Acta Comitas (2017) 2 : 258 – 267

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

STATUS HUKUM PERJUMPAAN UTANG DIANTARA PERSEROAN INDUK (PARENT COMPANY) DENGAN PERSEROAN ANAK (SUBSIDIARY COMPANY)

Oleh

I Gede Willy Pramana*, I Made Arya Utama, **, Desak Putu Dewi Kasih, ** Magister Kenotariatan Universitas Udayana

E-mail : Gede. dari_Bali@yahoo. co. id

ABSTRACT

LEGAL STATUS OF SET-OFF BETWEEN PARENT COMPANIES AND SUBSIDIARY COMPANIES

According to Article 1381 of the Civil Code, there are eleven ways found concerning the abolishment of an obligation. One way of abolishing an obligation is through a set off regulated in Article 1425 of the Civil Code. The set-off is made between companies, particularly between parent companies and subsidiary companies which are not regulated in Article 1425. The set-off here only regulates people as subjects regulating it. Therefore, the formulation of the problem in this study includes why there are debts between parent companies and subsidiary companies, what is the validity of a set-off between parent companies and subsidiary companies, and what legal effect that emerges as a result of a set-off between parent companies and subsidiary companies.

The type of research used was a normative legal research based on the absence of norms in Article 1425 of the Civil Code against a set-off made by a parent company and a subsidiary company. This study used a source of legal materials consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials.

The results showed that the occurrence of debts between a parent company a subsidiary company was caused by two things, that is, a debt agreement emerged was genuinely due to the importance of debt and it was motivated by other agreements. Concerning efforts to pay off debts between a parent company and a subsidiary company through a set-off was legitimate because a parent company and a subsidiary company are an independent legal entity and are then separated based on systematic and sociological interpretation about peoples ’ phrases in Article 1425 of the Civil Code which include individuals and legal entities. Therefore, the result of the law of set-off between a parent company and a subsidiary company is the disappearance of legal relationship due to the fact that the debts between the two had been settled. Furthermore supervision of the Director General of Taxation is needed for the setoff made by a parent company and a subsidiary company as it relates to the engineering of debts.

Keywords: Parent Company, Subsidiary Company, Set-off

*Penulis

**Pembimbing I

*** Pembimbing II

BAB I PENDAHULUAN

  • 1.1   Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala sektor khususnya       dalam       bidang

perekonomian    yang    terintegral

bersama    pembangunan    nasional

dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia dan mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spiritual. Pertumbuhan perekonomian yang kian membaik dengan dibarengi oleh perkembangan kebutuhan yang semakin variatif mendorong perusahan sebagai manifestasi inovasi manusia yang kian kreatif dan produktif tidak

terlepas dari segala macam kebutuhan. Perusahaan yang selalu berhadapan dengan berbagai macam kebutuhan untuk meningkatkan aktivitas kegiatan usahanya memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga dalam beberapa situasi perusahaan dituntut untuk berutang kepada perusahaan lainnya demi keuntungan-keuntungan ekonomis.

Utang piutang termasuk salah satu jenis perjanjian. Apabila perjanjian tersebut melahirkan perikatan sudah barang tentu dalam hal ini juga harus dibahas mengenai hapusnya perikatan. Hapusnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan KUHPdt. Berdasarkan Pasal 1381 KUHPdt, pada umumnya pelunasan utang berupa pembayaran. Pada beberapa kesempatan pelunasan perjanjian utang piutang suatu perusahaan dapat berbentuk perjumpaan utang, tergantung kepada isi perjanjian dimana para pihak saling memiliki kewajiban pembayaran hutang dalam berbagai instrumen satu sama lainnya dan berpokok utang sama. Pada Pasal 1425 KUHPdt menjelaskan mengenai perjumpaan utang “Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut dengan cara dan dalam hal-hal berikut”. Memperhatikan Pasal 1425 KUHPdt hanya menyebutkan orang sebagai subjek pengaturan yang dapat melakukan perjumpaan utang dan tidak menyebutkan perusahaan sebagai badan hukum dalam pengaturan tersebut.

Adapun perjumpaan utang dalam hal ini dilakukan oleh perseroan induk dengan perseroan anak. Perkembangan Perseroan Terbatas yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan PT, seperti dijelaskan di atas tidak dapat dilepaskan dari legitimasi peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan UUPT memberikan legitimasi kepada suatu Perseroan untuk memiliki saham pada perseroan lain. Pasal 7 ayat (1) UUPT. Secara implisit UUPT hanya mengatur satu ketentuan yang memuat mengenai keterkaitan perseroan induk dan perseroan anak yaitu pada Pasal 84 ayat (2) huruf b. Berbeda dengan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan UUPT terdahulu yang telah dicabut     keberlakuannya     justru

ditemukan ketentuan yang berkaitan mengenai perseroan induk dan perseroan anak dalam penjelasan Pasal 29. UUPT terdahulu lebih memberikan kejelasan terhadap gambaran umum mengenai hubungan khusus perseroan induk dengan perseroan anak melalui keterkaitan antara keduanya dengan menjelaskan latar belakang adanya hubungan khusus yang terjadi diantara keduanya.

Apabila dapat dimungkinkan dilakukan perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak seperti penjelasan diatas mengingat tidak ada pengaturannya, tentunya tidak hanya dampak positif seperti efektifitas kerja, pembangunan perusahaan secara signifikan, serta yang lainnya saja yang dapat diperoleh. Terdapat pula dampak negatif yang dapat ditemukan dalam perjumpaan utang disini yaitu adanya indikasi pengurangan pajak berlebihan dimana perusahaan dengan sengaja berutang     kepada     perusahaan

afiliasinya. Sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan legalitas  perjumpaan  utang yang

dilakukan antara perseroan induk dengan    perseroan    anak    agar

pelaksanaannya     sesuai     dengan

ketentuan yang berlaku dan tidak merugikan kepentingan negara.

  • 1.2    Rumusan Masalah.

Bertitik tolak dari latar belakang penelitian dapat ditarik tiga rumusan masalah yaitu :

  • 1.    Mengapa terjadi utang piutang diantara perseroan induk dengan perseroan anak?

  • 2.    Bagaimana keabsahan perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak?

  • 3.    Apa akibat hukum yang ditimbulkan dari perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak?

  • 1.3    Tujuan Penelitian.

    1.3.1.    Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai PT dalam kaitannya dengan melakukan utang piutang. Melalui pemahaman tersebut dapat diketahui keabsahan perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak.

  • 1.3.2.    Tujuan Khusus

Penelitian ini dilakukan untuk memberi deskripsi sekaligus analisis secara mendalam tentang :

  • a.    Latar belakang terjadinya utang piutang terkait dengan perseroan induk dan perseroan anak;

  • b.    Keabsahan perjumpaan utang antara perseroan induk dan perseroan anak;

  • c.    Akibat hukum yang ditimbulkan perjumpaan utang antara perseroan induk dan perseroan anak.

  • 1.4 . Manfaat Penelitian

    1.4.1.    Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penulisan laporan penelitian ini dapat dijadikan referensi, tambahan ilmu dan memperdalam perkembangan hukum perusahaan berkaitan dengan “Status Hukum Perjumpaan Utang Diantara Perseroan Induk (Parent Company) dengan Perseroan Anak (Subsidiary) ”. 1.4.2.Manfaat Praktis

Selain kegunaan secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini juga mampu memberikan manfaat secara praktis, yaitu:

  • a.    Memberi sumbangan pemikiran kepada semua pihak yang terkait dengan “Status Hukum Perjumpaan Utang Diantara Perseroan Induk (Parent Company) dengan Perseroan Anak (Subsidiary Company)”.

  • b.    Dapat dijadikan pedoman bagi pihak-pihak yang mengalami permasalahan yang berhubungan dengan “Status Hukum Perjumpaan Utang Diantara Perseroan Induk (Parent Company) dan Perseroan Anak (Subsidiary Company)”.

Pada akhirnya hasil penelitian ini diharapkan    dapat    memberikan

kontribusi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Notaris, Organ dalam PT, dan segenap jajaran dalam Kementrian Hukum dan HAM.

  • 1.5    Landasan Teoritis.

  • 1.    Teori Perjanjian

Menurut teori yang dikemukakan oleh Van Dunne, mendefinisikan perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.1 Teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat pembuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.

  • 2.    Teori Badan Hukum

Teori badan hukum dipelopori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl von

Savigny (1779 – 1861), tokoh utama aliran atau mazhab sejarah pada permulaan abad ke – 19.2 Menurut von Savigny bahwa hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit.3 Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum, tetapi wujud yang tidak riil itu dapat melakukan perbuatan-perbuatan sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya

  • 3.    Teori Harta Kekayaan

Brinz berpendapat hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun juga tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manuisa pun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang kita namakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan.4

  • 4.    Teori Tanggung Jawab

Sebuah konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab (pertanggungjawaban hukum). Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan.5 Biasanya bila sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Subjek dari tanggung jawab hukum identik

  • 2Ibid

  • 3Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.157

  • 4Ali Rido, 2012, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, hal.7

  • 5Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara diterjemahkan dari General Theory of Law and State, terjemahan Raisul Mangunsong, Nusamedia, Bandung, hal.509

dengan subjek dari kewajiban hukum.

  • 1.6 Metode Penelitian.

  • a.    Jenis Penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang berusaha mencari jawaban atas terjadinya kekosongan norma dalam hal Status Hukum Perjumpaan Utang Diantara Perseroan Induk dan Perseroan Anak yang tidak diatur pada UUPT. UUPT hanya mengatur tentang keterkaitan Perseroan Induk dengan Perseroan anak dalam hak suara.

  • b.    Jenis Pendekatan.

  • 1)    Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach)

  • 2)    Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical     and     Conceptual

Approach)

  • 3)    Pendekatan    Sejarah    (Historical

approach)

  • c.    Sumber Bahan Hukum.

  • 1.    Bahan Hukum Primer terdiri atas:

  • a)    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

  • b)    Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

  • c)    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor  106, Tambahan Lembaran

Negara  Republik Indonesia Nomor

4756).

  • d)    Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 39).

  • e)    Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 Tentang Pengabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 40).

  • f)    Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2010 Tentang Pengabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 98).

  • g)    Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor M.01. HT. 01. 10 Tahun 2007 tanggal 21 September 2007 tentang Tata Cara     Pengajuan     Permohonan

Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar, dan Perubahan Data Perseroan;

  • h)    Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor M.02. HT. 01. 10 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

  • 2.    Bahan Hukum Sekunder terdiri atas:

  • a)    Literatur-literatur.

  • b)    Jurnal-jurnal hukum.

  • c)    Karya tulis hukum.

  • d)    Pandangan ahli hukum

  • 3.    Bahan Hukum Tertier terdiri atas:

  • a)    Kamus hukum.

  • b)    Ensiklopedi hukum.

  • c)    Internet.

  • d.    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik bola salju (snow ball system). Pengumpulan bahan hukum diawali dengan mencari suatu literatur, dari literatur tersebut kemudian akan dilanjutkan mencari literatur lainnya dengan menggunakan rujukan daftar pustaka yang termuat dalam literatur tersebut. Proses ini dilakukan terus menerus dari satu literatur ke literatur lainnya sampai didapatkan bahan hukum yang cukup untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. e. Teknik Analisis Bahan Hukum.

Bahan hukum yang telah diperoleh melalui studi kepustakaan dan dialog, selanjutnya disusun dengan dipergunakan teknik deskripsi untuk mendapatkan uraian suatu kondisi dari proposisi-proposisi hukum. Tabel hasil deskripsi tersebut kemudian diadakan evaluasi dengan memberikan penilaian. Setelah memberikan penilaian maka dilakukan teknik argumentasi dengan memberikan     alasan-alasan     bersifat

penalaran hukum untuk memperoleh kesimpulan.

BAB II PEMBAHASAN

Utang Piutang Diantara Perseroan Induk dengan Perseroan Anak

Pada prinsipnya, perseroan induk dan perseroan anak melakukan perjanjian utang piutang sama halnya dengan perseroan pada umumnya. Adapun perjanjian utang piutang ini dilatarbelakangi oleh dua hal. Ada yang murni karena untuk melakukan perjanjian utang piutang dan ada yang melakukan perjanjian utang piutang karena     telah     dilatarbelakangi

perjanjian yang lain. Perjanjian utang piutang yang timbul murni karena kepentingan      utang      piutang

dimaksudkan disini adalah dalam melakukan perjanjian utang piutang tidak ada latar belakang persoalan

lain, dan perjanjian itu dibuat hanya semata-mata untuk melakukan perjanjian utang piutang. Latar belakang perusahaan yang melakukan perjanjian utang piutang murni karena adanya kepentingan untuk utang piutang secara garis besar karena suatu perusahaan selalu ingin mencukupi kebutuhannya dan adanya keadaan yang timbul setelah harapan dari pengambilan kebijakan utang piutang terpenuhi.

Setiap perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang beraneka ragam pada dasarnya setiap perusahaan berharap selalu ingin dapat memenuhi semuanya. 6 Adapun kebutuhan akan dana tersebut nantinya akan dialokasikan untuk pemenuhan belanja-belanja perusahaan seperti kebutuhan primer yaitu kebutuhan akan kertas, listrik, air, bensin, uang makan pegawai, dan komputer. Kebutuhan sekunder yaitu kendaraan, meja kursi untuk rapat, pakaian seragam pegawai, dan mesin absensi. Kemudian kebutuhan tertier berupa bangunan kantor, kendaraan dinas, elektronik pengontrol ruangan, air conditioner, dan sebagainya. Kemudian telah dijelaskan bagaimana suatu perusahaan ingin agar kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi, biasanya suatu perusahaan tidak berhenti sampai di titik itu saja. Apabila semua kebutuhan perusahaan telah dipenuhi maka tidaklah lain tujuan perusahaan adalah memperoleh laba dan menjaga stabilitas kegiatan perusahaan.

Lain halnya dengan perjanjian utang piutang yang timbul murni karena adanya perjanjian utang piutang, hal yang melatar belakangi perjanjian utang piutang ini karena sebelumnya telah terjadi perjanjian lain. Perjanjian sebelumnya dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian utang piutang kedudukannya berdiri sendiri-sendiri. Perjanjian sebelumnya telah selesai dilaksanakan. Perjanjian utang piutang yang terjadi sesudahnya tidak bersifat accessoire atau keberadaanya bergantung kepada perjanjian sebelumnya, karena kedua perjanjian tersebut sama-sama perjanjian pokok. Secara sudut pandang ekonomi, perjanjian utang piutang keberadaannya merupakan

perjanjian lanjutan dari perjanjian sebelumnya.     Misalnya     dalam

perjanjian leasing dengan opsi wajib membeli ditambah dengan perjanjian utang-piutang. Leasing atau sewa guna usaha merupakan terjemahan yang diambil dari bahasa Inggris yang berasal dari kata lease yang berarti sewa atau lebih umum sebagai sewa menyewa.7 Secara umum sewa guna

usaha merupakan  suatu  equipment

funding, yaitu    suatu    kegiatan

pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang modal pada perusahaan

untuk digunakan dalam proses produksi. 8

Dalam keadaan ini jangka waktu sewa terhadap barang modal telah jatuh tempo dan diharuskan bagi lessee untuk menyelesaikan opsi kewajiban membeli barang modal tersebut kepada lessor tidak memiliki dana yang cukup untuk menuntaskan kewajibannya tersebut. Kemudian lessee disini mengambil kebijakan utang kepada pihak ketiga untuk melunasi barang modal tersebut. Melalui penyerahan barang modal oleh lessor kepada lessee tersebut, sudah terjadi pemindahan hak milik barang kepada lesee sesuai dengan Pasal 1475 KUHPdt      yang      menjelaskan

“Penyerahan ialah pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan hak milik si pembeli.” Sementara perjanjian leasing dengan opsi wajib membeli telah selesai, uang yang dipergunakan untuk membeli barang modal tersebut merupakan utang bagi lessee. Utang tersebut dituangkan dalam perjanjian utang piutang antara lessee dengan pihak ketiga dalam kedudukan lain yaitu antara debitur dengan kreditur. Disini terlihat perjanjian lesing dan perjanjian utang piutang    merupakan    sama-sama

perjanjian pokok dan masing-masing berdiri sendiri. Perjanjian leasing selesai, baru timbul perjanjian utang piutang dilatarbelakangi selesainya perjanjian leasing.

Keabsahan Perjumpaan Utang Diantara Perseroan Induk dengan Perseroan Anak

Pada Pasal 1425 KUHPdt menjelaskan mengenai perjumpaan utang “Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu

  • 7Sunaryo, 2009, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.47

  • 8Ibid

perjumpaan utang yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut dengan cara dan dalam hal-hal berikut”. Menimbulkan pertanyaan adalah     frasa     “orang”     yang

dipergunakan pada Pasal 1425 KUHPdt sementara saat ini dalam perkembangannya    pihak    yang

melakukan perjumpaan utang bukan hanya orang, melainkan juga badan hukum perseroan. Dilihat dalam beberapa   peraturan   perundangan-

undangan lain seperti UUPT dan UUPPLH   memberikan penjelasan

mengenai makna orang diantaranya :

  • 1.    UUPT       : Penjelasan Pasal 7 ayat (1)

UUPT menjelaskan “Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing

  • 2.    UUPPLH : Pasal 1 angka 32 Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Melalui penafsiran sistematis frasa “orang” dalam KUHPdt dapat dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UUPT dan Pasal 1 angka 32 UUPPLH seperti yang dijelaskan di atas dan melalui penafsiran sosiologis frasa “orang” dalam KUHPdt dapat diartikan sebagai orang perorangan dan badan hukum mengingat pergaulan antara manusia dalam kehidupannya menganggap perlu, bahwa dalam suatu kerja sama itu, semua anggotanya bersama merupakan  suatu kesatuan

yang baru.9 Suatu  kesatuan yang

mempunyai hak-hak sendiri terpisah

dari hak-hak para anggotanya, kesatuan yang mempunyai kewajiban sendiri terpisah dari kewajiban para anggotanya yang dapat bertindak hukum sendiri di dalam dan di luar hukum.10       Pergaulan       hidup

menghendaki bahwa disini harus ada suatu subjek hukum yang baru yang bertindak ke muka, terlepas dari manusia-manusia dari anggota-anggota kesatuan itu, subjek hukum yang baru dan berdiri sendiri  itu yang kita

maksudkan dengan badan hukum.11 Sehingga     dengan     berdasarkan

penjelasan di atas  badan hukum

khususnya perseroan dapat menjadi pihak dalam hal perjumpaan utang

Kerangka pengaturan perseroan induk dan perseroan anak masih bergantung kepada UUPT. Sesuai

dengan peruntukannya sebagai kerangka pengaturan perseroan tunggal dimana UUPT tidak memberikan pengakuan yuridis terhadap status perusahaan grup. Oleh karena itu UUPT masih mempertahankan pengakuan yuridis formal terhadap status badan hukum perusahaan induk dan perusahaan anak sebagai subjek hukum mandiri. Terhadap perusahaan induk dan perusahaan anak yang berbadan hukum mandiri berlaku prinsip hukum yang menjadi pondasi dasar perseroan terbatas atau bedrock principle.12 Dimana meliputi pengesahan badan hukum, status badan hukum perseroan sebagai subjek hukum mandiri atau separate legal entity dan limited liability. Perseroan yang memiliki kemandirian yuridis yang terlepas dari orang perorangan atau badan hukum lain dalam perseroan tersebut atau persona in standi dan merujuk kepada Pasal 3 ayat (1) UUPT yang menjelaskan “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki” telah menegaskan perseroan sebagai badan hukum merupakan entitas atau wujud hukum (legal entity) yang terpisah dari pemiliknya, dalam hal ini dari para pemegang saham (shareholder). 13

Kerangka pengaturan UUPT yang bersifat perseroan tunggal dimana tidak memberikan pengakuan yuridis terhadap status perusahaan grup, perseroan sebagai badan hukum memiliki kemandirian untuk bertindak (rechtperson, legal person) dan perseroan terpisah dari pemegang saham dalam hal ini perseroan induk dan perseroan anak merupakan entitas mandiri dalam konteks konstruksi hukum. Mengenai keabsahan perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak merupakan perbuatan hukum yang sah karena perjumpaan utang dapat dilakukan oleh badan hukum serta mengingat perseroan induk dengan perseroan anak merupakan suatu

  • 12Sulistiowati, 2010, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, Erlangga, Jakarta, hal.98

  • 13M. Yahya Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 71

entitas mandiri dalam konteks konstruksi hukum.

Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Perjumpaan Utang Diantara Perseroan Induk dengan Perseroan Anak

Istilah mengenai holding company atau parent company dalam hal ini perseroan induk tidak banyak disinggung       dalam       UUPT.

Pengaturannya dapat ditemukan dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2), Pasal 48 ayat (2), dan Pasal 84 ayat (2) UUPT. UUPT tidak mengakui eksistensi perusahaan grup melainkan hanya mengenal adanya keterkaitan antara perusahaan induk dan perusahaan anak. Keterkaitan antara perusahaan induk dan perusahaan anak tidak menghapus status badan hukum mandiri yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan tersebut.

  • M. Yahya Harahap berpendapat bahwa dalam rangka memanfaatkan prinsip limited liability atau pertanggungjawaban terbatas, sebuah perseroan dapat mendirikan Perseroan Anak (Subsidiary) untuk menjalankan bisnis Perseroan Induk (Parent Company).14 Oleh karena itu sesuai dengan prinsip keterpisahan (separation) dan perbedaan (distinction) yang dikenal dengan istilah separate entity, maka aset Perseroan Induk dengan Perseroan Anak terisolasi terhadap kerugian potensial (potential losses) yang akan dialami oleh satu di antaranya. Adanya pemisahan yang jelas antara perseroan induk dan perseroan anak dikaitkan dengan perjumpaan utang yang diatur pada Pasal 1425 KUHPdt yang menjelaskan “Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut dengan cara dan dalam hal-hal berikut”. Orang yang dimaksudkan dalam Pasal 1425 KUHPdt dapat berarti orang perorangan dan badan hukum. Sehingga perseroan induk dan perseroan anak yang masing-masing merupakan badan hukum mandiri dapat bertindak sendiri-sendiri melalui organ perseroan untuk melakukan perjumpaan utang

Berbicara perjumpaan utang maka haruslah didahului oleh adanya utang piutang satu sama lain, dimana diantara perseroan induk dengan perseroan anak saling memiliki utang dan saling memiliki piutang. Utang piutang mengikat mereka dalam hubungan hukum yang baru. Perseroan yang bertindak sebagai peminjam biasa disebut debitur sedangkan perseroan yang bertindak sebagai pemberi pinjaman biasa disebut

kreditur. Utang piutang diantara keduanya dituangkan ke dalam sebuah perjanjian yang haruslah tunduk terhadap Pasal 1320 KUHPdt. Sebelum diantara keduanya memilih perjumpaan utang sebagai jalan mengakhiri utang piutang, maka salah satu pihak atau keduanya perlu memintakannya terlebih dahulu untuk dituangkan sebagai klausul pelunasan yang syarat utang masing-masing dapat dinilai dengan nominal uang dan berjumlah sama. Perlunya perjumpaan utang untuk dimintakan terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau keduanya guna menghindari kesalah pahaman dalam pemilihan upaya pelunasan utang.

Apabila diantara perseroan induk dengan perseroan anak telah sepakat untuk memilih perjumpaan utang sebagai upaya pelunasan utang maka urusan utang piutang diantara keduanya menjadi lunas. Oleh karena itu lenyaplah hubungan hukum diantara perseroan induk dengan perseroan anak karena urusan utang piutang diantara keduanya telah selesai. Perjumpaan utang dapat mempersingkat waktu dan mengoptimalkan efektifitas kerja diantara perseroan induk dan perseroan anak melalui berpedoman pada Standar Akuntasi Keuangan (SAK)., maka laporan keuangan dari perseroan induk dan perseroan anak dapat dikonsolidasikan dengan laporan keuangan induk perusahaannya dengan tetap berpegang kepada asas itikad baik (good faith) dengan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait serta diperlukan pengawasan pemerintah dalam sektor-sektor strategis seperti sektor pajak karena berpotensi terjadi rekayasa utang. Rekayasa utang saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang kemudian utang piutangnya diselesaikan melalui upaya perjumpaan utang agar tidak mengganggu aktivitas laporan keuangan.

Pemerintah sebagai pemeriksa laporan keuangan menilai apakah ditemukan indikasi-indikasi penyimpangan pada laporan keuangan khususnya kecurangan dalam rekayasa utang. Apabila dalam penilaian tersebut ditemukan adanya indikasi-indikasi tersebut maka dapat dikatakan laporan keuangan yang diberikan oleh wajib pajak perusahaan tersebut memuat informasi palsu.

Laporan keuangan yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya adalah pembukuan yang diselenggarakan tanpa mentaati persyaratan ataupun ketetapan prinsip sahnya suatu pembukuan. Laporan keuangan yang memuat informasi palsu dapat dikategorikan sebagai kejahatan mengenai pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain terkait pada saat wajib pajak memperlihatkan ada petugas pemeriksa yang berwenang untuk melihatnya. Kejahatan ini diatur pada Pasal 39 ayat (1) huruf f UUKUP yang menjelaskan “memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”.

Ancaman hukuman karena kejahatan mengenai pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.” Kejahatan mengenai pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain dapat dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi diatur pada Pasal 1 huruf a UUKUP atau wajib pajak orang sebagai pengurus suatu badan hukum perdata diatur pada Pasal 1 huruf a dan Pasal 37 ayat (2) UUKUP dan wajib pajak badan diatur pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. 15

Terdapat dua pendapat mengenai pemidanaan badan hukum, pendapat pertama sanksi pidana bagi badan hukum cukup sampai sanksi pidana denda dan pendapat yang kedua sanksi pidana bagi badan hukum dapat diterapkan sampai kepada pidana penjara, kurungan, pidana tambahan pencabutan izin usaha hingga pidana tambahan pencabutan status badan hukum. Mengenai pendapat pertama Wagner sebagaimana dikutip oleh Hasbullah F. Sjawie menganggap selain denda, penyitaan serta berbagai

larangan dalam korporasi merupakan sanksi yang dianggap efektif. 16 Pendapat lain mengenai sanksi terhadap badan hukum yang berupa pidana denda seperti yang dipaparkan pada hasil International Meeting of Expert on The Use of Criminal Sanction in the Protection of Environment sanksi bernilai uang (Monetary Sanctions) berupa :

  • a.    Mengganti keuntungan ekonomis (Recoups any economic benefit) yang diperoleh sebagai hasil dari kejahatan;

  • b.    Mengganti (Recover), semua atau sebagian biaya pengutusan atau penyidikan dan melakukan perbaikan (reparation) setiap kerugian yang ditimbulkan;

  • c.    Denda.17

Kemudian mengenai pendapat yang kedua sanksi dapat berupa pidana penjara atau kurungan terhadap badan hukum yang dikenakakan kepada pengurusnya seperti yang diterapkan pada Pasal 51 dan Pasal 57 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Pasal 47 Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No 1 8 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, dan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Kemudian sanksi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha seperti diterapkan pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan Pasal 315 ayat (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Serta sanksi pidana tambahan yang berupa pencabutan status badan hukum seperti yang diterapkan pada Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Merujuk kepada pendapat di atas serta berpijak kepada Pasal 39 ayat  (1) pada kejahatan  mengenai

pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang dilakukan

oleh badan hukum dapat dikenakan

ancaman pidana penjara yang

  • 16Hasbullah F. Sjawir, 2013, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya Bakti, h.318

  • 17Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertangung Jawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.274

dikenakan kepada pengurus dalam hal ini yaitu organ perusahaan dan dikenakan pidana denda.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan.

Berdasarkan uraian pembahasan bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:

  • 1.    Mengingat utang piutang termasuk perjanjian utang piutang, adapun latar belakang diambilnya kebijakan utang dapat dikategorikan menjadi dua hal antara lain perjanjian utang piutang timbul karena murni kepentingan utang piutang dan perjanjian utang piutang timbul karena dilatarbelakangi oleh perjanjian lain. Perjanjian utang piutang timbul karena murni kepentingan utang piutang didasari oleh perusahaan yang selalu ingin mencukupi kebutuhannya dan keadaan yang timbul setelah harapan dari pengambilan kebijakan utang piutang terpenuhi. Perjanjian utang piutang timbul karena dilatarbelakangi oleh perjanjian lain didasari karena adanya suatu perjanjian sebelum perjanjian utang piutang dimana perjanjian utang piutang bukan merupakan accesoire dari perjanjian sebelumnya.

  • 2.    Perseroan induk dan perseroan anak masing-masing merupakan perseroan tunggal berbadan hukum mandiri dan terpisah sesuai dengan pandangan UUPT. Adapun kemandirian perseroan tertuang pada Pasal 3 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), dan Pasal 73 ayat (1) UUPT. Kemudian melalui penafsiran sistematis frasa “orang” dalam KUHPdt dapat dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UUPT dan Pasal 1 angka 32 UUPPLH seperti yang dijelaskan di atas dan melalui penafsiran sosiologis frasa “orang” dalam KUHPdt dapat diartikan sebagai orang perorangan dan badan hukum dikaitkan dengan kebutuhan manusia akan subjek hukum selain orang. Perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak merupakan perbuatan hukum yang sah.

  • 3.    Masing-masing diantara perseroan induk dengan perseroan anak yang saling memiliki

utang piutang yang jumlah nominalnya sama Ketika diperjumpakan utang piutang mereka maka saat itu pula lenyap hubungan hukum diantara perseroan induk dengan perseroan anak karena utang yang dimiliki oleh masing-masing pihak telah lunas. Diperlukan pengawasan pemerintah khususnya Direktorat Jendral Pajak pada sektor pajak karena berpotensi terjadi rekayasa utang diantara perseroan induk dan perseroan anak dengan mengambil upaya perjumpaan utang agar tidak mengganggu aktivitas laporan keuangan. Adapun rekayasa utang dapat dijerat dengan Pasal 39 ayat (1) huruf f UUKUP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Saran

Adapun saran yang dapat diberikan terkait dengan permasalahan yang dikaji adalah sebagai berikut:

  • 1.    Kepada Dirjen Pajak perlu menetapkan batas-batas       kewajaran       dengan

memperhatikan aspek hukum dan aspek ekonomi dalam menilai latar belakang perseroan induk dengan perseroan anak melakukan utang piutang dalam menetapkan regulasi untuk pengawasan laporan keuangan masing-masing perseroan;

  • 2.    Kepada Pemerintah khususnya dalam hal ini DPR bersama-sama Presiden yang memiliki wewenang     membentuk     peraturan

perundang-undangan untuk secepatnya menyusun dan mengesahkan KUHPdt yang baru, karena KUHPdt yang berlaku saat ini sudah tidak dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan dalam mengatur hubungan antara orang perorangan dan badan hukum.

  • 3.    Kepada Dirjen Pajak perlu menetapkan sebuah regulasi dalam pengambilan utang piutang diantara perseroan induk dengan perseroan anak untuk mencegah rekayasa utang yang dapat merugikan negara serta perlunya peningkatan pengawasan dalam aktivitas laporan keuangan masing-masing perseroan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Ali, Chidir, 2011, Badan Hukum, Bandung, Alumni.

Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Harahap , M. Yahya, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, Sinar Grafika.

HS , H. Salim, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta Sinar Grafika.

Kelsen, Hans, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara diterjemahkan dari General Theory of Law and State, terjemahan Raisul Mangunsong, Bandung, Nusamedia.

Muladi dan Priyatno, Dwidja, 2012, Pertangung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Rido, Ali, 2012, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung, Alumni.

Sulistiowati, 2010, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, Jakarta , Erlangga.

Saidi, Muhammad Djafar dan Merdekawati, Eka 2011, Kejahatan di Bidang Perpajakan, Jakarta, Rajawali Pers.

Sjawir, Hasbullah F., 2013, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Sunaryo, 2009, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta, Sinar Grafika.

Supramono, Gatot, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta, Kencana.

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

267