Acta Comitas (2017) 2 : 277 – 285 ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

KEKUATAN HUKUM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN DALAM HAL MUSNAHNYA OBYEK HAK TANGGUNGAN KARENA BENCANA ALAM

Magister Kenotariatan Universitas Udayana E-mail : praptajaya@gmail. com

Oleh

I Gede Prapta Jaya,* I Made Arya Utama,** I Ketut Westra,***

ABSTRACT

LEGAL POWER OF MORTGAGE CERTIFICATE IN THE EVENT OF ITS DESTRUCTION DUE TO NATURAL DISASTERS

Collateral for immovable objects such as land is subject to mortgage institutions of property rights regulated in Act No. 4 of 1996 concerning Mortgage of Land Together with Objects Related to it. If a land encumbered is affected by natural disasters such as earthquakes or land slides, it will also result in the destruction of the encumbrance that constitutes the rights of the bank as a creditor. Article 18 paragraph (1) Act No. 4 of 1996 concerning Mortgage of Land Together with Objects Related to it does not regulate the legal force of mortgage certificate whose object is destroyed, leading to its vacancy. The formulation of the problem in this research was: what is the position of mortgage certificate with a guarantee in the form of land in the event that the object is destroyed due to natural disasters, and what is the legal protection for holders of the mortgage certificates with collateral in the form of land in the event that the encumbrance was destroyed because of natural disasters.

The type of research used in this thesis was a normative legal research. The type of approach employed was analitical and conceptual approach and the statute approach, This study used primary, secondary, and tertiary sources of legal materials. Legal material collection techniques in this study used the technique of literature review which was supported by the snowball technique. Processing techniques and analysis of legal materials in this research was to portray the real situations of a problem, then to describe the existing problems, and to give an opinion to the issue.

Results of this study were that the position of mortgage certificate whose object was destroyed due to natural disasters was legally null and void, and the power binding and executorial certificate of mortgage whose object was destroyed by natural disaster became null and void. The preventive legal protection for creditors and debtors was done by insuring the mortgage in insurance company.Repressive legal protection for creditors was to claim payment from the insurance company to creditors in lieu of payment of the debtor's credit. Repressive legal protection that could be given to the debtor was the payment of money left over after deducting residual claim on the debtor's credit collateral had been destroyed.

I BAB I PENDAHULUAN

  • 1.1.    Latar Belakang Masalah .

Dalam fungsinya sebagai lembaga keuangan, kegiatan utama perbankan adalah penyaluran kredit. Kredit menjadi kegiatan utama bank karena keuntungan atau laba bank sebagian

besar berasal dari penyaluran kredit yaitu berupa bunga pinjaman, provisi, dan biaya administrasi. Kredit terdari dari 4 (empat) unsur yaitu kepercayaan, tenggang waktu, prestasi, dan degree of risk. 1

1Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 370.

Unsur kredit pertama adalah kepercayaan yang merupakan keyakinan bank bahwa prestasi yang diberikan bank kepada debitur baik berupa uang, jasa dan barang akan benar-benar akan diterimanya kembali dalam jangka waktu kredit. Unsur kredit yang kedua adalah tenggang waktu merupakan suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi berupa kredit dengan kontra prestasi yang akan diterima berupa pokok dan bunga kredit. Unsur kredit yang ketiga adalah prestasi. Prestasi diberikan tidak hanya dalam bentuk uang, namun juga dapat berupa jasa dan barang. Unsur kredit terakhir adalah degree of risk atau tingkat resiko yang dihadapi bank yang diakibatkan adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi berupa kredit dengan kontra prestasi berupa pokok dan bunga. Semakin lama jangka waktu kredit yang diberikan maka semakin besar pula resiko yang dihadapi oleh bank. Resiko ini harus dikurangi oleh bank, oleh karena itu bank meminta kepada pemohon kredit atau debitur agar dalam pemberian kredit untuk memberikan jaminan atas kredit tersebut.

Berbagai jenis kredit pun ditawarkan bank kepada masyarakat yang didasarkan klasifikasi yang dijalankan oleh bank dalam rangka mengontrol dan mengatur kredit agat berjalan secara efektif. Salah satu klasifikasi kredit adalah kredit berdasarkan jaminannya yaitu kredit tanpa jaminan dan kredit dengan jaminan. Kredit tanpa jaminan atau kredit blangko (unsecured loan) bank memberikan kredit tanpa meminta jaminan kepada debitur. Pemberian kredit ini sangat selektif dan hanya ditujukan kepada nasabah besar yang sudah teruji kredibilitas, bonadifitasnya, kejujuran dan ketaatannya dalam bertransaksi Perbankan maupun kegiatan yang dijalankan oleh debitur tersebut. Namun bagaimanapun juga kredit tanpa jaminan ini tetap mengandung resiko, bahkan resikonya lebih besar karena apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak memiliki jaminan yang bisa dieksekusi sebagai pelunasan utang debitur. Kredit dengan jaminan ini diberikan kepada debitur selain didasarkan adanya keyakinan atas kemampuan debitur juga disandarkan kepada adanya jaminan misalnya berupa tanah, bangunan atau alat-alat produksi. Jaminan ini dimaksudkan untuk memudahkan

kreditur apabila debitur wanprestasi bank segera dapat menerima pelunasan hutangnya melalui cara pelelangan atas jaminan tersebut. 2 Perjanjian kredit adalah perjanjian yang mengatur pemberian kredit dari bank sebagai kreditur kepada nasabah atau masyarakat sebagai debitur dan berisikan syarat-syarat pemberian kredit. Pemberian kredit bank dituangkan dalam perjanjian kredit dalam bentuk notariil maupun perjanjian kredit bawah tangan. Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok, yang kemudian diikuti dengan perjanjian asesoir berupa pengikatan jaminan kredit.

Secara umum jaminan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan umum diatur dalam Pasal 1 13 1 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Menurut Pasal 1 131 KUH Perdata jaminan umum diartikan dengan “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi tanggungan segala perikatan perseorangan”. Berdasarkan rumusan pasal tersebut jaminan umum adalah seluruh aset yang dimiliki debitur baik yang telah ada maupun yang kelak akan ada, atau dengan kata lain seluruh kekayaan debitur adalah jaminan umum dari perikatan yang dilakukan oleh debitur tersebut. Jaminan khusus adalah jaminan yang telah ditentukan oleh debitur sebagai jaminan atas perikatan yang dilakukannya. Jaminan khusus bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian tertentu yang khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu. Jaminan khusus dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan.

Jaminan perseorangan merupakan suatu perjanjian pihak ketiga menyanggupi pihak berpiutang (kreditur), bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang bila yang berhutang (debitur) tidak menepati kewajibannya. Jaminan perseorangan ini diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata, sedangkan jaminan kebendaan ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan kebendaan untuk benda bergerak dan jaminan kebendaan untuk benda tidak bergerak. Untuk jaminan kebendaan benda bergerak lembaga jaminannnya adalah fidusia dan gadai. Untuk jaminan fidusia diatur dalam Undang Undang

  • 2Ibid, hal 382.

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Repubik Indonesia Nomor 3889, untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Jaminan Fidusia), sedangkan lembaga jaminan gadai diatur dalam pada Pasal 1 150 KUH Perdata yang mengatur tentang gadai.

Untuk jaminan benda tidak bergerak yaitu tanah, maka lembaga jaminannya adalah hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Nomor 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Tanggungan). Hak tanggungan digunakan untuk pengikatan jaminan berupa tanah dengan menggunakan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disebut dengan akta pemberian hak tanggungan. Pada saat pengikatan kredit setelah debitur menandatangani perjanjian kredit baik dalam bentuk notariil maupun bawah tangan, maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan pengikatan jaminan berupa tanah yaitu dengan akta pemberian hak tanggungan. Setelah penandatangan akta pemberian hak tanggungan dalam jangka 7 (tujuh) hari maka akta beserta kelengkapan berkas dan sertipikat tanda hak atas tanah yang dijadikan jaminan didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional, untuk selanjutnya diterbikan sertipikat hak tanggungan yang memiliki kekuatan eksekutorial.

Selama menikmati fasilitas kredit, bukti kepemilikan terhadap tanah berupa sertifikat tanda bukti hak atas tanah debitur akan dibebankan hak tanggungan. Namun apabila obyek jaminan hak tanggungan tersebut lenyap akibat suatu peristiwa alam seperti tanah longsor, ini akan menimbulkan masalah karena obyek jaminan hak tanggungan menjadi musnah. Kedudukan sertifikat hak tanggungan pun menjadi tidak jelas, dan bagi pemegang hak tanggungan yaitu bank akan mengalami kerugian jika debitur tidak bisa melunasi hutang kreditnya, bank pun tidak bisa mengeksekusi jaminan karena jaminan hak tanggungan yang berupa tanah sudah lenyap akibat peristiwa tanah longsor. Berbeda halnya apabila jaminan fidusia musnah, maka sisa pinjaman debitur yang dijamin oleh jaminan fidusia akan dicover oleh pihak

asuransi, namun jika obyek hak tanggungan berupa tanah tidak ditanggung oleh pihak asuransi kredit, karena lazimnya yang di asuransikan adalah jaminan berupa benda bergerak dan bangunan rumah saja, sedangkan tanah tidak masuk dalam asuransi kredit. Pengaturan hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan ; Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:

  • a.    Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

  • b.    Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

  • c.    Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh

Ketua Pengadilan Negeri;

  • d.    Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Rumusan Pasal 1 8 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan hanya menyatakan bahwa hak tanggungan hapus karena 4 (empat) hal yaitu pelunasan hutang yang dijamin dengan hak    tanggungan    oleh    debitur,

dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan atau kreditur, dikeluarkannya     penetapan     dari

pengadilan    negeri    yang    isinya

menghapus hak   tanggungan, dan

hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Berkaitan dengan hapusnya hak tanggungan karena suatu keadaan       overmarcht       yang

mengakibatkan obyek hak tanggungan musnah tidak diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang   Hak   Tanggungan

maupun dalam rumusan pasal lain pada Undang-Undang Hak Tanggungan. Keadaan demikian akan menimbulkan kekosongan norma (leemten van norm) dalam      Undang-Undang      Hak

Tanggungan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah yang akan dibahas. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah:

  • 1.    Bagaimanakah kedudukan sertipikat hak tanggungan dengan jaminan berupa tanah dalam hal obyeknya musnah karena bencana alam ?

  • 2.    Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat hak tanggungan dengan jaminan berupa tanah dalam hal obyeknya musnah karena bencana alam ?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan    dari    penelitian    ini

dikualifikasi menjadi 2 (dua).Tujuan tersebut yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun tujuan yang dimaksud sebagai berikut :

  • 1.3.1.    Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisa kedudukan sertifikat hak tanggungan ketika terjadi bencana alam yang mengakibatkan musnahnya obyek hak tanggungan tersebut. Dengan kata lain, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan hukum bagi kreditur saat musnahnya obyek hak tanggungan.

  • 1.3.2.    Tujuan Khusus

Selain tujuan yang bersifat umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus. Berdasarkan dengan rumusan masalah yang diuraikan diatas, maka secara khusus penelitian ini tesis ini bertujuan :

  • 1.    Untuk mengkaji dan menganalisa kedudukan sertipikat hak tanggungan dengan jaminan berupa tanah dalam hal obyeknya musnah karena bencana alam.

  • 2.    Untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat hak tanggungan dengan jaminan berupa tanah dalam hal obyeknya musnah karena bencana alam.

  • 1.4.    Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah, metode memiliki peran yang sangat penting, karena metode memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana cara memperoleh data dan bagaimana kemudian data tersebut diperoleh dan diolah menjadi sebuah karya tulis ilmiah, sehingga hasil penelitan tersebut memiliki     dasar     dan     dapat

dipertanggungjawabkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  • a.    Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan adalah penelitian hukum normatif. Penelitan hukum ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah/norma    yang    merupakan

patokan perilaku manusia yang

dianggap pantas.3 Karateristik utama penelitian hukum normatif adalah sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.4

Jenis penelitian hukum normatif dipilih dalam penulisan tesis ini, karena beranjak dari kekosongan norma dalam Pasal 18 ayat (1)Undang-Undang Hak Tanggungan terkait hapusnya hak tanggungan karena obyek hak tanggungan musnah akibat bencana alam. Keadaan ini menimbulkan kekosongan norma (leemten van norm)dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.

  • b.    Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) pendekatan. Pendekatan tersebut antara lain adalah pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach), pendekatan undang-undang (the statute approach). Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum,peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pendekatan undang-undang (the statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.5

  • c.    Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif sumber bahan hukum yang digunakan bersumber dari data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh

  • 3Amirudin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 118.

  • 4Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Behder Johan Nasution I), hal 86.

  • 5Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal 93.

dari bahan-bahan pustaka.6 Data sekunder dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

  • a)    Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari peraturan dasar peraturan     perundang-undangan.

Dalam penelitian ini digunakan sumber hukum primer yang terdiri dari:

  • a)    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ;

  • b)    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ;

  • c)    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) ;

  • d)    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473),

  • e)    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 4 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632).

  • f)    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618).

  • g)    Peraturan Bank Indonesia Nomor PBI 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12 DPNP, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471 DPNP).

  • h)    Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 Tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu Di Indonesia Yang Terkena Bencana Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 72 DPNP/DPBPR/DPbS,       Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4641 DPNP/DPBPR/DPbS).

  • b)    Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum    sekunder dapat

berupa berupa rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan pendapat para pakar hukum. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan adalah pendapat para pakar hukum.

  • c)    Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tertier tersebut berupa kamus hukum dan ensiklopedia hukum.7 Bahan Hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum untuk mencari definisi dari istilah-istilah hukum, dan Kamus Umum Bahasa Indonesia untuk mencari difinisi      istilah-istilah      yang

digunakan     dalam     penulisan

penelitian ini.

  • d.    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Data yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi pustaka dengan sistem kartu yakni semua bahan yang diperlukan     kemudian     dicatat

mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi penelitian yang digunakan.8 Sistem kartu digunakan saat mencatat judul buku, nama pengarang buku, halaman dan materi yang    dianggap    penting    dan

mendukung penelitian ini. Sistem kartu ini juga didukung dengan teknik bola salju (snow ball) yaitu dengan menemukan bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari berbagai literatur hukum.

  • e.    Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diawali    dengan    mengumpulkan

bahan-bahan hukum secara sistematis yang kemudian dianalisis. Analisis dilakukan untuk mengetahui secara rinci permasalahan yang ada dalam penelitian ini dengan mengambarkan apa adanya terhadap suatu masalah (deskripsi), kemudian menjelaskan permasalahan yang ada (ekplanasi), mengkaji permasalahan   dengan

mengkontruksi ketentuan hukum sehingga didapatkan ketentuan norma

  • 7Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal 23.

  • 8Soerjono Soekanto dan Sri Mujiati, op cit, hal 13.

yang mampu menyelesaikan permasalahan yaitu terjadinya kekosongan norma dalam Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan yang tidak merumuskan kedudukan sertipikat hak tanggungan dalam hal musnahnya hak tanggungan dan memberikan pendapat atas permasalahan dan hasil evaluasi tersebut (argumentasi). Analisi tersebut dilakukan agar mendapatkan kesimpulan dan solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini.

Bab II PEMBAHASAN

Kedudukan Sertipikat Hak Tanggungan Dalam Hal Musnahnya Obyek Hak Tanggungan Karena Bencana Alam

Musnahnya tanah yang menjadi obyek    hak    tanggungan    akan

menimbulkan akibat hukum. Secara fakta obyek hak tanggungan telah musnah suatu peristiwa alam. Obyek hak tanggungan adalah tanah dan benda-benda lain yang tertanan diatasnya yang secara jelas dna tegas sudah dicantumkan dalam APHT. Obyek hak tanggungan adalah tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, baik atas hak milik maupun atas negara dan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan didalam APHT atas tanah yang bersangkutan. Jika terjadi suatu peristiwa alam yang mengakibatkan musnahnya obyek hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai tersebut maka akan berpengaruh terhadap status hak yang melekat padanya. Kondisi ini menimbulkan kekosongan norma dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, karena dalam Undang-Undang Hak Tanggungan tidak mengatur tentang akibat hukum musnahnya tanah yang menjadi obyek hak tanggungan.

Musnahnya obyek hak tanggungan dapat ditafsirkan dengan sistem undang-undang lain yang ada di Indonesia. Penafsiran yang paling dekat adalah menafsirkan   Undang-Undang   Hak

Tanggungan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan ditafsirkan

menggunakan Pasal 27,  34, dan 40

Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan:

Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:

  • a.    Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

  • b.    Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

  • c.    Pembersihan    Hak    Tanggungan

berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

  • d.    Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Musnahnya obyek hak milik akan berakibat terhadap status hak milik. Hapusnya obyek hak milik akan berakibat hapusnya status hak milik sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria yang merumuskan: Hak Milik hapus bila :

  • a.    Tanahnya jatuh pada negara

  • 1.    Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18

  • 2.    Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya

  • 3.    Karena ditelantarkan

  • 4.    Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.

  • b.    Tanahnya musnah.

Pasal 34 Undang-Undang Pokok Agraria mengatur tentang alasan-alasan hapusnya Hak Guna Usaha. Pasal 34 Undang-undang     Pokok     Agraria

merumuskan:

Hak guna-usaha hapus karena:

  • a.    jangka waktunya berakhir;

  • b.    dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;

  • c.    dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

  • d.    dicabut untuk kepentingan umum;

  • e.    diterlantarkan;

  • f.    tanahnya musnah;

  • g.    ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria mengatur tentang alasan-alasan hapusnya Hak Guna Bangungan. Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria merumuskan:

Hak guna-bangunan hapus karena:

  • a.    jangka waktunya berakhir;

  • b.    dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;

  • c.    dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

  • d.    dicabut untuk kepentingan umum;

  • e.    diterlantarkan;

  • f.    tanahnya musnah;

  • g.    ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disampaikan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur tentang hapusnya hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan salah satunya disebabkan oleh faktor yang sama yaitu musnahnya tanah tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan salah satu faktor yang dapat menghapuskan hak tanggungan adalah Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, jadi musnahnya tanah dengan status hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan karena bencana alam akan mengakibatkan hapusnya hak tanggungan atas obyek tersebut.

Musnahnya obyek hak tanggungan karena bencana alam berakibat kreditur kehilangan obyek jaminan, debitur kehilangan hak atas tanah, dan kreditur tidak dapat menuntut debitur atas musnahnya obyek hak tanggungan ini. Musnahnya obyek jaminan yang dibebani hak tanggungan tidak mengakibatkan kewajiban debitur untuk memenuhi kewajibannnya untuk melunasi hutangnya kepada kreditur. Maka dari itu debitur wajib untuk tetap melunasi hutangnya walaupun tanah yang dijadikan jaminan telah musnah karena bencana alam. Jika dihubungkan dengan kedudukan sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah karena bencana alam, maka berdasarkan ketentuan syarat perjanjian, maka salah satu syarat sahnya suatu perjanjian yaitu obyeknya yaitu tanah telah musnah sehingga tidak memenuhi syarat perjanjian yaitu suatu hal tertentu, maka sertipikat hak tanggungan tersebut menurut syarat sahnya perjanjian batal demi hukum (neitigbaarheid).

Suatu perjanjian tentu memiliki obyek yang diperjanjikan. APHT merupakan sebuah akta yang didalamnya tercantum pemberian hak tanggungan dari debitur kepada kreditur untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima debitur. Sebagai jaminan maka debitur memberikan hak tanggungan kepada kreditur. Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan dapat ditentukan luasnya. Pasal 1332 KUH Perdata merumuskan “Hanya Barang-Barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi

pokok perjanjian”. Pasal 1333 KUH Perdata merumuskan “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”.

Jika terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan musnahnya obyek yang diperjanjikan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, sebab perjanjian yang tidak menentukan jenis barang, jumlah, atau keadaannya adalah batal demi hukum.      Hal ini akan

mengakibatkan APHT tersebut batal demi hukum. APHT batal demi hukum maka akan berdampak terhadap sertipikat hak tanggungan yang juga batal demi hukum karena dasar penerbitan sertipikat hak tangungan yaitu APHT batal demi hukum.

Kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah karena bencana alam adalah hapus. Hal ini disebabkan karena hapusnya hak tanggungan. Hapusnya hak tanggungan disebabkan oleh hapusnya hak atas tanah karena tanah tersebut telah musnah karena bencana alam. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan akan berakibat hapusnya hak tanggungan, sehingga hapus pula kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan tersebut.

Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Hal Musnahnya Obyek Hak Tanggungan Karena Bencana Alam.

Perlindungan hukum bagi para pihak dalam hal musnahnya obyek hak tanggungan karena bencana alam terdiri dari 2 (dua) bentuk. Perlindungan hukum    yaitu    pertama    adalah

perlindungan hukum preventif artinya langkah pencegahan yang dilakukan dengan menyiapkan opsi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Kedua adalah perlindungan hukum represif    yang    bertujuan    untuk

menyelesaikan sengketa yang timbul.

Perlindungan hukum preventif bagi kreditur dan debitur dilakukan dengan mengasuransikan obyek yang dijadikan jaminan tersebut, sehingga apabila obyek hak tanggungan tersebut musnah maka pihak asuransi    yang akan

memberikan ganti rugi yang digunakan untuk melunasi      kredit debitur.

Perlindungan hukum represif yang dapat dilakukan untuk kreditur adalah dengan cara pembayaran klaim asuransi kepada kreditur atas musnahnya obyek hak tanggungan yang menjadi jaminan debitur dengan dasar bankers clause

pada polis asuransi jaminan sebagai pelunasan hutang debitur pada kreditur.

Perlindungan represif yang dapat dilakukan untuk debitur adalah dengan pembayaran sisa uang klaim setelah dikurangi dengan kredit debitur pada kreditur, apabila uang klaim tersebut tersisa uang klaim tersebut dapat diberikan kepada debitur, selain itu perlindungan represif yang dapat diberikan kepada debitur adalah dengan melakukan retrukturisasi terhadap fasilitas kredit yang dimiliki debitur sehingga    debitur    tetap    mampu

membayar kewajibannya kepada bank dengan syarat-syarat yang lebih meringankan debitur. Lebih rinci Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang melindung debitur saat terjadinya suatu bencana alam yaitu melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu Di Indonesia Yang Terkena Bencana Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 72 DPNP/DPBPR/DPbS Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4641 DPNP/DPBPR/DPbS).

Peraturan Bank Indonesia tersebut hanya berlaku untuk daerah yang terkena bencana Tsunami pada tahun 2005 seperti Aceh dan Sumatra Utara. Namun Bank dapat melakukan upaya

penyelamatan  kredit  debitur  dengan

membantu debitur untuk melakukan restrukturisasi  kredit  debitur  melalui

perubahan (addendum) pada perjanjian kredit sebelumnya. Dalam addendum perjanjian     restrukturisasi     kredit

dilakukan perubahan  dalam  klausul

perjanjian, perubahan suku bunga dengan menurunkan suku bunga kredit debitur dan perpanjangan jangka waktu kredit hingga 4 (empat) tahun, sehingga akan memberikan keringanan kepada debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada bank.

BAB III PENUTUP

SIMPULAN

Berdasarkan    pemaparan    dan

pembahasan     diatas, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

  • 1.    Kekuatan sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah karena bencana alam adalah batal demi hukum, hal ini disebabkan APHT yang merupakan dasar dari penerbitan

sertipikat hak tanggungan batal demi hukum. APHT tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sah suatu perjanjian yaitu suatu hal tertentu. APHT tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian yaitu suatu hal tertentu karena benda atau obyek hak tanggungan dalam APHT telah musnah terkena bencana alam. kekuatan mengikat serta eksekutorial sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah karena bencana alam menjadi hapus. Hapusnya kekuatan mengikat dan eksekutorial sertipikat hak tanggungan diakibatkan oleh hapusnya hak atas tanah karena bencana alam. Hapusnya hak atas tanah akan mengakibatkan hapusnya hak tanggungan.

  • 2.    Perlindungan hukum preventif bagi kreditur dan debitur        dilakukan dengan

mengasuransikan obyek yang dijadikan jaminan. Perlindungan hukum represif yang dapat dilakukan untuk kreditur adalah dengan cara pembayaran klaim asuransi kepada kreditur atas musnahnya obyek hak tanggungan yang menjadi jaminan debitur. Perlindungan represif yang dapat dilakukan untuk debitur adalah dengan pembayaran sisa uang klaim setelah dikurangi dengan kredit debitur pada kreditur, apabila uang klaim tersebut tersisa uang klaim tersebut dapat diberikan kepada debitur, selain itu perlindungan represif yang dapat diberikan kepada debitur adalah dengan melakukan retrukturisasi terhadap fasilitas kredit yang dimiliki debitur.

SARAN

  • 1.    Untuk Otoritas Jasa Keuangan agar melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/15/PBI/2006 Tentang Perlakuan

Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu Di Indonesia Yang Terkena Bencana Alam. Perubahan dilakukan dengan memperluas cakupan wilayah aturan tersebut yang awalnya hanya mencakup wilayah Provinsi Aceh, Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Jogjakarta, diperluas cakupannya menjadi berlaku di sekuruh wilayah Republik Indonesia. Hal ini dlilakukan agar memberkan perlindungan hukum yang kuat bagi debitur dan kreditur yang ada diseluruh Indonesia.

  • 2.    Untuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar menambahkan klausul dalam sertipikat hak tanggungan yang isinya mengatur tentang kedudukan sertipikat hak tanggungan bila obyeknya musnah karena bencana alam. Hal ini dilakukan agar dapat menciptakan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur jika terjadi peristiwa musnahnya obyek hak tanggungan karena bencana alam.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amirudin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Djumhana, Muhamad 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kasmir, 2011, Dasar-Dasar Perbankan, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,.

Marzuki, Peter Mahmud 2006, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Waluyo, Bambang , 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

285