Hak Waris Laki-Laki Nyentana dalam Perspektif Hukum Adat Waris Bali
on
Vol. 06 No. 03 Desember 2021
e-ISSN:2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Hak Waris Laki-Laki Nyentana dalam Perspektif Hukum Adat Waris Bali
Luh Anastasia Trisna Dewi1,I Ketut Sudantra2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]
Info Artikel
Masuk : 1 Juni 2021
Diterima : 21 November 2021
Terbit : 1 Desember 2021
Keywords :
Inheritance Right, Nyentana, Married
Abstract
This study aims to examine the inheritance rights of men who marry nyentana to inheritance in their family of origin according to Balinese customary law. This research uses a normative research method, and utilizes a statutory and conceptual approach. The results of the study concluded that according to "Balinese inheritance law", a son who marries "nyentana" does not have inheritance rights in his original family because he is considered to have left the kedaton. However, after the establishment of the Pesamuhan Agung III Main Council of Pekraman Village (MUDP) Bali in 2010, boys who marry nyentana have limited space to inherit. However, the Decision of the Supreme Council III of the Pekraman Village Main Assembly (MUDP) does not automatically apply as Balinese customary law, before the values and principles on that Decision adheres into the awig-awig of traditional villages.
Kata kunci:
Hak Waris, Perkawinan Nyentana, Hukum Adat Waris Bali.
DOI :
10.24843/AC.2021.v06.i03.p10
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hak waris laki-laki yang kawin nyentana terhadap harta warisan di keluarga asalnya menurut hukum adat Bali. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, serta memanfaatkan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa menurut “hukum adat waris Bali”, anak laki-laki yang kawin ”nyentana” tidak memiliki hak waris dalam keluarga asalnya karena ia dianggap ninggal kedaton. Pasca ditetapkannya Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali tahun 2010, anak laki-laki yang kawin nyentana memiliki ruang untuk mewaris yang sifatnya terbatas. Walaupun demikian, Keputusan Pesamuan Agung III Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) tidak serta merta berlaku sebagai hukum adat Bali, sebelum nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dalam ketentuan Keputusan a quo ditetapkan dalam awig-awig desa adat.
Hukum waris di daerah Bali memiliki aspek-aspek hukum yang selalu menarik dan relevan untuk dikaji. Di samping karena bangsa Indonesia dirasa belum mempunyai ketentuan-ketentuan mengenai hukum waris khusus secara nasional, oleh karena itu hukum adat masih tetap berlaku, juga karena masalah-masalah di bidang pewarisan berkembang sangat dinamis akibat terjadinya perubahan jaman. Sampai saat ini keberadaan hukum adat masih diakui menjadi satu dari banyaknya jenis hukum yang sampai sekarang masih berlangsung di kehidupan bermasyarakat dikhususanya bagi masyarakat hukum adat. Landasannya dapat ditemukan pada ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) Pasal 18B Ayat 2 yang pada prinsipnya menjelaskan mengenai pengakuan dari suatu negara serta menghormati satuan masyarakat yang menganut hukum adat serta hak-hak yang bersifat tradisional, dengan syarat yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
-
1. Masih hidup
-
2. Mengikuti perkembangan kemasyarakatan
-
3. Berdasarkan prinsip NKRI, serta
-
4. Tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun pengakuan pada hak yang bersifat tradisional terhadap kesatuan bermasyarakat dalam lingkup hukum adat juga meliputi hak untuk tetap memberlakukan hukum adatnya.
Khusus di bidang hukum waris sampai sekarang Indonesia termasuk negara yang belum pengaturan mengenai hukum waris yang bersifat nasioanl. Karena itu, hukum yang berlaku dan dianut masyarakat adat di Indonesia, terutama dalam hal penduduk yang menganut hukum adat yang tinggal di Bali atau disebut dengan etnis Bali yang biasanya beragama Hindu adalah hukum adat yang sudah ada sejak jaman kolonial masa penjajahan Belanda. Berdasarkan Pasal 131 Indische Statregeling (I.S.). ayat 2b menentukan bahwa bagi penduduk Bumiputra (Indonesia) menganut pengaturan hukum secara tradisional yang masih berdasarkan pada ajaran agama dan kebiasaan/kebudayaan masyarakat daerah tersebut.1 Masyarakat adat Bali pada jaman kolonial Belanda digolongkan sebagai penduduk Bumiputra, sehingga hukum yang berlaku pada waktu itu di bidang pewarisan ialah bidang hukum adat waris di daerah Bali yang memiliki jiwa agama Hindu. Setelah kemerdekaan hingga kini, ketentuan Pasal 131 IS tersebut tetap berlaku melalui Pasal-Pasal Peralihan Undang-undang Dasar (Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen; Pasal I UUD 1945 setelah amandemen), dengan ketentuan yang mengacu pada prinsip yang menentukan bahwa setiap aturan yang masih ada sebelumnya masih berlaku sebelum adanya aturan baru tanpa menyalahi ketentuan yang ada pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.2
Hukum adat waris termasuk rumpun hukum bidang hukum keluarga dalam pengertian luas. Sendi utama bidang hukum keluarga dirasa masih sangat berpengaruh terhadap hukum perkawinan dan hukum waris adalah sistem kekeluargaan, yaitu suatu sistem yang menentukan garis hubungan hukum kekeluargaan diantara pihak-pihak yang mempunyai hubungan darah.3 Dalam masyarakat daerah Bali menggunakan sistem kekerabatan jenis pratrilineal yang pada hukum adat Bali lazim disebut sistem kekeluargaan purusa atau kapurusa. Berdasarkan sistem ini, terdapat prinsip-prinsip yang wajib dianut, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
-
1. Keturunan yang dilacak berdasarkan garis keturunan laki-laki (Bapak)
-
2. Jika dalam hubungan perkawinan, wanita/mempelai wanita akan melepaskan hubungan hukum yang ada pada dirinya dari keluarga asalnya yaitu orang tua dan saudara-saudara sedarah/saudara kandung dan kemudian akan masuk secara penuh pada keluarga suami
-
3. Keturunan/anak yang kemudian lahir dari suatu perkawinan akan mendapat sanak saudara dan kerabat pihak laki-laki/ Bapak.4
Prinsip bahwa istri mengikuti keluarga suami berlaku untuk bentuk perkawinan biasa, dimana dalam wujud perkawinan ini pihak suamilah yang memiliki status sebagai purusa (pelanjut keturunan) sedangkan pihak istri memiliki status yang disebut dengan pradana. Di samping bentuk dari perkawinan biasa, dalam masyarakat Bali juga dikenal bentuk dari perkawinan yang disebut dengan nyeburin atau juga dikenal dengan istilah perkawinan nyentana. Dalam bentuk perkawinan nyentana ini, justru mempelai perempuan yang berstatus purusa sedangkan bagi pihak laki-laki memiliki status sebagai pradana akan melepaskan hubungan secara hukum dari keluarga asal dan untuk kemudian akan mengikuti keluarga istri. Pelepasan hubungan hukum bermakna lepasnya hak dan kewajiban (tanggungjawab) dalam keluarga, termasuk hak dan kewajibannya di bidang pewarisan.5
Status purusa yang ada pada laki-laki membuat ia berhak menjadi ahli waris terhadap harta kekayaan yang merupakan warisan dari orang tua nya, sedangkan perempuan yang memiliki status pradana, hanya berhak menikmati harta dari orangtuanya selama belum melangsungkan perkawinan.6 Berdasar pada hukum Adat Bali, seorang anak yang kawin keluar meninggalkan rumahnya (khususnya anak Perempuan), dipandang atau berstatus ninggal kedaton, status ninggal kedaton memiliki makna bahwa anak tersebut telah meletakkan/meninggalkan tanggungjawab dalam keluarga, dengan demikian memiliki konsekuensi yuridis yakni lepasnya hak anak tersebut terhadap hak mewaris dari orang tuanya. Dewasa ini perkembangan jaman menunjukkan mulai
bergesernya pandangan masyarakat tentang hubungan hukum antara anak yang kawin keluar dengan keluarga asalnya. Tahun 2010, ‘ MUDP’ menyelenggarakan ‘Pesamuhan Agung’ yang dihadiri oleh tokoh-tokoh adat (Bendesa) seluruh Bali. Pesamuhan tersebut melahirkan “Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Nomor 01.Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010” selanjutnya disebut ‘Keputusan Pesamuhan Ageng III MUDP’. Dalam salah satu butir keputusan Pesamuhan tersebut ditetapkan bahwa seorang yang dengan istilah “ninggal kedaton” masih memiliki batas yang memungkinkan tetap memiliki hak dari suatu bagian tertentu dalam suatu harta wariss orang tuanya. Yang dimaksud ninggal kedaton terbatas adalah anak yang dinyatakan sudah kawin keluar, tetapi masih memungkinkan melakukan tanggungjawab dalam keluarga asalnya. Di masa kini, anak perempuan atau pun anak laki-laki yang sudah kawin ke luar dari rumah keluarganya masih memungkinkan melakukan tanggungjawab dalam keluarga asalnya, baik tanggung jawab yang bersifat sekala (material) maupun niskala (nonmaterial, kewajiban keagamaan), sepanjang setelah perkawinannya masih tetap menjadi pemeluk Hindu. Apabila hal itu terjadi, maka orang tersebut disebut ninggal kedaton terbatas, tetapi apabila ia tidak dapat lagi menunaikan tanggungjawabnya secara penuh (sekala-niskala) maka orang tersebut disebut ninggal kedaton penuh.7
Adapun persoalan sebagaimana dimaksud, diuraikan sebagai rumusan masalah, yaitu bagaimana pengaturan hukum waris di Indonesia? Bagaimana konsep pewarisan dalam hukum adat Bali? Dan bagaimana hak mewaris anak laki-laki yang sudah kawin/nyentana dalam keluarga asalnya? Tujuan dilakukannya penelitian ini guna mengetahui sistem pengaturan waris di Indonesia, konsep pewarisan yang ada dalam hukum adat bali dan hak mewaris anak laki-laki yang telah kawin nyentana di keluarga asalnya pasca “Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Tahun 2010” dalam perspektif hukum adat Bali.
Sejatinya telah terdapat berbagai penelitian yang mengkaji persoalan hukum waris Adat Bali, untuk berikut merupakan beberapa penelitian yang digunakan sebagai state of art dalam penelitian ini. Pertama, artikel yang ditulis oleh Indiwan Taqy Pratyaksa yang ditulis pada tahun 2017 degan tajuk “Perkembangan Kedudukan Suami Menjadi Ahli Waris Dalam Perkawinan Nyeburin Menurut Hukum Waris Adat Bali Setelah Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Nomor 01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010”. Persoalan yang dibahas pada artikel tersebut meliputi perkembangan paradigm serta faktor-faktor yang memengaruhi kedudukan suami sebagai ahli waris dalam pernikahan nyeburin pasca keputusan MUDP Tahun 2010.8 Kedua, artikel yang ditulis oleh Made Widja Candrasari dan Ida Ayu Sadnyini bertajuk “Akibat Hukum Peralihan Perkawinan Biasa Menjadi Perkawinan Nyentana Terhadap Kedudkan Hak Waris Menurut Hukum Adat Bali”. Artikel tersebut mengulas persoalan peralihan status perkawinan biasa menjadi perkawinan nyentana.9 Berbeda dengan kedua artikel diatas penelitian ini memiliki
fokus terhadap keberadaan Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Tahun 2010 terhdap hak waris laki-laki dalam perpsektif hukum adat Bali.
Jenis penelitian yang dipakai untuk penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan jenis pendekatan peraturan perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Bahan penelitian dalam tulisan ini meliputi bahan-bahan hukum primer maupun berupa bahan sekunder.10 Bahan hukum yang digunakan yaitu berupa bahan hukum primer yang mengandung peraturan perundang-udangan serta dokumen-dokumen resmi, seperti Keputusan Pesamuhan Ageng III MUDP, sedangkan bahan hukum berupa bahan hukum sekunder yang berisi literatur-literatur bidang hukum yang sesuai dengan objek kajian, baik berupa buku maupun artikel dalam jurnal. Bahan hukum sekunder, meliputi penelitian-penelitian terdahulu yang disebutkan dalam bagian akhir tulisan ini, digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep yang tidak ditemukan penjelasannya dalam bahan-bahan hukum. Pendekatan yang dipakai untuk menulis penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan konseptual dan pendekatan sistematis.
Adalah suatu hal yang alami bahwa dalam siklus kehidupan, manusia mengalami proses kelahiran, perkawinan, dan kematian. Berdasar proses tersebut eksistensi suatu keluarga dilanjutkan dari generasi ke generasi berikutnya. Kehidupan suatu keluarga, juga diperlukan harta untuk menopang kehidupan keluarga tersebut, yang diteruskan secara turun temurun. Prosedur terhadap penerusan harta yang berasal dari generasi terdahulu yang tertuju pada generasi-generasi selanjutnya disebut pewarisan. Hukum yang mengatur proses tersebut adalah hukum waris.11 Pemahaman tentang pengertian hukum waris tersebut sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa dalam bidang hukum yang mengatur mengenai waris ialah hukum yang mengandung tentang kedudukan harta kekayaan seorang ahli waris yang didapat setelah pewaris telah meninggal dunia, serta cara-cara bagaimana proses berpindahnya suatu harta kekayaan milik pewaris kepada ahli waris maupun kepada orang lain. Berdasar pada ketentuan undang-undang yang berlaku dalam wilayah Indonesia menjelaskan mengenai pengertian hukum waris yang ditemukan pada Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Instruksi Presiden tersebut dinyatakan bahwa hukum waris ialah suatu pengaturan yang mengatur berpindahnya hak-hak pemilikan atas harta kekayaan pewaris dan kemudian melakukan penentuan mengenai pihak yang
berhak sebagai ahli waris atau yang menerima waris serta menentukan bagian/besaran dari pembagian harta waris bagi masing-masing ahli waris.12
Berdasarkan penjabaran yang tertulis diatas, penulis menyimpulkan bahwa pengertian umum dari bidang hukum waris berisi ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai proses peralihan dari harta kekayaan peninggalan seseorang yang meninggal beserta akibat hukumnya yag kemudian akan ditanggung oleh ahli warisnya. Berdasarkan asas-asas hukum yang terkait terkandung hak-hak serta kewajiban-kewajban yang ada dalam lingkup langan hukum harta kekayaan atau yang hanya mengandung tentang harta benda yang dapat diwariskan.13
Adapun tiga jenis pengaturan mengenai waris yang dianut oleh masyarakat di Indonesia ialah hukum waris perdata/barat, hukum waris dalam keyakinan umat Islam dan hukum waris adat. Berdasarkan hal ini, adapun ketentuan yang mengatur bahwa warga negara Indonesia diwajibkan untuk memilih satu dari sekian banyak hukum waris untuk digunakan. Adapun tiga perbedaan dari hukum waris yang akan dijabarkan sebagai berikut:14
-
1. Perdata
Pengertian hukum waris barat atau hukum waris perdata ialah hukum keluarga dalam bidang hukum waris secara umum yang berada di Indonesia yang didalamnya masih banyak ketentuan-ketentuan mengenai aturan yang masih mencontoh budaya barat. Pemberian warisan yang ditujukan untuk ahli wariss tertuang dalam surat wasiat atau berupa pesan yang dititipkan pada keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan atau memiliki hubungan keturunan, misalnya orangtua, kakek, nenek, anak dan saudara-saudara yang memiliki hubungan kekerabatan. Adapun prinsip dan sistem yang digunakan Sistem atau prinsip yang digunakan dalam hukum waris Barat adalah sistem individual yang berarti setiap perseorangan individu yaitu ahli waris memiliki hak untuk mendapatkan harta kekayaan yang diwariskan kepadanya dengan bagian yang telah ditentukan dalam aturan yang berlaku. Jika memakai pesan berupa surat wasiat, individu yang memiliki hak sebagai ahli waris sesuai dengan yang telah diatur dan diicatat pada surat wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris.
-
2. Hukum Waris Islam
Keberlakuan aturan hukum tentang agama Islam diperuntukan bagi masyarakat yang memiliki keyakinan agama Islam dan menggunaan sistem pembagian waris dengan prinsip individual bilateral. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ahli waris diharuskan berasal dari garis keturunan laki-laki (Bapak) ataupun perempuan (Ibu).
-
3. Hukum Waris Adat
Adapun definisi dari hukum waris adat ialah hukum keluarga bidang hukum waris dijalankan serta diyakini hanya bagi beberapa suku/kebudayaan yang berasal dari wilayah tertentu yang ada di Indonesia. Hukum waris dalam lingkup hukum adat ialah hukum berbeda pada tiap tempatnya dan aturan yang dipakai pada setiap daerah pun berbeda. Ketentuan ini berlaku untuk
masyarakat yang memakai hukum adat sebagai aturan yang dipegangnya. Tidak jarang bahwa dalam hukum waris adat pada suatu daerah ada aturan yang tidak tertulis tetapi hal ini tidak mengurangi kepatuhan masyarakat terhadap norma dalam suku suatu daerah tersebut karena apabila terjadi suatu pelanggaran akan dijatuhi sanksi adat. Pengaturan mengenai hukum ini dipengaruhi oleh berbagai hubungan kekerabatan/hubungan kekeluargaan dan juga struktur dalam masyarakat tersebut. Adapun jenis pewarisan masyarakat yang berbeda-beda dalam tiap daerah, yakni:
-
1) Perkembangan sistem keturunan/kekerabatan sampai saat ini dapat didefinisikan berdasarkan tiga kelompok, yakni sistem kekerabatan Bapak, sistem kekerabatan Ibu dan sistem kekerabatan campuran yakni berdasar garis kekerabatan Bapak dan Ibu.
-
2) Individualistik, yakni pembagian waris yang mendasarkan hak waris berdasarkan bagian masing-masing ahli waris, system demikian umum dijumpai dalam tradisi masyarakat suku Jawa.
-
3) Kolektif, adalah suatu metode pembagian waris yang menghendaki setiap ahli waris mempunyai hak terhadap warisan atau tidak mendapat warisan. Sistem demikian umumnya berlaku terhadap jenis warisan berupa barang pusaka bagi kelopok masyarakat tertentu.
-
4) Mayorat ialah suatu metode pendistribusian harta warisan yang berpatokan pada keturunan tertua yang dipandang memiliki tugas untuk memimpin keluarga.
Berdasar pada pemaparan terhadap tiga sistem waris sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yang diperuntukan untuk masyarakat Bali atau etnis Bali-Hindu berlaku hukum adat waris Bali. Dieketahui bahwa dalam sistem hukum waris Bali, pewarisan dipandang tidak sekadar sebagai penerusan hukum atas warisan, melainkan meliputi penerusan hak atau swadikara dan kewajiban atau swadharma pada sebuah keluarga. Wayan Windia menjelaskan bahwa berdasar pada ketentuan dalam sistem hukum adat Bali, pewarisan tidak sekedar mengandung tentang hak-hak apa saja yang diperuntukan bagi seorang ahli waris dari harta kekayaan pewaris namun selebihnya ialah tentang kewajiban ahli waris saat bersama pewaris. Hak adalah konsekuensi dari kewajiban. Kewajiban-kewajiban seorang ahli waris meliputi:
-
1. Merawat pewaris saat pewaris masih dalam keadaan tidak mampu atau membutuhkan perawatan
-
2. Mengurus pemakaman pewaris atau dikenal dengan kewajiban terhadap prosesi pengabenan (yakni upacara pemakaman dalam tradisi adat Bali) dalam hal demikian, kewajiban dimaksud berupa melaksanakan pengabenan terhadap arwah pewaris di tempat sembahyang keluarga nya (sangah/merajan)
-
3. Menyembah kepada arwah para leluhur di tempat persembahyangan keluarga atau di sanggah/merajan
-
4. Melakukan kewajiban-kewajiban selaku anggota krama adat (ayahan) pada desa.15
Berdasar pada kewajiban-kewajiban (swadharma) yang disebutkan Windia & Sudantra tersebut, sebagian dapat digolongkan sebagai kewajiban-kewajiban yang bersifat sekala (material), seperti memelihara pewaris, menguburkan jenazah pewaris dan/atau menyelenggaraan upacara pengabenan; dan sebagian lagi termasuk kewajiban-kewajiban yang bersifat niskala, seperti menyembah arwah leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan keluarga.
Mengutip hasil penelitian yang disampaikan oleh Windia dan Sudantra juga menyebutkan bahwa “kelalaian terhadap kewajiban-kewajiban di atas dapat dijadikan alasan untuk memecat dan menggugurkan hak waris seorang ahli waris”.16 Lebih lanjut, Windia dan Sudantra juga menyampaikan bahwa “hukum adat waris Bali menganut asas keseimbangan antara kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara). Berdasarkan asas inilah, anak perempuan yang kawin keluar, anak laki-laki yang kawin nyentana (nyeburin), anak yang tidak melaksanakan dharmaning anak (durhaka terhadap orang tua, durhaka terhadap leluhur) dapat digugurkan hak-haknya sebagai ahli waris”.17
Hukum adat di Bali menganut sistem kekerabatan purusa atau kapurusa (patrilineal) yang menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak menikmati harta peninggalan orangtua atau harta peninggalan suami.18 Prinsip ini, antara lain, ditunjukkan oleh”Putusan Mahkamah Agung No. 200K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958,” Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan “Menurut Hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; maka Men Sardji sebagai saudara perempuan bukanlah ahli waris dari mendiang Pan Sarning”. Prinsip bahwa anak perempuan bukanlah ahli waris penuh terhadap harta warisan orang tuanya memang sudah lama menjadi panutan bagi masyarakat-masyarakat di Bali. Perempuan memiliki status sebagai ‘ahli waris terbatas dan bersyarat’ (diberi tanda petik oleh penulis) pada sistem waris Adat Bali. Dikatakan terbatas karena hanya berhak untuk menikmati hasil untuk nafkah, tidak sebagai milik yang dapat dipindahtangankan. Dikatakan bersyarat karena hak menikmati itu hanya berlaku sepanjang anak perempuan tersebut tidak kawin keluar meninggalkan keluarganya. Perkawinan keluar meninggalkan keluarganya, di dalam masyarakat memiliki makna bahwa orang yang bersangkutan telah meninggalkan tanggung jawabnya (hak dan kewajiban) dalam keluarga asalnya. Kondisi tersebut lazim disebut ninggal kedaton.
Berdasarkan prinsip keseimbangan antara hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) yang dianut dalam hukum adat waris Bali, maka orang yang tidak lagi melaksanakan kewajiban dalam keluarga tidak berhak lagi atas harta warisan. Pada awalnya, paradima masyarakat terhadap status seseorang dikatakan ninggal kedaton yakni ketika seseorang meninggalkan tanggungjawab dalam keluarga. Orang disebut ninggal kedaton, apabila orang tersebut: (a) anak perempuan atau anak laki-laki yang kawin keluar; (b) anak perempuan atau anak laki-laki yang diangkat anak oleh orang lain; dan (3) orang yang meninggalkan agama Hindu. Orang-orang tersebut dianggap tidak lagi dapat memikul tanggungjawab dalam keluarga, yaitu tanggungjawab sekala
(material) dan niskala (immaterial). Tanggung jawab sekala, antara lain berupa kewajiban memelihara dan merawat keluarga (orang tua), melakukan prosesi dan ritual penguburan atau pengabenan (pembakaran jenasah) orang tuanya, memelihara dan menjaga keberlangsungan fisik rumah dan tempat suci keluarga (sanggah/merajan), melaksanaklan kewajiban kemasyarakatan di banjar/desa adat (ngayahang banjar/desa), dan lain-lain. Tanggungjawab niskala dipahami sebagai kewajiban- kewajiban yang meliputi “melaksanakan ritual keagamaan dalam keluarga, melakukan pemujaan terhadap roh para leluhur yang disemayamkan di tempat suci keluarga (sanggah/merajan).
Berdasarkan Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP, ninggal kedaton dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu “(1) Ninggal kedaton terbatas merupakan seorang anak yang meninggalkan keluarga asalnya dan karena kawin ke luar atau diangkat anak oleh keluarga lain dimana dalam batas tertentu masih terdapat kemungkinan untuk melaksanakan swadharma (kewajiban) secara skala dan niskala sebagai umat Hindu di rumah keluarga asalnya. (2) Ninggal kedaton penuh, yaitu seorang anak yang keluar sepenuhnya meninggalkan swadharma (kewajiban) secara skala dan niskala sebagai seorang umat Hindu di keluarganya, misalnya karena pindah agama dari agama Hindu.”19
Pembedaan jenis ninggal kedaton di atas menimbulkan konsekuensi yang menyatakan bahwa seorang yang dinyatakan “ninggal kedaton” memiliki batas mesti diakui juga haknya dalam batas-batas tertentu. Itu sebabnya kemudian“Pesamuhan Agung III MUDP”menyatakan bahwa orang yang dinyatakan “ninggal kedaton” memiliki batas dan memiliki hak dari bagian atas harta yang berasal dari warisan orang tuanya yang berasal dari pagunakaya (harta bersama), yakni sebagian atas anak laki-laki (purusa) kemudian untuk lebih dulu dikurangi satu pertiga bagi duwe tengah atau milik bersama, hal ini dikuasai dan bukan merupakan hal milik dari anak yang nguwubang (melanjutkna swadharmna/tanggungjawab) orang tuanya.
-
3.3 Hak Mewaris Laki-Laki Nyentana di Keluarga Asalnya
Berdasar pada Hukum Adat Bali, selain mengatur perihal bentuk dari perkawinan biasa di mana istri ikut suami, hukum adat Bali juga mengakui adanya perkawinan nyentana yang juga lazim disebut perkawinan nyeburin. Suatu perkawinan nyentana memiliki makna bahwa seorang mempelai laki-laki melepaskan hubungan nya secara hukum terhadap keluarga asalnya dan untuk selanjutnya si laki-laki akan masuk dan ikut ke dalam keluarga istrinya. Semua keturunannya (anaknya) mendapatkan kedudukan sebagai garis keturunan keluarga pihak istri. Kedudukan laki-laki dalam hal ini berstatus sebagai pradana dan istrinya berstatus sebagai purusa, yaitu sebagai penerus keturunan keluarganya.
Melihat kedudukan laki-laki nyentana di atas, maka status laki-laki nyentana secara hukum sama dengan status anak perempuan yang kawin keluar, yaitu: (1) sama-sama berstatus pradana; (2) sama-sama meninggalkan keluarga asalnya, sehingga dapat dikualifikasikan sebagai ninggal kedaton. Logika hukumnya adalah, kedudukan anak
laki-laki nyentana atas harta warisan orang tuanya adalah sama dengan kedudukan anak perempuan yang kawin keluar.
Istilah perkawinan nyentana hanya dikenal dalam lingkungan masyarakat Bali yang beragama Hindu, sehingga prosedur dan pengesahan perkawinan nyentana sama dengan perkawinan biasa, yaitu dilakukan menurut adat dan agama Hindu. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”. Pada keyakinan agama Hindu yang dipatuhi oleh umat Hindu, perkawinan yang diharuskan untuk dinyatakan sah berdasarkan pengaturan hukumnya teruntuk agama Hindu. Adapun prosedur perkawinan menurut kepercayaan uman Hindu yang tinggal di Bali juga memiliki variasi yang berbeda-beda dipengarungi lokacara nya masing-masing (tata cara) serta berdasarkan desa dresta (kebiasaan/adat istiadat). menurut adat kebiasaan yang berlaku di Bali sebagai syarat sahnya perkawinan harus melakukan upacara keagamaan yaitu20 :
-
1. Upacaya mabiakala (upacara pengesahan perkawinan di Bali). Tujuannya untuk membersihkan kedua calon mempelai agar tidak diganggu roh-roh jahat, dengan upacara ini kedua mempelai akan suci dan bersih menghadapi upacara selanjutnya.
-
2. Upacara Widiwidiana (upacara persaksian kepada Tuhan Yang Maha Esa). Yaitu persaksian yang bertujuan agar perkawinannya disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan oleh para pemuka adat dan selanjutnya dipuput (diselesaikan) atau diresmikan oleh Pendeta/Sulinggih.
Laki-laki yang kawin nyentana akan ada kemungkinan untuk melakukan pelaksanaan swadharma (kewajiban) di keluarga asalnya dengan sekala dan niskala, maka kedudukannya dapat dikualifikasikan sebagai ningal kedaton terbatas. Apabila fakta tersebut dianalisis berdasarkan Keputusan Pesamuhan III MUDP yang telah dikutip di atas, maka disebutkan bahwa “laki-laki yang kawin nyentana berhak atas bagian tertentu dari harta warisan orang tuanya, yaitu setengah dari hak anak laki-laki, setelah dikurangi sepertiga untuk duwe tengah”. Seperti itulah pernyataan yang menjadi kesimpulan tulisan Indiwan Taqi Pratyaksa yang telah dikutip di bagian pendahuluan di atas.
Pernyataan itu mesti dianalisis lebih jauh untuk mendapatkan kesimpulan hukum yang meyakinkan, apakah menurut hukum adat Bali yang berlaku, laki-laki nyentana benar-benar berhak atas harta warisan di keluarga asalnya? Untuk mendapatkan kesimpulan mengenai hukum adat yang senyatanya berlaku dalam masyarakat mengenai, harus dilakukan penelitian hukum empiris. Dari hasil penelitian lapangan akan dapat diketahui mengenai hukum adat yang senyatanya berlaku dan diikuti oleh masyarakat. Tetapi karena belum dapat dilakukan penelitian hukum empiris mengenai hak waris laki-laki nyentana di keluarga asalnya, setidaknya secara normatif dapat dianalisis kedudukan Keputusan Pesamuhan Agung III MUD dalam sistem hukum yang berlaku.
Berdasarkan Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP, kedudukan Keputusan a quo adalah sebagai pedoman bagi prajuru desa adat dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Yang dimaksud dengan istilah prajuru desa adat ialah seorang pengurus sebuah desa adat yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan di desa adat. Sebagai pedoman yang tidak bersanksi, tentu saja suatu pedoman dapat diabaikan. Menurut Peraturan Daerah yang mengatur desa adat (dulu Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2021 seperti yang telah terjadi perubahan pada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003, sekarang “Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019), prajuru desa adat melaksanakan tugasnya berdasarkan awig-awig desa adat.
Berbeda dengan Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP tidak bisa disebut sebagai hukum adat, dalam pengertian sebagai keputusan dari fungsionaris hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Ter Haar dengan teori keputusannya21 karena Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP tidak memiliki sanksi (akibat hukum) sebagaimana dikemukakan oleh Leopolod J. Pospisil dengan teori 4 ciri hukumnya22 sehingga tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya, sebagaimana karakter hukum pada umumnya. Lagi pula, MUDP, sebagai bagian dari Majelis Desa Pakraman (MDP), tidak memiliki wewenang membentuk hukum adat. Berbeda dengan kedudukan Majelis Desa Adat (MDA) yang oleh Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 diberi wewenang “menemukan, merumuskan, dan menetapkan kesatuan tafsir terkait hukum adat” (Pasal 76 ayat (2) huruf a Perda Nomor 4 Tahun 2019) sehingga dapat membentuk hukum adat yang berlaku universal di Bali berdasarkan asas Bali Mawacara yang harus diikuti oleh desa adat (Pasal 24 huruf h Perda Nomor 4 Tahun 2019); Majelis Desa Pakraman (MDP) tidak memiliki wewenang membentuk hukum adat.
Meskipun “‘”Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman sebagaimana diubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003”’ Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman, kemudian telah dicabut dengan Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, perlu diingat bahwa Perda tahun 2003 yang menjadi legal ground atas kewenangan MDP pada saat itu, tidak memberikan kewenangan membentuk hukum adat sama sekali.
Ihwal demikian dapat dipahami berdasar pada ketentuan Pasal 16 Perda tahun 2003 bahwa MDP memiliki fungsi antara lain “Mengayomi adat istiadat di daerahnya; Memberikan usul, saran serta pendapat kepada pihak-pihak tentang masalah-masalah mengenai adat; Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dari MDP; Turut membantu penyuratan awig-awig; Melaksanakan sebua penyuluhan mengenai adat istiadat yang dilakukan secara menyeluruh sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Perda Nomor 3 Tahun 2001”.
Dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas, MDP memiliki wewenang diatur dalam ketentuan Pasal 16ayat (2) Perda Nomor 3 tahun 2001 yang akan disebutkan sebagai berikut:
-
1. Melakukan musyawarah mengenai berbagai hal tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan adat dan agama.
-
2. Bertindak sebagai penengah yang berkaitan dengan kasus-kasus adat dan agama guna kepentingan di desa pakraman, serta
-
3. Ikut serta dalam penyelenggaraan upacara-upacara tentang keagamaan di provinsi, kota/kabupaten dan kecamatan.
Berdasar pada ketentuan tersebut maka dapat dipahami bahwa produk hukum yang pernah dikeluarkan oleh MDP tidak terkualifikasi sebagai hukum atat, sebaliknya hukum adat yang senyatanya berlaku dan ditaati oleh masyarakat adat di Bali (karma desa adat) ialah disebut dengan awig-awig desa adat, yang dibentuk sebagai implementasi otonomi desa adat yaitu berupa hak yang mengurus serta mengatur rumah tangga daerahnya sendiri desa mawacara, hal ini bukan Keputusan MUDP. Berdasarkan analias tersebut, Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP belum berlaku sebagai hukum adat sebelum pedoman tersebut dituangkan sebagai norma dalam awig-awig desa adat.
Hasil analisis dari apa yang telah dijelaskan diatas dinyatakan telah sesuai dengan pernyataan Sudantra, yang dikutip oleh Jurnal Hukum Online.com yang pada intinya menyatakan bahwa: masyarakat mesti bersabar demi sampai pada tujuan perkembangan bahwa Keputusan Pesamuhan III MUDP tersebut dapat benar-benar menjadi hukum adat yang senyatanya berlaku. Keputusan tersebut baru dapat dijadikan pedoman untuk melakukan sebuah revitalisasi pada hukum adat di daerah Bali melalui proses penyuratan/penulisan (penulisan) awig-awig desa adat23. Dari pernyataan Sudantra di atas, dapat disimpulkan bahwa Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP yang memberi hak mewaris untuk bagian tertentu harta warisan orang tuanya, belum berlaku sebagai hukum adat. Nilai-nilai dan asas yang dianut dalam Keputusan tersebut baru benar-benar menjadi hukum adat apabila sudah dituangkan dalam awig-awig desa adat.
Berdasarkan uraian penelitian diatas, penulis dapat memberi kesimpulan. Pertama, terdapat tiga jenis pengaturan mengenai waris yang dianut oleh masyarakat di Indonesia ialah hukum waris perdata/barat, hukum waris dalam keyakinan umat Islam dan hukum waris adat. Kedua, diketahui bahwa Hukum adat di Bali menganut konsep kekerabatan purusa atau kapurusa (patrilineal) yang menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris. Ketiga, seorang anak laki-laki yang telah kawin nyentana tidak lagi memiliki hak waris dalam keluarga asalnya dikarenakan bahwa yang bersangkutan dapat dikategorikan ninggal kedaton, yaitu meninggalkan
tanggungjawabnya dalam keluarga asalnya. Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Nomor 01.Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 pada prinsipnya menyatakan bahwa laki-laki nyentana dapat dikualifikasikan sebagai ninggal kedaton terbatas dan berhak atas bagian tertentu dari harta guna kaya orang tuanya belum dapat dipandang sebagai hukum adat Bali yang senyatanya berlaku
sebelum nilai-nilai serta prinsip yang ditaati didalamnya dinormakan ke dalam awig-awig desa adat. Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan kepada desa adat untuk menormakan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP ke dalam awig-awig desa adat. Kepada Majelis Desa Adat, sebagai kelanjutan dari Majelis Desa Pakraman, disarankan lebih giat melakukan sosialisasi agar prinsip dan nilai yang terkandung dalam Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP dapat dituangkan sebagai norma awig-awig desa adat.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku :
Artadi, I.K. (2003). Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. Denpasar: Pustaka Bali Pos.
Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, Himpunan Hasil-hasil Pesamuhan Agung III MDP Bali.
Marzuki, P.M. (2010). Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Perangin, E. (2011). Hukum Waris. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudantra, I.K., dkk. (2011). Per’kawinan Men’urut Hukum Ad’at Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Windia, I.W. (2006). Pengantar Hukum Adat Bali.Denpasar: Udayana University Press.
Windia, W.P., & Sudantra, K. (2006). Pengantar Hukum Adat Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Sudantra, I.K. (2019). Hukum Adat dan Pekerjaan Rumah dalam Pengembangan Ilmu
Hukum Adat, dalam Wayan P.Windia (ed.). Berita Kisah Bank BPR Kanti dan Buku Hukum Adat Bali. Denpasar : Swasta Nulus.
Jurnal :
Abuba’kar, L. (2013). Revit;alisasi huku’m adat se;bagai su’mber hu’kum dalam memba’ngun sist’em hukum Ind;onesia. Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), 319-331. doi http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2013.13.2.213
Adnyani, N. K. S. (2017). Sistem Perkawinan Nyentana dalam Kajian Hukum Adat dan Pengaruhnya terhadap Akomodasi Kebijakan Berbasis Gender. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 6(2), 168-177. doi http://dx.doi.org/10.23887/jish-
Arliman, L. (2018). Hukum Adat Di Indonesia Dalam Pandangan Para Ahli Dan Konsep Pemberlakuannya Di Indonesia. Jurnal Selat, 5(2), 177-190. Doi
https://doi.org/10.31629/selat.v5i2
Bachtiar, M. (2012). Hukum Waris Islam Dipandang Dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender. Jurnal Ilmu Hukum, 3(1). h. 2, doi http://dx.doi.org/10.30652/jih.v3i01.1026
Candrasari, M. W., & Sadnyani, I. A. (2019). Akibat Hukum Peralihan Perkawinan Biasa Menjadi Perkawinan Nyentana Terhadap Kedudkan Hak Waris Menurut Hukum Adat Bali. Jurnal Analisis Hukum, 2(1), 114-129. doi
https://doi.org/10.38043/jah.v2i1.2169
Hutabarat, S. M. D. (2017). Perkembangan Dan Perlindungan Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Ditinjau Dari Perspektif Hak Kekayaan Intelektual. Jurnal Yuridis, 2(2), 202-219. doi http://dx.doi.org/10.35586/.v2i2.201
Pratyaksa, I. T., & Sukirna, T. (2017). Perkembangan Kedudukan Suami Menjadi Ahli Waris Dalam Perkawinan Nyeburin Menurut Hukum Waris Adat Bali Setelah Keputusan Pesamuhan Agung Iii Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Nomor 01/Kep/Psm-3/Mdp Bali/X/2010. Diponegoro Law Journal, 6(2), 1-8. doi https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/
Siregar, F. A. (2018). Ciri Hukum Adat Dan Karaktristiknya. Jurnal Al-Maqasid: Jurnal Ilmu Kesyariahan Dan Keperdataan, 4(2), 1-14. doi
https://doi.org/10.24952/almaqasid.v4i2.1473
Sukerti, N.N., DKK. (2016). Pewarisan Pada Masyarakat Adat Bali Terkait Ahli Waris yang Beralih Agama. Jurnal Acta Comitas. (2)2. doi
https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p01
Sumber Online :
Hakim, A. (2012). “Hak Waris Perempuan Menurut Hukum Adat Bali”. tersedia di URL: “https://jurnal.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f6ac3987ac0e/hak-waris-perempuan-menurut-hukum-adat-bali-“. (Diakses 26 April 2021).
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11 dan Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang entang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11 dan Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 dan Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4)
606
Discussion and feedback