Vol. 06 No. 03 Desember 2021

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Akibat Hukum Pembatalan Salinan Akta Notaris Oleh Pengadilan

Maria Fransiska Christiani Nawang1, I Putu Rasmadi Arsha Putra2

1Program Studi Magister (S2) Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 28 Mei 2021

Diterima : 21 November 2021

Terbit : 1 Desember 2021


Keywords :

Due To Law, Cancellation, Copy of deed


Kata kunci:

Akibat Hukum, Pembatalan, Salinan akta


Corresponding Author:

Maria Fransiska Christiani

Nawang,       E-mail:       :

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2021.v06.i03.p9


Abstract

The purpose of writing this article is to find out the legal consequences of a copy of the deed that is canceled in court and the risks to the Notary if he does not withdraw the canceled copy of the deed This type of legal dogmatic research/normative research is used by the author in this journal because of the legal vacuum in the JN law and JNP law. The approach used is the legal approach and the conceptual approach. The results of the study show that, the legal consequences of a copy of the deed that are canceled by the Court are that the deed becomes null and void or the deed is reduced to a deed under the hand. Regarding the risk to the notary if he does not withdraw the canceled copy of the deed, the notary can be involved in legal problems, namely participating in legal actions.

Abstrak

Tujuan penulisan artikel ini yaitu untuk mengetahui akibat hukum terhadap salinan akta yang dilakukan pembatalan di pengadilan dan resiko terhadap Notaris apabila tidak menarik salinan akta yang dibatalkan. Jenis penelitian dogmatika hukum/penelitian normatif digunakan penulis dalam jurnal ini karena adanya kekosongan hukum dalam UUJN dan UUJNP. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan UU dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa, akibat hukum terhadap salinan akta yang dilakukan pembatalan oleh pengadilan adalah akta tersebut menjadi batal demi hukum atau akta diturunkan kekuatan pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan. Mengenai resiko terhadap notaris apabila tidak menarik salinan akta yang dibatalkan adalah notaris dapat terlibat dalam permasalahan hukum yakni turut serta melakukan perbuatan hukum.

umum yang kewenangannya merupakan kewenangan atributif untuk melakukan separuh kewenangan negara dibidang hukum pembuktian ini adalah Notaris.1 Produk hukumnya digunakan sebagai dasar perlindungan dan alat bukti yang sah bagi penghadapnya. Peraturan khusus yang digunakan Notaris sebagai dasar pelaksanaan kewenangannya adalah dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris selanjutnya akan disebut

UUJN dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris selanjutnya akan disebut

UUJNP.

Ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJNP “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Selain itu pada Kode Etik Notaris yakni Pasal 1 angka 4, “Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang Jabatan Notaris”. Berdasarkan pasal diatas notaris sebagai pejabat umum didasari/diberikan suatu kepercayaan dalam membuat akta otentik serta kewenangan lain sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku. Wewenang dan tugas notaris diatur didalam Pasal 15 UUJNP adalah membuat akta otentik yang dalam pembuatannya bukan menjadi kewenangan dari pejabat lain berdasarkan Undang-Undang seperti akta mengenai perjanjian, perbuatan hukum lainnya dan penetapan yang berdasarkan aturan hukum harus dibuatkan dalam wujud akta otentik, serta akta otentik yang merupakan kehendak para pihak meskipun tidak ada ketentuan yang mewajibkannya, mengarsipkan akta, menjadi kepastian akta, memberikan salinan, kutipan dan grosse akta serta kewenangan lainnya yang diatur pada ayat (2) dan (3).

Selama peraturan umum tidak mensyaratkan pembuatan akta diatas harus oleh pejabat atau orang lain atau dengan kata lain pembuatan akta tersebut bukanlah menjadi kewenangan pejabat atau orang lain, Notaris memiliki kewenangan untuk membuatnya.2 Dengan demikian, Notaris bertugas dan berkewenangan membuat akta otentik yang dalam peraturan umum, akta tersebut bukan kewenangan atau dikhususkan kepada orang lain atau pejabat yakni berbagai perbuatan hukum dan kewenangan lain yang termuat pada Pasal 15 UUJNP.3 Salah satunya adalah membuat akta otentik mengenai perjanjian. Berkaitan dengan akta otentik mengenai perjanjian tentunya harus memenuhi syarat yang ditetapkan agar suatu perjanjian menjadi sah sebagaimana termuat pada Pasal 1320 KUH Perdata.

Ada kalanya dalam suatu perjanjian terjadi kendala yang menyebabkan tidak terpenuhinya prestasi atau adanya akta menyebabkan kerugian terhadap pihak lain diluar perjanjian. Dalam hal kendala tersebut terjadi baik diantara para pihak dalam perjanjian maupun dengan pihak lain yang terkena dampak dari perjanjian ini, langkah hukum yang bisa ditempuh yakni dengan melakukan pembatalan akta

dengan ataupun pengajuan gugatan ke pengadilan. Terhadap langkah hukum gugatan ke pengadilan, yang dapat dilakukan para pihak adalah berupa gugatan dalam ranah hukum perdata seperti wanprestasi (1243 KUH Perdata) atau dengan perbuatan melawan hukum (1365 KUH Perdata). Sedangkan upaya membatalkan akta, dilakukan dengan kesepakatan para pihak. Dalam perjanjian dapat diatur khusus mengenai pembatalan suatu perjanjian yakni yang dibuat dalam bentuk syarat batal.4

Notaris memiliki beberapa kewajiban sebagaimana diatur pada Pasal 16 UUJNP, salah satunya adalah notaris berkewajiban memberikan salinan yang memiliki kekuatan eksekusi yang biasa sebut grosse akta, kutipan akta atau salinan akta.5 Pada UUJNP yakni Pasal 1 angka (9), “salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya".

Terhadap salinan akta, saat ini masih terjadi ketidaksamaan pendapat mengenai dibatalkan salinan akta yakni mengenai ada dan tidak adanya kewajiban mengenai ditariknya salinan akta yang telah dibatalkan yang kemudian diserahkan pada yang membuat pembatalan akta tersebut yakni notaris. Hal demikian, akan menjadi rumit apabila akta yang dibatalkan tersebut dibatalkan atas penetapan pengadilan atau tidak dibuatkan pembatalan di notaris lain. Persoalan baru yang dapat terjadi ketika Notaris tidak menarik salinan akta yang aktanya telah dilakukan pembatalannya atau salinan akta tersebut tidak diserahkan kepada Notaris yang melakukan pembatalan akta tersebut dan digunakan dihadapan Notaris ditempat lain untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum lain.

Aturan Pasal pada UUJN maupun UUJNP tidak ada yang mengatur dan menjelaskan kemungkinan dibatalkannya akta dan kewajiban bagi Notaris untuk menarik salinan akta dengan kata lain terjadi kekosongan hukum. Kekosongan hukum yang terjadi menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Sehingga menimbulkan adanya berbagai penafsiran berbeda mengenai praktek dan kewajiban Notaris.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk menganalisis mengenai Akibat Hukum Pembatalan Salinan Akta Oleh Pengadilan dengan inti persoalan hukum yang dianalisis pada jurnal ini yaitu bagaimana akibat hukum terhadap salinan akta yang dilakukan pembatalan oleh pengadilan serta bagaimana resiko terhadap Notaris apabila tidak menarik salinan akta yang dibatalkan. Penyusunan penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui konsekuensi/akibat hukum yang dapat terjadi terhadap salinan akta yang dilakukan pembatalan oleh pengadilan dan resiko terhadap Notaris apabila tidak menarik salinan akta yang dibatalkan.

Terdapat beberapa penelitian yang memiliki topik pembahasan serupa, yakni pertama penelitian yang dilakukan oleh Jenifer Maria dengan judul “Pembatalan akta Notariil oleh Notaris”6 pada tahun 2020 dari Universitas Surabaya. Penelitian ini berfokus pada

kewenangan notaris untuk melakukan pembatalan akta notaril. Kedua, Penelitian dengan judul “Tanggung Jawab dan Perlindungan Notaris secara Perdata Terhadap Akta yang Dibuatnya”7 yang dilakukan oleh Kunni Afifah pada tahun 2017 dari Universitas Islam Indonesia. Penelitian ini berfokus pada pertanggungjawaban dan perlindungan yang akan diberikan kepada notari dari sisi hukum khususnya secara keperdataan dalam hal akta yang telah dibuat. Kajian pada jurnal ini adalah berkaitan dengan “Akibat Hukum Pembatalan Salinan Akta Notaris Oleh Pengadilan”, sehingga terlihat penelitian ini lebih memfokuskan pembahasannya pada akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya pembatalan oleh pengadilan dan resiko yang dapat diterima oleh seorang notaris yang tidak menarik salinan akta yang telah dilakukan pembatalan. Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan agar notaris memiliki perlindungan dalam hal pembatalan akta yang dibuatnya.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan artikel ini merupakan penulisan yang penelitiannya dikategorikan sebagai dogmatika hukum/penelitian normatif. Hal yang mendasari penggunaan jenis penelitian normative dalam penulisan jurnal ini adalah karena tidak diaturnya mengenai kewajiban notaris menarik salinan akta yang telah dibatalkan baik oleh notaris maupun oleh pengadilan sehingga terjadi kekosongan norma. Penulisan ini mengunakan jenis pendekatan UU dan pendekatan konseptual. Bahan hukum dikumpulkan melalui penelusuran studi kepustakaan yang kemudian dianalisis menggunakan teknis analisis yakni teknik deskriptif, teknik evaluasi dan teknik argumentasi yang didasarkan peraturan UU terkait, buku dan jurnal.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Akibat Hukum Terhadap Salinan Akta Yang Dilakukan Pembatalan Oleh Pengadilan

Alat bukti tertulis merupakan satu dari beberapa alat bukti yang dilegalkan dan ditentukan KUH Perdata yakni pada Pasal 1866. Alat bukti tertulis ini dapat berbentuk akta. Subekti berpendapat secara etimologi akta berasal dari Bahasa Perancis yakni acte yang berarti perbuatan. Sehingga akta berbeda dengan surat. Akta tidak dapat diartikan sebagai surat namun merupakan perbuatan.8 Menurut Sudikno Metokusumo Akta adalah surat yang menerangkan peristiwa yang mendasari adanya perikatan, disertai dengan tanda tangan dengan tujuan pembuatannya adalah sebagai alat bukti atau untuk keperluan pembuktian.9 Jika disimpulkan maka akta adalah surat yang menerangkan perbuatan hukum atau peristiwa, yang ditandatangani serta tujuan dibuat selaku alat bukti.

Notaris selaku pejabat umum pembuat akta otentik memiliki produk hukumnya sendiri yang disebut akta Notaris. Ketentuan pada UUJNP khususnya Pasal 1 angka (7), “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh

atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.

Notaris dalam pembuatan aktanya, harus memperhatikan isi, jenis, dan cara pembuatannya. Hal ini karena akta notaris terbentuk dari/karena kehendak para pihak. Berkaitan dengan akta Notaris mengenai perjanjian, berbagai kesepakatan para pihak terhadap suatu objek tertentu merupakan isi akta yang bersifat mengikat para pihak itu sendiri.10 Sebagaimana diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata mengenai Syarat suatu perjanjian dinyatakan sah yakni “(1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan bertindak dalam hukum dari pada pihak; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang halal”, wajib menjadi filter pembuatan akta.

Terhadap 4 (empat) syarat sah perjanjian ini, dikelompokkan lagi kedalam syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat kesepakatan dan kecakapan bertindak dalam hukum dari para pihak merupakan syarat subjektif karena erat kaitannya dengan subjek dari perjanjian. Konsekuensi tidak memenuhi syarat ini adalah perjanjian dapat “dimintakan batal” atau dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan. Demikian halnya juga dengan syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal adalah ketentuan khusus yang disebut syarat objektif karena erat kaitannya terkait objek perjanjian. Konsekuensi manakala tidak terpenuhi syarat tersebut adalah perjanjian batal demi hukum. 11

Sering terjadi dalam prakteknya, pihak-pihak dalam perjanjian dengan alasan tertentu sepakat dan berkehendak membatalkan akta yang telah dibuat yang berisikan kehendak mereka. Jika terhadap akta tersebut berlangsung suatu persengketahan maka akta dapat dinyatakan batal demi hukum (null and void) atau atau dapat dibatalkan. Putusan pengadilan yang mengakibatkan terjadinya pembatalan pada akta notaris tidak hanya disebabkan karena kelalaian atau kesalahan Notaris ketika mengkonstatir kehendak penghadap dalam bentuk akta. Namun, akta Notaris yang dilakukan pembatalan bisa pula berasal pelanggaran, penyimpangan, kekeliruan, kekhilafan dan ketidaksengajaan dari para pihak dalam akta tersebut. Sehingga menimbulkan terjadinya gugatan dari salah satu pihak akibat dari hal tersebut.

Berkaitan dengan istilah kebatalan seringkali dibingungkan dengan istilah pembatalan. Herlien Budiono berpendapat12 “Manakala undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum, maka dinyatakan dengan istilah yang sederhana batal, tetapi adakalanya menggunakan istilah batal atau tak berhargalah (pasal 879 KUH Perdata) atau tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata). Penggunaan istilah-istilah tersebut cukup membingungkan karena adakalanya istilah yang sama hendak digunakan untuk pengertian yang berbeda untuk batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Pada Pasal 1446 KUH Perdata dan seterusnya untuk menyatakan batalnya suatu perbuatan hukum, kita temukan istilah-istilah batal demi hukum, membatalkannya (Pasal 1449 KUH Perdata), menuntut pembatalan (Pasal 1450 KUH

Perdata), pernyataan batal (Pasal 1451-1452 KUH Perdata), gugur (Pasal 1545 KUH Perdata), dan gugur demi hukum (Pasal 1553 KUH Perdata)”.

Dalam hal kebatalan maupun pembatalan akta otentik yang didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak untuk membatalnya dan didasarkan karena adanya putusan pembatalan akta oleh pengadilan memiliki akibat hukum yang berbeda. Beberapa sarjana memasukan masalah pembatalan dan kebatalan ke dalam genus nullitas (nulliteiten), yakni kondisi yang dalamnya terdapat perbuatan hukum yang menimbulkan dan berakibat hukum seperti yang diinginkan.13

Ketentuan dalam Pasal 84 UUJN dapat dihubungkan dengan pembatalan atau kebatalan suatu akta notaris yaitu “Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris”. Namun setelah adanya perubahan terhadap UUJN menjadi UUJNP, ketentuan Pasal 84 UUJN dan beberapa pasal mengenai sanksi dihapuskan. Penyelarasan pengenaan sanksi yang diatur dalam beberapa pasal pada UUJNP yaitu berupa peringatan lisan/peringatan tertulis, kekuatan pembuktian berubah menjadi akta di bawah tangan, maupun ganti rugi yang bisa dituntut terhadap notaris. Dalam UUJNP tidak diatur mengenai sanksi akta batal demi hukum.

Menurut Habib Adjie14 “Untuk menentukan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akan menjadi batal demi hukum dapat dilihat dan ditentukan dari:

  • a.    Isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika notaris melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

  • b.    Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan maka pasal lain yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 88 UUJN, termasuk ke dalam akta batal demi hukum”.

Terdegradasinya akta notaris berarti bahwa kekuatan pembuktian akta itu yakni sebagai akta di bawah tangan, batal, ataupun batal demi hukum, terjadi karena syarat yang sudah termuat serta ditegaskan dalam peraturan umum tidak dipenuhi, tanpa memerlukan langkah hukum khusus dari para pihak yang berkepentingan dalam akta. Dengan demikian, kebatalan memiliki sifat pasif, yang berarti bahwa akta akan menjadi batal atau batal demi hukum tanpa diperlukan suatu tindakan hukum atau

upaya lainnya yang berasal para pihak dalam akta karena semulanya perjanjian yang dibuat telah melanggar ketentuan yang ada.15

Sedangkan pembatalan memiliki sifat aktif, yang berarti bahwa walaupun telah terpenuhinya setiap syarat perjanjian, para pihak dengan alasan tertentu dapat bersepakat untuk tidak mengikatkan dirinya dalam perjanjian yang telah dibuatnya maupun melalui gugatan untuk membatalkan perjanjian/akta yang telah dibuat ke pengadilan, misalnya para pihak atas kesepakatan bersama ini melakukan pembatalan aktanya atau didapati tidak terpenuhnya beberapa aspek formal yang sebelumnya tidak ditemukan, dan adanya kehendak ingin membatalkannya dari para pihak.16

Habib Adji membedakan istilah kebatalan dan pembatalan sebagai berikut:

“Kebatalan akta Notaris meliputi:17

  • 1.    Dibatalkan

  • 2.    Batal demi hukum

  • 3.    Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan Sedangkan pembatalan akta Notaris meliputi:18

  • 1.    Dibatalkan karena adanya kehendak dari para pihak

  • 2.    Dibuktikan dengan asas praduga sah.”

Tentang akibat hukum dari pembatalan salinan akta oleh pengadilan, akan diuraikan sebagai berikut:

  • 3.1.1    Pembatalan Disebabkan Peristiwa Perdata.

Pembatalan disebabkan peristiwa perdata berupa Wanprestasi (Tidak terpenuhinya prestasi) dan perbuatan melawan hukum.19 Wanprestasi (pasal 1243 KUH Perdata) adalah debitur akan dikenakan sanksi pembayaran ganti kerugian apabila suatu perikatan tidak terpenuhi, ada pernyataan yang menyatakan kelalaian debitur, dan pemenuhan prestasi melewati waktu yang disepakati sebelumnya. Suatu hal dapat dikatakan wanprestasi manakala tidak terpenuhinya kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian.

Akibat hukum dari wanprestasi adalah perjanjian tersebut tidak perlu dilakukan pembatalannya kepada hakim. Wanprestasi merupakan syarat batal dari perjanjian tersebut. Namun dalam hal wanprestasi tidak menyebabkan perjanjian batal demi hukum wajib meminta pembatalannya di pengadilah karena meskipun ada pihak yang telah wanprestasi, hakim tetap memiliki kewenangan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang wanprestasi tersebut memenuhi perjanjiannya.20

Pasal 1266 yang pada pokoknya mengatur bahwa sebagai antisipasi tidak terpenuhinya kewajiban oleh salah satu pihak, dalam perjanjian syarat batal selalu dicantumkan. Sehingga perjanjian tidak menjadi batal demi hukum namun wajib melalui proses pembatalan oleh pengadilan. Walaupun tidak terpenuhinya kewajiban yang termuat dalam perjanjian sebagaimana merupakan syarat batal ditentukan dalam perjanjian, putusan pengadilan tetap dibutuhkan. Dalam hal tidak ditentukannya syarat batal dalam perjanjian, atas permintaan tergugat dan keadaan yang dilihat hakim dapat memberikan perpanjangan waktu 1 (satu) bulan untuk pemenuhan prestasi.21

Pelanggaran atau tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian tidak hanya berarti bahwa melanggar isi dari perjanjian tetapi juga meliputi pelanggaran kepada kebiasaan, asas kepatutan, dan UU sebagaimana diatur dalam KUH Perdata yakni pada pasal 1339. 22

Selanjutnya pada Pasal 1365 KUH Perdata, diatur bahwa “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”. Sehingga bila disimpulkan maka perbuatan melawan hukum merupakan berbagai macam perbuatan yang pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap hukum dan menyebabkan orang lain mengalami kerugian baik materil maupun immaterial, terhadap pelanggar dan penyebab kerugian tersebut diberikan sanki berupa penggantian kerugian.

Gugatan mengenai perbuatan melawan hukum lazimnya bukan karena adanya hubungan hukum seperti perjanjian. Penerapan prinsip pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan merupakan bentuk upaya yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak seseorang yang dirugikannya. Hal ini untuk menggariskan atau mempertegas hak dan kewajiban bagi seseorang ketika bertindak atau melakukan suatu perbuatan yang salah, perbuatan karena kelalaiannya ataupun perbuatan yang melukai orang lain sehingga berakibatkan kerugian bagi orang tersebut.23

  • 3.1.2    Pembatalan Disebabkan Peristiwa Pidana.

Pemberian hukuman pidana kepada seorang Notaris tidak serta merta menimbulkan dampak batal demi hukum terhadap akta Notaris. Dalam hal gugatan perdata guna pembatalan akta telah dilakukan dan Notaris ditempatkan sebagai terpidana, maka saksinya harus sesuai sasaran.24 Penerapan sanksi pidana umumnya diterapkan bagi tiap orang yang bertindak berlawanan dengan hukum dan sebagai bentuk pelanggaran hukum. Secara kumulatif sanksi pidana bersifat condemnatoir atau menghukum, yang jika dikaitkan dengan UUJN dan UUJNP, mengenai sanksi pidana terhadap Notaris yang melanggar ketentuan yang tidak diatur secara jelas.25 Manakala terjadi hal

demikian maka Notaris akan diadili dan tunduk pada sistem hukum pidana pada umumnya. Prosedur sanksi pidana adalah menetapkan Notaris untuk laksanakan pidana yang ditentukan terhadapnya berdasarkan amar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

  • 3.1.3    Pembatalan Disebabkan Peristiwa Administrasi

Akta notaris adalah alat bukti terkuat, terpenuh dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Namun jika terdapat pelanggaran terhadap ketentuan hukum dalam pembuatannya maka Akta tersebut tidak lagi menjadi alat bukti tertulis yang tidak membutuhkan alat bukti lain untuk membuktikannya. Dengan kata lain penilaian atas alat bukti ini adalah terdegradasinya akta menjadi akta dibawah tangan. Sepanjang adanya pengakuan dari para pihak maka pembuktiannya sempurna. 26

Akibat yang ditimbulkan kepada para pihak dari keotentikan dan batalnya akta, yaitu:27

  • a.    Akta yang batal mengakibatkan akta kehilangan keotentisitasnya dan perbuatan hukum yang diperjanjian dan yang diterangkan dalamnya pun akan batal. Akta yang dimaksudkan disini adalah akta otentik yang oleh peraturan umum wajib dibuat dengan bentuk akta otentik;

  • b.    Akta maupun perbuatan yang termuat didalamnya tidak menjadi batal. Keadaan tersebut terjadi pada Akta Notaris yang mengenai perbuatan hukumnya tidak diharuskan dalam bentuk akta otentik oleh peraturan umum melainnya atas kehendak para pihak yang menginginkan dibuatkan suatu akta otentik terhadap perbuatan hukumnya sehingga mendapatkan dasar yang kuat dalam bertindak.

  • c.    Akta tetap sebagai akta otentik atau perbuatan hukum yang termuat pada akta menjadi batal. Kondisi tersebut berlangsung bila syarat perjanjian tidak dipenuhi dalam perjanjian yang dibuat atau adanya cacat pada pokok hak sebagai objeknya. Contohnya jual beli tanah dengan atas dasar bukti yang dipalsukan.

Akibat akta Notaris dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum (null and void) disebabkan karena terdegradasinya akta Notaris menjadi akta dibawah tangan dan ketidaksempurnaan akta tersebut28. Hal tersebut terjadi manakala adanya pelanggaran terhadap Pasal 1869 KUH Perdata, Pasal 84 UUJN yang pada UUJNP telah dihapus dan ketentuan dalam Kode Etik Notaris. Sanksi yang terdapat pada kedua pasal tersebut, terhadap aktanya mempunyai pemahaman dan implikasi hukum yang berbeda dan sifatnya alternatif.

3.2 Resiko Terhadap Notaris Apabila Tidak Menarik Salinan Akta Yang Dibatalkan

Dalam ranah perkara perdata, Notaris sering dipanggil dan ditempatkan sebagai orang yang digugat dan turut digugat yang terkesan sebagai upaya yang memaksa keadaan.29 Hal ini karena pada kenyataannya seorang Notaris oleh peraturan perundang-undangan tidak diperkenankan ikut terlibat dalam menentukan isi akta (kesepakatan dan kehendak para pihak) seperti dalam pembuatan akta pihak atau akta partij.

Notaris terlibat dalam pembuatan akta partij ataupun akta relas hanya sebatas mengkonstantirkan kehendak dari penghadapnya dan menandatangani aktanya.30 Kedudukan notaris dalam persengketaan perdata sebagai tergugat ataupun turut tergugat yang terkesan dipaksakan ini merupakan serangkaian langkah atau cara yang digunakan sebagai pemaksaan bagi notaris agar notaris tersebut membeberkan informasi dan data yang diterimanya berkaitan akta yang dijadikan alat bukti dalam persidangan.31

Terhadap suatu akta notaris yang dinyatakan tidak sah dalam gugatan wajib dilakukan pembuktinya mengenai sah dan tidaknya akta tersebut dalam hal ini berdasarkan aspek formal, materil dan lahiriah.32 Akta akan tetap menjadi sah dan tetap berlaku serta mengikat para pihak dalam akta apabila terhadap aspek tersebut tidak dapat dibuktikan kecacatannya. Namun, apabila dalam proses peradilan terbukti bahwa salah satu dari aspek diatas menciptakan adanya kecacatan dalam akta maka akibatnya kekuatan pembuktian didegradasi menjadi akta dibawah tangan.33

Mengenai akta otentik yang sifatnya mengikat para pihak dalam akta dan berkekuatan pembuktian sempurna dalam hal ini untuk pembuktiannya tidak dibutuhkan alat bukti lain. Hal ini mengandung makna bahwa selama terhadap akta tersebut tidak adanya bukti yang menyatakan adanya kecacatan dan ketidakbenaran dalam akta, hakim harus yakin dan percaya atas akta tersebut.34 Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1870 KUH Perdata.

Pada pokoknya, apabila tidak ada pihak yang meminta dilakukannya pembatalan akta Notaris, secara ex officio hakim tidak bisa membatalkannya. Hal ini disebabkan karena adanya larangan bagi hakim untuk memberikan putusan terhadap hal yang tidak

digugatkan.35 Pembatalan baru dapat dilakukan jika ada gugatan dari pihak dalam akta dan terbukti cacat hukum.

Dalam hal adanya kemungkinan dibatalkannya akta dan kewajiban notaris untuk menarik salinan akta dari akta yang dibatalkan tidak diatur secara jelas pada UUJNP beserta penjelasannya sehingga terjadi kekosongan hukum. Apabila hal ini terjadi maka notaris harus teliti dalam artian bahwa notaris harus lebih berhati-hati dalam melaksanakan jabatannya dan melakukan pengecekan terhadap akta yang dibuatnya. Ketelitian salah satunya dengan memperhatikan akta yang dibuat dan dimohonkan pembatalan dan terhadap tindakan tersebut dilakukan pada Notaris yang sama.

Akan tetapi jika salah satu pihak tidak menyerahkan salinan akta dari akta yang dibatalkan kepada notaris melainkan digunakan sebagai dasar bertindak pada Notaris lain. Hal ini dapat terjadi manakala adanya itikad buruk salah satu pihak sehingga Notaris dapat dipersangkakan mengambil bagian dalam menuangkan keterangan yang tidak benar atau tidak sesuai dalam Akta otentik seperti ketentuan pasal 266 mengenai memasukan keterangan palsu dalam Kitab Undang Undang Pidana (KUHP). Selama keterangan palsu tersebut merupakan bagian dari adanya itikad buruk penghadap dalam perjanjian dan dapat dibuktikan bahwa tidak adanya keterlibatan notaris didalammnya maka ketentuan pasal 266 KUHP tidak dapat dipersangkakan kepadanya.36

Berdasarkan ketentuan pada KUHP khususnya pasal 266 diatur bahwa “(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian”.

Berdasarkan uraian diatas, niat awal dari pelaku adalah penipuan. Hal ini dilihat dari adanya tindakan dan cara dari pihak yang bersangkutan dengan tujuan memperoleh keuntungan diri sendiri dengan memberikan keterangan-keterangan tidak benar atau palsu ke dalam aka otentik.37 Hal tersebut bukanlah merupakan keinginan Notaris dan Notaris tidak terlibat atau turut serta menuangkan keterangan palsu pada akta berisi perbuatan hukum yang dikendaki oleh para pihak untuk dibuat olehnya. Harus dipastikan bahwa Notaris tidak memliki niat untuk memberikan peluang bagi para

pihak untuk mendapatkan keuntungan atau menguntungkan salah satu pihak dan membiarkan pihak lainnya memperoleh kerugian. 38

Tujuannya agar Notaris tetap berada dalam prinsip kehati-hatiannya sebagaimana diatur dalam dan menjadi Notaris Pasal 16 huruf a UUJNP jo Pasal 3 ayat (4) Kode Etik Notaris yakni salah satunya Notaris sebagai pejabat umum wajib amanah dan tidak berpihak.39 Sehingga Notaris terhindar dari permasalah hukum yakni ikut serta memasukan keterangan tidak benar atau palsu.

Dalam hal adanya perkara atau permasalah hukum diantara pihak dalam akta notaris, penyidik diharuskan untuk lebih teliti dalam menetapkan kedudukan notaris sebagai turut melakukan perbuatan memasukan keterangan palsu karena pada pasarnya Notaris hanya mengkonstantirkan aktanya berdasarkan syarat formal yang diberikan oleh penghadapnya. Hal tersebut sesuai UUJN dan UUJNP. Berdasarkan ketentuan UUJN maupun UUJNP tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk melakukan pembuktian serta tugas investigasi selayaknya seorang penyidik terkait kelengkapan terhadap syarat formil tersebut.

Namun, Notaris juga dapat dipidanakan terkait aspek formal akta Notaris tersebut. Hal ini selama Notaris terbukti secara sengaja, sadar dan direncanakan telah mengetahui pemalsuan atas aspek formal dan selanjutnya akta yang dibuat oleh atau dihadapannya berdasarkan aspek formal tersebut digunakan sebagai alat untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum atau tindak pidana. Selain itu, secara sengaja dan sadar, Notaris bersama para pihak atau penghadap, melakukan, menyuruh, membantu para pihak untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Kedudukan seorang notaris terhadap penghadap maupun terhadap aktanya yang sebagaimana namanya tercantum jelas dalam akta tersebut tidak secara serta merta berarti bahwa Notaris ikut, turut serta, membantu bahkan menyuruh melakukan suatu perbuatan hukum tertentu yang dilakukan penghadapnya.40 Notaris pada dasarnya tidak memiliki kepentingan hukum dan tidak terikat dengan isi akta. Apabia terhadap akta tersebut terjadi permasalahan diantara para pihak, maka secara hukum tidak ada alasan bagi penyidik menetapkan Notaris sebagai tergugat, turut tergugat atau tersangka serta saksi.41

Hal demikian harus dipenting diketahui agar pemanggilan notaris baik sebagai saksi, tergugat, turut tergugat atau tersangka oleh para penegak hukum yang tidak teliti dan jeli terhadap penetapan Notaris dalam permasalahan hukum secara tidak langsung akan berimplikasi pada kredibilitas Notaris tersebut. Sebagaimana notaris menjalankan jabatannya berdasarkan kepercayaan masyarakat akan kemampuan

notaris dalam menerjemahkan kehendaknya kedalam akta otentik dan tentunya tetap sesuai dengan asas, kebiasaan peraturan hukum yang berlaku.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, akibat hukum terhadap salinan akta yang dilakukan pembatalan di pengadilan adalah Akta mengalami degradasi sehingga berkekuatan pembuktiannya sebagai akta di bawah tangan ataupun null and void yakni batal demi hukum. Hal ini terjadi karena syarat yang sudah termuat serta ditegaskan dalam peraturan umum tidak dipenuhi, tanpa memerlukan langkah hukum khusus dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam akta. Apabila terdapat adanya persengketaan dan tidak ada kesepakatan para pihak mengenai dibatalkannya akta, maka pihak yang tidak ingin terikat ataupun ikut serta dalam perjanjian dapat menggugat ke pengadilan umum. Mengenai resiko terhadap notaris apabila tidak menarik salinan akta yang dibatalkan adalah notaris dapat terlibat dalam permasalah hukum yakni turut serta melakukan perbuatan hukum. Hal ini dikaitkan dengan tidak adanya itikad baik dari pihak yang masih memegang salinan akta yang dibatalkan tersebut. Dalam hal salinan aktanya sudah dibatalkan tersebut digunakan lagi sebagai dasar bertindak pada notaris, notaris pembuat akta ini bisa dipersangkan memasukan keterangn palsu pada akta autentik (266 KUHP).

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Sjaifurrachman dan H. Adjie. (2011). Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta. Bandung: Mandar Maju.

Habib A. (2017). Kebatalan dan pembatalan akta Notaris. Cetakan ke 4. Bandung: Reflika Aditama.

Ridwan Khairandy. (2014). Hukum Kontrak Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

Rosa Agustina, dkk, (2012). Hukum Perikatan. Denpasar: Pustaka Larasan.

Jurnal

Afifah, Kunni. (2017). Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata Terhadap Akta yang Dibuatnya. Lex Renaissance, 2(1),  10. Doi:

https://doi.org/10.20885/JLR.vol2.iss1.art10

Arif, Jufri (2014), Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Notaris terhadap Pelanggaran Hukum Atas Akta, jurnal ilmu hukum legal opinion 5(2). Url: https://www.neliti.com/publications/151639/tinjauan-yuridis-pertanggungjawaban-pidana-notaris-terhadap-pelanggaran-hukum-at#cite

Djameswar, K. R. S. (2020). Bentuk Dan Substansi Cacat Yuridis Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Kajian Dalam Prespektif Kebatalan Dan Degradasi Kekuatan Bukti (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 92/Pdt. G/2018/PN.

Dps). Indonesian                                                         Notary, 2(1).

Url:http://notary.ui.ac.id/index.php/home/article/view/685/201

Erliyani, R., & Anwary, I. (2020). Kecermatan Notaris Dalam Pembuatan Akta Dan Akibat      Hukumnya. Universitas      Lambung      Mangkurat.      Url:

http://eprints.ulm.ac.id/id/eprint/2849

Irmawati, D. (2019). Tinjauan Yuridis Akta Notaris yang Isinya Diingkari Oleh Para Pihak. Jurnal     Hukum     dan     Kenotariatan, 3(2),     177-190.     Doi:

http://dx.doi.org/10.33474/hukeno.v3i2.3367

Juanda, E. (2016). Kekuatan Alat Bukti dalam Perkara Perdata Menurut Hukum Positif Indonesia. Jurnal         Ilmiah         Galuh         Justisi, 4(1),         27-46.

http://dx.doi.org/10.25157/jigj.v4i1.409

Lidya Christina Wardhani, S.H. (2017). Tanggung Jawab Notaris/Ppat Terhadap Akta Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan. Universitas Islam Indonesia Doi: https://doi.org/10.20885/JLR.vol2.iss1.art4

Maria, J. (2020). Pembatalan Akta Notariil Oleh Notaris. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 4(4), 408-415. Doi: http://dx.doi.org/10.36312/jisip.v4i4.1547

Parsa, I. W., & Ariawan, I. G. K. (2018). Prinsip Kehati-Hatian Notaris Dalam Membuat Akta Autentik Oleh Ida Bagus Paramaningrat Manuaba. Jurnal Ilmiah Prodi Magister                Kenotariatan, 2017,                59.                Doi:

https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p05

Priono, A., Novianto, W. T., & Handayani, I. G. A. K. R. (2017). Penerapan Teori Penafsiran Hukum Oleh Hakim Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Studi Atas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik). Jurnal    Hukum    dan    Pembangunan    Ekonomi, 5(2).    Doi:

https://doi.org/10.20961/yustisia.v5i2.8748

Sasauw, C. (2015). Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Mengikat Suatu Akta

Notaris. Lex                           Privatum, 3(1).                           Url:

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/7030/6541

Simaremare, T., Hamdan, M., Mulyadi, M., & Leviza, J. (2015). Tindak Pidana

Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu Dalam Akte Otentik (Studi Putusan Nomor: 1545/pid. b/2012 Pn. Medan. Jo Putusan Nomor: 39/pid/2013/pt. medan.). Usu          Law          Journal, 3(3),          97-110.          Url:

https://www.neliti.com/publications/14285/tindak-pidana-menyuruh-memasukkan-keterangan-palsu-dalam-akte-otentik-studi-putu

Sukisno, D. (2008). Pengambilan Foto Copi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 20(1). Doi: https://doi.org/10.22146/jmh.16313

Suyanto, S., & Ningsih, A. S. (2018). Pembatalan Perjanjian Sepihak Menurut Pasal 1320 Ayat (1) Kuh. Perdata Tentang Kata Sepakat Sebagai Syarat Sahnya Perjanjian. Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik, 7(2).Url:http://journal.unigres.ac.id/index.php/JurnalProHukum/article /view/702

Tesis

Wardhani, L. C. (2017). Tanggung Jawab Notaris/PPAT terhadap Akta yang Dibatalkan oleh Pengadilan (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA). Url: https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8969/Lidya%20CW%20 MKn%20UII.pdf?sequence=1

Risma Marpaung. (2018). Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Yang Dinyatakan Batal Demi Hukum Oleh Pengadilan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 656/Pdt.G/2015/Pn.Mdn), Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. h. 83 URL: http://repositori.umsu.ac.id/xmlui/handle/123456789/2235

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor TLNRI 4432

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 3

592