Vol. 06 No. 03 Desember 2021

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Penyelesaian Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat

Ni Made Indahwati1, I Dewa Ayu Dwi Mayasari2

Fakultas Hukum Universitas Udayana. Email : [email protected] Fakultas Hukum Universitas Udayana. Email : [email protected]

Info Artikel

Masuk : 25 Juni 2021

Diterima : 21 November 2021

Terbit : 1 Desember 2021

Keywords :

Encumbrance, Mortgage

Rights, Uncertified Land


Kata kunci:

Pembebanan, Hak Tangungan, Tanah Belum Sertifikat

Corresponding Author:

Ni Made Indahwati, E-mail

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2021.v06.i03.p18


Abstract

This article to analyze the imposition of land mortgages that do not yet have a certificate and solutions if the givere mortgage on land that does not have the certificate has died and there is an heir while the credit has not paid off. The method in this writing is using the method of normative juridical law. This study also uses an assessment of existing library materials such as rules and legislation, related literature. It can be concluded that uncertified land can be charged with Mortgage as long as the application for credit is carried out simultaneously with the registration of the transfer of land rights to the BPN and if the debtor dies before the repayment period ends, the debt on the credit can be transferred to the heirs of the debtor.

Abstrak

Artikel ini bertujuan menganalisis mengenai Pembebanan dari hak tanggungan yang belum memiliki sertifikat serta solusi jika pemberi dari Hak Tanggungan berupa tanah yang tidak memiliki sertifikat tersebut sudah meninggal dunia serta adanya pewaris sementara kredit belum lunas terbayarkan. Metode dalam penulisan ini yaitu menggunakan metode hukum yuridis normative. Penelitian ini juga menggunakan pengkajian bahan pustaka yang ada seperti aturan serta perundang-undangan, literatur yang mempunyai kaitan. Dapat disimpulkan bahwa tanah yang belum bersertifikat dapat dibebankan Hak Tanggungan sepanjang pengajuan kredit dilakukan secara bersamaan dengan pendaftaran peralihan ha katas tanah ke BPN dan Apabila debitur meninggal dunia sebelum jangka waktu pelunasan berakhir, maka utang atas kredit tersebut dapat dialihkan kepada ahli waris dari debitur.

korporasi/perusahaan. Bank selaku kreditur wajib mempertahankan kelangsungannya dengan cara konsisten menjaga keterampilan untuk menghasilkan produk jasa yang bisa menaikkan struktur pendanaan dan dalam sistem pemberian modal. Fungsi lain dari Bank ialah menyediakan dana bagi para kreditur. Hal tersebut tidak terlepas dari hukum jaminan yang memadai dan dapat memberi kemudahan serta kepastian saat praktik yang sangat diharapkan sebagian banyak pebisnis.

Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan mengatur saat pemberian kredit ataupun saat penyaluran dana/pembiayaan sesuai dengan prinsip bank umum maupun prinsip syariah memiliki keyakinan analisa yang dalam itikad dan kemampuan tentang kesanggupan nasabah dalam pelunasan utang seperti yang diperjanjikan yakni untuk mendapat kepercayaan.1 Tidak ditegaskan dalam setiap pembiayaan debitur atau saat memberi kredit diharuskan memberi pejaminan (collateral) pada kreditur. Pengaturan dalam Pasal 8 ayat (1) diuraikan bahwa untuk mendapatkan keyakinan seperti apa yang dijelaskan diatas, sehingga pihak bank wajib menilai secara saksama terhadap modal, agunan, watak, kemampuan serta prospek usaha dari nasabah/debitur itu sendiri. Kemampuan modal, agunan, watak dan prospek dalam perbankan disebut dengan ungkapan lain “The Five C’s,character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal), collateral (agunan) dan condition of economic (kondisi atau prospek usaha)”.2 Pihak perbankan tidak ada kewajiban untuk memohon penjaminan nasabah/debitur pada saat dikeluarkannya kredit, namun hal yang dimaksud menjadi penting saat dihubungkan dengan keamanan dalam kredit yang ditawarkan, jika nasabah/debitur ingkar janji. Jaminan atau agunan bisa dieksekusi untuk pelunasan utang piutang debitur kepada kreditur. Istilah lainnya, suatu penjaminan ialah usaha antisipatif yang berasal dari bank agar debitur bisa melakukan pembayaran utang dengan melakukan penjualan aset yang dijaminkan atas piutangnya. Perjanjian accesoir yang ada hanya berlaku saat perjanjian pokoknya masih berlaku.

Hak tanggungan diatur dalam “Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah” yang selanjutnya disebut UUHT, mengatur Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang. Pembebanan hak atas tanah bisa dilakukan jika objeknya sudah sesuai dengan persyaratan yaitu objek merupakan sesuatu yang bisa dinilai dengan uang, objeknya tergolong dalam hak yang bisa terdaftar didaftar umum memiliki sifat yang bisa dipindahtangankan dan perlu ditunjukkan oleh perundang-undangan.3 Pasal 4 ayat (1) UUHT mengatur "Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan."

Pengaturan dalam UUHT dijelaskan secara umum ada 2 aspek tetap yang dihasilkan hak objek tanggungan, diantaranya hak yang sesuai dengan pengaturan yang berlaku diwajibkan untuk didaftarkan di kantor pertanahan. Aspek yang disebutkan berhubungan dengan kedudukan yang diutamakan atau disebut dengan kreditur

Karenanya diwajibkan membuat nota atau catatan tentang tanggungan dalam buku tanah serta sertfikat hak atas tanah yang mengalami pembebanan agar orang-orang bisa memahami, hal ini merupakan cerminan dari asas publisitas. Objek hak tanggungan wajib didaftar dan mempunyai sertifikat berupa hak atas tanah. Permasalahan yang kerap terjadi adalah tanah yang akan dibebankan Hak Tanggungan sering kali belum memiliki sertfikat dan kondisi pada tanah yang belum memiliki sertifikat akan lebih parah jika debitur selaku pemegang hak yang sudah mengalami pembebanan hak tanggungan meninggal dunia dan tidak dapat menjalankan kewajibannya untuk melunasi utang atas kreditnya kepada Bank sebagai pihak kreditur. Hal tersebut tentu saja menjadi persoalan yang sangat berat bagi kreditur karena dapat mengganggu kelancaran akivitas kegiatan perbankan. Selanjutnya pengawas dapat melakukan pengajuan permohonan mendaftarkan tanah untuk pertama kali.4 Penjelasan yang disebutkan sebelumnya merupakan persoalan yang penulis pilih untuk mengkaji secara lebih rinci berkaitan dengan pembebanan Hak tanggungan terhadap tanah yang belum memiliki sertifikat. Kondisi itulah yang harus diamati oleh kreditur dalam aktivitas penyaluran kredit karena hal tersebut sangat berisiko pada kelangsungan usaha perbankan. Hal tersebut akan lebih baik jika pembebanan hak tanggungan diberi dengan SKMHT, sebab dalam hal tanah yang belum didaftarkan, pemberian SKMHT nya wajib berlanjut menjadi APHT, paling lambat tiga bulan sesudah memberikan SKMHT.5

Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini, mengkaji rumusan masalah yaitu Apakah tanah yang belum bersertifikat dapat dibebani Hak Tanggungan dan Bagaimana penyelesaiannya apabila debitur Pemberi Hak Tanggungan atas tanah meninggal dunia sebelum jangka waktu pelunasan berakhir. Tujuan dari artikel ini ialah untuk mengkaji dan mengenali pembebanan hak tanggungan pada tanah yang belum mempunyai sertifikat serta mengetahui penyelesaian permasalahan apabila pemberi Hak Tanggungan atas tanah meninggal dunia, namun jangka waktu pelunasan belum berakhir.

Terkait dengan penulisan artikel ini, terdapat beberapa artikel sebelumnya yang dijadikan rujukan, yakni penelitian dari Dewa Gede Angga Sumanjaya menemukan bahwa legalitas terhadap objek yang statusnya masih dalam proses perubahan menjadi hak milik terkait dengan membebankan hak tanggungan, legalitas tersebut bisa ditetapkan undang-undang, contohnya tanah adat yang mengalami konversi menjadi hak atas tanah, dikarenakan pelaksanaan administrasinya terkait dengan aturan dan ketentuan yang berlaku belum selesai, dapat dimanfaatkan dijadikan jaminan piutang pinjaman dengan dilakukanya pemebanan hak tanggungan.6 Adanya perbedaan pelaksanaan dari penerapan peraturan UUHT terkait pembebanan hak tanggungan dengan praktik pada kenyataannya berkaitan dengan tanah yang belum

bersertifikat.7 Hal ini yang menjadi penyebab pemilik tanah tidak dapat menggunakan objek tanahnya ketika mengajukan kredit. Dari uraian diatas, perlu dikaji kembali dari UUHT terkait objek tanah yang tidak bersertifikat serta solusi bagi yang memiliki hak waris jika kreditur meninggal. Perbedaan dari artikel yang telah dibuat sebelumnya yaitu dari objek yang dikaji dari penulisan artikel ini yang dengan lebih dalam membahas permasalahan tanah yang belum bersertifikat jika dibebankan hak tanggungan.

  • 2.    metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini yaitu menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu untuk dapat memberi gambaran kualitatif tentang pengenaan hak tanggungan tanah yang belum bersertifikat. Pendekatan yang akan digunakan yaitu perundang-undangan yang berlaku serta konseptual. Penelitian ini juga menggunakan pengkajian bahan pustaka yang ada seperti peraturan perundang-undangan dan beberapa literatur terkait dalam hubungannya dengan artikel ini. Jenis bahan hukum dari penelitian menggunakan 3 (tiga) jenis yaitu bahan hukum primer berupa aturan dan perundang-undangan yang relevan, yang kedua bahan hukum sekunder yaitu dengan referensi literatur, artikel, dan karya ilmiah yang berkaitan, dan bahan hukum tersier berupa internet. Terkait dengan teknik pengumpulan bahan hukum dipergunakan teknik dokumentasi, kemudian teknik analisis data mempergunakan teknik analisis kualitatif dengan mencatat bahan hukum yang dianggap relevan dengan masalah, kemudian dianalisa serta dibahas dan disajikan dengan deskriptif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Pembebanan Hak Tanggungan Bagi Tanah yang Belum Memiliki Sertifikat

Pembebanan Hak Tanggungan diterapkan berdasarkan 2 tahap proses yakni, melalui cara pemberian Hak Tanggungan, yang dibuat dihadapan PPAT, tahap kedua yaitu mendaftarkan pada kantor pertanahan. Tata cara dalam memberikan hak tanggungan wajib lebih dulu membuat kesepakatan guna memberi hak tanggungan yang mana sebagai penjaminan dalam pelunasan utang piutang. Kesepakatan yang dimaksud sebelumnya dipergunakan untuk memberikan hak tanggungan yang dimasukkan pada bagian perjanjian utang dari pihak yang terkait ataupun perjanjian lain yang dibuat dalam utang piutang tersebut. Tahap ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang mengatur “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utangnya”. Makna pasal tersebut menguraikan saat memberikan hak tanggungan wajib dibuat perjanjian sebelumnya, selanjutnya perjanjian yang disyaratkan wajib tertuang dalam perjanjian utang maupun perjanjian yang berkaitan dan menimbulkan utang lainnya. Hal ini merupakan implementasi dari pasal tersebut. Sebelum APHT dibuat kedalam suatu perjanjian utang dan dituliskan kata “janji” dalam memberikan hak tanggungan yang sebagai penjaminan dalam pelunasan suatu utang. Sifat dari hak tanggungan

merupakan perjanjian acessoir. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UUHT, saat memberikan hak tanggunga harus menyebabkan keterkaitan hukum utang piutang yang ada jaminan pelunasannya.

Penerapan Pasal 10 UUHT pada praktik perkreditan di Bank bisa dilihat dari muatan perjanjian pokoknya dimana mencantumkan klausula mengenai agunan, hal yang diatur diklausula tersebut ialah untuk penjaminan membayar piutang nasabah/debitur pada pihak bank, baik berupa pinjaman pokok, denda, bunga serta biaya lain, sehingga debitur menyerahkan agunan tanah dan bangunan, selanjutnya hasil karya dan tanaman yang diatas tanah tersebut merupakan milik yang memegang hak atas tanah serta atas penyerahannya untuk dibuatkan SKMHT. Dalam hak tanggungan, janji yang dimaksud perlu diperhatikan sebab frasa “didalam dan merupakan bagian” dalam perjanjian pokok tersebut sesuai yang diatur pada Pasal 10 ayat (1) UUHT, tidak akan mungkin janji memberikan hak tanggungan dijalankan pada akta yang terpisah, juga memakai SKMHT. Hasilnya adalah “janji” dalam memberi hak tanggungan wajib dituliskan lebih dulu pada perjanjian piutang pada perjanjian pokok. Dalam memberi APHT harus bertumpu pada perjanjian utang yang ada sebelum nya menjanjikan tentang memberi hak tanggungan. Jika kreditur wanprestasi/lalai dalam perjanjian utang, maka selanjutnya kreditur tidak memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan disisi lain dalam memberi hak tanggungan dilakukan cuma-cuma oleh nasabah/debitur(pihak ketiga) diperbolehkan.8

Pasal 10 ayat (1) UUHT mengatur bahwa suatu perjanjian yang menyebabkan timbulnya utang dapat dibuatkan akta dibawah tangan ataupun wajib dibuatkan menggunakan akta otentik, sesuai dengan ketentuan perjanjian tersebut. Perjanjian yang menyebabkan keterkaitan utang diatur dalam Pasal 10 ayat (10) UUHT, bisa diadakan dengan berdasar pada akta dibawah tangan ataupun berupa akta autentik yang sesuai dengan pengaturan hukum tentang materi perjanjian. Penjelasan tersebut bermakna keterkaitan dua pihak yang dalam perjanjian utang piutang wajib membuat secara tertulis dan dapat membuat perjanjian dibawah tangan selama muatannya tidak menyimpang dari syarat perjanjian. Pada dasarnya perjanjian kredit dapat diikat dengan bentuk perjanjian akta dibawah tangan ataupun menggunakan akta notariil. Namun dalam praktiknya yang diberlakukan dalam pemberian kredit dengan jumlah besar pada umumnya dibuat menggunakan akta notaris, sedangkan kredit dengan jumlah kecil hanya dibuat menggunakan akta di bawah tangan. UUHT juga mengatur satutus tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan yaitu hak guna usaha (HGU), Hak Milik, hak guna bangunan (HGB), Hak Pakai atas tanah negara dengan syarat didaftar serta mengandung sifat bisa dialihkan.

Menurut UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Hak Tanggungan prinsipnya pembebanannya terhadap tanah yang sudah didaftarkan, namun syarat yang disebutkan sebelumnya bisa mengalami pengecualian yang mana hak atas tanah dari konversi yang mengalami pendaftaran kemungkinan menjadi jaminan dalam pelunasan piutang yang terbebani hak tanggungan, kecuali yang disebutkan pada Pasal 10 ayat (3) UUHT, yakni jika objek dari Hak Tanggungan yang

berupa hak atas konversi sudah sesuai dengan prasyarat, dilakukannya pendaftaran tetapi pendaftaran belum dijalankan, pemberian hak tersebut dilakukan berbarengan bersama permohonan saat didaftarkannya hak atas tanah pihak yang terkait. Adapun syaratnya ialah yang ditetapkan oleh aturan yang berlaku yakni pasal 10 ayat (3) UUHT, yang memungkinkan pembebanan hak tanggungan bermuara dari konversi hak yang sudah lama atau terdahulu yang sudah sesuai dengan prasyarat pendaftaran namun belum rampung didaftarkan.

Berkaitan dengan pemberian hak tanggungan berdasarkan konversi yang diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UUHT, sesuai prasyarat pendaftaran bisa dijalankan dengan “bersamaan” menggunakan permohonan pendaftaran tanah yang dimaksud ke kantor pertanahan. Pembebanan Hak Tanggungan bisa dijalankan dengan posisi tanah sebagai objek hak tanggungan yang belum memiliki sertifikat. Dalam pembuatan APHT, jika Permintaan pendaftaran hak atas tanah diajukan berbarengan dengan permintaan pendaftaran hak tanggungan pihak terkait, tidak wajib menunggu sampai hak atas tanah yang menjadi penjaminan bersertifikat dengan nama yang memberi hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UUHT mengatur bahwa kemungkinan dalam memberi hak tanggungan hak atas tanah yang dimaksud guna pemberian kesempatan pada yang memegang hak atas tanah yang belum memiliki sertifikat untuk mendapat kredit. Pengaturan dalam Pasal 10 ayat (3) UUHT memiliki makna bahwa tanah yang digunakan dan belum memiliki sertifikat yang bukti kepemilikannya berupa girik petuk, dan sebagainya mungkin sebagai agunan sebagaimana diatur dalam UU Perbankan. Penjelasan atas Pasal 8 UU Perbankan, jika tanah yang kepemilikannya berdasar kepada hukum adat yakni tanah petuk, girik dan yang sejenis lainnya bisa dijadikan agunan, tetapi perikatan jaminan kredit hak tanggungannya di praktik dijalankan tanpa berdasar pada pasal 10 UUHT ataupun dengan melakukan pembuatan APHT, dalam hal ini pihak Bank hanya melakukan pembuatan SKMHT. Perikatan kredit pada tanah yang belum bersertifikat bisa dijalankan dengan prosedur seperti yang dijabarkan dibawah ini:

  • 1)    Dalam membuat akta perjanjian kredit dibawah tangan yang selanjutnya bisa juga perjanjian tersebut dibukukan kedalam buku khusus oleh Notaris.

  • 2)    Membuat SKMHT

  • 3)    Yang memiliki tanah melakukan pemberian kuasa pada bank guna menjalankan prose pendaftaran tanah untuk membuat sertipikat serta melakukan penyerahan segala dokumen yang perlu bagi kepentingan.

  • 4)    Proses mendaftarkan tanah dan objek jaminan dijalankan melalui Kantor Notaris/PPAT yang telah ditunjuk oleh bank sebagai kreditur.

  • 5)    Jika proses pendaftaran tanah telah selesai yang kemudian sertifikat tanahnya sudah terbit, sehingga pemilik tanah dapat dibebankan hak tanggungan.

Pada saat berpraktik, seorang Notaris wajib membuat SKMHT yang dapat mencerminkan kepastian hukum bagi pengikatan jaminan hak atas tanah yang belum bersertifikat yang menjadi agunan/jaminan, seperti yang sudah tercantum dalam pasal 15 ayat (4) UUHT. Namun hal tersebut yang menimbulkan adanya kendala untuk para PPAT maupun Notaris, sebab proses sertifikat diperlukan tenggang waktu melebihi tiga bulan, tidak menutup kemungkinan bisa sampai satu tahun, yang mengakibatkan PPAT maupun Notaris wajib menjalankan perpanjangan SKMHT. Saat menjalankan perpanjangan tersebut menimbulkan kendala-kendala contohnya mendatangkan pihak-pihak yang terkait termasuk juga membuat jadwal waktu yang

disepakati. Adapun kendala lainnya dapat terjadi pemborosan akta SKMHT yang dibuat oleh PPAT/Notaris yang membuatnya. Penulis berpendapat tentang pertimbangan hukum yang utama yakni tidak dibuatkannya APHT oleh pihak Bank dalam sesuatu perikatan kredit dengan objek yang belum bersertifikat, selebihnya disebabkan dalam masing- masing tanah yang belum bersertifikat belum dapat ditentukan hak atas tanah yang diartikan tersebut, sebab bila dinilai dari pemikiran hukum bidang pertanahan yang diatur di Indonesia Leter C/ Petok D maupun berupa girik atas pemilikan tanah dari hukum adat ataupun dari bidang yang lain yang sama jenisnya, bukan merupakan kepemilikan tanah tetapi petunjuk yang amat kuat ataupun disebut sebagai alat pembuktian yang bisa digunakan dalam proses mendaftarkan tanah. Dalam hal ini, penulis menemukan jika ketentuan Pasal 13 ayat (2), (3), (4), (5) yang bertentangan dengan Pasal 10 ayat (3) UUHT, dalam Pasal 10 ayat 3 dinilai kurang konsisten, hal ini diuraikan sebagai berikut : APHT harus didaftar dengan waktu maksimal tujuh hari sesudah tanda tangan akta. Dalam proses pendaftaran hak tanggungan, badan pertanahan melakukan pencatatan pada buku hak atas tanah, kemudian badan pertanahan mengeluarkan salinan dari catatan tersebut. Tanggal yang dicantumkan dalam buku hak tanggungan merupakan hari ke 7 sesudah menerima surat yang di butuhkan untuk pendaftaran. Jika hari ke 7 merupakan hari libur, buku tanah diberi tanggal hari kerja berikutnya. Hak Tanggungan dimunculakan di hari, tanggal dalam buku tanah Hak Tanggungan diterbitkan.

Meninjau Pasal 13 UUHT dinyatakan tidak mungkin, karena tanah yang dimaksud belum mempunyai buku tanah dan belum mengalami sertifikasi, sehingga momen munculnya hak tanggungan pada tanah yang belum mempunyai sertifikat tidak bisa dipastikan layaknya tanah lain yang ada sertifikatnya, sebab UUHT tidak menguraikan secara terperinci tentang hal ini. Hal tersebut hanya bisa dijumpai dalam pada Pasal 117 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3/1997. Saat mendaftarkan hak tanggungan dalam bentuk tanah yang belum bersertifikat, pendaftaran tersebut dijalankan lebih dulu melalui pengakuan hal ataupun melalui penegasan konversi. Sesudahnya, hak atas tanah tersebut didaftarkan sesuai nama yang memberikan hak tanggungan tersebut. Pasal 117 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3/1997 mengatur jika salah mendaftar hak tanggungan baru bisa dijalankan sesudah proses sertifikasi objek hak tanggungan itu rampung, jadi kelahiran hak tanggungan atas objek hak tanggungan yang belum bersertifikat tidak ditanggalkan pada hari ke 7 seperti yang diatur dalam Pasal 13 UUHT, namun ditanggalkan sesudah proses sertifikasi selesai. Kelahiran hak tanggungan atas tanah bekas hak milik adat berkaitan dengan proses sertifikatnya dan hal tersebut menimbulkan tidak adanya kepastian secara hukum, sebab hal tersebut memungkinkan saat proses pensertifikatan terjadi adanya kendala jika saat pengumuman yaitu selama 60 hari guna pemenuhan asas publisitas pendaftaran tanah terjadi adanya gugatan pihak ketiga yang mengakibatkan sertifikat gagal untuk diterbitkan, jika hal tersebut terjadi maka peroses pendaftaran hak tanggungan tidak bisa dijalankan.9

Pembuatan APHT yang objeknya tanah belum didaftar untuk kepentingan perjanian kredit dengan jumlah besar tidak dijamin keamanannya dan berisiko bagi pihak bank,

pihak bank sebaiknya tidak menerima agunan yang menyertakan objek berupa tanah bekas hak milik adat apalagi tanah tersebut tidak memiliki sertifikat, meskipun dalam peraturannya adanya kecenderungan untuk menerima hal tersebut. Perjanjian kredit yang agunannya lebih kecil tidak begitu berisiko tinggi bagi pihak bank, jadi dapat dipahami jika bank saat menerima agunan yang objeknya hak milik adat yang belum bersertifikat, bank hanya membuat SKMHT dan bukan APHT. Pembebanan hak tanggungan akan dilaksanakan jika sertifikat telah rampung, namun bila pemakaian SKMHT maupun pengikatan kredit dengan hak kepemilikan adat yang belum mempunyai sertifikat hendak memiliki hambatan serta permasalahan hukum yang berbentuk jangka waktu keberlakuan SKMHT bila dihubungkan dengan jangka waktu registrasi tanah yang tidak sama.

Pasal 15 ayat (3) dan (4) UUHT mengatur :

  • 1)    SKMHT mengenai hak atas tanah yang telah didaftarkan harus disertai dengan membuat APHT.

  • 2)    Pembebanan Hak Tanggungan paling lama satu bulan setelah dibebankan.

  • 3)    SKMHT tentang hak atas tanah yang belum didaftar harus disertai dengan membuat APHT paling lambat 3 (tiga) bulan setelah diberikan.

Pasal 15 ayat (3) dan (4) UUHT sulit untuk diterapkan jika dengan proses pendaftaran tanah yang belum memiliki sertipikat masih membutuhkan biaya yang mahal dan saat proses penyelesaian sertifikat khusus bagi pendaftaran tanah yang belum tedaftar serta pendaftaran hak tanggungan tidak bisa dijalankan kurang dari tiga bulan, oleh karena itu adapun jangka waktu yang ditetapkan oleh UUHT. Belum bisa dinyatakan akomodatif untuk menyelesaikan masalah perbankan. Hal tersebut karena masih terdapat banyak tanah yang sebagai jaminan belum memiliki sertipikat dan atau belum didaftarkan sehingga untuk terjadi pengikatan menjadi APHT wajib diselesaikan sebelum jangka waktu SKMHT berakhir.

Untuk menjawab permasalahan yang terjadi, jangka waktu keberlakuan SKMHT menggunakan penyelesaian sertifikat hak atas tanah, bisa lebih menjamin kepastian hukum dan seharusnya SKMHT dapat dibuat ketika surat pemberian hak tanggungan sudah diterbitkan sesuai jangka waktu habis, sehingga bisa diberikan proses sertifikat dan hak bisa dijalankan berdasarkan jangka waktu yang telah ditetapkan.

  • 3.2 Penyelesaian Apabila Debitur Pemberi Hak Tanggungan Meninggal Dunia Sebelum Berakhirnya Jangka Waktu Pelunasan

Perjanjian utang piutang bisa dilaksanakan dengan optimal semacam konvensi para pihak. Konvensi yang dijalankan dengan itikad baik dari pihak yang terpaut, tetapi masih terdapat kredit yang macet maupun kredit yang tidak dibayarkan oleh nasabah/ debitur yang nyata yang tidak dapat dihindari dalam pemberian kredit. Dalam memberikan kredit yang berisiko besar, apalagi kredit dengan agunan yang belum terikat hak tanggungan melalui APHT sangat mempersulit pihak bank dalam menjalankan eksekusi guna mendapat pelunasan utang. Kredit yang memiliki kendala bisa terselamatkan dengan cara-cara sesuai dengan besarnya kendala yang terjadi. Cara tersebut dapat dijabarkan seperti dibawah ini:

  • A.    Pembuatan jadwal ulang(rescheduling) yakni perubahan jadwal pembayaran. Permakluman yang diberikan dalam usaha tersebut yakni:

  • 1)    Dengan menambah jangka waktu

  • 2)    Dengan menambah jarak angsuran, contohnya pada awalnya angsuran di tetapkan selama tiga bulan selanjutnya diubah menjadi enam bulan.

  • 3)    Dilakukan penurunan angsuran yang menyebabkan perpanjangan jangka waktu kredit.10

  • B.    Persyaratan ulang (reconditioning) yaitu pengubahan keseluruhan ataupun sebagian persyaratan kredit yang tidak memiliki batas perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu serta persyaratan lainnya selama berkaitan dengan pengubahan maksimal pokok kredit. Bantuan yang diberi yaitu dengan memberikan keringanan ataupun perubahan prasyarat kredit, berupa:

  • 1)    Dapat menunda pembayaran bunga yakni bunga tetap mengalami penghitungan namun pembebanan dan penagihan ke nasabah/kreditur tidak bisa dijalankan sampai nasabah dinilai sanggup. Bunga terhutang tidak dikenakan bunga serta bisa tidak terjadi penambahan plafon kredit.

  • 2)    Turunnya suku bunga yang berarti nasabah/debitur dirasa masih memiliki kemampuan untuk melakukan pembayaran bunga yang dikenakan. Cara tersebut dijalankan hanya semisal hasil operasi debitur memperlihatkan laba serta likuidasi yang mungkin bagi pembayaran bunga.

  • 3)    Pemberian kebebasan bunga yakni nasabah yang dirasa tidak memiliki kesanggupan untuk melakukan pembayaran bunga yang disebabkan karena usahanya hanya mendapat tingkat kembali pokok/berak even. Kebebasan pembayaran bunga bisa dipergunakan selamanya, sementara maupun seluruh utang bunga.

  • 4)    Konversi kredit berjangka pendek yakni kredit yang diberikan dengan prasyarat yang ringan.

  • 5)    Dilakukan tata kembali/ restructuring ialah pengubahan prasyarat krdit yang berkaitan dengan bertambahnya pendanaan bank, konversi sebagian ataupun menyeluruh tunggakan pembayaran pokok kredit yang baru dikonversi secara sebagian maupun keseluruhan kredit menjadi kesertaan usaha perusahaan yang dibarengi dengan pembuatan jadwal kembali juga persyaratan kembali. Saat menghadapi kendala dalam kredit yang belum lunas dengan objek agunan berupa tanah yang belum bersertifikat namun debitur sudah meninggal dan meninggalkan ahli waris, dengan demikian ada cara untuk menyelesaikan kendala ini yakni:

  • a)    Saat jangka waktu kredit berakhir sehingga kredit ditanggung oleh pihak asuransi kredit, namun saat jangka waktu kredit berakhir dan asuransi nya kadaluwarsa selanjutnya dilakukan penagihan sampai pelunasan terjadi pada ahli waris secara kekeluargaan berupa penawaran keringanan bunga pinjaman.

  • b)    Menawarkan pada ahli warisnya untuk menjual secara di bawah tangan atas objek yang dijaminkan. Bank masih bisa menggunakan haknya sesuai dengan SKMHT untuk pemasangan APHT jika sertipikat tanah tersebut sudah berakhir, karena

SKMHT memiliki sifat khusus yang juga sesuatu yang memiliki kuasa mutlak yang tidak bisa berakhir hanya dengan pemberi kuasa meninggal dunia.

Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata bermakna suatu pemberian kuasa berakhir dikarenakan dicabut ataupun ditariknya kembali kuasa oleh yang memberi kuasa dengan memberitahu pencabutan/penarikan kuasa kepada yang menerima kuasa. Saat menarik kuasa pembebanan hak tanggungan, penerima kuasa untuk melakukan pembebanan hak tanggungan tidak bisa menjalankan pembebanan penjaminan menggunakan hak tanggungan, jadi saat memberi hak tanggungan dituliskan kedalam surat “kuasa mutlak” hal ini terlihat dari pernyataan bahwa “tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga” berdasar pada apa yang diatur dalam pasal 15 ayat 2 UUHT yang menerangkan SKMHT merupakan surat “kuasa mutlak”. Adapun isi ketentuan tersebut “kuasa untuk membebankan Hak Tangungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4)”.

SKMHT ialah surat “kuasa mutlak” yang berarti kata yang tak bisa di tarik/tidak bisa berakhir karena sebab apapun. SKMHT hanya diberikan sekali saja karena SKMHT akan berakhir jika kuasa pembebanan hak tanggungan sudah selesai dijalankan. Keberlakuan SKMHT bersifat terbatas, dikarenakan dalam UUHT sudah menyatakan bahwa SKMHT adalah surat kuasa yang mutlak. Penetapan SKMHT sebagai kuasa yang mutlak bermakna kebijaksanaan pembuang regulasi yang memiliki sifat akomodatif pada kebutuhan berpraktik yang selama ini berjalan di luar regulasi tepatnya pada Pasal 1813 KUHPerdata.

Surat kuasa tidak musnah, jika surat tersebut sudah dipergunakan demi pelaksanaan wewenang seperti yang dituangkan, kuasa tersebut telah dipergunakan bagi pelaksanaan wewenang yang juga tertuang dalam surat kuasa.11 Pada prinsipnya, orang yang menggunakan kuasa dalam melakukan suatu perikatan yang berlaku dalam jangka waktu lama dan mendapatkan hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, namun terdapat kekaburan norma dalam UUHT pada Pasal 15 ayat (2) “kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)”. Makna frase telah dilaksanakan tersebut mengandung kekaburan norma yang dapat ditafsirkan kuasa pembebanan hak tanggungan berakhir sesudah terlaksana kuasa tersebut, dengan kata lain sudah terlaksana kuasa SKMHT dengan sendirinya sehingga SKMHT tidak memiliki kekuatan lagi. Saat telah terlaksananya kuasa SKMHT maka kuasa untuk pembebanan hak tanggungan berakhir/hapus.

4. Kesimpulan

Pembebanan Hak Tanggungan pada tanah yang belum memiliki sertifikat menjadi suatu risiko bagi pihak bank sebagai kreditur karena sangat rentan terjadi suatu sengketa antar ahli waris pada tanah yang belum bersertifikat. Kewenangan Bank hanya melakukan pembuatan SKMHT dan bukan membuat APHT yang objeknya berupa tanah yang belum didaftarkan, sebab adanya hal yang memungkinkan tentang hak yang belum pasti pemilikannya. Pada praktik Notaris/PPAT dalam membuat SKMHT yang objeknya belum mempunyai sertifikat dipergunakan sebagai agunan, meskipun proses membuat sertifikat membutuhkan lama waktu minimal tiga bulan tidak menutup kemungkinan bisa sampai satu (1) tetap dapat dibebankan Hak Tanggungan sepanjang pengajuan kredit dilakukan secara bersamaan dengan pendaftaran peralihan hak atas tanah ke Badan Pertanahan Nasional. Kemudian jika debitur meninggal dunia sebelum jangka waktu pelunasan berakhir, maka utang yang ditimbulkan atas perjanjian kredit dapat dialihkan kepada ahli waris dari si debitur. Saat kredit sudah habis masanya serta asuransi kreditnya sudah kadaluwarsa, akan dilakukan penagihan sampai kreditnya lunas pada ahli waris menggunakan cara pendekatan secara kekeluargaan berupa melakukan penawaran peringanan bunga kredit dan menawarkan ahli waris untuk menjual secara dibawah tangan atas objek yang dijaminkan.

Daftar Pustaka

Buku:

Soerjono, S. dan Sri M., (2012). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat . Raja Grafindo Persada.

Purwahid, P., K. (2008). Hukum Jaminan: Edisi Revisi UUHT, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Adjie, H. (2018). Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan atas Tanah Edisi Revisi. Bandung: Mandar Maju.

Jurnal/Tesis:

Praditya, I G.A.B.H., Utama, I M.A., Westra, I K. (2017). Akibat Hukum Likuidasi Bank Terhadap Keberadaan Akla Pemberian Hak Tanggungan. Acta Comitas, 2(2). 189-200. doi: doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i02.p03.

Triani, N., K., E., Sukadana. I., K., Suryani, L. P. (2021). Pewarisan Hak Atas Tanah Yang Dibebankan Hak Tanggungan. Jurnal Analogi Hukum. 3(1). 52-56.

Dewi, M. I. S., Budiartha, I. N. P., dan Wesna P. A. S. (2021). Efektivitas Penggunaan Batas Waktu SKMHT Dalam Pemberian kredit bank Pada pt.Bpr Tapa. Jurnal Kontruksi Hukum. 2(2). 326-331. doi.org/10.22225/jkh.2.2.3231.326-331

Manoppo, R.A.G. (2021). Kajian Yuridis Sertifikat Tanah Sebagai Jaminan Perjanjian Kredit. Lex Privatum. 3(3).195-205

Sumanjaya, D., G., A., Rudi, D. W., dan Sutama, I.B.P. (2013). Keabsahan Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Hak Milik Tanah Adat Yang Masih Dalam Proses Konversi Ke Hak Milik Di Badan Pertanahan Nasional (Bpn) Denpasar. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum.1(9). 1-6. h.5

Yusuf, M. (2018). Akibat Hukum Keterlambatan Menindak lanjuti SKMHT menjadi APHT. Tesis. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Peraturan Perundang-Undangan:

Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang “Pendaftaran Tanah

718