraturan yang diberlakukan yakni PP 24/2016 tentang Perubahan Atas PP 37/1998 tentang PPAT ditetapkan di Jakarta 5 Maret 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun l998 Nomor 52) yang seterusnya disebut sebagai PJPPAT. PPAT yakni seorang pejabat yang memiliki kewenangan dalam pembuatan suatu akta otentik yang berkenaan tentang perbuatan tertentu yang memuat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Tujuan UUHT ialah memberikan suatu landasan bagi pemberlakuan Lembaga Hak Tanggungan yang bersifat kuat yang berupa SKMHT. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) memberikan ruang pada pemberi Hak Tanggungan untuk menggunakan SKMHT, ketika pemberi Hak Tanggungan berhalangan hadir kepada Notaris/PPAT saat pelaksanaan pembuatan APHT. Kemudian, dalam hak atas tanah sebagai objek dari Hak Tanggungan belum memiliki sertifikat.

SKMHT PPAT pada prinsipnya hampir sama dengan SKMHT yang dibuat oleh Notaris, substansinya sama akan tetapi setiap Notaris dan PPAT boleh menambahkan janji-janji yang dianggap perlu untuk memberikan rasa aman utamanya untuk kreditor. Namun yang akan menjadi masalah ketika SKMHT format yang diberikan Perkaban 8/2012 dipakai juga oleh Notaris, karena format PPAT yang dipakai oleh notaris akan tidak sinkron dengan Pasal l6 ayat 1 UU Jabatan Notaris, format PPAT berisi 2 rangkap SKMHT dan keduanya merupakan asli minuta akta, satu diserahkan kepada Kantor Pertanahan setempat, dan satu lagi disimpan PPAT sebagai warkahnya. Sedangkan Notaris hanya membuat satu minuta akta. Dalam hal ini bisa menimbulkan sebab yang berakibat terhadap akta yang akan dibuat oleh notaris dan karena hal ini bisa menyebabkan adanya akibat hukum tertentu pada notaris sebagai pihak pembuat akta. Berdasarkan hal yang telah dijelaskan menjadikan masalah yang mengganggu tugas seorang Notaris.

Definisi dari pejabat umum adalah seorang yang menanggung tugas/jabatan dan selanjutnya diangkat dan juga diberhentikan oleh pemerintah/negara, pejabat umum juga disebut sebagai seorang yang mendapatkan wewenang serta kewajiban bagi pemenuhan kepentingan kelompok masyarakat dalam bidang hukum perdata. Oleh karenanya, Notaris dapat diberi definisi sebagai suatu pejabat negara yang mana diberi kewenangan oleh negara yang tertulis dalam UUJN yaitu berwenang untuk membuatkan akta otentik. Notaris sebagai pihak yang mengemban jabatan dan tugasnya disebut juga pejabat umum yang mempunyai wewenang dalam pelaksanaan sebagian tugas dari negara, Notaris tak hanya bekerja bagi kepentingan pribadinya, namun notaris juga memiliki tuntutan untuk bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan dalam pelayanan dan memberi jasa pada masyarakat yang berkenaan dengan perbuatan hukum bidang keperdataan. Oleh karena nya, saat pelaksanaan tugas jabatannya, seorang notaris diharuskan atau diwajibkan untuk memiliki sifat mandiri, atau tidak memiliki ketergantungan pada pihak manapun, tidak berpihak ataupun memandang status sosial seseorang atau derajat seseorang, serta mempunyai keleluasaan dikarenakan notaris bersifat “berdiri sendiri” (unpartiality and Independency).5

Landasan hukum SKMHT tidak sinkron dengan Undang-Undang yang mengatur wewenang dan jabatan Notaris serta Peraturan yang menjadi dasar bagi Badan Pertanahan yang dimaksud disini adalah BPN(Badan Pertanahan Nasional). Beberapa kantor pertanahan masih menginginkan jika SKMHT yang pembuatannya dilakukan secara notariil diharuskan untuk tetap berdasarkan tata cara membuat akta SKMHT yang dituliskan dalam Perkaban 8/2012 yang jika hal itu dituruti oleh seorang Notaris sehingga hal yang demikian akan dijadikan pengaturan alasan yang dilanggar terhadap bentuk akta seperti yang telah ditetapkan oleh UUJN, sehingga SKMHT yang dibuat tersebut menjadi tidak sesuai dengan prasyarat sebagai wujud akta otentik seperti yang diatur pada KUHPerdata Pasal 1868, dan yang akhirnya menyebabkan hak tanggungan menjadi bermasalah dan apabila landasan pembebanan hak tersebut syaratnya tidak terpenuhi sebagai syarat keotentikan suatu akta tentu hak tanggungan dapat dinyatakan menjadi “batal demi hukum” dan SKMHT tersebut tidak dapat didaftarkan pada kantor

Pertanahan dimana objek tanah berada. Pada akhirnya Notaris/PPAT sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kendala dalam hal berpraktek dilapangan dapat kehilangan banyak waktu dan juga materi. Berkaitan dengan SKMHT yang dibuat oleh Notaris berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 4/1996 yang dirubah menjadi Peraturan Menteri Agraria No. 22/2017 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan SKMHT guna penjaminan melunasi kredit yang kemudian disebut Perkaban 22/2017, dimana peraturan ini memiliki tenggang waktu selama 1 dan 3 bulan. Hak atas pemilikan tanah dalam SKMHT telat didaftarkan serta diwajibkan untuk disertai dengan membuat suatu Akta Peralihan Hak Tanggungan yang kemudian disebut dengan APHT yaitu paling lama 1 bulan sesudah diberi dan apabila suatu tanah dinyatakan tidak/belum didaftarkan ataupun telah memiliki sertifikat namun belum terdaftar dengan nama yang tercantum adalah pemberi suatu hak tanggungannya sebagai pemegang hak yang baru sehingga tenggang waktu dalam membuat APHT dilakukan tiga bulan setelah diberikan. SKMHT yang tanpa disertai APHT pada masa yang telah ditentukan tersebut dapat disimpulkan jika SKMHT tersebut dinyatakan gugur/batal demi hukum. Bagaimana dengan SKMHT yang digunakan sebagai syarat pinjaman kredit Banknya sudah dicairkan oleh Bank dan kemudian kredit atas pinjaman tersebut macet. Sedangkan yang dipertanyakan apakah menjadi tanggung jawab seorang notaris sebagai pihak yang membuat akta SKMHT pada bank selaku kreditor atas objek hak tanggungan tersebut.

Berdasarkan penjabaran yang tertulis diatas, adapun yang akan dikaji pada penulisan riset ini, penulis mengangkat permasalahan: 1) Bagaimanakah kajian secara yuridis pada pembuatan SKMHT? 2) bagaimana bentuk pertanggungjawaban dari Notaris terhadap SKMHT berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku? Dari rumusan masalah yang diangkat, menghasilkan tujuan penulisan yakni guna memahami aspek yuridis dalam proses pembuatan SKMHT yang dilakukan oleh Notaris serta mengetahui bentuk pertanggungjawaban Notaris terhadap pembuatan SKMHT sesuai peraturan yang berlaku.

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan materi pembahasan artikel ini adalah: 1) artikel oleh Stefanie Waringga tahun 2020 dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Notaris Yang Memiliki Kewenangan PPAT Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan”6 2) Artikel dengan penulis Shinta Andriyani di tahun 2017 dengan judul “Kajian Yuridis Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Menurut UU No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.”7 Dalam artikel pertama, pembahasan merujuk tanggung jawab Notaris yang mempunyai kewenangan PPAT saat membuat SKMHT sedangkan dalam penelitian yang dilakukan penulis merujuk pada pertanggungjawaban Notaris dalam proses pembuatan SKMHT sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam artikel kedua membahas mengenai aspek yuridis dalam pembuatan SKMHT menurut UUJN, sedangkan penulis membahas mengenai aspek yuridis pembuatan SKMHT yang terdapat pada UUHT. Perbedaan yang ada

menunjukan adanya orisinalitas penelitian yang ditulis oleh penulis sehingga perlu adanya pembahasan lebih lanjut untuk menyelesaikan konflik norma demi kelangsungan serta pembaruan aturan undang-undang. Dari penjelasan yang telah diuraikan, penulis mengangkat judul “Kajian Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan”.

  • 2.    Metode Penelitian

Riset hukum dengan metode normatif menjadi pilihan penulis yang diterapkan dalam riset ini. Riset hukum normatif merupakan penelitian dalam bidang hukum yang berdasarkan pada studi kepustakaan.8 Jenis riset yang digunakan ialah jenis riset hukum normatif yang juga disebut sebagai riset hukum doktrinal. Dalam riset ini penulis juga memilih tipe penelitian melalui “Doctrinal Research” yakni secara sistematis mengoreksi serta menjelaskan suatu ketentuan hukum yang diperuntukkan bagi bidang hukum dengan melaksanakan penganalisisan pada tulisan yang memiliki sifat autoritatif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Kajian Yuridis Terhadap Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Hak tanggungan ialah hak yang diwajibkan untuk didaftarkan. Adapun aturan yang pada saat sekarang masih diberlakukan bagi pengaturan tentang jaminan hak atas tanah ialah UUHT atas Tanah disertai dengan hal-hal yang ada kaitannya tentang tanah tersebut. Keberlakuan UUHT mengakibatkan munculnya unifikasi pada hukum jaminan/adanya tanggungan pada hak atas tanah diberlakukan di seluruh tempat yang berada di Indonesia, sehingga semua hal yang berhubungan dengan penjaminan hak atas tanah menerapkan dasar hukum yakni UUHT.

Sebelum adanya Undang-Undang Hak Tanggungan untuk jaminan atas hak adalah mengunakan hipotik. Pengertian Hipotik/ hipotek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua yakni kredit yang diberi dengan dasar jaminan berbentuk benda tidak bergerak, yang kedua berupa surat pernyataan berutang jangka panjang yang memuat tentang ketentuan bahwa kreditor bisa melakukan pemindahan seluruh ataupun sebagian hak tagih nya pada pihak ketiga, hak tanggungan ialah hak atas barang tidak bergerak yang dijaminkan dengan barang yang tetap dimiliki serta dikuasai oleh debitur dengan dasar asas kepercayaan bagi kedua belah pihak. Ketentuan mengenai hipotik diterapkan pada KUH Perdata buku II.9

Membuat SKMHT dan akta hipotik adalah Pada Pasal 1171 KUHPerdata berbunyi ”hipotik”dapat diberikan hanya dengan akta dengan sifat otentik, dengan pengecualian pada hal yang dapat dengan benar ditentukan oleh undang-undang, juga pemberian kuasa guna memberi hipotik diharuskan membuat akta otentik. Pemberian

kuasa disebut dengan Surat Membebankan Hipotik. Pemberlakuan UUPA dalam KUHPerdata pada buku II, dinyatakan sudah tidak dipakai sepanjang tentang air, bumi serta kekayaan alam yang ada didalamnya, dengan pengecualian ketentuan tentang hipotik.10 Yang diatur dalam UUPA ialah menerangkan jika hak atas tanah bisa menjadi penjaminan utang adalah dibebankan dengan hak tanggungan, yaitu berupa Hak Milik, HGB dan HGU. Berdasarkan aturan Pasal 51 UUPA dengan lebih rinci membahas tentang Hak Tanggungan selanjutnya dimuat dalam peraturan Undang-Undang. Sejak lebih dari 35 tahun diundangkannya UUPA, kedudukan lembaga yang menaungi hak tanggungan yang memuat tentang Hak Milik, HGU dan HGB belum bisa melaksanakan fungsinya dengan sebenar-benarnya, disebabkan masih belum adanya pengaturan yang mengatur lebih jelas seperti keinginan Pasal 51 UUPA.

Dalam tenggang waktu yang ditentukan tersebut menurut pengaturannya, peralihan yang diatur dalam UUPA pada Pasal 57, maka adanya pemberlakuan pengaturan tentang hipotik seperti yang dimaksud dalam KUHPerdata serta pengaturan mengenai credietverband pada Staatsbland 1908-542 sebagaimana yang dirubah menjadi Staatsbland 1937-190 selama belum adanya ketentuan tentang hal-hal yang termuat dalam UUPA. UU 16/1985 tentang Rumah Susun, mengandung tentang hipotik dengan objek Hak Milik Atas Rumah Susun yang berdirinya diatas tanah HGB masih menggunakan hipotek. Selama belum terbentuk Undang-Undang yang diamanahkan Pasal 51 UUPA maka berlaku ketentuan mengenai hipotek. Oleh karena itu sesuai Pasal 1171 KUHPerdata, hipotek hanya bisa diberi menggunakan akta notaris yang otentik berikut pula dengan memberi kuasahak tanggungan. PP 10/1961 Pasal 19 berbunyi “Setiap perjanjian dengan maksud melakukan pemindahan hak atas tanah, memberi pembaharuan hak tentang tanah, menggadai tanah ataupun melakukan peminjaman sejumlah dana berupa uang yang jaminan berwujud sertifikat yang digunakan sebagai tanggungan, hal demikian harus dengan pembuktian berupa akta yang dibuatkan di hadapan petugas yang ditentukan oleh Menteri Agraria. Akta yang dimaksud memiliki bentuk yang disesuaikan dengan peraturan dari Menteri Agraria. Bahwa jelas bahwa dalam hal peralihan/ pemindahan hak pun dibuat dalam bentuk akta oleh pejabat.

SKMHT ialah suatu akta yang berisi perintah memberi kuasa dengan sifat khusus yang biasanya dipakai dalam membuat APHT. Petugas yang diberi tugas dalam pembuatan SKMHT ialah Notaris beserta PPAT. Pasal 15 ayat (1) UUHT menjelaskan: “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT”. SKMHT tertulis dalam UUHT dan yang berwenang membuatnya adalah Notaris atau PPAT. Dalam peraturan tersebut, Notaris mempunyai kewenangan dalam membuat SKMHT dalam bentuk akta, namun dalam praktiknya mengisi isian/blangko/formulir yang telah disiapkan oleh instansi pertanahan. Dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT mensyaratkan pembuatan SKMHT “wajib” dibuat dengan akta Notaris/ akta PPAT, yang artinya kewenangan membuat SKMHT tidak hanya pada notaris tetapi juga pada PPAT. SKMHT dari Notaris / PPAT keduanya merupakan akta yang bersifat otentik. Rumusan norma hukum dalam pasal 15 ayat (1) UUHT mengandung pertentangan. Dalam satu sisi peraturan tersebut mewajibkan

pembebanan Hak Tanggungan dituangkan dalam akta Notaris, namun disisi lain mensyaratkan kuasa pembebanan Hak Tanggungan dibuat dengan akta notaris/akta PPAT dalam bentuk “Surat”. Frasa “dibuat” dalam ketentuan tersebut mengandung makna “Notaris yang membuat akta, berkenaan dengan bentuk dan susunan kalimatnya.” Namun dalam praktiknya, Notaris tidak membuat SKMHT, dan hanya mengisi SKMHT saja karena bentuk dan susunan kalimat sudah ditentukan BPN. Hal ini berarti SKMHT tidak sesuai dengan syarat sebagai akta otentik. SKMHT yang tidak memenuhi bentuk dan format yang telah disediakan tersebut tidak diterima oleh BPN, padahal Pasal 15 ayat (1) UUHT secara tegas menjelaskan SKMHT dibuat oleh Notaris. Hal ini tidak sesuai dengan kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik.

Syarat menggunakan SKMHT, yakni: yang bersifat subjektif, yang berupa pemberi Hak tanggungan tidak bisa hadir secara perorangan atau sendiri pada saat menghadap Notaris /PPAT saat akan melaksanakan pembuatan akta hak tanggungan. Adapun tata cara pembebanan hak tanggungan: biaya dalam menggunakan hak tanggungan mahal; kredit yang ditanggungkan bersifat jangka pendek; kredit yang ditawarkan tidak begitu besar dan apapun alasan yang bersifat objektif, yaitu sertifikat yang belum terbit, belum melakukan pembalikkan nama hak atas tanah yang dilakukan oleh pemegang hak tanggungan, penggolongan ataupun pemecahan tanah yang belum rampung dengan nama pemberi hak tanggungan, pencoretan atau roya yang belum dilaksanakan.11 Pemberi Hak Tanggungan atas SKMHT tidak bisa ditarik atau tidak bisa diakhiri dengan alasan apapun, dengan pengecualian tidak dilakukan atau waktu yang diberikan telah habis. SKMHT bersertifikat atau telah terdaftar diwajibkan untuk disertai dengan pembuatan APHT sekurang-kurangnya satu bulan jika belum adanya sertifikat yaitu tiga bulan lamanya. Tenggang waktu tiga bulan berlaku terhadap suatu tanah yang telah memiliki sertifikat namun belum dilakukan balik nama atas pemberi hak tanggungan. Fungsi Notaris adalah sebagai pembuat akta yang mana akta tersebut harus autentik. Kewenangan seorang Notaris adalah terletak pada tugas dan kewajibannya sebagai seorang Notaris, adapun kedudukannya yakni sebagai petugas/pejabat yang memiliki wewenang dalam pembuatan akta berdasarkan wilayah karena Notaris tidak dapat membuat SKMHT apabila di wilayah objek berada masih ada PPAT.12

  • 3.2    Tanggung Jawab Notaris Terhadap Dibuatnya SKMHT Berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku

Dalam UUJN pada ketentuan Pasal 1 menerangkan tentang “Notaris ialah sebuah jabatan. Terdapat hal-hal yang tertulis dalam Pasal 1 UUJN, yaitu:

  • 1.    Mengenai kedudukan notaris

  • 2.    Mengenai kewenangan notaris”

mengenai kedudukan notaris yang tertulis diatas yakni sebagai pejabat umum yang memiliki kekuasaan jabatan bagi pengurusan kepentingan banyak orang. Dalam hal

lain, kewenangan pada saat pembuatan akta otentik ataupun pada saat akta lain yang diinginkan oleh para penghadap yang memiliki kepentingan. Pada pasal 15 ayat(1) menerangkan bahwa SKMHT adalah berisi tentang wewenang Notaris, yaitu wewenang dalam pembuatan SKMHT. Seperti diketahui dalam prakteknya setelah seorang Notaris dapat menjadi PPAT dan PPAT dapat menjadi Notaris. Pada penerapannya sering terjadi adanya perselisihan/konflik dalam wewenang serta tugas antara Notaris dan PPAT dan dalam wewenang Notaris dipertegas dengan UU 2/2014, berbeda dengan PPAT yang hanya dipertegas dengan PP 37/1998 tentang PPAT.13

Pasal 15 ayat (2) UUJN dijelaskan mengenai “wewenang membuat akta otentik oleh Notaris berhubungan dengan akta tanah. Adapun tiga penjelasan tentang pasal tersebut, yakni:

  • 1.    Notaris sudah melakukan pengambilalihan terhadap seluruh kewenangan PPAT yang menjadi kewenangan dari Notaris ataupun sudah ditambahkan dalam kewenangan Notaris.

  • 2.    Hal-hal mengenai tanah menjadi kewenangan Notaris

  • 3.    Masih tidak adanya pengambilalihan oleh PPAT ataupun pengembalian kewenangan pada Notaris dari PPAT maupun dari Notaris karena sudah

-W'»        I 1   1

memiliki kewenangan masing-masing.”

Menurut kewenangan yang telah ada dari Notaris, seperti apa yang telah tertulis dalam ketentuan Pasal 15 UUJN serta adanya kekuatan dalam membuktikan akta yang dibuat Notaris, adanya dua pemaknaan yang akan dijelaskan sebagai berikut:

  • 1.    Tugas serta jabatan Notaris yang berupa mengformulasikan tindakan ataupun keinginan pihak-pihak dalam sebuah akta otentik yang dilakukan dengan cara melihat ketentuan yang diberlakukan.

  • 2.    Akta dari notaris berupa akta otentik berkekuatan dalam hal pembuktian bersifat sempurna jadi tak lagi diperlukan pembuktian atau penambahan alat bukti lain.

Akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang dengan sifat umum yang berasal dari jabatan seorang Notaris. Selama akta bisa dibuktikan kesesuaiannya, disimpulkan bahwa akta dinyatakan otentik dengan mengandung keterangan para pihak terkait yang disampaikan pada notaris, hal ini didukung dengan data-data yang sah serta saksi-saksi yang bertanggung jawab selaras dengan pengaturan yang mengatur tentang hal ini. Akta yang dimaksudkan dibuat seperti semula dan dengan sengaja dibuat untuk keperluan pembuktian saat dibutuhkan. Perjanjian memiliki sifat tertulis yaitu berupa akta tidak serta-merta membuat sahnya sebuah perjanjian, namun hanya supaya bisa dipergunakan sebagai alat bukti pada persidangan. Dengan demikian sebuah akta memiliki fungsi yang akan dijabarkan sebagai berikut: Fungsinya yang formil dan Fungsi sebagai alat bukti (probationis causa).14

SKMHT memberi posisi yang kuat pada kreditur dalam perjanjian dikarenakan SKMHT tidak lagi bisa ditarik kembali dan tidak bisa berakhir dengan alasan apapun dengan pengecualian jika telah digunakan atau dengan sebab telah melewati tenggang

waktu yang sudah diatur dalam ketentuan. Seorang kreditur seharusnya tidak meragukan kekuatan SKMHT, melainkan yang harus mendapat perhatian ialah masa tenggang keberlakuan SKMHT dikarenakan SKMHT dapat batal demi hukum jika masa berlakunya telah habis, sehingga dapat ditarik kesimpulan jika SKMHT masa berlakunya habis dan tidak ada kompensasi dalam perpanjangan. Hal tersebut yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu tentang berakhirnya masa berlaku SKMHT. Teori pertanggungjawaban secara hukum, sangat perlu untuk dapat menjawab mengenai hubungan pertanggungjawaban oleh notaris yng berhubungan dengan wewenang nya sesuai UUJN yang ada dalam lingkup hukum keperdataan. Wewenang yang dimaksud disini merupakan salah satu alat bukti yang bisa memberi kepastian secara hukum untuk pihak yang selanjutnya menjadi sebuah delik atau perbuatan hukum yang harus dipertanggung jawabkan secara pidana. Suatu akta yang bersifat otentik memiliki syarat yang diatur dalam undang-undang yakni berupa tiga aspek penting: a. Aspek Lahiriah (uitwendige bewijskracht)

adalah keahlian secara lahiriah dari suatu akta dari notaris, yang berguna untuk melakukan pembuktian keabsahan sebuah akta yang bersifat otentik (acta publica probantseseipsa). Jika ditinjau dari sifat lahirnya, suatu akta memiliki bentuk berupa akta yang sifatnya otentik yang mana memuat tentang prasyarat suatu akta, agar selanjutnya akta tersebut dapat dipergunakan sebagai akta yang otentik sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Hal ini berarti akta berlaku sampai terdapat hal yang membuktikan jika akta tersebut bukanlah akta yang otentik secara aspek lahiriah. Aspek lahiriah dari akta notaris dijelaskan dalam Pasal 38 dan pasal 42-43 UUJN. Adapun pembuktian secara negatif yang bermakna beban dari pembuktian berada di pihak yang menyangkal ke-otentikan suatu akta notaris. Alat ukur yang digunakan untuk penentuan akta yang dianggap akta yang otentik ialah tandatangan notaris yang mana berkaitan dalam minuta akta dan salinan akta ataupun wujud akta tersebut yang ada di awal akta dari bagian judul akta sampai pada penutup akta.

  • b.    Aspek Formal (formele bewijskracht)

aspek formal digunakan untuk pembuktian tentang kebenaran waktu/ pukul berapa, hari, tanggal, bulan, tahun pada saat menghadap notaris yang dilakukan pihak penghadap serta saksi-saksi. Serta melakukan pembuktian apa yang disaksikan/dilihat dan di dengarkan oleh notaris dalam berita acara serta mencatatkan keterangan tersebut dalam akta pihak. Penjelasan ini berdasarkan dengan tugas dan fungsi dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. Dan pihak yang menyangkal akta wajib balik memberi bukti guna penyampaian bantahan aspek formal suatu akta notaris.

  • c.    Aspek Materiil (Materile bewijskracht)

Penjelasan dimuat pada akta keterangan/akta pejabat milik pihak maupun akta berita acara milik pihak yang diserahkan pada notaris, kemudian pihak-pihak diharuskan menyampaikan kebenaran pada apa yang dikatakannya yang untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam suatu akta notaris yang benar. Ataupun tiap pihak-pihak yang datang keterangannya akan dimuat dalam akta harus memberi kebenaran dalam berkata. Kalaupun dalam praktiknya keterangan yang diberikan penghadap tidak benar dari hal tersebut akan menjadi pertanggungjawaban masing-masing pihak.

  • 4. Kesimpulan

SKMHT termuat pada Pasal 15 ayat (1) UUHT yang mengandung makna “Notaris yang membuat akta, berkenaan dengan bentuk dan susunan kalimatnya.” Namun dalam praktiknya, Notaris tidak membuat SKMHT, dan hanya mengisi SKMHT saja karena bentuk dan susunan kalimat sudah ditentukan BPN. Hal ini berarti SKMHT tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik. SKMHT yang tidak memenuhi bentuk dan format yang telah disediakan tersebut tidak diterima oleh BPN, padahal Pasal 15 ayat (1) UUHT secara tegas menjelaskan SKMHT dibuat oleh Notaris. Hal ini tidak sesuai dengan wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik. Berdasarkan hal itu, maka perlu adanya tinjauan kembali terhadap kewenangan Notaris dalam membuat SKMHT. Selain itu, Tanggung Jawab Notaris yang berupa kewenangan dalam menjalankan tugas jabatannya tercantum dalam Pasal 15 UUJN, sehingga dalam kewenangan tersebut dapat memberikan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Notaris yang terdiri dari tiga aspek penting yaitu: Aspek Lahiriah, formil & materiil.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Habib, Adjie. (2013). Menjalin Pemikiran Pendapat Tentang Kenotariatan (Kumpulan Tulisan). Bandung. PT.Citra Aditya Bandung.

Kohar, A .(2003). Notaris Dalam Praktek Hukum. Bandung.Alumni.

Soekanto, Soejono. (2013). Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Raja Grafindo Persada. Jakarta

Jurnal

Andriyani, Shinta. (2017). Kajian Yuridis Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Menurut UU No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Jurnal Jatiswara: Universitas          Mataram,          Vol.          30          No.          2.,

jatiswara.unram.ac.id/index.php/js/article/view/106.

Anggraeni, S. Z., & Marwanto, M. (2020). Kewenangan dan Tanggung Jawab Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik. Acta Comitas:   Jurnal Hukum Kenotariatan, 5(2)

DOI:org/10.24843/AC.2020.v05.i02.p05.

Brawijaya, E. T., & Ariani, I. G. A. A.2015. Kewajiban Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) Segera Setelah Ditetapkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4. (2).

Erawati, N. M., & Sukerti, N. N. 2016. Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Yang Dibuat Berdasarkan Akta Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah Sebagai Objek Hak Tanggungan. Journal Kertha Semaya, 4(1).

Hendra, R.,  (2012). Tanggung jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang

Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu di Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu

Hukum, 3(1). DOI:org/10.24843/AC.2020.v03.i01.

Rositawati, D., Utama, A., Made, I. and Dewi Kasih, D.P., (2017). Penyimpanan

Protokol Notaris secara Elektronik dalam Kaitan Cyber Notary. Acta Comitas 2. 3. DOI:org/10.24843/AC.2017.v02.i03.

Subhan, M. (2020). Kepastian Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Akibat Keterlambatan Menerbitkan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Journal de Facto, 7(1).

Primayadnya, I. G. N. K., & Ranawijaya, I. B. E. (2019). Pelaksanaan Perjanjian Kredit Bank Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) di Kabupaten        Tabanan.        Journal        Kerta        Semaya,7(11)

DOl.org/10.24843/KM.2019.v07.i04.

Herawan, L. C. (2013).Pengaturan Kewenangan Pembuatan  Surat  Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Calyptra, 2(2).

Waringga, Stefanie. (2020). Tanggung Jawab Notaris Yang Memiliki Kewenangan PPAT Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Jurnal Privat   Law:   Universitas Sebelas   Maret,   Volume   III,   No.2., DOI:

jurnal.uns.ac.id/privatlaw/article/download/48425/29959.

Wibawa, P. G. S., Windari, R. A., Sudiatmaka, K., & Si, M. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Notaris Terhadap Pemanggilan Notaris Oleh Penegak Hukum Dalam Proses Peradilan Di Tinjau Dari Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor    2    Tahun    2014.    Jurnal    Komunitas    Yustisia,    2(1).

DOI.org/10.2768/AC.2019.v02.i01.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

678