Acta Comitas (2017) 2 : 296 – 304 ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

PERALIHAN STATUS KEPEMILIKAN TANAH WARISAN MENJADI TANAH PELABA PURA DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT BALI (STUDI KASUS DI DESA ADAT CANGGU)

Oleh

Alim Prabowo*, I Wayan Windia, **, I Ketut Wirawan, ***

Magister Kenotariatan Universitas Udayana E-mail : [email protected]

ABSTRACT

OWNERSHIP STATUS TRANSITION OF HERITA GE LAND INTO PELABA PURA LAND IN BALINESE FOLKS COSTUMARY LA W

(CASE STUDY IN THE CULTURAL/TRADITIONAL VILLAGE OF CANGGU)

Someone who can be regarded as the heir is a person who fulfills the conditions and certain obligations that he is entitled to inherit. In connection with this case, it will be explained regarding liability issues of a child (swadharama). If someone gets inheritance but he has changed his religion then how does the inheritance status. The issue of this research is why the status of land ownership inheritance can be turned into Pelaba Pura land in balinese folks costumary law and how does the process of inheritance land ownership transfer into a Pelaba Pura land in balinese folks customary law in traditional village of canggu.

Type of research used was empirical legal research conducted in the village of Canggu. It was a descriptive study. This study used primary and secondary data sources. Data collection techniques in this research were observation, interview and document study. Data processing and analysis techniques used in this study generally consisted of three stages of data analysis: data reduction, data display, and data verification stage.

Results of the study on the considered problem was that the status of inheritance land ownership can be turned into Pelaba Pura land in in balinese folks costumary law because of religion change eliminates a person 's status as a heir. Only descendants with Kapurusa status were deemed capable of taking care and continuing family ’s Swadharma (responsibility), both in relation to parahyangan (Hindu ’s belief), pawongan (Hindus), and palemahan (preservation of the natural environment in accordance with the Hindu ’s belief). Thus it is the same as the

person who left the family responsibilities (ninggal kedaton), and are therefore

considered not entitled to inheritance in families.  The ownership process of

inheritance land that become Pelaba Pura land in customary law community of

Canggu Bali. A single heir who has switched religions can no longer be regarded as an heir. Therefore disputed inheritance from the past until now has been dominated by Canggu custom banjar as pengemong and pengempon Khayangan temples of Canggu custom banjar hereditary. In this case the land is used as Pelaba Pura land which proposed sporadically. Existence of land belonging to the temple already has a legal basis, namely by the presence of Government Regulation No. 38 of 1963 On Legal institution to Have Properties of Land which was reaffirmed by the Decree of Home Affairs Ministry of Indonesia SK / 556 / DJA / 1986 on the appointment of Temple As a Religious Legal Entity That Can Have Reserved Land Rights.

*Penulis

**Pembimbing I

*** Pembimbing II

Keywords: Land, Inheritance, religion change, customary law.

BAB I                         Tanah merupakan hal yang sangat

PENDAHULUAN               penting bagi kehidupan manusia,

karena tanah memiliki beberapa 1.1    Latar Belakang Masalah                   fungsi, seperti: fungsi sosial, fungsi

ekonomis, dan funsgi religius. Oleh

karena itu, pemanfaatan tanah diatur berdasarkan hukum, baik hukum adat maupun hukum nasional. Menurut A. P. Parlindungan, bahwa dari hak atas tanah, ada yang didirikan sebagai bangunan untuk papan (tempat tinggal), hunian yang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia.1 Artinya kebutuhan dasar manusia akan terpenuhi dengan adanya tanah tersebut dan Benhard Limbong memberikan pendapat serupa bahwa tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah.2

Menurut KUH Perdata pewarisan, yang dapat diwarisi yaitu hanya hak dan kewajiban yang meliputi bidang harta kekayaan. Namun ada hak-hak yang sebenarnya masuk bidang harta kekayaan tetapi tidak dapat diwarisi. Hukum Waris Adat memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan baik yang (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa Hukum Waris Adat adalah, Norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immateriil manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. 3

Negara Indonesia adalah negara dimana setiap orang dijamin oleh hukum untuk memilih, memeluk agama dan kepercayaan yang dianutnya. Dengan adanya kebebasan memilih agama maka secara tidak langsung dapat terjadi perpindahan agama dari agama yang satu ke agama yang lain. Pengertian beralih agama menurut Sulchan Yasin adalah, Beralih agama atau meninggalkan agama semula dan pindah ke agama yang baru.4 Artinya beralih dari agama

yang mulanya dianut sama dengan agama si pewaris ke agama lain yang sudah tentu berbeda dengan agama yang dianut oleh pewaris. Sehingga beralih agama dapat menimbulkan perbedaan agama dalam keluarga.

Seorang ahli waris, terutama anak yang mempunyai hak untuk mewaris atau didalam hubungan ini anak yang tidak terputus haknya untuk mewaris akan mewarisi harta peninggalan orang tuanya yang meninggalkan harta warisan. Sebagai seorang anak disini tidak akan terlepas dari berbagai kewajiban untuk dapat menempati kedudukan sebagai ahli waris yang tidak terputus haknya di dalam mewaris. Dalam hubungan dengan hal ini akan dijelaskan menyangkut masalah kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya atau dengan kata lain swadharama anak atau putra sasana. Dimuka telah dijelaskan bahwa seseorang yang akan dapat dikatakan sebagai ahli waris maka ia harus memenuhi syarat-syarat dan kewajiban tertentu sehingga ia berhak untuk mewaris. Apabila seseorang mendapat harta warisan namun ia telah beralih agama maka bagaimana status harta warisannya tersebut.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Mengapa status kepemilikan tanah warisan dapat beralih menjadi tanah pelaba pura dalam masyarakat hukum adat di Bali?

  • 2.    Bagaimana proses beralihnya kepemilikan tanah warisan yang menjadi tanah pelaba pura dalam masyarakat hukum adat di desa adat Canggu?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

  • 1.3.1    Tujuan Umum :

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai peralihan status seseorang yang beralih agama dan kepemilikan tanah waris yang berubah menjadi tanah pelaba pura di Desa Canggu, menurut hukum adat di Bali.

  • 1.3.2    Tujuan Khusus :

Lengkap Bahasa Indonesia, CV. Putra Karya, Bandung. Hal. 292.

Selain tujuan umum, penelitian ini memiliki tujuan khusus. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

  • 1.    Untuk menganalisis, memahami, dan menjelaskan kedudukan ahli waris yang pindah agama di Desa Canggu menurut hukum adat Bali.

  • 2.    Untuk mengetahui dan menganalisis status tanah waris menjadi tanah pelaba pura dalam hal terjadinya ahli waris yang berpindah agama di Desa Canggu menurut hukum adat Bali.

  • 1.4    Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu :

  • 1.4.1    Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan     manfaat     serta

sumbangan ilmu lebih mendalam tentang kedudukan kedudukan ahli waris yang pindah agama menurut hukum adat Bali.

  • 1.4.2    Manfaat praktis

  • 1.    Bagi masyarakat, dapat diberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya bidang hukum adat, serta dapat dipakai sebagai acuan dalam menjalankan sengketa tanah warisan dalam hal ahli waris yang berpindah agama.

  • 2.    Bagi peneliti, di samping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum waris terutama hukum waris adat Bali.

  • 1.5    Landasan Teoritis atau Kerangka Pemikiran

Dalam      setiap      penelitian

diperlukan landasan teoritis yang berfungsi mendukung argumentasi hukum    yang    akhirnya    untuk

mendapatkan solusi dari permasalahan yang ada, dan digunakan sebagai penuntun arah dalam pengumpulan bahan-bahan hukum yang diperlukan.

  • 1.5.1    Teori Kerukunan, Kepatutan dan

    Keselarasan

Menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga Teori pokok, yaitu teori kerukunan, teori     kepatutan     dan     teori

keselarasan. Ketiga teori ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala

(waktu) dan patra (keadaan). 5 Teori rukun yaitu suatu teori yang isinya suatu pandangan dan sikap orang menghadapi hidup bersama dalam lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai suasana hidup bersama yang aman, tentram dan sejahtera. Suasana yang demikian disebut rukun yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Teori patut merupakan Teori yang menekankan perhatian kepada cara bagaimana    bersikap,    berbuat,

bertindak dan berprilaku dengan lebih mengedepankan etika dan rasa malu. Itu sebabnya Teori kepatutan ini sering juga disebut dengan teori kelayakan. Dalam menghadapi suatu perkara penilaian baik buruk yang ditetapkan oleh petugas hukum mempunyai pelbagai derajat sesuai kasus yang dihadapi. Teori laras adalah Teori yang berkaitan dengan pola prilaku masyarakat yang lebih mengutamakan adanya keseimbangan dan keselarasan antara dunia lahiriah dan dunia batiniah, dengan demikian keharmonisan hidup masyarakat dapat tercapai.

  • 1.5.2    Teori Receptio in Complexu

Van den Berg dengan teorinya Receptio in   Complexu:   Hukum

penduduk setempat (dan juga orangorang   Timur lainnya)   sangat

dipengaruhi dan ditentukan oleh agama yang dianut sejauh tidak ada bukti lain yang menolaknya. Sebab dengan menerima dan menganut suatu agama berarti sekaligus juga menerima aturan hukum dari agama yang dianutnya tersebut. Jika terdapat bukti yang sebaliknya atau “sebuah    pengecualian”    berupa

atauran-aturan    tertentu,    maka

kekecualian tersebut harus dipandang sebagai “deviasi” dari hukum agama yang telah diterima secara complexu teori ini digunakan untuk membahas masalah mengenai sejauh mana peralihan agama bagi seorang ahli waris dapat berakibat terhadap harta warisan yang menjadi haknya.

  • 1.5.3    Teori Mazhab Sejarah

Aliran teori Mazhab sejarah dipelopori friedrich carl von Savigny (Volk geist) hukum kebiasaan sebagai sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama sama      dengan      masyarakat.

Pandangannya bertitik tolak bahwa

  • 5Moh. Koesnoe, dalam I Nyoman Sirtha, Op.Cit, 78.

di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa memiliki (volksgeist) jiwa rakyat. Savigny berpendapat bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang-undang.6 Penggegas teori ini melihat hukum sebagai entitas yang organis-dinamis.

  • 1.6    Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam kegiatan penelitian, yakni untuk mendapatkan data kemudian menyusun, mengolah, dan menganalisanya. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sebagai berikut:

  • 1.6.1    Jenis Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada. Jenis Penelitian yang saya lakukan ini merupakan penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang memakai sumber data primer. Morris L. Cohen & Kent C. Olson, menyatakan bahwa Legal research is an essential component of legal practice. It is the prosess of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law7, bahwa penelitian hukum itu merupakan komponen penting dari praktik hukum, ini merupakan proses untuk menemukan hukum yang mengatur suatu aktifitas yang menjelaskan atau menganalisa hukum material tersebut.

  • 1.6.2    Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Penelitian merupakan suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada. Penelitian yang bersifat deskriptif, adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu,

keadaan, gejala atau suatu kelompok menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala lainnya dalam masyarakat.

  • 1.6.3    Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa adat Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten   Badung.    Kabupaten

Badung merupakan kabupaten yang telah    berkembang    di    mana

masyarakatnya    telah    modern

sehingga     ada     yang     tidak

melaksanakan kewajibannya di dalam hukum adat. Kasus peralihan agama yang menyebabkan kepemilikan tanah waris berubah menjadi tanah pelaba pura pernah terjadi di desa adat Canggu ini maka peneliti menggunakan lokasi ini sebagai lokasi penelitian.

  • 1.6.4    Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari dua jenis data, yaitu :

  • 1.    Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yaitu observasi, wawancara dari informan dan responden, sampel dan sebagainya.8 Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah waris di desa adat Canggu yang menangani peralihan status kepemilikan tanah waris di desa adat Canggu, serta Kantor Pertanahan Kabupaten Badung.

  • 2.    Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan cara menelusuri dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.

  • 1.6.5    Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data terdiri dari: observasi, wawancara dan studi dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu teknik pengumpulan data primer dan teknik pengumpulan data sekunder.

  • 1.    Pengumpulan Data Primer

Teknik yang digunakan yakni wawancara, wawancara bertujuan untuk mengumpulkan data terkait perubahan. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik wawancara tidak terstruktur, yakni wawancara yang terdiri dari

8Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, Jakarta, hal. 12

  • 9 Ibid

sejumlah    pertanyaan    tanpa

mempunyai struktur   tertentu

tetapi selalu berpusat pada pokok permasalahan.

  • 2.    Pengumpulan Data Sekunder Metode pengumpulan data pada penelitian ini dibedakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Beberapa teknik yang digunakan diantaranya studi kepustakaan dan dokumentasi,            berusaha

mengumpulkan karya ilmiah yang berkaitan dengan tanah adat, tanah pelaba pura yang telah dipublikasikan, serta penelusuran terhadap dokumen-dokumen Desa Pakraman yang terkait dengan keberadaan tanah pelaba pura di Desa Canggu seperti awig-awig, perarem, Eka Ilikita, Data Land Consolidation dan sebagainya.

  • 1.6.6 Teknik   Pengolahan    dan

    Analisis Data.

Secara garis besar terdapat tiga tahapan analisis data dalam penelitian ini yakni 1) tahap reduksi data, 2) display data, dan 3) verifikasi. Pada tahap reduksi, dilakukan pemilihan tentang relevan tidaknya antara data dengan tujuan penelitian, Informasi dari lapangan sebagai bahan mentah diringkas, disusun lebih sistematis, serta ditonjolkan    pokok-pokok    yang

penting sehingga lebih mudah dikendalikan. Pada tahap display data, tahap ini bertujuan untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari gambaran keseluruhan.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pewaris, Warisan dan Ahli Waris

Menurut hukum adat unsur pewarisan untuk dapat berlangsungnya suatu proses pewarisan harus dipenuhi tiga unsur yaitu :

  • a.    Adanya pewaris

  • b.    Adanya harta warisan

  • c.    Adanya ahli waris.

Pengertian    pewaris    didalam

Hukum Waris Adat menurut Hilman Hadikusuma, ialah orang yang mempunyai harta peninggalan selagi ia masih hidup atau sudah wafat, harta peninggalan mana (akan) diteruskan penguasaan atau pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi atau

terbagi-bagi. 10 Harta warisan atau disebut juga harta peninggalan menurut Hilman Hadikusuma, semua harta berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih penguasaan atau pemilikannya setelah pewaris meninggal dunia kepada ahli waris.11 Pengertian ahli waris menurut Hilman Hadikusuma adalah, orang-orang yang berhak mewarisi harta warisan. 12Ahli waris    tersebut    berhak    untuk

meneruskan penguasaan dan pemilikan harta warisan atau berhak memiliki bagian-bagian yang telah ditentukan dalam pembagian harta warisan diantara ahli waris tersebut

  • 2.2 Sistem Pewarisan

Pewarisan    adalah   hubungan

hukum atau kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan yang ditnggalkan, baik setelah pewaris meinggal ataupun selagi pewaris itu masih hidup. 13 Di Indonesia secara garis besar dikenal tiga sistem pewarisan, yaitu :

  • 1) . Sistem Pewarisan Individual.

Suatu sistem pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut   bagiannya    masing-

masing. Sistem pewarisan ini contohnya ada pada masyarakat parental di Jawa.

  • 2) . Sistem Pewarisan Kolektif. Pada sistem    ini    harta    warisan

diteruskan     dan     dialihkan

pemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi dalam      penguasaan      dan

pemilikannya. Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan dan  mendapatkan

hasil dari harta warisan itu. Sistem pewarisan  kolektif ini

contohnya    pada    masyarakat

matrilineal di Mingangkabau.

  • 3) . Sistem Pewarisan Mayorat Sistem mayorat ini sebenarnya juga

  • 10Hilman Hadikusuma, 1991,

Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma II), Hal. 9-10.

  • 11Hilman Hadikusuma III, Op. cit, h. 33.

12

Hilan Hadikusuma II, Op.cit, Hal. 53

  • 13 Pudja, Op. cit. Hal. 50

sistem pewarisan kolektif, hanya saja penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga. 14 Sistem    pewarisan    mayorat

contohnya di Pulau Bali, dimana anak laki-laki tertua mempunyai hak mayorat tetapi dengan kewajiban memelihara adik-adiknya    serta   mengawinkan

mereka. 15

Masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan mayorat yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan     sistem    pertalian

kewangsaan lebih dititikberatkan menurut garis keturunan pria. Maka kedudukan pria lebih diutamakan dari wanita. Pria adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari satu bapak asal. Oleh karena itu apabila satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak mempunyai keturunan dikatakan “putus keturunan”. Sistem kekerabatan ini di Bali dikenal sebagai sistem keturunan laki-laki (purusha). 16

  • 2.3    Gugurnya Hak Mewaris Bagi

Ahli Waris yang Beralih Agama

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di Desa Adat/Pekraman Canggu Kabupaten Badung, ahli waris yaitu I Nengah Lakis yang beralih agama di Desa Adat/Pekraman Canggu tidak    melaksanakan    kewajiban-

kewajiban sebagaimana kewajiban ahli waris yang tetap beragama Hindu dan mereka sudah tidak ada lagi mempunyai hubungan dengan Desa Adatnya yang berkaitan erat dengan masyarakat sosialnya.

Sebagai responden I Wayan Suamba:  Dia (Penggugat) setelah

beralih agama dari agama Hindu menjadi agama Islam setelah upacara kematian orang tuanya, tidak dilaksanakan lagi apa yang menjadi kewajiban-kewajiban    ketika    ia

beragama Hindu.17 Begitu pula dengan I Wayan Mustara sebagai responden mengatakan : Dia (Penggugat) setelah beralih agama dari agama Hindu menjadi agama Islam, apabila sebelum

upacara kematian orang tuanya, tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang dilaksanakan oleh umat beragama Hindu dan ia tidak mengeluarkan biaya-biaya untuk upacara kematian orang tuanya. 18 Sesuai dengan hasil wawancara dengan    Sesepuh    Adat    Desa

Adat/Pekraman Canggu, I Nengah Budiarta, “Di Desa Adat/Pekraman Canggu mengatakan, “Mengenai adat waris Khususnya ahli waris, apabila seorang ahli waris tidak diberikan harta warisan karena orang tuanya tidak   mempunyai    harta   yang

ditinggalkan maka ahli waris tersebut tetap       berkewajiban       untuk

melaksanakan dan menyelesaikan kewajiban-kewajibannya sebagai ahli waris, dimana ahli waris yang utama di Desa Adat/Pekraman Canggu adalah seorang laki-laki. 19

  • 2.4    Faktor Penyebab Beralihnya Status Kepemilikan Tanah Warisan Menjadi Tanah Pelaba Pura di Desa Adat Canggu

Terputusnya          Hubungan

Kekeluargaan Antara Pewaris dengan Ahli Waris Beralih Agama. Dalam pandangan Hukum Adat Bali, seorang ahli waris tidaklah semata-mata hanya mempunyai hak untuk mewarisi harta yang ditinggalkan oleh pewaris tetapi seorang ahli waris juga dibebankan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan Ahli waris untuk dapat menerima haknya haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti tidak melakukan       perbuatan-perbuatan

durhaka terhadap orang tua seperti : 20

  • 1.    Membunuh atau mencoba membunuh orang tuanya.

  • 2.    Menganiaya orang tuanya.

  • 3.    Memaki-maki dengan kata yang kasar yang tidak patut dikeluarkan untuk orang Dari hal tersebut di atas, dapat saja seorang ahli waris dibatalkan haknya untuk mewaris harta warisan orang tuanya. Disamping itu seorang ahli waris dapat juga kehilangan hak mewarisnya, apabila ahli waris tersebut beralih agama dari agama Hindu ke agama lainnya dalam hal ini ke agama islam, seperti apa yang dikemukakan oleh I Gde Pudja, Meninggalkan agama leluhur dianggap juga sebagai sebab lenyapnya

  • 18Wawancara dengan Responden pada tanggal 23 Maret 2015

  • 19Wawancara dengan Sesepuh Adat Desa Adat/Pekraman Canggu pada tanggal 24 Maret 2014

  • 20Mahkamah Agung, Op.cit, Hal. 36.

kedudukan mereka sebagai ahli waris. Kejadian ini pun dapat dianggap sebagai kejadian durhaka terhadap leluhur karena sebagai akibat dari meninggalkan agama yang dianut oleh leluhurnya, jelas mereka tidak akan dapat melakukan kewajiban-kewajiban sebagai kewajiban seorang anak (putra) terhadap leluhurnya.21 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Adat/Pekraman Canggu, menurut keterangan I Wayan Nendra sebagai Sesepuh Adat Desa Adat/Pekraman Canggu, Apabila ada seorang yang beralih agama dari agama Hindu menjadi agama yang lain, maka terputuslah hubungan kekeluargaannya, walaupun peralihan agama tersebut dilakukan sebelum maupun sesudah pewaris meninggal dunia maka ia tidak akan berhak mendapatkan bagian harta warisan si pewaris sedikitpun karena ahli waris yang beralih agama tersebut sudah dianggap tidak ada lagi. Hukum Adat Waris mempunyai hubungan yang erat dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat Bali yang beragama Hindu yakni pelaksanaan agama dalam segala aspek penuangannya terwujud dalam Panca Yadnya atau tata cara kehidupan sehari-hari. Beralih agama berarti telah mengabaikan kewajiban baik terhadap keluarga maupun terhadap masyarakat hukum adat di bali, oleh karena itu apabila seseorang tidak melakukan kewajibannya maka orang tersebut juga tidak berhak untuk mendapatkan warisan dari pewaris.

  • 2.5    Proses Peralihan Tanah Waris Menjadi Tanah Pelaba Pura

Pada Bab sebelumnya dibahas mengenai pengaruh beralih agama dalam kaitannya dengan pewarisan, dari sekian pendapat para sarjana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang ahli waris yang melakukan peralihan agama akan kehilangan haknya untuk menjadi ahli waris karena ia tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban sebagai ahli waris, yang mana kewajiban-kewajiban mutlak yang harus dilaksanakan sebagai ahli waris disini adalah berupa pengabenan mayat si pewaris dan disamping itu adalah kewajiban bagi seorang ahli waris

untuk menyembah mayat si pewaris sebelum dan sesudah diaben dan melakukan pemeliharaan dan pemujaan di sanggah atau pemerajan.

Jadi dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang beralih agama adalah tidak mewaris, hal ini disebabkan oleh karena orang yang beralih agama dianggap sebagai orang yang tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya baik kewajiban adat maupun kewajiban agama karena dianggap orang yang durhaka baik terhadap orang tua sendiri, maupun terhadap leluhur, sehingga orang yang beralih agama atau pindah dari agama hindu tidak berhak mewaris, dan bagian warisannya akan diterima oleh orang lain yang masih dalam lingkup keluarga yang dan masih beragama Hindu. Seseorang yang beralih agama dalam arti meninggalkan agama Hindu maka menyebabkan orang tersebut tidak berhak mewaris dan kehilangan kewajiban adapt dan kewajiban agama Hindu.

  • 2.6    Status Tanah Waris Yang

    Menjadi Tanah Pelaba Pura

Tanah Pelaba Pura merupakan tanah milik adat/hak ulayat dari suatu Desa Pekraman, karena berada dikawasan Desa Pekraman tertentu dan pengaturan atau pengurusannya diatur oleh Bendesa. Tetapi setelah adanya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Bandan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, dimana dijelaskan bahwa badan-badan kagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama dapat mempunyai tanah dengan status hak milik (Pasal 1 huruf c). Pemilikan tanah dengan status hak milik ini hanya terbatas atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan dan sosial

Setelah adanya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, barulah pura-pura di Bali sebagai subyek hak milik, sehingga tanah-tanah pura di Bali untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum dapat dan harus didaftarkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo

Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dengan atas nama pura sendiri dan status haknya adalah hak milik. Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Dengan ditunjuknya pura sebagai badan hukum keagamaan yang dapat memiliki hak milik atas tanah maka tanah-tanah milik pura tersebut dapat didaftarkan sesuai dengan peraturan yang berlaku agar mendapat kepastian dan perlindungan hukum.

BAB III PENUTUP

  • 5.1    KESIMPULAN

  • 1.    Status kepemilikan tanah warisan dapat beralih menjadi tanah pelaba pura dalam masyarakat hukum adat di Bali karena Beralih agama menghilangkan status seseorang sebagai ahli waris. Apabila ada seorang yang beralih agama dari agama Hindu menjadi agama yang lain, maka terputuslah hubungan kekeluargaannya, Hanya keturunan berstatus Kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu), maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu). Sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kedaton), dan oleh karena itu dianggap tidak berhak atas harta warisan dalam keluarga.

  • 2.    Proses kepemilikan tanah warisan yang menjadi tanah pelaba pura dalam masyarakat hukum adat bali di Canggu. Peralihan harta warisan menjadi Pelaba Pura dapat terjadi karena pada proses pewarisan tersebut tidaknya ada ahli waris lagi maupun ahli waris pengganti. Seorang ahli waris tunggal yang telah beralih agama tidak dapat lagi dikatakan sebagai seorang ahli waris. Kedudukan seseorang yang beralih agama dalam desa adat adalah orang tersebut dikeluarkan dari persekutuan/krama desa adat. Jadi mereka tidak lagi dapat melakukan ayahan/persembahyangan di pura mempergunakan kuburan adat, melakukan upacara Pitra Yadnya dan lain-lain. Oleh karena itu harta warisan yang menjadi sengketa tersebut dari dulu hingga

sekarang telah dikuasai oleh banjar adat Canggu selaku pengemong dan pengempon pura Khayangan banjar Canggu secara turun temurun dan secara berturut-turut dengan itikad baik tanpa ada gangguan dari siapapun juga. Desa pekraman di Bali memiliki kewenangan berdasarkan awig-awig maupun paruman setiap daerahnya. Dalam kasus ini tanah tersebut dijadikan tanah Pelaba Pura yang diajukan secara sporadik. Eksistensi dari tanah milik pura sudah memiliki dasar hukum yaitu dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah yang dipertegas lagi dengan Surat Keputusan Manteri Dalam Negeri RI SK/556/DJA/1986 Tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

  • 5.2    SARAN

Diharapkan pemerintah perlu untuk sosialisasi secara kontinu dengan pembinaan dan pengarahan tentang Hukum Adat Waris di seluruh Provinsi Bali yang menentukan bahwa ahli waris yang beralih agama dari agama Hindu ke agama lain apakah akan kehilangan hak mewaris harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Hal ini perlu untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan yang mungkin akan terjadi dalam masyarakat.

Diharapkan ketentuan-ketentuan Hukum Waris Adat Bali perlu dimasukkan dalam awig-awig desa adat untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman atau terjadinya perselisihan-perselisihan dalam masyarakat serta antar umat beragama. Hal ini perlu dilakukan supaya ada ketentuan hukum yang pasti yang mengatur mengenai hal tersebut.

Diharapkan kepada Hakim apabila ada sengketa tentang ahli waris beralih agama dari agama Hindu ke agama yang lain, agar mendasarkan putusannya pada Hukum Adat Waris Bali khususnya dalam perkara ini diharapkan hakim mempertegas putusan yang telah ditentukan berdasarkan paruman yang berlaku di Desa Adat/ Pekraman Canggu, sehingga apa yang diputuskan oleh hakim lebih dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat karena sesuai dengan hukum yang berlaku di desa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Astiti, Cok. Istri Putra, I Wayan Beni, Ni Nyoman Sukerti. 1984. Hukum Adat Dua (Bagian Dua), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Cohen L. Morris, 2000, Legal Research In A Nutshell, West Group, ST. Paul, Minn., Printed in the United States of Americ

Hadikusumo, Hilam,1994 , Hukum Perjanjian Adat, PT. Citra Adytia, Bandung

________________,  1980, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni,

Bandung

________________, 1991, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang- undangan, -Hukum      Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung

Harsono Boedi, 2007, Hukum Agraria Indonesia Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan,    Jakarta

Limbong, Benhard 2012, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta

Muhammad, Bushar, 1981, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta

Mooleong, Lexy  1990, Metode Penelitian  Kualitatif, Remaja Rosdakarya,

Bandung.

Parlindungan, A.  P, 2001, Komentar Atas  Undang-Undang Perumahan dan

Pemukiman dan      Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung

Pudja, I Gde 1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat di Bali Dan Lombok, Cetakan pertama, CV. Junasco, Jakarta

____________, dan Tjok Rai Sudharta, 1977-1978, Manawa Dharma Sastra (Manu Dharma Sastra) atau Weda Smerti, CV. Junasco, Cet. V

____________, 1975, Perkawinan Menurut Hukum Hindu Didasarkan Manusmrti, Maya Sari, Jakarta.

____________, , Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Budha Hindu Dharma, Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen  Agama RI, Cet. I,

Panetje, Gde, 2004. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas Agung, Denpasar,    Bali.

Rasjidi, Lili Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,        Bandung.

Saragih, Djaren 1984, Pangantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,       Raja

Grafindo, Jakarta.

Soepomo R.,  1994, Bab - Bab Tentang Hukum Adat, PT Pradnya Paramita,

Jakarta

Ter Haar Bzn, 1985, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.

Widnyana, I Made.1993, Kapitaselekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco       Bandung.

Wignjodipoero, Soerojo 1981, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV. Haji Masagung,     Jakarta.

Yasin, Sulchan. 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, CV. Putra Karya, Bandung.

Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1997, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Waris Menurut Hukum Adat Bali, Hasil-Hasil Diskusi Hukum Adat Waris Di Bali, Sekretariat     Panitia Diskusi Hukum Adat Waris di Denpasar.

II. Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Agraria Nasional Kepala Badan Pertanahan Nomor 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak adat masyarakat hukum adat.

Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 dan telah dirubah dengan Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003    tetang Desa Pakraman

Himpunan Hasil-Hasil Pasamuan Agung III MDP Bali

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

304