Vol. 06 No. 03 Desember 2021

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Kedudukan Desa Adat Sebagai Pemegang Hak Milik Atas Tanah Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia

I Putu Agus Adi Saputra1 , I Ketut Westra2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

  • 2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk : 10 Juni 2021

    Diterima : 21 November 2021

    Terbit : 1 Desember 2021

    Keywords :

    Land, Transfer of Rights to

    Land, Pakraman Village


Abstract

Kata kunci:

Tanah, Peralihan Hak Atas

Tanah, Desa Adat

Corresponding Author: I

Putu Agus Adi Saputra1 E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2021.v06.i03.p17


  • 1.    Pendahuluan

Tanah dan manusia adalah dua hal yang berhubungan sangat erat. Tanah memiliki berbagai peran penting pada kehidupan manusia.1 Hal itu dapat dipahami karena tanah ialah tempat tinggal, tempat berlangsungnya kehidupan, manusia juga sebagai tempat mendapatkan pangan dengan mendayagunakan tanah. Secara tidak langsung tanah juga menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendasar di kehidupan manusia. Semua mahkluk hidup juga memerlukan tanah yang dapat membuat berbagai tanaman tumbuh yang dimana hal ini sangat dibutuhkan oleh manusia atau mahkluk hidup lainnya. Berdasar pada pemahaman tersebut dapat dipahami bahwa tanah memiliki peranan yang sangat penting karena pada ia menjadi sumber dari kehidupan itu sendiri yang tereflek dari realitas dimana keseluruhan aktivitas yang dijalankan manusia akan selalu dan pasti memerlukan tanah sebagai penopangnya. Tanah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia memiliki keterikatan akan tanah seperti menanam tumbuhan untuk keberlangsungan hidup manusia, tanah untuk membangun tempat tinggal serta dalam kehidupan sehari-hari manusia berpijak dengan tanah. Seiring berjalannya waktu, manusia akan menyadari pentingnya kepemilikan hak atas tanah. Tidak jarang kerap terjadi konflik dalam hal kepemilikan hak atas tanah.

Masyarakat menilai tanah ialah “sebagai muasal kehidupan dari lahir hingga meninggal dunia. Tanah dipakai untuk tempat tinggal dan sumber penghidupan manusia seperti menanam padi, jagung dan sayur-sayuran. Secara teoritis, tanah menjadi fondasi yang amat berperan bagi berlangsungnya hidup manusia, disamping itu tanah merupakan akar kekayaan bagi mereka yang mempunyai dan menguasainya karena seluruh yang dikandung didalamnya merupakan akar pendapatan ataupun akar penghasilannya. Arti penting tanah untuk kehidupan manusia yakni memiliki kontribusi yang sangat mendasar bagi Bangsa Indonesia perihal melaksanakan dan melanjutkan pembangunan nasional untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.John Rawls berpendapat bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama yang serupa dengan yang lainnya termasuk hak atas tanah”2. Adanya pernyataan berikut mewajibkan setiap pemerintah perlu mengeluarkan regulasi mengenai tanah. Indonesia salah satunya telah menerbitkan UU No.5/1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UU No. 5/1960).

Terobosan ini juga untuk membebaskan tanah Indonesia dari belenggu masa kolonial Belanda. UU No. 5/1960 lahir memberi kepastian terkait status masyarakat atas kepemilikan tanah. UU No. 5/1960 merupakan “aturan dasar yang mengatur mengenai pertanahan Indonesia.” Selain UU No.5/1960 masih ada lagi peraturan-peraturan yang dirancang oleh pemerintah untuk membuat sempurna aturan berkenaan dengan status kepemilikan tanah yang bisa dijalankan oleh masyarakat Indonesia. Konflik perebutan hak atas tanah biasanya diwarnai dengan berbagai kepentingan. Salah satu kasus yang terjadi di Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampak

Siring Kabupaten Gianyar merupakan salah satunya.3 Tanah seorang warga desa adat yang selama ini dipinjamkan untuk keperluan balai desa tanpa adanya pembebanan biaya kepada pihak desa dan lainnya. Setelah adanya kebijakan sertifikat tanah oleh Presiden Jokowi, pemerintah desa setempat mengatakan ingin mensertifikatkan tanah tersebut atas nama desa. Pihak keluarga pemilik tanah menyatakan tidak setuju karena ditakutkan terjadi penyimpangan dalam nama pemilik dari sertifikat tanah tersebut. Sampai saat ini belum permasalahan ini belum terselesaikan. Terkait dengan hal ini bilamana menelaah pada Peraturan Pemerintah No. 38/ 1963 tentang Penunjukan Badan Hukum Yang Dapat Memiliki Hak Atas Tanah memang melakukan penunjukkan terhadap badan-badan hukum untuk dapat memiliki hak atas tanah namun desa adat tidak termasuk didalamnya, sehingga dalam hal ini sangat diragukan apabila dilakukan pernyertifikatan tanah atas nama desa itu sendiri. Disi lainnya pasca ditetapkannya Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 276/KEP-19.2/X/2017, secara tegas memberika legitimasi terhadap Desa Adat (pakraman) sebagai subyek pemilik hak atas tanah. Kendati demikian tanah persoalan tentang tanah warga yang dipinjamkan untuk dimanfaatkan sebagai balai desa namun selanjutnya ingin disertifikatkan atas nama desa menjadi tanah desa tentu membutuhkan pengkajian lebih lanjut.

Berangkat dari uraian permasalahan tersebut, selanjutnya dapat ditarik dua rumusan masalah utama yakni bagaimana ketentuan terkait peralihan hak atas tanah dan kedudukan Desa Adat sebagai pemilik hak atas tanah ditinjau berdasarkan hukum positif Indonesia?. Tujuan dalam penulisan ini ialah guna mengkaji dan mengetahui terkait peralihan hak atas dan mengetahui dan mengkaji tentang kedudukan Desa Adat sebagai pemilik hak atas tanah berdasarkan hukum positif Indonesia.

State of art dari penelitian Penelitian terdahulu ialah oleh Nunuk Sulisrudatin berjudul “Keberadaan Hukum Tanah Adat Dalam Implementasi Hukum Agraria” dengan gokus pengkajian dalam penelitian tersebut ialah meninjau eksistensi desa adat dan perkembangan pengaturan tanah adat di Indonesia, sedangkan penelitian ini dilakukan lebih aktual sehingga terdapat unsur kebaharuan atas penggunaan dasar hukum yang diuraikan.4 Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Anak Agung Ayu Intan Puspadewi berjudul “Penunjukan Desa Pakraman Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 276/KEP-19.2/X/2017”5. Penelitian tersebut berfokus pada “Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 276/KEP-19.2/X/2017”, sedangkan penelitian ini berfokus pada berfokus pada kedudukan desa adat atas potensi sengketa yang dapat terjadi dari upaya peralihan hak milik atas tanah dari warga yang sebelumnya dimanfaatkan oleh desa adat sebagai balai desa menjadi hak milik desa adat.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan ini termasuk penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau biasa disebut dengan ‘penelitian kepustakaan’ yakni penelitian dengan cara menelaah bahan atau data sekunder perihal penelitian pada asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian tahap sinkronasi norma vertikal dan horizonal, penyelarasan hukum dan sejarah hukum6. Dalam penelitian ini terkait analisis kepemilikan tanah oleh desa adat yang bukan merupakan badan hukum yang memiliki kewenangan untuk memiliki hak atas tanah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua) yaitu statute approach dan conceptual approach.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Ketentuan Peralihan Hak Atas Tanah

UU No. 5/1960 ialah “salah satu aturan hukum yang mengatur tentang tanah dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal serta didasarkan kepada hukum adat sebagai hukum asli yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern. Ketentuan yuridis mengenai dalam bidang pertanahan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Hukum tanah di Indonesia didasarkan pada hukum adat. Pasal 5 UU No. 5/1960 mengatur:

“hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang bedasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama”.

Landasan hukum hak atas tanah dimuat dalam Pasal 4 Ayat (1) UU No.5/1960 yang mengatur “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Hak atas tanah ialah hak yang memberikan keleluasaan terhada[ pemegang haknya dalam menentukan cara menggunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang dimilikinya. Berkaitan dengan hal tersebut, hal penting lain yang mesti dipahami adalah keleluasaan menggunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang dimiliki menjadi secara tidak langsung menjadi penentuan hal yang wajib, dilarang atau boleh dilakukan menjadi bagian dari isi hak penguasaan. Hal ini pula yang menjadi faktor yang menimbulkan atau membut adanya perbedaan diantara hak-hak penguasaan atas tanah. Adapun secara teoritis jenis-jenis dari hak atas tanah menurut UU No. 5/1960 diantaranya:

  • 1.    “Hak Milik

Berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa hak tersebut memiliki fungsi sosial.”

  • 2.    “Hak Guna Usaha

Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

  • 3.    Hak Guna Bangunan

Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mempunyai maupun mendirikan bangunan diatas tanah dalam jangka waktu tertentu yang mana bangunan diatas tanah tersebut bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 tahun.

  • 4.    Hak Pakai

Berdasarkan Pasal 41 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa Hak Pakai adalah hak untuk mengunakan dan memungut hasil dari suatu tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain dalam hal ini berdasarkan keputusan oleh pejabat untuk memberikannya sedangkan apabila melalui milik orang lain maka berdasarkan perjanjian”.7

Peralihan hak atas tanah ialah perbuatan hukum yang dilakukan agar kepemilikan bisa berpindah ke orang lain dengan sengaja8. Secara yuridis peralihan ini dilaksanakan melalui akta yang dbuat tertulis oleh pejabat yang berwenang di kantor pertanahan. Hal ini berkenaan dengan legalitas dari peralihan yang dilakukan atas prosedur yang berkesesuain dengan undang-undang. Bilamana prosedur formal tidak dilakukan tentu ini berimplikasi pada aspek legalitas perbuatan peralihan itu sendiri. 9 Berdasar Pasal 26 ayat (1) UU No.5/1960 mengatur “Hak atas tanah seperti hak milik dapat beralih dan dialihkan”. Beralihnya hak atas tanah disebabkan karena pewarisan, sedangkan dialihkan disebabkan karena adanya jual beli, hibah wasiat, tukar menukar”.

Hukum adat mengatur perihal hubungan tanah dengan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang menduduki dengan suatu makna tersendiri. Hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah sangat erat dan bersifat religious magis10.

Pemahaman sifat hubungan religious magis tentu diletakkan dalam pendekatan realitas dimana tanah dimaknai sebagai sesuatu yang mengandung “value” dan “virtue”. Adapun syarat-syarat peralihan hak atas tanah terdiri dari syarat formal dan material. Dalam kerangka teoritisnya, beberapa Syarat materil berpengaruh terhadap keabsahan jual beli tanah, yakni:

  • “1.    Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli

memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai11

  • 2.    Penjual berhak menjual kembali tanah yang bersangkutan. Yang berhak menjual suatu bidang tanah tertentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual12

  • 3.    Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa. Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai. Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya. Pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum Artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli. Penjual berhak dan berwenang menjual hak atas tanah. Yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau selain sertifikat. Seseorang berwenang menjual tanahnya kalau dia sudah dewasa. Kalau penjualnya dalam pengampuan, maka dia diwakili oleh pengampunya. Kalau penjualnya diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa, maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notaril.”13

Merujuk Pasal 20 UU No.5/1960 diatur bahwa:

  • “(1 ) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6

  • (2)    Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”

Selanjutnya terkait hak milik ditentukan pula melalui Pasal 21 UU No.5/1960 sebagai berikut:

  • (1)    “Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

  • (2)    Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. "

  • (3)    “Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya   undang-undang   ini kehilangan

kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

  • (4)    Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini”.

Mengenai syarat formil. Pasal 37 PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur:

  • (1)    “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • (2)    Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan Negara sebidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan”.

Pasal 40 PP No.24/1997 mengatur bahwa:

  • (1)    “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

  • (2)    PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan”.

Dalam Pasal 26 UU No.5/1960 diatur bahwa :

  • (1)    “Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  • (2)    Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2).” Adalah batal “karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”.

Berdasarkan PP No. 24/1997, “peralihan tanah dan benda- benda di atasnya dilakukan dengan akta PPAT, lebih lanjut Pengalihan tanah dari pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis yaitu penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat, dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan, menggunakan dokumen, dibuat oleh dan dihadapan PPAT.”

  • 3.2 Kedudukan Desa Adat Sebagai Pemilik Hak Atas Tanah Ditinjau Berdasarkan Hukum Positif Indonesia

Bali merupakan pusat pariwisata dunia yang membuat orang-orang berlomba-lomba untuk menguasai tanah di Bali. “Bali yang terkenal dengan karasteristiknya terlihat dari kehidupan agama Hindu, adat dan budaya yang menyatu padu dalam suasana harmonis dengan tidaklah terlepas dari peran serta seluruh komponen serta warisan suatu prinsip kesatuan masyarakat yang ada jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu Desa Pekraman. Desa adat di Bali merupakan salah satu dari berbagai kesatuan hukum masyarakat adat di Indonesia. Desa adat sebagai kesatuan hukum adat diikat oleh adat istiadat atau hukum adat yang memiliki aturan-aturan tata krama tidak tertulis maupun tertulis yang dibuat bersama yang biasanya dikenal dengan nama awig-awig. Desa adat memiliki kedudukan ganda yakni bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan dan mempunyai fungsi yaitu membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, melaksanakan hukum adat dan istiadat.”PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa memberikan pengertian bahwa “Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Desa adat memiliki bidang tanah yang dijadikan lokasi pembangunan. Desa adat setidaknya memiliki bidang tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi bangunan milik Desa adat seperti bangunan pura kahyangan desa sebagai tempat pakraman persembahyangan bersama warga Desa adat, memiliki bidang tanah sebagai tempat bangunan balai pertemuan, seperti balai banjar, wantilan desa dan lain-lain. Setiap Desa adat juga pasti memiliki tanah yang difungsikan sebagai tanah kuburan sehingga dalam hal ini status tanah yang dimiliki desa adalah hak milik.

“Hak milik merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh diantara hak-hak tanah lainnya.Hak milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut”.

Pada dasarnya hanya WNI yang bisa memiliki Hak milik atas tanah dan hal tersebut tidak dapat dimiliki WNA. Konflik mengenai peralihan hak atas tanah sering terjadi mengingat adanya kebutuhan akan tanah yang meningkat setiap tahunnya. Klaim atas tanah atas kasus diatas tentunya akan menimbulkan konflik karena adanya ketidaksetujuan dari pihak keluarga. Proses pemberian hak untuk pemanfaatan tanah oleh pihak keluarga dengan pihak pemerintahan desa dilakukan secara sukarela tanpa ada perjanjian apapun. Pasal 4 Ayat (1) UU No. 5/1960 menyatakan bahwa “tidak ada Desa adat yang dapat memiliki hak milik atas tanah, yang dapat memiliki hak milik atas tanah adalah orang baik secara sendiri maupun bersama dengan orang lain dan badan hukum”. Hal ini didukung dengan Pasal 1 PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum mengatur “yang dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah adalah sebagai berikut :

  • 1.    Bank Negara

  • 2.    Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958.

  • 3.    Badan-badan keagamaan

  • 4.    Badan-badan sosial.”

Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelas bahwa desa bukanlah subyek hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah. Pasal 1 angka 4 Perda No. 3/2003 mengatur “Desa adat adalah kesatuan masyarakat Hukum adat di provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat hindu”. Tanah Desa adat di Bali dibagi menjadi 4 jenis yaitu14 :

“1.Tanah Desa

  • 2. Tanah Laba Pura

  • 3. Tanah Pekarangan Desa

  • 4. Tanah Ayahan Desa.”

Secara teoritis, dalam peralihan di tengah masyarakat yang tunduk pada hukum adat dapat diidentifikasi sebagai berikut:15

“a.Peralihan hak harus bersifat kontan dan terang, maksudnya penjual menyerahkan barang sesuai harga yang telah disepakati dan langsung menerima barangnya. Peralihan tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang ( biasanya di hadapan Kepala Desa atau Kepala Persekutuan Hukum Adat) dengan disaksikan beberapa orang saksi

  • b. Adanya jaminan dari kepala suku/masyarakat hukum/desa agar hakhak ahli waris, para tetangga (buren recht)dan sesama anggota suku (Naastings recht) tidak dilanggar apabila tanah haknya akan dialihkan. Apabila transaksi atau peralihan hak atas tanah tersebut tidak ada dukungan (jaminan) dari kepala suku/masyarakat adat/desa, maka perbuatan tersbut dianggap perbuatan yang tidak terang, tidak sah dan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Pada suatu hak yang belum didaftar pertama kali baik secara sporadik dan sistematis yang berarti tanah tersebut tidak memiliki alat bukti, namun dilakukan peralihan melalui dibawah tangan dengan diketahui oleh kepala Desa/lurah.”

Berkenaan dengan tanah yang dipersengketakan adalah tanah warga yang dipinjamkan untuk dimanfaatkan sebagai balai desa namun ingin disertifikatkan atas nama desa menjadi tanah desa. Tanah desa adalah tanah yang dipunyai dengan umumnya didapati melali usaha usaha pembelian dengan dana desa maupun usaha lainnya sedangkan tanah yang disengketakan bukan hasil membeli sehingga sudah jelas bukan tanah milik desa sehingga desa tidak dapat menyertifikatkan tanah tersebut. Kemudian kenyataan bahwa desa bukan merupakan subyek hukum yang dapat memiliki hak atas tanah sehingga apabila disertifikatkan maka tanah tersebut harus atas nama perseorangan sehingga dikhawatirkan terjadi penyimpangan terhadap kepemilikan atas tanah.

  • 4. Kesimpulan

Ketentuan peralihan hak atas tanah didasarkan pada UU 5/1960 dan PP No.24/1997 sebagai peraturan turunan. “Peralihan hak atas tanah sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang sengaja dilakukan agar hak itu terlepas dari pemegangnya semua dan beralih ke pihak lain. Peralihan hak atas tanah

merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan disengaja agar kepemilikan berpindah ke orang lain. Hak atas tanah seperti hak milik dapat beralih dan dialihkan. Beralihnya hak atas tanah disebabkan karena pewarisan, sedangkan dialihkan disebabkan karena adanya jual beli, hibah wasiat, tukar menukar. Selanjutnya terkait kedudukan desa adat sebagai pemilik hak atas tanah ditinjau berdasarkan hukum positif Indonesia ialah dapat berkedudukan sebagai subyek pemilik hak atas tanah yang biasa didapati melali usaha usaha pembelian dengan dana desa maupun usaha lainnya.” Kendati demikian atas tanah yang disengketakan bukan hasil membeli sehingga sudah jelas bukan tanah milik desa sehingga desa tidak dapat menyertifikatkan tanah tersebut.

Daftar Pustaka /Daftar Referensi

Buku

Bahhrul Amal, (2017), Pengantar Tanah Nasional (Sejarah, Politik dan Perkembangannya), Thafa Media, Yogyakarta.

Dharmayudha, I Made Suasthawa, (2001), Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Bali di Provinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar.

Syarief, E. (2014). Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Gramedia.

Supriadi, (2012).Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika.

Sutedi, Andrian. (2014), Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta, Sinar Grafika.

Suwitra, I Made, 2020, Penguatan Desa Adat dalam Pengelolaan Tanah Ulayat dalam Perfektif Koeksistensi dalam Menabur Pesona, Merebut Kuasa, Pustaka Larasan, Denpasa

Jurnal

Auri. (2014). Aspek Hukum Pengelolaan Hak Pakai Atas Tanah Dalam Rangka Pemanfaatan Lahan Secara Optimal, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 1 (2), https://doi.org/10.35968/jh.v4i2.96

Dewi, S. (2020). Kedudukan Dan Perlindungan Masyarakat Adat Dalam Mendiami Hutan                 Adat.                 Jurnal                 Legislatif,

http://dx.doi.org/10.28946/slrev.Vol1.Iss2.43.pp179-190

Erlina, E. Analisis Yuridis Pembatalan Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah. El-Iqthisadi: Jurnal Hukum Ekonomi   Syariah,   1(1),   https://doi.org/10.24252/el-

iqthisadi.v1i1.9911

Maulidi, M. J. (2017). Analisis Hukum Tentang Peralihan Hak Milik Atas Tanah Dengan Bukti Akta Di Bawah Tangan. Jurnal Kajian Hukum Dan Keadilan, 5(3), https://core.ac.uk/reader/235205390

Puspadewi, A. A. (2018). Penunjukan Desa Pakraman Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) atas Tanah Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 276. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017, https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p16

Rasyad, M. (2019). Pembuatan Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah

Ulayat.           Soumatera           Law           Review,2(1),

https://doi.org/10.22216/soumlaw.v2i1.3569

Saranaung, F. M. (2017). Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Menurut Peraturan  Pemerintah Nomor  24 Tahun 1997. Lex Crimen,6(1),

http://dx.doi.org/10.28946/rpt.v9i1.358

Santoso, U. (2014). Kepastian Hukum Wakaf Tanah Hak Milik. Jurnal Perspektif, 19(2).

Sulisrudatin, N. (2018). Keberadaan Hukum Tanah Adat Dalam Implementasi Hukum Agraria.       Jurnal       Ilmiah      Hukum       Dirgantara,4(2),

https://doi.org/10.35968/jh.v4i2.96

Wiasta, I. W. (2020). Implikasi Penunjukan Desa Adat Sebagai Subyek Hak Atas Tanah Terhadap Eksistensi Tanah Adat.Jurnal Ilmiah Raad  Kertha,3(2),

https://doi.org/10.47532/jirk.v3i2.216

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 tertanggal 23 Oktober 2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah

706