Pembuktian Harta Bersama Dalam Perceraian Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin di Indonesia
on
ACTA CtMITAS
Jurnal Hukum Kenotariatan
Vol. 06 No. 03 Desember 2021
e-ISSN: 2502-7573 | p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Pembuktian Harta Bersama Dalam Perceraian Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin di Indonesia
I Made Arya Dwisana1, Made Gde Subha Karma Resen2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 9 April 2021
Diterima : 21 November 2021
Terbit : 1 Desember 2021
Abstract
Keywords :
Mixed Marriage, Divorce, Collective Property
The purpose of this research is to to find out and examine the position of Shared Property and the system of proof of joint property in the divorce of mixed marriage without marriage agreement This research uses normative legal methods and uses the approach of Legislation (The Statue Approach) and the approach of fact (The Fact Approach). The position of joint property in mixed marriage based on the Law in Indonesia is stipulated in Article 35 paragraph (1) of the Marriage Law stipulated that "the property obtained during the marriage is to be a joint property". The system of proof of joint property in a mixed marriage divorce without a marriage agreement is the person who sues the property together in case of divorce, he must prove that the property is a joint property. although the law does not govern the proof of joint property but the judge can decide the case based on his conviction (The Rechtsvinding School).
Kata kunci:
Perkawinan Campuran, Perceraian, Harta Bersama
Corresponding Author:
DOI :
10.24843/AC.2021.v06.i03.p8
Abstrak
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan memahami Kedudukan Harta bersama serta sistem pembuktian harta bersama dalam perceraian perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif serta menggunakan pendekatan Perundang-Undangan (The Statue Approach) dan pendekatan fakta (The Fact Approach). Kedudukan Harta bersama dalam Perkawinan campuran berdasarkan Hukum di Indonesia diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa “harta benda yang di peroleh selama perkawian adalah menjadi harta bersama”. Sistem pembuktian harta bersama dalam perceraian perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin yaitu orang yang menggugat harta bersama apabila terjadi percerian maka ia harus membuktikan bahwa harta tersebut merupakan harta bersama. meskipun undang-undang tidak mengatur mengenai pembuktian harta bersama tetapi hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan keyakinannya (Aliran Rechtsvinding).
Perkawinan adalah hubungan yang dijalankan oleh pasangan suami istri untuk membentuk keluarga dan merupakan hak setiap orang dan hak tersebut telah diatur pada pasal 28 (b) ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) yang menentukan bahwa “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Ketentuan tersebut menjadi payung hukum bagi setiap orang untuk menentukan pasangan hidupnya dan membentuk suatu keluarga serta melanjutkan keturunan sesuai dengan kehendaknya serta tidak adanya tekanan dari pihak manapun, karena dasar dari terjadinya perkawinan adalah persetujuan. Dengan adanya persetujuan kedua belah pihak maka perkawinan dapat dilangsungkan. Apabila dalam perkawinan terjadi tekanan maupun intervensi dari pihak lain maka perkawinan tersebut tidak sesuai karena dasar dari terjadinya perkawinan yaitu adanya suatu kesepakatan dari kedua belah pihak.
Di Indonesia perkawinan diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan”), yang mengatur tentang aturan perkawinan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan perkawinan di Indonesia dan tidak mengesampingkan keberlakuan hukum adat perkawinan yang berlaku dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam perkawinan setiap orang bebas untuk memilih pasangan hidupnya untuk dijadikan suami atau istri untuk membentuk suatu hubungan keluarga, baik perkawinan yang dilakukan antar kelompok atau golongan, antar suku, antar wilayah serta perkawinan beda kewarganegaraan yang sering disebut sebagai perkawinan campuran.
Dunia yang terus berkembang sangat mempengaruhi kehidupan manusia, yang semakin mudahnya untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang jauh, didalam maupun di luar negeri tanpa harus bertatap muka langsung dengan melalui media online. Media online sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat saat ini misalnya mencari kenalan dari luar negaranya sehingga tidak menutup kemungkinan akan menjadi teman dekat, yang jauh bisa terasa dekat. Pada saat ini perkawinan yang trend di kalangan masyarakat adalah perkawinan campuran. Perkawinan campuran dianggap sebagian orang sebagai sarana untuk mendapatkan dan memperbaiki keturunan yang berbeda atau yang sering disebut sebagai anak “Blasteran” yang diyakini memiliki wajah yang rupawan dan lebih menarik dari pada anak lainnya yang di idam-idamkan oleh banyak orang bukan hanya itu saja melakukan perkawinan campuran dianggap dapat menaikan status sosial seseorang.
Pelaksanaan perkawinan campuran di Indonesia tunduk pada ketentuan UU Perkawinan. Berdasarkan pasal 57 UU Perkawinan menentukan bahwa “perkawinan campuran yaitu perkawinan antar dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaran Indonesia”. Merujuk pasal ini perkawinan campuran yaitu pasangan suami dan istri yang sama-sama memiliki perbedaan kewarganegaraan serta tunduk pada hukum yang berbeda.1 Contoh perkawinan campuran yaitu suami berkewarganegaraan Jepang dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Jepang lalu menikah dengan istri yang berkewarganegaraan Indonesia yang tunduk pada hukum di Indonesia. Sehingga inti dari perkawinan campuran yang dimaksud adalah perkawinan yang menyangkut perbedaan kewarganegaraan. Dalam perkawinan campuran tidak mengharuskan salah satu pihak untuk mengubah kewarganegaraannya sesuai dengan kewarganegaraan pasangan, dikarenakan setiap orang bebas menentukan kewarganegaraannya.
Ikatan perkawinan suami dan istri dalam berumah tangga menyerupai perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, apabila salah satunya tidak terpenuhi maka akan menimbulkan masalah didalam rumah tangga tersebut. Hak dan kewajiban itu merupakan hukum dan mutlak dipenuhi oleh suami istri. Hak dan kewajiban ini merupakan hukum tidak tertulis atau tidak dibuat oleh yang berwenang tetapi hak dan kewajiban ini timbul secara alamiah dari dampak terjadinya suatu perkawinan yang harus dilaksanakan. Dari segi hukum tertulis, suami istri dapat membuat perjanjian kawin hal tersebut ditentukan pada Pasal 29 UU Perkawinan yang menentukan bahwa “Perjanjian kawin itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan”. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 69/PUU-XIII/2015 juga menentukan bahwa “Perjanjian kawin itu bisa juga dibuat setelah perkawinan berlangsung oleh pasangan mempelai tersebut atas persetujuan bersama dan perjanjian itu tidak bertentangan terhadap aturan yang ada”. Berdasarkan pasal tersebut perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan serta setelah terjadinya perkawinan oleh pasangan suami istri.
Isi perjanjian kawin itu biasanya berisi hak dan kewajiban serta bisa juga mengenai pembagian harta bersama dan hak asuh anak apabila suami istri bercerai. Dalam hal Perjanjian kawin tidak diwajibkan setiap pasangan suami istri memilikinya. Tetapi dengan dengan dibuatnya perjanjian kawin dapat mencegah sesuatu kemungkinan terburuk yang tidak diinginkan. Apabila terjadi perceraian diantara keduanya dengan dibuatnya perjanjian kawin ini perselisihan yang mungkin terjadi dapat dihindari karena sudah ada kesepakatan diantara keduanya. Perkawinan sebagai proses bahtera hidup tidak selamanya utuh untuk dapat di pertahankan. Apabila terjadi pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri dapat menimbulkan berbagai masalah dalam
perkawinan serta terkadang memberikan pengaruh-pengaruh buruk didalamnya, seperti misalnya perceraian.
Begitu juga menurut Abdul Ghofur Anshori yang menyatakan bahwa “dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai pasangan suami istri mengeluh dan mengadu kepada orang lain, ataupun kepada keluarganya, akibat tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya tersebut, tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan”.2 Suami istri dalam menjalankan hak dan kewajiban dibutuhkan kerjasama yang baik masing-masing pihak untuk mewujudkan tujuan suatu perkawinan.3 Apabila hak dan kewajiban dilanggar akan sangat berpengaruh dalam kehidupan berumah tangga misalnya terjadinya kekerasan dalam berumahtangga sehingga menyebabkan suami atau istri mengalami luka baik fisik yang dapat mempengaruhi mental. Untuk menghindari kekerasan yang didapatkan sehingga suami atau istri memilih perceraian sebagai jalan keluarnya. Bukan hanya itu saja dilanggarnya hak dan kewajiban dalam berumah tangga dapat memicu terjadinya perselingkuhan karena tidak ada rasa kepuasan suami atau istri. Untuk memenuhi rasa kepuasannya tersebut suami atau istri seringkali melakukan perselingkuhan dengan orang yang mampu memberikannya sesuatu yang tidak didapatkan dari pasangannya sehingga menyebabkan keretakan rumah tangganya.
Perceraian juga bisa terjadi pada perkawinan campuran. Dalam perkawinan campuran pihak suami atau istri mempunyai perbedaan tersendiri seperti budayanya dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari di negaranya, sehingga akan sulit menyatukan perbedaan tersebut dalam waktu yang sangat singkat seperti terjadinya perselisihan yang mengakibatkan pertengkaran sehingga berdampak terhadap hubungan rumah tangganya yang tidak harmonis sehingga perceraian adalah jalan terbaik. Perceraian merupakan putusnya hubungan perkawinan karena suatu alasan yang dilakukan oleh pasangan suami-istri dengan keputusan hakim atas tuntutan dari suami atau istri maupun perceraian itu dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak dalam perkawinan.4 Putusnya ikatan perkawinan pasangan suami istri yang memiliki perbedaan kewarganegaraan dapat menimbulkan perselisihan, terutama mengenai harta benda yang timbul dalam perkawinan tersebut. Perselisihan mungkin dapat dihindari jika pasangan perkawinan campuran tersebut
membuat suatu perjanjian kawin yang mengatur tentang hak dan kewajiban apabila terjadi perceraian. Perjanjian kawin ini bertujuan untuk meminimalisir sengketa yang akan terjadi pada saat terjadinya perceraian. Perjanjian ka win dapat memberikan suatu kepastian hukum. Seperti pada Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor: 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg dimana pada putusan ini terjadi sengketa mengenai harta bersama yang yang di peroleh pada saat perkawinan berlangsung.
Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menentukan “bahwa harta benda yang di peroleh selama perkawinan menjadi Harta bersama”. Sedangkan dalam Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor: 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg pada pertimbangan hukumnya menentukan “bahwa harta benda menjadi harta bersama yang diperoleh selama perkawinan tidak cukup hanya didasarkan pada waktu perolehan harta benda tersebut melainkan harus di buktikan oleh penggugat. Penggugat harus dapat membuktikan dengan alat bukti yang secara hukum dapat dipertanggung jawabkan bahwa harta benda yang di peroleh selama perkawinan itu merupakan harta bersama”. Mengenai pembuktian harta bersama belum ada aturan yang mengatur sehingga dapat dikatakan sebagai norma kosong. Dalam putusan percerian ini Apabila penggugat tidak dapat membutikan harta bersama itu maka harta benda itu tidak dapat di bagi dan otomatis menjadi hak tergugat.
Berdasarkan uraian diatas perlu solusi yang tepat apabila terjadi perceraian perkawinan campuran untuk membantu memecahkan masalah-masalah mengenai percerian perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin terhadap pembuktian harta bersama, maka dibuatlah suatu karya ilmiah yang berjudul “Pembuktian harta bersama dalam perceraian Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian kawin di Indonesia”. Adapun permasalahan yang dikaji dalam tulisan karya ilmiah ini yaitu Pertama bagaimana Kedudukan Harta bersama dalam Perkawinan campuran berdasarkan Hukum di Indonesia dan Kedua bagaimana sistem pembuktian dalam perceraian perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui dan memahami kedudukan harta bersama dan sistem pembuktian harta bersama apabila terjadinya perceraian perkawinan campuran, serta digunakan sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Magister Kenotariatan.
Dalam penulisan karya ilmiah ini ada beberapa kemiripan dengan karya ilmiah lainnya seperti yang ditulis oleh Paima Situmeang yang berjudul “Implikasi Perjanjian Kawin Terhadap Harta Dalam Perkawinan Campur sangat berbeda dengan yang dibuat oleh penulis dalam karya ilmiah ini”. Pada tulisan Paima Situmeang masalah yang diangkat mengenai “Perlindungan hukum terhadap pasangan suami istri dalam perkawinan Campuran serta akibat hukum
perjanjian kawin terhadap harta dalam perkawinan campuran”.5 Tulisan kedua yang mirip adalah karya ilmiah yang ditulis oleh Hilda Yuwafi Nikmah dan Pranoto, yang berjudul “Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian dari Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kaidah Hukum Perdata Internasional. Masalah yang diangkat atau diuraikan dalam jurnal mengenai Akibat hukum perceraian dari perkawinan campuran antar warga negara terutama terkait pembagian harta bersama.”6
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan jenis penelitian hukum Normatif dengan mengkaji peraturan yang terkait kedudukan harta bersama serta pembuktian harta bersama apabila terjadi percerian pada perkawinan campuran. Pendekatan yang digunakan yaitu “pendekatan Perundang-Undangan (The Statue Approach) dan pendekatan fakta (The Fact Approach)”. Bahan hukum yang digunakan yaitu “bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier yang seluruhnya dikumpulkan dengan teknik studi dokumen, dan selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif melalui prosedur deskripsi dengan menguraikan, menjelaskan, menjabarkan berdasarkan bahan hukum yang diperoleh”.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Suami dan istri setelah mengikatkan diri pada hubungan perkawinan, sejak saat itulah hak dan kewajibannya menjadi satu kesatuan yang utuh antara suami dan istri tersebut.7 Faktor penting dalam suatu ikatan perkawinan yang dapat menggerakkan suatu kehidupan perkawinan adalah harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.8 Dalam suatu perkawinan tidak terlepas mengenai adanya harta benda yang diperoleh dari hasil bekerja dari pasangan suami dan istri yang sering disebut sebagai harta bersama dalam perkawinan. Penetapan harta bersama sangat penting dalam perkawinan sebagai penguasaan dan pembagiannya yakni “penguasaan terhadap harta
bersama dalam hal perkawinan masih berlangsung serta pembagian harta bersama dilakukan ketika terjadi putusnya perkawinan”.9 Dalam arti kata harta bersama mempunyai makna bahwa adanya harta benda yang kepemilikannya lebih dari satu orang yaitu suami dan istrinya. Pada Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa “harta benda yang di peroleh selama perkawinan adalah menjadi harta bersama”. Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami bahwa “Semua harta benda yang di peroleh selama perkawinan menjadi harta bersama baik itu benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud dari hasil kerja istri maupun suami selama saat perkawinan sampai perkawinan itu putus baik karena kematian maupun perceraian”.
Hal senada diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut KUHPer) mengenai harta bersama pada Pasal 119 yang menentukan bahwa “Sejak saat dilangsungkan perkawinan maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara pihak suami istri sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan, harta bersama itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri”. Pasal 120 KUHPer yang menentukan bahwa “Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami istri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas”. Pasal 122 KUHPer yang menentukan bahwa “Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakukah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak ditiadakan ketentuan lain, Peraturan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami istri, Segala utang dan rugi sepanjang perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan”. Hal senada diatur juga dalam dalam Kompilasi Hukum Islam (yang selanjutnya disebut KHI) Indonesia pengertian “harta bersama sejalan dengan pengertian harta bersama dalam Pasal 35 UU Perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan pada pasal 85 KHI menentukan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri, bahkan dalam pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta bersama dan istri karena perkawinan”. Berdasarkan pasal ini berarti setelah terjadinya perkawinan tidak serta merta
semua harta yang ada tidak menjadi harta bersama tetatapi tetap memberhatikan harta bawaan masing-masing pihak.
Ahmad Rofiq berpendapat bahwa “Harta bersama harta merupakan kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan, maksudnya, harta yang didapat atas usaha mereka, atau sendiri–sendiri selama masa ikatan perkawinan”.10 Harta penghasilan yang diperoleh semasa perkawinan menjadi harta bersama jika istri dan suami tidak memiliki suatu ikatan perjanjian kawin yang didalamnya memuat pemisahan harta benda yang didapat selama perkawinan, artinya bahwa apabila suami istri bekerja dan penghasilan dari pekerjaannya itu sepakat untuk disatukan sehingga harta yang dikumpulkan semasa perkawinan tersebut menjadi harta bersama, sebagai contoh suami dan istri bekerja sebagai pegawai serta hasil gaji bulannya disatukan untuk kebutuhan sehari-hari keluarga, dan apabila ada sisa dari gaji bulannya maka ditabung, sehingga terkumpul harta keluarga yang disebut sebagai harta bersama. Suami istri sama-sama bekerja dan sepakat bahwa harta yang diperoleh masing-masing untuk tidak disatukan maka itu bukan merupakan harta bersama dan suami istri berhak dan menguasai sepenuh harta yang didapatkan masing-masing tersebut tentu hal ini harus dibuat dengan perjanjian pemisahan harta. Begitu halnya juga mengenai harta bawaan apabila suami istri sepakat bahwa harta bawaan menjadi harta bersama maka harta bawaan tersebut bukan berstatus lagi sebagai harta bawaan suami maupun istri melainkan sebagai harta bersama. Pada pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Agama Malang Nomor 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg yang menentukan harus adanya pembuktian mengenai harta bersama yang tidak cukup hanya didasari pada waktu perolehan harta benda itu. Penggugat harus membuktikan dengan alat bukti yang secara hukum dapat dipertanggung jawabkan misalnya denan menunjukan alat bukti surat. Meskipun hal tersebut bertentangan dengan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dan Pasal 119 KUHPer.
Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa “Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Artinya, harta bawaan yang dibawa oleh suami kedalam suatu perkawinan dalam melakukan perbuatan hukum tidak memerlukan lagi persetujuan kepada pihak istri karena harta bawaan itu adalah hak sepenuhnya suami, dan istri tidak dapat mengganggu gugatnya. Begitu juga apabila harta bawaan yang dibawa oleh istri kedalam suatu perkawinan dalam melakukan perbuatan hukum tidak perlu juga untuk mendapatkan persetujuan dari suaminya. Dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa “mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedau belah pihak”. Artinya bahwa “Jika suami melakukan perbutaan hukum tehadap harta bersama tersebut harus mendapakan persetujuan dari istrinya, apabila suami tidak mendapatkan
persetujuan dari istrinya tersebut maka suami tidak dapat melakukan perbuatan hukum”. Begitu juga sebaliknya apabila istri melakukan perbutaan hukum tehadap harta bersama tersebut harus mendapakan persetujuan dari suaminya. Berdasarkan uraian pasal-pasal tersebut diatas maka “segala bentuk harta benda yang dihasilkan selama perkawinan secara hukum menjadi harta bersama tanpa perlu lagi adanya pembuktian mengenai asal usul harta tersebut”. Dalam pengurusan harta perkawinan berdasarkan pasal 124 KUHper menentukan bahwa “hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu”. Dengan demikian kekuasaan suami atas harta bersama sangatlah besar, karena wewenang pengelolaan ini ditentukan oleh undang-undang maka tidak menutup kemungkinan suami dapat menghabiskan harta tersebut maupun menjualnya tanpa sepengetahuan dari istrinya.
Dalam melakukan perceraian tentu memiliki suatu akibat hukum yang harus diterima oleh para pihak yang melakukan perceraian salah satunya mengenai harta bersama yang didapatkan pada saat perkawinan. Akibat hukum ini sangat sensitif akan timbulnya suatu sengketa, karena pihak suami maupun istri merasa harta benda itu adalah hasil kerjanya sehingga pihak suami dan istri merasa memiliki hak atas harta tersebut.11 Apabila suami dan istri memiliki perjanjian kawin jika terjadi perceraian maka harus sesuai dengan apa yang telah di setujui dalam perjanjian tersebut, baik hak atas harta bersama suami dan istri sama rata ataupun hak suami lebih besar mendapatkan bagian harta bersama dari pada istrinya maupun sebaliknya hak istri lebih besar mendapatkan bagian dari pada suaminya tergantung dari isi perjanjian tersebut.
Berdasarkan Yurisprudensi MA tanggal 9 Desember 1959 Nomor 424K/Sip/1959 yang menentukan bahwa “Suami dan istri yang tidak memiliki perjanjian kawin atas harta bersama apabila terjadi perceraian maka suami dan istri berhak memperoleh setengah dari harta bersama”. Begitu juga yang diatur dalam Pasal 97 KHI menentukan bahwa “apabila terjadi perceraian maka harta bersama di bagi dua. Harta bersama itu tidak selalu dibagi dua”. Apabila harta bersama itu lebih banyak diperoleh oleh istri dari pada suami atau suami pengangguran maka harta bersama itu tidak adil jika dibagi dua dalam hal ini maka istri harus lebih banyak mendapatkan bagian dari pada suaminya hal tersebut ditentukan dalam Yuriprudensi MA Nomor 266K/AG/2010. Apabila hanya suami yang bekerja maka harta bersama itu harus dibagi menjadi dua bagian, karena kewajiban suami untuk bekerja atau memberikan nafkah keluarga. Dalam Pasal 128 KUHPerdata juga mengaturnya apabila bubar harta bersama suami Istri dibagi dua. Pembagian harta bersama dalam perkawinan harus adil antara kedua belah pihak. Dalam hukum adat khususnya masyarakat patrilineal jika terjadi perceraian pihak istri tidak berhak membawa
harta bawaannya kembali. Jika kerabat istri ingin meminta kembali harta bawaanya yang dulu dibawa kedalam perkawinan maka istri harus mengembalikan uang atau biaya perkawinan yang dikeluarkan oleh suami. Untuk masyarakat Matrilineal harta bawaan atau waris terpisah dengan harta bersama. Harta bawaan dikuasai langsung oleh suami dan istri, apabila terjadi perceraian harta bersama atau harta percarian yang dibagi, sedangkan untuk masyarakat parental mengenai harta perkawinan mendekati sesuai dengan yang telah diatur dalam Undang-undang perkawinan.12
Mengenai pembagian harta bersama yang berupa tanah, misalnya tanah itu berada dalam wilayah Indonesia dan berdasarkan Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria di Republik Indonesia bahwa “hanya orang Indonesia hak milik atas tanah sedangkan orang asing tidak boleh memliki hak milik atas tanah di Indonesia hanya orang Indonesialah yang mempunyai hak milik atas tanah itu, sehingga ini akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi warga negara asing yang bersangkutan”. Maka solusinya adalah tanah tersebut harus dijual dan hasil penjualan itu harus dibagi atau hak atas harta bersama itu, warga negara asing tersebut dapat mengalihkan kepada pihak yang memenuhi syarat.13 Apabila harta bersama berupa tanah hak milik diberikan langsung kepada orang asing tersebut tanpa dijual atau alihkan itu sama saja memberikan kedaulatan negara asing kedalam kedaulatan negara republik Indonesia. Orang asing tidak memiliki hak untuk memiliki tanah di Indonesia meskipun itu merupakan harta bersama yang didapat selama perkawinannya dengan warga negara Indonesia. Orang asing dapat memperoleh hak pakai dan sewa atas suatu tanah. Hak pakai yang dimaksudkan adalah tanah yang dimiliki oleh negara sedangkan hak sewa, orang asing menyewa tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia maupun tanah dimiliki oleh negara.
Dalam perceraian perkawinan campuran mengenai sistem pembagian harta benda yang merupakan harta bersama tentu muncul sedikit kesulitan. Pada konvensi Den Haag mengenai Convention in the Law Applicable to Matrimonial Property Regimes atau hukum harta benda perkawinan yang di tandatangani pada tanggal 23 Oktober 1976 yang banyak diadopsi oleh banyak negara termasuk Indonesia yang menentukan bahwa “Pertama-tama diberikan kebebasan kepada suami-istri untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi harta benda perkawinan mereka”. Dalam Hukum Perdata Internasional atau dikenal dengan istilah HPI terdapat dua asas yang sangat penting yaitu Pertama, Asas Lex Fori merupakan “Sistem hukum yang berlaku dari tempat
dimana perkara itu diajukan”. Kedua Asas Lex Situs atau Asas Lex Rei Sitae merupakan Hukum dari tempat benda berada.14 Berdasarkan kedua asas itu dapat dipahami bahwa apabila gugatan pembagian harta bersama gugatannya dilakukan di Indonesia serta harta benda tersebut berada di Indonesia maka system hukum yang berlaku yaitu hukum positif di Indonesia. Pasal 18 AB (Algemene Bel Palingen Van Wet Geving) juga menentukan bahwa “segala bentuk peristiwa hukum yang didalamnya terdapat unsur asing, maka hukum yang berlaku yaitu hukum tempat peristiwa itu terjadi dan tetap memperhatikan hukum nasional salah satu pihak. Hukum Indonesia yang dimaksud adalah Undang-Undang Perkawinan”. Pasal 37 UU Perkawinan menentukan bahwa “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”.15 Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami bahwa “apabila terjadi perceraian perkawinan campuran maka harta bersama dibagi berdasarkan hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Para pihak dapat memilih sistem hukum yang akan digunakan baik hukum itu hukum Islam, adat maupun hukum lainnya tergantung kesepakatan para pihak”.
Hukum Agama biasanya digunakan oleh pasangan perceraian perkawinan campuran yang beragama Islam, maka sistem hukum yang digunakan adalah hukum Islam yang sudah tertuang dalam peraturan KHI dan gugatanya diajukan ke pengadilan agama didaerah tempat tinggalnya di Indonesia. Pengadilan agama akan memutus sengketa pembagian harta bersama menggunakan sistem hukum Islam. Dalam pengadilan agama gugatan perceraian dan gugatan mengenai harta bersama dapat digabungkan atau gugatan tidak terpisah. Untuk agama Non-muslim maka gugatan diajukan di Pengadilan Negeri daerah tempat tinggalnya di Indonesia. Untuk di Pengadilan Negeri gugatan percerain dan gugatan harta bersama tidak dapat digabung dan diajukan secara terpisah. Jika pihak yang melakukan perceraian perkawinan campuran memilih untuk menyelesaikan sengketa harta besama dengan hukum adat salah satu pihak maka itu diperbolehkan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Apabila pasangan perceraian perkawinan sudah memiliki perjanjian kawin mengenai harta bersama bila terjadi perceraian maka pengadilan akan memutus berdasarkan perjanjian yang telah di buat oleh kedua belah pihak sehinga dapat menghemat waktu dan biaya dalam persidangan dan apabila tidak ada perjanjian kawin maka Pengadilan akan memutus sengketa pembagian harta bersama berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
Didalam persidangan yang berhak memutus suatu perkara adalah Hakim. Berdasarkan Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) menentukan bahwa “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”. Hakim merupakan wakil tuhan yang ada di bumi dalam hal menegakan keadilan bagi orang mencari keadilan. Tugas hakim adalah “menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara perdata yang diajukan kepadanya dan hakim berkewajiban membantu pencari keadilan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum”. Landasan penting Negara hukum adalah “adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Hakim dilarang melakukan menolak memeriksa maupun mengadili perkara (Ius Curia Novit/Curia Novit Jus) hal tersebut telah ditentukan pada Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman menentukan Bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (ayat 1) dan Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”.
Dalam pasal 163 HIR/283 RBG menentukan bahwa “barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”. Pembuktian merupakan “upaya untuk membuktikan sesuatu hal dengan mengajukan segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu hal yang hendak di buktikan sehingga dapat meyakinkan orang lain atas suatu hal tertentu”. Pembuktian juga diartikan sebagai proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukan benar salahnyasi terdakwa dalam sidang peradilan.16 Pembuktian hukum materiil memuat “tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu di persidangan serta mengatur tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti”. Dan untuk pembuktian hukum formil mengatur “tentang cara menerapkan alat bukti. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara adalah peristiwanya atau kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa, bukan hukumnya, sebab yang menentukan hukumnya adalah Hakim”. Peristiwa harus dibuktikan yaitu “kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil”. Berdasarkan vide-pasal 178 HIR/189 ayat (3) RBG yang menentukan bahwa “Upaya mencari kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum, Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus berdasarkan bukti yang cukup”.
Merujuk pada ketentuan Pasal 164 HIR/ 284 RBg yang mengatur tentang alat bukti dalam perkara perdata, yaitu “alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah”. Di luar itu, berdasarkan Pasal 153 HIR/180 RBg. Dalam Pasal 154 HIR/181 RBg menentukan bahwa “terdapat alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam memperoleh suatu kepastian mengenai kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan setempat (descente) dan keterangan ahli/saksi ahli (expertise)”.17 Pasal 163HIR/283 RBG mengatur bahwa “beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, tidak hanya kepada penggugat tetapi bisa juga kepada tergugat, yakni ketika tergugat menyangkal dalil gugatan”. Pertimbangan lain dari hakim mengenai pembuktian adalah bahwa “beban pembuktian yang terkait dengan siapa yang terlebih dahulu membuktikan dan kapan beban pembuktian diberikan kepada penggugat dan tergugat, alat-alat bukti apa saja yang sah menurut hukum, apakah alat bukti tersebut telah mencapai batas minimal sehingga memiliki kekuatan pembuktian”.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg harta benda dikatakan sebagai harta bersama dapat dibagi apabila salah satu pihak dapat membuktikan harta benda itu sebagai harta bersama. Jika salah satu pihak tidak mampu membuktikan harta benda itu merupakan harta bersama maka harta benda tersebut tidak dapat dibagi dan hanya harta benda yang dapat dibuktikanlah yang dapat dibagi. Alasan hakim mengharuskan penggugat melakukan pembuktian harta bersama karena pihak tergugat beralasan bahwa ia membeli tanah dan satu unit mobil yang dibeli pada saat berlangsungnya perkawinan dengan menggunakan uang tabungan tergugat sebelum melangsungkan perkawinan. Penggugat telah mengajukan surat fotocopy Pengikatan Jual Beli tetapi tidak menyampaikan aslinya, dengan tidak ditunjukan surat Pengikatan Jual Beli yang asli di dalam persidangan dan fotocopy yang diajukan tidak dilegalisir oleh pejabat yang berwenang sehingga hakim berpendapat bahwa bukti-bukti surat tersebut tidak memenuhi syarat pembuktian, sehingga dari-bukti yang diajukan oleh penggugat mengenai harta bersama majelis hakim menilai penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatanya didepan persidangan. Beda halnya dengan tergugat dari bukti yang diajukan hakim mendapatkan petunjuk bahwa tergugat sebelum menikah dengan penggugat mendapatkan sejumlah uang santunan dari kematian suami sebelumnya, sehingga hakim menilai obyek-okyek sengketa yang diperoleh dalam masa perkawinan namun pembeliannya dari harta bawaan bukan merupakan sebagai harta bersama sehingga harta yang diklaim sebagai harta bersama oleh penggugat tidak dapat dibagi.
Meskipun dalam Undang-Undang tidak ada pengaturan mengenai pembuktian harta bersama sebelum dilakukan pembagian apabila terjadi perceraian, tetapi jika dilihat dalam aliran hukum pada proses peradilan ada tiga aliran hukum yaitu: Pertama, Aliran Legisme yaitu hakim dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Kedua, Aliran Frei Rechtsbewegung yaitu hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan berdasarkan undang-undang atau tidak. Ketiga, Aliran Rechtsvinding atau aliran tengah yaitu hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat dengan undang-undang tetapi tidak seperti aliran legisme yang harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.18 Berdasarkan ketiga aliran hukum tersebut pada Putusan Pengadilan Agama Malang Nomor 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam mengadili suatu perkara menggunakan Aliran Rechtsvinding karena hakim memutuskan dalam pertimbang hukum tidak hanya berdasarkan pada Pasal 35 UU Perkawinan dan Pasal 119 KUHPer hakim memutuskan berdasarkan keyakinannya agar para pihak yang bersangkutan tidak dirugikan. Hakim tidak hanya memutus suatu perkara saja tetapi juga melakukan penciptaan hukum atau penemuan hukum demi menimbulkan rasa keadilan berdasarkan keyakinannya, hal ini dilakukan karena jika hakim hanya berpedoman pada suatu aturan tanpa menggunakan hati nurani maka unsur keadilan akan terabaikan. Dengan adanya putusan hakim maka kedudukan hukum menjadi jelas, adanya kepastian untuk setiap orang melakukan suatu tindakan karena sudah ada payung hukum yang melindunginya. Putusan yang mencerminkan rasa keadilan merupakan sesuatu yang dicari bagi setiap orang yang mencari keadilan. Jika dilihat pada Putusan pengadilan Agama Malang Nomor 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg harta benda dikatakan sebagai harta bersama apabila salah satu pihak dapat membuktikan misalnya dengan menunjukan Surat-suarat dan atau sertifakat maupun foto copy sertifikat yang telah dilegalisir oleh petugas berwenang dan mencocokkan dengan tanggal perkawinan yang telah tercantum pada buku nikah hal itu dilakukan untuk melindungi hak penggugat maupun tergugat terhadap harta bawaan maupun harta yang diperoleh bersama sehingga tidak ada kerugian diantara para pihak. Pembuktian dilakukan untuk mengetahui asal usul harta yang disengketan sehingga kedudukan harta tersebut menjadi jelas.
Perceraian perkawinan campuran akan menimbulkan sedikit masalah pada pembagian harta bersama yang merupakan benda tidak bergerak itu berada diluar wilayah Indonesia. Setiap benda tidak bergerak berlaku Asas Lex Situs atau Asas Lex Rei Sitae yang artinya “hukum yang berlaku atas suatu benda berdasarkan tempat benda tersebut berada, Sehingga pengadilan di Indonesia tidak dapat mengadili harta benda tersebut, karena hukum di Indonesia hanya berlaku di wilayah Republik Indonesai saja”. Maka solusinya adalah pemohon bisa mengajukan gugatan kepada pengadilan diluar negeri tempat diamana
harta benda itu berada untuk melakukan pembagian harta bersama tersebut.19 Hal ini dilakukan agar semua harta bersama dapat dibagi dan dipergunakan sebagaimana mestinya oleh suami dan istri sehingga kelak tidak ada sengketa yang ditimbulkan mengenai harta karena belum dibagi.
Kedudukan Harta bersama dalam Perkawinan campuran berdasarkan Hukum di Indonesia berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa “harta benda yang di peroleh selama perkawinan adalah menjadi harta bersama”. Senada hal tersebut pada KUHPerdata mengenai harta bersama diatur pada Pasal 119 bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin”. Sistem pembuktian harta bersama dalam perceraian perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin yaitu orang yang menggugat harta bersama apabila terjadi percerian maka ia harus membuktikan bahwa harta tersebut merupakan harta bersama. meskipun undang-undang tidak mengatur mengenai pembuktian harta bersama tetapi hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan keyakinannya (Aliran Rechtsvinding) agar para pihak yang bersangkutan tidak dirugikan. Hakim tidak hanya memutus suatu perkara saja tetapi juga melakukan penciptaan hukum atau penemuan hukum demi menimbulkan rasa keadilan berdasarkan keyakinannya.
Daftar Pustaka/Daftar Referensi
Buku
Amin, R, 2020, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata. Yogyakarta : Deepulish.
Anshori, A.G. (2011). Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif). Yogyakarta: UII Press.
Dirdjosisworo, S. (2013). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Hadikusuma, H. (2007). Hukum Perkawinan di Indonesia menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Cv. Mandar Maju.
Rofiq, A. (2015). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Simanjuntak. (2015) Hukum Perdata Indonesia. Kencana: Jakarta.
Jurnal
Fakhriah, E. L. (2015). Perkembangan alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan menuju pembaruan hukum acara perdata. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 1(2), 135-153. Doi: 10.36913/jhaper.v1i2.16
Faizal, L. (2015). Harta bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 8(2), 77-102. Doi: https://doi.org/10.24042/ijpmi.v8i2.912
Pranoto, P., & Nikmah, H. Y. (2014). “Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian dari Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kaidah Hukum Perdata Internasional”. Privat Law, 2(6), 26583.Doi : RIS (Mendeley, Zotero, EndNote, RefWorks). BibTeX (LaTeX)
Pratama, A. (2018). “Implementasi Percampuran Harta Bersama Dan Harta Bawaan Dalam Perkawinan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor: 0189/Pdt. g/2017/Pa. Smg), Jurnal Ius Constituendum, 3(1), 15-26”. Doi :
http://dx.doi.org/10.26623/jic.v3i1.861
Rochaeti, E. (2015). “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal Wawasan Yuridika, 28(1), 650-661”. Doi:
http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v28i1.61
Silvia, D. (2021). Vol 1, No 1 (2021):Jurnal hukum Prolex “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Saat Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Sumbawa Besar No. 378/Pdt. g/2019/Pa. sub)”.Jurnal Prolex,1(1). Doi :
http://jurnal.iisbudsarea.ac.id/index.php/ProLex/article/view/5
Sugiswati, B. (2014). “Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat. Perspektif, 19(3), 201-211”. Doi : http://dx.doi.org/10.30742/perspektif.v19i3.22
Situmeang, P. (2019). “Implikasi Perjanjian Kawin Terhadap Harta Dalam Perkawinan Campur,Recital Review,1(2), 117-131”.Doi : https://online-
journal.unja.ac.id/RR/article/view/7457
Sujana, I. N. (2017). “Akibat-Akibat Hukum Perceraian Dalam Perkawinan Campuran”. Jurnal Notariil, 2(1), 154-58. Doi :
https://doi.org/10.22225/ah.1.3.1820.390-395
Utami, P. D. Y. (2021). “Implikasi Yuridis Perkawinan Campuran Terhadap Pewarisan Tanah Bagi Anak, KERTHA WICAKSANA,15(1),80-89”. Doi : https://
doi.org/10.22225/kw.15.1.1843.80-89
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara
Republik Indoesia Tahun 1974 Nomor 1.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indoesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 5076
577
Discussion and feedback