Acta Comitas (2018) 1 : 171 – 184

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

PENGATURAN TENTANG PENGENAAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS HIBAH WASIAT

Oleh

I Gusti Agung Putra Wiryawan I Wayan Parsa

Putu Gde Arya Sumertayasa

Magister Kenotariatan Universitas Udayana E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah jenis pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009. Untuk melakukan pemungutan pajak BPHTB, pemerintah daerah wajib membentuk perda tentang BPHTB. Berdasarkan hal tersebut Pemkab Badung membentuk Perda No. 14 Tahun 2010 tentang BPHTB. Pemindahan hak yang wajib dikenakan pajak BPHTB adalah hibah wasiat. Perda No. 14 Tahun 2010 yang kemudian dirubah menjadi Perda No. 28 Tahun 2013. Pemkab Badung mengenakan tarif BPHTB atas hibah wasiat sebesar 1%, setelah itu Pemkab Badung melakukan perubahan terhadap tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat menjadi 0%, ini berarti waris atau hibah wasiat di Kabupaten Badung tidak dikenakan pajak BPHTB. Ketentuan ini bertentangan dengan konsep pengaturan BPHTB dalam UU No. 28 Tahun 2009 dan menimbulkan kendala-kendala dalam pengenaan pajah hibah wasiat pada BPHTB.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian normatif untuk menjelaskan adanya konflik norma antara Perda No. 28 Tahun 2013 dengan UU No. 28 Tahun 2009. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approch). Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Untuk teknik analisis bahan hukum, penelitian ini menggunakan teknik deskripsi, teknik evaluasi dan teknik argumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan tentang pajak hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung dalam Perda No. 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perda No. 14 Tahun 2010, mengenai waris dan hibah wasiat yang tidak dikenakan pajak BPHTB bertentangan dengan UU No. 28 Tahun 2009. Tentunya dengan adanya pertentangan norma tersebut, menimbulkan kendala-kendala bagi masyarakat yang melakukan transaksi waris atau hibah wasiat di Kabupaten Badung.

Kata Kunci : Pajak BPHTB, Perolehan Hak, Hibah Wasiat.

ABSTRACT

LAND AND BUILDING TITLE TRANSFER DUTY (BPHTB) is a type of central taxes that diverted into the local tax as provided in Law 28 of 2009. For BPHTB collection purposes, local governments shall establish regional regulations concerning BPHTB. Based on that, Badung's Goverment makes Bylaw No. 14 Year 2010 on BPHTB. The transfer of rights shall be taxed of BPHTB is testament grants. bylaw No. 14 Year 2010, which was later changed to Bylaw No. 28 Year 2013. Badung's goverment impose BPHTB tariffs on testament grants by 1%, and then Badung's goverment make changes to the BPHTB tax rate on inheritance or testament grants to 0%, this means that inheritance or testament grants in Badung region not taxed on BPHTB. This provision is contrary to the concept of BPHTB settings in Law 28 of 2009 and lead to the constraints on imposition of BPHTB for testament grants.

Type of research used in this thesis is a normative research method to explain the existence of a conflict between the norms of regulation No. 28 In 2013 compare to byLaw no 28, 2009. This study uses the approach of legislation (statute approach) approach to the concept (conceptual approach), analytic approach (analytical approach). Sources of legal materials that used in this study consisted of primary

legal materials, secondary and tertiary. For legal material analysis techniques, this study uses the description techniques, evaluation techniques and argumentation techniques.

Based on the research results, the tax imposition arrangement of testament grants on BPHTB in Badung in bylaw No. 28 Year 2013 on the Amendment of bylaw No. 14 In 2010, regarding inheritance and testament grants that are not taxed on BPHTB contrary to regulation no 28 of 2009. Obviously with the existance of the conflict of norm, causing obstacles for the people who are making transactions on inheritance or testament grants in Badung.

Keywords: BPHTB Tax, Acquisition, Grants Testament.

  • I.    PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Menurut P. J. A. Adriani, pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya    untuk    membiayai

pengeluaran-pengeluaran pengeluaran umum berhubungan dengan tugas segara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 1.

Salah satu jenis pajak yang sumber potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian             serta

perkembangan    pembangunan

bangsa sekarang ini adalah jenis Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan PBB-P2.2 Mengenai BPHTB ini merupakan pajak yang awalnya dipungut oleh Pemerintah Pusat, namun     dengan     adanya

pembaharuan dalam kebijakan otonomi daerah, pemungutan dan peruntukan BPHTB dialihkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. BPHTB

awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, kemudian dilakukan perubahan yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Setelah dilakukan pengalihan pajak BPHTB dari pajak pusat ke pajak daerah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak BPHTB yang saat ini sudah dialihkan menjadi pajak daerah, mewajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah yang khusus mengatur tentang pengenaan pajak BPHTB tersebut. Materi muatan dari peraturan daerah tersebut tentunya mengacu pada ketentuan pajak BPHTB yang dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 2009. Kewenangan pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah tentang pajak secara jelas ditentukan dalam UU No. 28 Tahun 2009, yakni Pasal 95 ayat (1). Salah satu contohnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Ketentuan mengenai BPHTB yang terdapat didalam Perda No. 14 Tahun 2010, secara keseluruhan mengadopsi

ketentuan BPHTB yang terdapat dalam UU No. 28 Tahun 2009. Salah satu peristiwa perolehan hak yang wajib untuk dikenakan pajak BPHTB adalah perolehan hak yang disebabkan oleh waris atau hibah wasiat. Hibah wasiat merupakan sebuah konsep pewarisan yang berlaku bagi golongan Tiong Hoa, namun seiring dengan berjalannya waktu, konsep pewarisan ini mulai dipakai oleh masyarakat Indonesia asli. Sebagaimana diatur dalam Pasal 957 KUHPerdata tentang hibah wasiat disebutkan bahwa :

Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya, segala barang- barangnya bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.

Berjalan selama 3 (tiga) tahun, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Perubahan yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Badung adalah pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) yaitu : “Pengenaan tarif pajak BPHTB ditetapkan sebesar 0% (nol persen) untuk waris/hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri”.

Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Perda No. 28 Tahun 2013 ini

tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) yang menyatakan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5%. Disamping itu adanya kebijakan pengenaan tarif 0% (nol       persen)       tersebut

bertentangan    pula    dengan

konsep-konsep pajak BPHTB yang  merupakan  pajak yang

wajib  dikenakan  atas setiap

perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, sebagaimana diatur dalam UU No. 28 tahun 2009.

  • 1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah     pengaturan

pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ?

  • 2.    Bagaimanakah       kendala-

kendala dalam pengenaan pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ?

  • 1.3 Tujuan Penelitian

    a.    Tujuan Umum

Tujuan    umum    dalam

penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam panggilannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. 3       Tentunya

penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah tentang pengaturan pajak BPHTB atas hibah wasiat.

  • b.    Tujuan Khusus

Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara mengkhusus diharapkan mampu :

  • 3Program Studi Magister Kenotariatan Universita Udayana, 2013, Buku Pedoman Pendidikan, hal. 57.

  • 1.    Untuk mengetahui dan mampu menganalisa          tentang

pengaturan pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB.

  • 2.    Untuk    mengetahui    dan

memahami kendala-kendala yang     dihadapi     dalam

pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB.

  • 1.4    Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diharapkan dan dicapai dari penelitian terhadap pokok permasalahan adalah sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis

Hasil      penulisan      ini

diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan   pemikiran   untuk

menemukan     konsep-konsep,

prinsip-prinsip dan asas-asas yang berkaitan dengan kepastian hukum tentang konsep pengenaan Pajak BPHTB karena hibah wasiat.

  • b. Manfaat Praktis

Hasil      penelitian      ini

diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan keahlian dan keterampilan penulis serta memberikan sumbangan pikiran kepada     pemerintah     serta

Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah    dalam    memberikan

pengetahuan secara hukum terhadap masyarakat dalam hal pengenaan BPHTB dalam hal hibah wasiat.

  • 1.5    Landasan Teoritis.

Untuk melakukan identifikasi terhadap          permasalahan-

permasalahan yang muncul dalam penelitian ini, maka digunakanlah beberapa teori dan asas hukum terkait pajak BPHTB, yaitu :

  • a.    Teori Negara Hukum

Konsep negara hukum yang dipergunakan dalam tesis ini merujuk pada konsep negara hukum Pancasila yang diterapkan di Indonesia tentunya sangat penting dipergunakan oleh

pemerintah dalam membentuk suatu kebijakan yang nantinya akan diterapkan dimasyarakat. Bahwa segala bentuk kebijakan dan tindakan pemerintah terkait dengan kebijakan dalam pajak BPHTB selain harus mengandung unsur-unsur suatu negara hukum pada umumnya, tentunya sangat wajib bagi pemerintah untuk memperhatikan unsur-unsur Pancasila ke dalam peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.

  • b.    Teori Perjenjangan Norma (Stufenbau theorie)

Teori ini digunakan untuk melakukan identifikasi adanya konflik norma hukum dalam Perda No. 23 Tahun 2013 deangn UU No. 28 Tahun 2009 yang merupakan dasar pengalihan pajak BPHTB. Apabila dilakukan analisa dengan teori ini akan diketahui letak dari hirarki suatu perda serta untuk melihat terjadinya pertentangan Perda No. 28 Tahun 2013 tersebut dengan UU No. 28 Tahun 2009. Dengan alasan tersebut dipergunakanlah teori ini untuk membahas permasalahan tersebut sehingga nantinya akan ditemukan dengan peraturan manakah suatu Perda tersebut bertentangan.

  • c.    Teori Kewenangan

Teori kewenangan digunakan dalam tesis ini untuk mengidentifikasi jenis-jenis kewenangan yang diberikan oleh UU No. 28 Tahun 2009 kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan pengaturan serta pemungutan pajak BPHTB. Disamping itu teori kewenangan ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana kewenangan Pemerintah Daerah menuangkan kebijakannya ke dalam sebuah perda ketika akan melakukan pemungutan pajak BPHTB.

  • d.    Konsep Pajak dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Konsep   BPHTB   sendiri

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, Pasal 1 angka 41 adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, sedangkan pada Pasal 1 angka 42 ditentukan juga bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang            mengakibatkan

diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Jelas disebutkan bahwa dalam setiap terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh oleh orang pribadi atau badan wajib untuk dikenakan pajak BPHTB.

  • e.    Teori Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara tidak hanya    berpedoman    pada

peraturan perundang-undangan tentang pajak semata, namun terdapat beberapa teori yang menjadi pembenar dari tindakan negara    untuk    melakukan

pemungutan pajak. Adapun beberapa landasan yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak adalah Teori Asuransi, Teori Kepentingan, Teori Gaya Pikul, Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti), Teori Asas Gaya Beli.

  • f.    Asas-asas Pemungutan Pajak

Asas-asas pemungutan pajak juga menjadi hal yang sangat penting untuk dijadikan dasar oleh negara untuk melakukan pemungutan terhadap pajak. Penggunaan asas pemungutan pajak berfungsi agar pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah dapat memberikan suatu manfaat bagi masyarakat.

Asas-asas    yang    digunakan

sebagai dasar pemungutan pajak yaitu Asas Equality, Asas Certainty, Asas Condition, Asas Economy.

  • g.    Konsep Hibah Wasiat

Hibah wasiat atau Legaat adalah suatu penetapan yang khusus didalam suatu testament, dengan   mana   mewasiatkan

memberikan seorang (atau lebih) seluruh atau sebagian dari harta kekayaannya,     kalau     dia

meninggal dunia.4 Ini berarti bahwa untuk terjadinya suatu peralihan hak dalam hibah wasiat terjadi pada saat pewaris meninggal dunia dan surat wasiat yang dibuat tersebut dibuka. Menurut pendapat dari Tan Thong Kie dalam hal hibah wasiat terdapat 2 pendapat5, yaitu :

  • a.    Menurut    pendapat    pertama,

penerima hibah wasiat adalah pemilik       barang       yang

dihibahwasiatkan segera setelah pewaris meninggal dunia, sama seperti para ahli waris yang segera setelah pewaris meninggal dunia menjadi pemilik warisan.

  • b.    Menurut pendapat kedua, suatu warisan, termasuk hibah wasiat yang terkandung di dalamnya, demi Undang-Undang menjadi milik para ahli waris, sedangkan legataris (penerima hibah wasiat) mempunyai tagihan pribadi (persoonlijk vordering), terhadap mereka untuk menyerahkan apa yang dihibahwasiatkan kepadanya (Pasal 959 ayat 1 KUHPerdata). Jadi hak seorang legataris dapat disamakan dengan hibah sewaktu hidup yang diberikan kepada

  • 4Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar   Hukum   Perdata   di

Indonesia, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka    Publisher,         Jakarta,

(selanjutnya disingkat Titik Triwulan Tutik II), hal. 299.

  • 5Tan Thong Kie, 2011, Studi Notaris dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 133.

seseorang, tetapi belum diserahkan kepadanya.

  • 1.6 Metode Penelitian

Metode penulisan  hukum

adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah  satunya

ditandai dengan penggunaan metode.      Van      Peursen

menterjemahkan      pengertian

metode secara harafiah yang dikutip pada buku Rony Hanitjo Soemitro     dengan     judul

Metodologi Penulisan Hukum, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penulisan berlangsung menurut suatu rencana tertentu.6 1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis     penelitian     yang

digunakan   adalah penelitian

hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data skunder belaka.7 Tesis ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Pemilihan pada jenis itu didasarkan pada alasan karena pengenaan ketentuan Pasal Pasal 6 ayat (2) Perda No. 28 Tahun 2013 tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) yang menyatakan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dan pada ayat (2)    untuk    tarif    BPHTB

ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

  • 1.6.2    Jenis Pendekatan

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini sudah tentu di sesuaikan dengan pokok masalah yang menjadi fokus penelitian. Dalam kaitan dengan       penelitian       ini

menggunakan       pendekatan

perundang-undangan    (statute

approach) pendekatan konsep (conceptual          approach),

pendekatan analitis (analytical approch).

  • 1.6.3    Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini beberapa bahan hukum yang digunakan baik itu bahan hukum primer, sekunder dan tersier adalah :

  • 1.    Bahan Hukum Primer terdiri atas:

  • a.    Undang-Undang       Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  • b.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun     1960     tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

  • c.    Undang-Undang Nomor 16 Tahun     2000     tentang

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

  • d.    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

  • e.    Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran           Pajak

Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

  • f.    Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran           Pajak

Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan

  • g.    Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

  • h.    Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun     2013     tentang

Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

  • 2.    Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum, jurnal-jurnal ilmiah, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang tentunya berkaitan    dengan    pajak

BPHTB dan pewarisan yang terjadi karena hibah wasiat.

  • 3.    Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang digunakan untuk   menjelaskan   bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder.   Bahan

hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus     hukum     dan

ensiklopedia yang tentunya juga memberikan pemahaman terkait tentang pajak dan hibah wasiat.

  • 1.6.4    Teknik    Pengumpulan

    Bahan Hukum

Bahan hukum yang relevan dikumpulkan dengan teknik membaca, mengumpulkan bahan hukum serta menganalisa bahan hukum dengan menggunakan sistim kartu (card system)8. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam penguraian, menganalisis, dan membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang ada, karena setiap kartu hanya memuat satu konsep tentang masalah tertentu dari berbagai pendapat para ahli, sehingga dengan cepat terlihat hakekat konsep hukum yang dibahas.

  • 1.6.5    Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk melakukan analisis terhadap bahan-bahan hukum yang sudah dikumpulkan, dapat menggunakan beberapa macam teknik analisis yaitu teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi     dan     teknik

sistematisasi. Adanya suatu pertentangan atau konflik antara

peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya atau dengan peraturan yang berada    dibawahnya    seperti

peraturan daerah maka asas-asas penyelesaian konflik    (asas

preferensi), yaitu:

  • 1.    Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;

  • 2.    Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;

  • 3.    Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan 9

peraturan yang lama.

  • II.    PEMBAHASAN

    • 2.1    PENGATURAN PAJAK HIBAH WASIAT PADA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

Keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 ini merupakan suatu tindakan dari pemerintah pusat yang sangat strategis dan mendasar       di       bidang

desentralisasi fiskal, karena di dalamnya memuat   ketentuan

tentang   perubahan  kebijakan

yang      fundamental dalam

penataan kembali hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam penjelasan umum UU No. 28 Tahun 2009 ini memiliki tujuan :

  • 1.    Memberi kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam    perpajakan    dan

Retribusi;

  • 2.    Meningkatkan akuntabilitas dalam penyediaan layanan dan        penyelenggaraan

9Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, hal. 85-87.

pemerintahan       sekaligus

memperkuat otonomi daerah;

  • 3.    Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan Retribusi daerah.

Dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 salah satu jenis pajak      yang       dialihkan

kewenangan pemungutannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah pajak BPHTB. Sebelum diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, BPHTB merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan sebagian besar penerimaannya dibagihasilkan           kepada

kabupaten/kota dan termasuk dalam     kelompok     dana

perimbangan. Hal ini tentunya berdampak pada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahannya           serta

memberikan pelayanan terhadap masyarakat.        Berdasarkan

ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf k UU No. 28 Tahun 2009 dirumuskan bahwa salah satu jenis pajak kabupaten/kota adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tentunya berdasarkan atas ketentuan tersebut pajak BPHTB yang awalnya dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat saat ini dipungut dan dikelola sendiri     oleh     pemerintah

kabupaten/kota.

Sehingga ketentuan secara keseluruhan tentang BPHTB saat ini hanya mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 2009 saja. Namun sesungguhnya secara umum pengaturan objek, subjek, tata cara perhitungan dan dasar pengenaan pajak BPHTB dalam UU No. 28 Tahun 2009 sama dengan pengaturan pajak BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. 10

Sebagai langkah nyata dari adanya pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah tersebut, pemerintah daerah dalam menindaklanjutinya dengan membentuk sebuah peraturan daerah. Pemerintah Kabupaten Badung (selanjutnya disebut Pemkab Badung) merupakan salah satu pemerintah daerah yang sudah membentuk peraturan daerah tentang pajak BPHTB. Segala jenis ketentuan-ketentuan tentang pajak BPHTB tersebut oleh Pemkab Badung dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (selanjutnya disebut Perda No. 14 Tahun 2010).

Dalam penerimaan BPHTB ini, Pemda Badung menyerahkan segala proses pemungutannya kepada Dinas Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Kabupaten Badung, perihal ketentuan tersebut tertuang dalam Perbup No. 73 Tahun 2010 yakni pada Pasal 1 ayat 6 yang berbunyi : “Bendahara Penerimaan adalah pejabat yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausakan dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada Dinas Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Kabupaten Badung”. Hal ini menegaskan bahwa mengenai teknis dalam pemungutan BPHTB di Kabupaten Badung diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Kabupaten Badung yang sistem dan prosedur pemungutannya terdapat dalam Perbup No. 73 Tahun 2010.

Sebagai amanat dari UU No. 28 Tahun 2009, Pemda Badung juga telah membentuk Perda Nomor 14 Tahun 2010 yang

  • 10Hartoyo, Harry dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB & BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta, hal. 214.

didalamnya mengatur tentang pengenaan pajak BPHTB. Tentang pengaturan pajak BPHTB atas hibah wasiat berdasarkan Perda No. 14 Tahun 2010, terdapat beberapa pasal-pasal yang menjadi dasar dalam pengenaan pajak BPHTB atas hibah wasiat. Pasal 5 ayat (7) ditentukan bahwa : ”Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”.

Berikutnya pada Pasal 6 ayat (1) ditentukan tentang tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Pada ayat (2) ditentukan bahwa : ”pengenaan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk waris sepanjang tetap difungsikan sebagai lahan pertanian”. Pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 5% (lima persen) tersebut tentunya cukup memberikan tambahan pendapatan daerah yang tinggi bagi Kabupaten Badung. Sedangkan pengenaan tarif 1% (satu persen) untuk waris sepanjang masih difungsikan sebagai lahan pertanian merupakan suatu kebijakan yang tidak terlalu memberatkan bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan pengenaan tarif sebesar 1% (satu persen) tersebut hanya dipungut satu kali saja, yakni pada saat terjadinya proses peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena waris.

Terjadinya perubahan kebijakan tersebut tentunya tidak terlepas dari konsep otonomi daerah yang berlaku bagi tiap-tiap daerah kabupaten atau kota di Indonesia. Karena dengan diberikananya kewenangan untuk mengatur dan mengelola pemerintahan secara otonom, tentunya harus juga didukung

dengan sumber pendanaan yang cukup. Bertambahnya kewenangan diberikan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya, maka juga harus diimbangi dengan hak bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mendapatkan sumber pendanaan yang cukup.

Berjalan selama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkan dan diundangkannya Perda No. 14 Tahun 2010 pada tanggal 22 Desember 2010, Pemda Badung kemudian melakukan sedikit perubahan terhadap Perda No. 14 tahun 2010 tersebut. Perubahan tersebut kemudian oleh Pemkab Badung dirumuskan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (selanjutnya disebut Perda No. 28 Tahun 2013). Memang tidak banyak perubahan yang dilakukan oleh Perda Badung terhadap perda BPHTB sebelumnya. Pada Pasal 1 Perda No. 28 Tahun 2013 ditentukan perubahan dilakukan pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). Pada ayat (1) ditentukan bahwa : ”Tarif Pajak ditetakan sebesar 5% (lima persen)”. Sedangkan pada Perda No. 28 Tahun 2013, dalam Pasal 6 ayat (2) ditentukan bahwa : ”Pengenaan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat ke atas atau satu derajat

kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri”.

Dengan adanya ketentuan tersebut diatas, maka jelaslah bahwa untuk perolehan hak yang dikarenakan oleh waris atau hibah wasiat di Kabupaten Badung tidak dikenakan pajak BPHTB. Tentunya dengan pemberian kebijakan dengan membuat tarif pajak BPHTB untuk waris atau hibah wasiat menjadi 0% (nol persen) memang disambut baik oleh masyarakat di Kabupaten Badung.

  • 2.2. UPAYA UNTUK MENYELESAIKAN KENDALA -KENDALA DALAM PENGENAAN TARIF PAJAK HIBAH WASIAT PADA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB sebesar 0% (nol persen) yang diterapkan oleh Pemkab Badung, berdasarkan atas teori-teori tentang fungsi dari pemungutan pajak, kebijakan tersebut menurut penulis tidaklah tepat. Pajak yang menjadi sebuah kenyataan dalam kehidupan masyarakat rentunya memiliki fungsi tertentu. Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama dari pajak itu sendiri yaitu :

  • 1.    Fungsi Budgetair (Sumber

Keuangan Negara)

Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan, sebagai sumber keuangan negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.

  • 2.    Fungsi Regulerend (mengatur)

Pajak mempunyai   fungsi

mengatur    artinya    pajak

sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai       tujuan-tujuan

tertentu di luar bidang keuangan. 11

Kedua fungsi tersebut diatas, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pemberian kebijakan pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB sebesar 0% (nol persen) oleh Pemkab     Badung     akan

mengenyampingkan fungsi pajak yang pertama yaitu fungsi budgetair   (sumber   keuangan

negara).    Tentunya    dengan

mengenyampingkan fungsi pajak sebagai fungsi anggaran tersebut, Pemkab     Badung     lebih

mengutamakan fungsi pajak yang kedua yaitu fungsi mengatur (regulerend).

Untuk  dapat  melaksanakan

fungsi mengatur ini, pada umumnya  fiskus  menggunakan

beberapa cara, yang terdiri dari : a. Cara umum

Cara ini biasanya dilakukan dengan menggunakan tarif-tarif pajak untuk mengadakan perubahan terhadap tarif yang bersifat  umum.  Tarif yang

merupakan presentase atau jumlah    yang    dikenakan

terhadap basis pajak (tax base),  yang berlaku secara

umum, dijadikan instrumen perwujudan fungsi pajak ini. b. Cara khusus

Pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang bersifat khusus ini dapat dibedakan kembali menjadi dua, yakni yang bersifat positif (insentif)

11Siti Resmi, 2004, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta, hal. 2.

dan yang bersifat negatif (dis-12

insentif).12

Pengenaan tarif pajak hibah wasiat sebesar 0% (nol persen) pada BPHTB oleh Pemkab Badung, tentunya lebih menitikberatkan pada pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang dilakukan dengan cara melakukan perubahan terhadap tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB. Bahwa dengan mengenyampingkan fungsi anggaran dari pajak itu sendiri oleh Pemkab Badung dalam hal pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB sebesar 0% (nol persen) tidaklah tepat karena dengan lebih mengutamakan fungsi mengatur dari pajak itu sendiri, Pemkab Badung akan dengan mudahnya memasukkan unsur-unsur kepentingan politik yang akan digunakan untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat di Kabupaten Badung untuk segera mewariskan dan menghibah wasiatkan tanah ataupun lahan-lahan pertanian di Kabupaten Badung.

Pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang dilakukan dengan cara umum sebagaimana telah disebutkan di atas, tentunya berkaitan erat dengan sistem tarif yang digunakan di Indonesia. Setiap negara akan menentukan sendiri sistem tarif pajak yang akan diterapkan di negaranya masing-masing. Di Indonesia untuk pajak penghasilan (PPh) menggunakan tarif proporsional, pajak bumi dan bangunan (PBB) dan BPHTB menggunakan tarif yang disebut dengan tarif bentham.13 Adapun

yang dimaksud dengan tarif bentham yaitu sebuah tarif pajak yang memodifikasi tarif proporsional dengan memberikan jumlah tertentu sebagai batas tidak kena pajak yang tidak dikenakan pajak, pajak hanya dikenakan atas jumlah yang melebihi batas tidak kena pajak. Kalau diperhatikan secara seksama tarif ini akan menghasilkan tarif efektif yang berbeda-beda. Tarif efektif tidak pernah mencapai tarif pajak yang ditentukan tetap semakin mendekati kalau objek pajaknya semakin besar. 14

Pemerintah untuk mencapai tujuannya, baik yang bersifat politis maupun yang bukan politis, menggunakan kebijaksanaan tarif dengan cara mengkombinasikan penggunaan tarif pajak tinggi dan tarif pajak yang rendah yakni sebesar 0% (nol persen). Meskipun merupakan sebuah kebijaksanaan, namun karena ketentuan tentang tarif tersebut termasuk ketentuan material, maka ketentuan tentang tarif tersebut harus pula dimuat dalam sebuah undang-undang, terkecuali jika undang-undang memberi kuasa kepada pemerintah atau Menteri Keuangan (delegation of authority).15 Penggunaan tarif bentham pada pajak PBB dan BPHTB ini tentunya akan mengkibatkan perbedaan pengenaan tarif pada masing-masing daerah.

Ketika sebuah tarif terhadap suatu jenis pajak menggunakan tarif rendah seperti halnya penerapan tarif 0% (nol persen) atas hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung, menurut penulis kebijakan tersebut lebih

  • 14Ibid, hal.

  • 15Ibid, hal. 75.

cenderung memiliki sebuah tujuan politis. Tarif pajak dikatakan dapat digunakan untuk tujuan politis misalnya digunakan dalam rangka pemilihan umum oleh partaipartai politik peserta pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah, dengan memberikan janji-janji jika terpilih nantinya akan membantu meringankan beban pajak bagi masyarakat bahkan membebaskan masyarakat dari beberapa jenis pemungutan pajak. Kebijakan terhadap penerapan tarif rendah sebesar 0% (nol persen) inilah yang digunakan oleh Pemkab Badung untuk menarik perhatian masyarakat. Tentunya kebijakan atas pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB sebesar 0% (nol persen) ini menitikberatkan fungsi regulerend dari pajak. Namun dengan adanya kebijakan tersebut masyarakat hendaknya mengetahui betul maksud dan tujuan Pemkab Badung memberikan kebijakan tarif 0% (nol persen) terhadap pajak hibah wasiat pada BPHTB.

Beberapa kendala mulai muncul ketika Pemkab Badung menerapkan pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami atau istri. Dengan adanya kebijakan tersebut, beberapa kendala yang muncul dalam hal pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung dihadapi oleh masyarakat ketika akan melakukan transaksi waris dan hibah wasiat.

Timbulnya kendala-kendala dari kebijakan Pemkab Badung

dengan mengenakan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) tersebut, mewajibkan Pemkab Badung untuk mengupayakan penyelesaian atas kendala yang timbul tersebut. Tindakan nyata dan tegas dari Pemkab Badung sangat diperlukan dalam hal ini, karena masyarakat sangat membutuhkan suatu kepastian hukum dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat. Memang secara umum masyarakat terlihat sangat diuntungkan dengan pemberlakukan kebijakan pengenaan tarif sebesar 0% (nol persen) terhadap pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat. Namun pada kenyataannya masih sangat banyak kendala-kendala yang terjadi ketika diterapkannya kebijakan tersebut oleh Pemkab Badung.

Pada intinya keseluruhan dari kendala-kendala yang sudah disebutkan diatas, upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kendala yang terjadi adalah dengan melakukan pengkajian ulang terhadap Perda No. 14 Tahun 2010 dan Perda No. 28 Tahun 2013. Diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris, hibah dan hibah wasiat, agar nantinya tidak terjadi tumpang tindih serta ketidakadilan dalam hal pengenaan pajak BPHTB tersebut.

  • III. PENUTUP Kesimpulan.

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diangkat pada tesis ini. Adapun kesimpulan dari tesis ini adalah sebagai berikut :

  • 1.    Pengaturan pajak hibah wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang awalnya merupakan pajak pusat, kemudian dialihkan kewenangan pemungutannya kepada pemerintah daerah didasarkan pada UU No. 28 Tahun 2009. Berdasarkan undang-undang tersebut untuk dapat memungut pajak BPHTB Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia wajib membentuk peraturan daerah tentang BPHTB yang nantinya akan digunakan dasar hukum bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melakukan pemungutan BPHTB di masing-masing wilayahnya.. Menindaklanjuti hal    tersebut    Pemerintah

Kabupaten Badung membentuk Perda No. 14 Tahun 2010 tentang BPHTB, yang secara substansi perda ini banyak mengacu dan mengadopsi ketentuan-ketentuan mengenai BPHTB yang terdapat dalam UU No. 28 Tahun 2009. Khusus mengenai pajak hibah wasiat pada BPHTB ditetapkan oleh Pemkab Badung dalam Perda No. 14 tahun 2010, pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris, hibah dan hibah wasiat adalah sebesar 1% (satu persen) sepanjang digunakan sebagai lahan pertanian. Kemudian dengan alasan untuk meringankan beban    dari

masyarakat    ketika    akan

melakukan turun waris, hibah dan hibah wasiat, Pemkab Badung           kemudian

mengerluarkan Perda No. 28 tahun 2013 tentang perubahan atas Perda No. 14 Tahun 2010. Hal yang dirubah oleh Pemkab Badung adalah mengubah tarif pajak BPHTB atas waris, hibah dan hibah wasiat menjadi sebesar 0% (nol persen) serta frasa sepanjang

dipergunakan sebagai lahan pertanian sebagaimana diatur dalam perda sebelumnya dihapus.

  • 2.    Pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) terhadap waris, hibah dan hibah wasiat di Kabupaten Badung tentunya menimbulkan kendala-kendala.    Beberapa

kendala dalam pengenaan tarif pajak tersebut diantaranya adalah          ketidaktahuan

masyarakat akan kebijakan pengenaan   tarif   BPHTB

sebesar 0% (nol persen) tersebut hanya berlaku untuk hubungan keluarga sedarah dalam garis dalam garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah saja, adanya kewajiban penerima waris, hibah dan hibah wasiat untuk membayar PNBP yang justru menambah beban    masyarakat    serta

berkurangnya lahan pertanian di Kabupaten Badung akibat dari peralihan hak yang obyeknya lahan pertanian dibebaskan dari pajak waris, hibah dan hibah wasiat. Upaya yang wajib dilakukan adalah dengan melakukan sosialisasi secara intensif ke daerah-daerah di Kabupaten Badung serta melakukan kajian ulang terhadap Perda No. 28 Tahun 2013.

Saran

  • 1.    Perihal pengenaan pajak BPHTB atas hibah wasiat hendaknya Pemkab Badung tetap mengenakan pajak BPHTB ketika terjadi transaksi waris atau hibah wasiat. Untuk menciptakan suatu kepastian hukum dalam hal pengaturan pajak hibah wasiat pada BPHTB, Pemerintah Pusat seharusnya membentuk suatu peraturan pelaksana yang secara jelas dan khusus mengatur tentang pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris, hibah dan hibah wasiat. Pembentukan peraturan pelaksana

ini penting untuk dilakukan agar tercipta suatu keseragaman dan kepastian hukum antara satu daerah dengan daerah lain dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB khusus untuk waris, hibah dan hibah wasiat.

  • 2.    Pemkab    Badung    hendaknya

melakukan kajian ulang terhadap kebijakan yang dikeluarkan dengan mengenakan tarif pajak BPHTB

sebesar 0% (nol persen) atas waris, hibah dan hibah wasiat. Kajian ulang terhadap kebijakan tersebut penting utnuk dilakukan karena dalam hal pengenaan tarif 0% (nol persen) tersebut masih menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal pengenaan pajak BPHTB atas waris, hibah dan hibah wasiat di Kabupaten Badung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Brotodiharjo, R. Santoso, 1987, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 3, PT. Eresco, Bandung.

Hartoyo, Harry dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB & BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta.

Kie, Tan Thong, 2011, Studi Notaris dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Suandi, Erly, 2014, Hukum Pajak, Edisi 6, Salemba Empat, Jakarta.

Siahaan, Marihot Pahala, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, Edisi I, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Siti Resmi, 2004, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemitro, Rony Hanitjo, 1988, Metodologi penulisan Hukum, dan Jurimetri, Cet III, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Surakhmad, Winarno, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah,Dasar-dasar Metode & Teknik ,Tarsito, Bandung.

Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

184