Acta Comitas (2017) 2 : 247 – 257 ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG BERAKIBAT BATAL DEMI HUKUM PADA SAAT BERAKHIR MASA JABATANNYA

Oleh:

Selly Masdalia Pertiwi*

NIM 1292461023

Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana e-mail: [email protected] Pembimbing I: I Nyoman Sirtha,** Pembimbing II: I Made Pria Dharsana,***

Abstract

Article 65 of the Law Number 2 of 2014 on the Amendment of Law Number 30 Year 2004 concerning the Notary Position states that: "Notary, Substitute Notary, Substitute Special Notary and the Acting Notary are responsible for every deed he or she has made, although the Notary Protocol have been delivered to the depositary Notary Protocol ". The ambiguity of norm in this Article leads to the interpretation that a Notary is responsible indefinitely for the rest of his/her life to the deed made, even though his/her tenure has expired. Notary is responsible for the deed he or she has made, without any exception when the deed is null and void. The question arises are as follows: what causes the authentic deed that is drawn up before Notary becomes null and void, and what is the liabilities of the Notary to the authentic deeds that declared to be null and void at the expiry time of his/her tenure.

The study is a normative legal research, which departs from the obscurity of norms on the liabilities of a notary to authentic deeds considered to be null and void of the expiry of the notary’s tenure. The types of approach used were statutory and conceptual approaches. The legal materials used were primary, secondary, and tertiary legal materials, through the technique of literary review by a card system. To analyze the legal materials, it was used a descriptive and interpretative techniques as well as the grammatical interpretation.

The results of this study indicated that an authentic deed of Notary considered to be null and void, if it does not meet the requirements of Article 1320 of the Civil Code regarding the terms of a valid agreement, Article 1868 of the Civil Code regarding the authenticity of the deed, Articles in the Law of Notary Position/UUJN particularly Article 16 paragraph (1) letter l, Article 16 paragraph (1) letter (k), Article 44, Article 48, Article 49, Article 50 and Article 51. In addition, a deed also must not conflict with the Notary Code of Ethics and the applicable laws and regulations associated with the deed. A notary who has ended his/her tenure is held responsible if the authentic act has been proved to be null and void and has not expired before the thirty years since the deed was made. Based on the theory of fautes personalles, notary is personally responsible for his/her actions. There are 4 (four) types of the Notary liabilities, namely: rise to civil liability, criminal liability, liabilities based on the UUJN and under the Code of Ethics of Notary.

Keywords:  Liabilities, Notary, Authentic Deed, null and void by law, expiry of

tenure.

**Pembimbing I ***Pembimbing II

jasa. Hal ini berdampak pula pada peningkatan dibidang jasa Notaris. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia1.

1Anonim, (tanpa tahun), diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris, pada hari Sabtu, tanggal 13 September 2014, pukul 12.16 WITA.

Sejarah lahirnya Notaris diawali dengan lahirnya profesi scribae pada zaman Romawi Kuno (abad kedua dan ketiga sesudah masehi)2. Lembaga Kenotariatan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang ada di Indonesia, lembaga ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya suatu alat bukti mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau terjadi diantara mereka3.

Peran Notaris dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang diberi sebagian kewenangan oleh negara untuk melayani masyarakat dalam bidang perdata khususnya pembuatan akta otentik. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Notaris berwenang dalam membuat akta. Akta yang dibuat oleh Notaris dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: akta yang dibuat oleh Notaris (relaas akta) dan akta yang dibuat dihadapan Notaris (partij akta).

Mengenai partij akta, para pihak yang berkepentingan datang kepada Notaris untuk kemudian menandatangani akta yang merupakan kehendak para pihak tersebut. Tujuan dibuatnya suatu akta adalah untuk memberikan suatu kepastian hukum kepada para pihak yang membuatnya. Akta merupakan alat bukti yang sempurna dan tidak memerlukan alat bukti yang lainnya. Suatu permasalahan terjadi apabila akta yang dibuat oleh seorang notaris diketahui batal demi hukum pada saat Notaris tersebut telah berakhir masa jabatannya.

Berdasarkan Pasal 65 UUJN disebutkan bahwa: “Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris”. Pasal 65 UUJN tersebut menimbulkan keragu-raguan sehingga timbul penafsiran-penafsiran. Timbul pertanyaan yaitu

mengenai batas waktu tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya. Sebelum dapat menjawab pertanyaan tersebut maka diketahui terlebih dahulu penyebab dari suatu akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris yang berakibat batal demi hukum. Akta tersebut berakibat batal demi hukum karena kesalahan para pihak atau kesalahan Notaris itu sendiri.

Adanya kekaburan norma mengenai tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya.     Berdasarkan     uraian

tersebut, maka penelitian ini beranjak dari adanya kekaburan norma, dengan judul “Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Otentik yang Berakibat Batal Demi Hukum pada saat Berakhir Masa Jabatannya”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Penyebab akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris berakibat batal demi hukum.

  • 2.    Tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya.

  • 1.3.    Landasan Teoritis

    1.3.1.    Teori Kedaulatan Hukum

Teori ini dicetuskan oleh Krabbe. Dalam bahasa inggris, teori ini disebut sovereignity law theory. Ajaran Krabbe ini sebagai bentuk dari reaksi terhadap teori kedaulatan Negara. Krabbe berpendapat bahwa, “yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Oleh karena itu, baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warga negara, bahkan negara itu sendiri, semuanya tunduk pada hukum. semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Jadi, kesimpulannya bahwa yang berdaulat adalah hukum”4. Teori kedaulatan hukum untuk menganalisis mengenai penyebab akta otentik yang dibuat oleh Notaris berakibat batal demi hukum.

  • 1.3.2.    Teori Tujuan Hukum

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung tiga nilai identitas.

  • 1.    Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas ini meninjau dari sisi yuridis.

  • 2.    Asas keadilan hukum atau gerectigheit. Asas ini meninjau dari sisi filosofis.

4

Salim, H.S., 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.135.

  • 3.    Asas kemanfaatan. Asas ini meninjau dari sisi sosiologis5. Hukum harus senantiasa memberikan suatu kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan baik bagi para penghadap maupun Notaris itu sendiri. Teori tujuan hukum untuk menganalisis mengenai penyebab akta otentik yang dibuat oleh Notaris berakibat batal demi hukum.

  • 1.3.3.    Teori Kewenangan

“Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah Kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan      berdasarkan      peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan”6. Kewenangan dapat dikatakan sebagai kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang7. Teori kewenangan untuk menganalisis mengenai tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya.

  • 1.3.4.    Teori Tanggung Jawab

Mengenai

pertanggungjawaban pejabat Kranenburg dan Vegtig ada yang melandasinya yaitu:

persoalan menurut dua teori


a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat    yang karena

tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.

  • b. Teori fautes de services, yaitu teori yang  menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan pada  instansi dari pejabat yang

bersangkutan. Menurut teori ini

tanggung jawab dibebankan kepada jabatan.    Dalam    penerapannya,

kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung8. Teori tanggung jawab untuk menganalisis mengenai tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya.

  • 1.4.    Tujuan Penelitian

    1.4.1.    Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum khususnya dibidang Hukum Kenotariatan.    Hal    ini    meliputi

pemahaman mengenai tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya.

  • 1.4.2.    Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk mengkaji dan menganalisis penyebab akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris berakibat batal demi hukum.

  • 2.    Untuk mengkaji dan menganalisis tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya.

  • II.    METODE PENELITIAN

    • 2.1.    Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini beranjak dari adanya kekaburan norma dalam Pasal 65 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Adanya kekaburan norma dalam penelitian ini berkaitan dengan tidak jelasnya pengaturan mengenai tanggung jawab seorang notaris apabila pada masa berakhir jabatannya terdapat akta otentik yang berakibat batal demi hukum.

  • 2.2.    Jenis Pendekatan

Pendekatan yang diterapkan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya. Pendekatan konseptual dilakukan untuk menemukan pengertian

  • 8Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.365.

hukum/konsep hukum mengenai penyebab akta otentik bersifat batal demi hukum dan tanggung jawab notaris yang telah berakhir masa jabatannya terhadap akta otentik bersifat batal demi hukum yang dibuatnya.

  • 2.3.    Sumber Bahan Hukum

  • a.    Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan serta putusan hakim9. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan, antara lain:

  • 1.    Kitab Undang-undang Hukum Perdata

  • 2.    Kitab Undang-undang Hukum Pidana

  • 3.    Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 177, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4432)

  • 4.    Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)

  • 5.    Kode Etik Notaris

  • 6.    Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian tesis ini

  • b.    Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer10. Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa literatur-literatur berupa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan.

  • c.    Bahan  hukum tertier, merupakan

bahan  yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain11.

  • 2.4.    Teknik Pengumpulan Bahan

    Hukum

Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengolahan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan    (study    document).    Telaah

kepustakaan dilakukan dengan sistem Kartu (card system) yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier.

  • 2.5.    Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum dilakukan setelah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier terkumpul. Teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif dan teknik interpretasi (penafsiran). Teknik deskriptif merupakan teknik dasar yang digunakan untuk menganalisis suatu permasalahan yang harus digunakan dalam suatu penelitian. Deskriptif berarti bahwa menguraikan suatu keadaan posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

Teknik interpretasi (penafsiran) menurut Sudikno Mertokusumo merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu12. Bentuk interpretasi (penafsiran) yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran gramatikal. Penafsiran gramatikal atau penafsiran menurut tata bahasa ialah memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan bahasa sehari-hari atau bahasa hukum13.

  • III.    TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN AKTA OTENTIK 3.1 Tinjauan Umum Tentang Notaris

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip Negara hukum adalah menjamin adanya suatu kepastian, ketertiban serta perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan didalam masyarakat. Notaris merupakan pejabat umum yang diberikan sebagian kewenangan oleh Negara dan setiap tindakannya harus berdasarkan oleh hukum. Jabatan Notaris merupakan jabatan seorang pejabat Negara atau pejabat umum, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUJN pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dan Negara, khususnya dibidang hukum perdata14.

Notaris merupakan Pejabat Umum yang diciptakan Negara sebagai implementasi dari Negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat yang merupakan jabatan yang istimewa, luhur, terhormat dan bermartabat karena secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri mengenai jabatan tersebut. Pada dasarnya Notaris harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan bukti akta otentik. Notaris sebagai pejabat umum yang

  • 12Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.61.

  • 13Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.164.

  • 14Yudha Pandu, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jabatan Notaris dan PPAT, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, hlm.2.

mempunyai kewenangan dalam membuat akta otentik tentunya memiliki kewajiban yang harus dijalankan dan tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Kewajiban seorang Notaris diatur dalam Pasal 16 UUJN. Selain kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang Notaris, terdapat pula larangan bagi seorang notaris. Larangan bagi seorang notaris diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN. Apabila seorang Notaris melanggar larangan yang tersebut dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN tersebut diatas maka Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi sebagai berikut: a. peringatan tertulis;

  • b.    pemberhentian sementara;

  • c.    pemberhentian dengan hormat, atau d. pemberhentian dengan tidak hormat.

  • 3.2. Tinjauan Umum Tentang Akta

    Otentik

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “Acte” atau ”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “Act”atau“deed”. Menurut pendapat umum, mempunyai dua arti yaitu15:

  • 1.    Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling).

  • 2.    Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai perbuatan hukum tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu.

Akta berfungsi sebagai formulasi kehendak para pihak yang membuatnya. Berdasarkan bentuknya akta terbagi menjadi atas akta otentik dan akta dibawah tangan16. Pengertian akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Pasal 1868 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu17:

  • 1.    Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

  • 2.    Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;

  • 3.    Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan ditempat dimana akta itu dibuat.

Akta otentik adalah produk yang dibuat oleh seorang Notaris. Bentuk akta otentik yang dibuat oleh Notaris ada 2 (dua) macam, yaitu:

  • a.    Akta yang dibuat “oleh” (door) notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (ambtelijke akten),

  • b.    Akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan “akta partij” (partij akten)18.

Pengertian akta relaas yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian dari notaris suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris, misalnya akta berita acara/risalah rapat RUPS suatu perseroan terbatas, akta pencatatan budel, dan lain-lain. Pengertian akta partij yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris memuat uraian dari apa yang diterangkan atau diceritakan oleh para pihak yang menghadap kepada notaris, misalnya perjanjian kredit dan sebagainya19.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Akta otentik penting bagi mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan usaha seperti akta mendirikan PT, Fa, perkumpulan perdata dan lain-lain20. Fungsi akta otentik dalam hal pembuktian tentunya diharapkan dapat menjelaskan secara lengkap dalam proses pembuktian dipersidangan, karena didalam proses peradilan berdasarkan hukum acara pidana terdapat proses pembuktian.

  • IV. PENYEBAB AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS BERAKIBAT BATAL DEMI HUKUM 4.1 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Kekuatan pembuktian akta otentik merupakan suatu keadaan menilai akta otentik sebagai suatu alat bukti. Dalam hal ini ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan ketika akta dibuat, aspek-aspek ini berkaitan dengan nilai pembuktian, yaitu21:

  • 1.    Lahiriah (uitwendige bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik,

  • 18G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hlm.51-52.

  • 19Alfi Renata, 2010, diakses dari: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1996 / akta-notaris, pada hari Sabtu, tanggal 20 September 2014, pukul 10.48 WITA.

  • 20R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.9.

  • 21Habib Adjie I, Op.Cit., hlm.26.

sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta oentik, yaitu tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta.

Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apanya. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke Pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta Notaris.

  • 2.    Formil (formele bewijskracht)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta Notaris. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/berita acara) dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak).

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris, juga harus membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan Notaris dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk

menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.

Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta Notaris jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan. Misalnya bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tidak pernah menandatangani akta Notaris tersebut. Jika hal ini terjadi maka yang bersangkutan atau penghadap tersebut dapat mengajukan gugatan terhadap Notaris ke pengadilan umum.

  • 3.    Materiil (materiele bewijskracht)

Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan Notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri, Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya menjadi bukti yang sah untuk/diantara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

Jika akan membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat) atau para pihak yang telah benar berkata dihadapan Notaris menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta Notaris.

Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

4.2. Penyebab Akta Otentik yang Dibuat   Dihadapan   Notaris

Berakibat Batal Demi Hukum


adalah melihat akta dilihat dari sudut pandang Pasal 1868 KUH Perdata. Pasal 1868 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat


Akta yang sering dibuat dihadapan notaridsimadaanla hakbtean dtuibkuaaktntayap”a.ra pihak atau disebut jug


kewajiban masing-masing pihak dalam suatu ikatan perjanjian. Perjanjian diatur didalam KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata yang dimaksud dengan Perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. “Freedom of contract is recognized also in the fact that many of the terms or obligations of the contract by which the parties are then bound are decided upon by the parties


Dalam pasal ini mengatur mengenai apakah suatu akta dapat dikatakan akta otentik atau hanya


bersifat sebagai akta dibawah tangan. syarat yang harus dipenuhi agar mewujudkan suatu akta otentik adalah berikut:

a. Bentuk akta otentik itu


ditentukan oleh artinya apabila ditentukan oleh


themselves22


.


(Kebebasan berkontrak


juga terletak pada fakta bahwa persetujuan-persetujuan dan aturan-


aturan yang mengikat pihak-pihak terkait pada awalnya ditentukan pihak-pihak itu sendiri).


yang oleh


Syarat-dapat sebagai


harus


undang-undang, bentuk tidak undang-undang,


maka salah satu unsur akta otentik itu tidak terpenuhi dan apabila tidak terpenuhi unsur dari padanya, maka tidak akan pernah ada yang disebut dengan akta otentik;


Pasal mengatur tidaknya


1320 KUH Perdata tentang syarat sah


yang atau


b. Dibuat umum. dengan Negara,


oleh atau dihadapan pejabat Adapun yang dimaksud pejabat umum adalah organ yang dilengkapi dengan


suatu perjanjian. Menurut


Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sah perjanjian sebagai berikut:

  • 1)    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

  • 2)    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  • 3)    Suatu hal tertentu;

  • 4)    Suatu sebab yang halal.

Syarat-syarat perjanjian pada angka dapat dinyatakan batal demi hukum. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Habib Adjie yang mengatakan bahwa: “Jika


kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti


tertulis dan otentik hukum perdata;

c. Pembuatan akta itu wilayah kewenangan


dalam


harus dari


dan


bidang


dalam pejabat


syarat objektif perjanjian batal tanpa perlu ada pihak, dengan


tidak dipenuhi, maka demi hukum (nietig), permintaan dari para demikian perjanjian


umum yang membuat akta itu, artinya

L 2 taidalkahboslyeahradtisbuubajtekotliefhdpimejaanbaatapyabnigla syarat tidak mempunyai kewenangan untuk itu dan ditempat itu.

Setelah memenuhi persyaratan pada

Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1868

KUH Perdata, kemudian suatu akta


dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun”23. Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum jika24:

  • (1)    tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan

  • (2)    mempunyai sebab yang terlarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Setelah melihat akta yang dibuat dihadapan notaris (partij akta) yang merupakan suatu perjanjian dari sudut pandang Pasal 1320 KUH Perdata yang bersifat paling umum, tahap kedua


dilihat dari sebagaimana Kedaulatan


sudut pandang


sejalan Hukum


dengan


UUJN teori


yang dijelaskan


diatas. UUJN merupakan undang-undang


tersendiri yang


khusus mengatur


mengenai jabatan dari seorang notaris. UUJN mengatur mengenai kewajiban, kewenangan serta larangan bagi seorang notaris.

Menurut Habib Adjie, yang termasuk akta notaris yang batal demi hukum, yaitu25:


1.


22Chris Turner, 2010, Unlocking Contract Law, 3rd Edition, Hodder Education, An Hachette UK Company, London, hlm.5.

23Habib Adjie I, Op.Cit., hlm.123.

24Habib Adjie I, Op.Cit., hlm.209.


2.


Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke Daftar Pusat Wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil).

Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k, yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat


25Habib Adjie I, Op.Cit., hlm.209-210.


lambing Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukannya.

  • 3.    Melanggar ketentuan Pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penterjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta dihadapan penghadap, notaris dan penterjemah resmi.

  • 4.    Melanggar ketentuan Pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris, atas perubahan atau penambahan berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian atau pencoretan.

  • 5.    Melanggar ketentuan Pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang dibuat tidak disisi kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.

  • 6.    Melanggar ketentuan Pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula dan jumlah kata, huruf atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.

  • 7.    Melanggar ketentuan Pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta.

Disamping memenuhi ketiga aturan hukum yaitu Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 1868 KUH Perdata dan UUJN, kekuatan suatu akta notaris adalah sempurna apabila telah memenuhi ketentuan yang tercantum pada Kode Etik Notaris serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan akta tersebut. Suatu akta yang memiliki kekuatan    pembuktian     sempurna

sebaiknya mentaati aturan-aturan dalam Kode Etik Notaris. Akta tersebut juga tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan terkait lainnya sehubungan dengan akta tersebut.

  • V. TANGGUNG   JAWAB   NOTARIS

TERHADAP AKTA OTENTIK YANG BERAKIBAT BATAL DEMI HUKUM PADA SAAT BERAKHIR MASA JABATANNYA

  • 5.1.    Bentuk Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Otentik yang Dibuatnya

Berkaitan dengan permasalahan mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum yang dibuatnya maka berdasarkan teori fautes personalles maka notaris bertanggung jawab secara perorangan (individu) atau pribadi terhadap akta yang dibuatnya. Tanggung jawab notaris lahir dari adanya kewajiban dan kewenangan yang diberikan kepadanya. Kewajiban dan kewenangan tersebut secara sah dan terikat mulai berlaku sejak notaris mengucapkan    sumpah   jabatannya

sebagai notaris. Sumpah yang telah diucapkan tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala tindakan notaris dalam menjalankan jabatannya. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya. Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi empat poin, yakni26:

  • 1.    Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya;

  • 2.    Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

  • 3.    Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UUJN) terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

  • 4.    Tanggung jawab notaris dalam menjalankan    tugas    jabatannya

berdasarkan kode etik notaris.

Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya dapat dilihat dari konstruksi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh notaris (Pasal 1365 KUH Perdata). Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya dapat dilihat dari adanya suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang notaris, meliputi: pemalsuan surat (Pasal 263 ayat (1) KUHP), pemalsuan dalam akta

  • 26Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia:   Perspektif

Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hlm.34.

otentik (Pasal 264 ayat (1) Angka 1 KUHP), pencantuman keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 ayat (1) KUHP. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UUJN) dalam akta yang dibuatnya dapat dilihat dari pelanggaran terhadap ketentuan Pasal dalam UUJN yang dilakukan oleh notaris. Tanggung jawab notaris terhadap kote etik notaris dapat dilihat dari adanya pelanggaran terhadap kode etik notaris sehingga dapat merusak citra, harkat dan martabat notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik.

  • 5.2. Tenggang Waktu Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Otentik yang Berakibat Batal Demi Hukum Pada Saat Berakhir Masa Jabatannya

Berdasarkan Teori Kewenangan, kewenangan dapat dikatakan sebagai kemampuan yang diberikan oleh peraturan  perundang-undangan untuk

menimbulkan akibat-akibat hukum. Notaris    memperoleh    kewenangan

sebagai pejabat umum secara atribusi karena wewenang notaris tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN itu sendiri. Wewenang secara atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum27. Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi28: a. Kewenangan umum notaris;

  • b.    Kewenangan khusus notaris;

  • c.    Kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian.

Untuk menentukan tenggang waktu seorang notaris harus bertanggung jawab atas akta yang dibuat dihadapan atau dibuat olehnya, maka harus dikaitkan dengan konsep notaris sebagai jabatan (ambt)29. Dalam Pasal 65 UUJN menyatakan sebagai berikut: “Notaris, Notaris    Pengganti    dan    Pejabat

Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap Akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris”. Pada ketentuan Pasal 65 UUJN tersebut dapat dilakukan    sebuah    teknik

interpretasi yaitu dengan memberikan penjelasan gamblang tentang teks

undang-undang tersebut, dimana bentuk interpretasi yang dipergunakan adalah interpretasi gramatikal. Interpretasi gramatikal ini memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan bahasa sehari-hari atau bahasa hukum.

Dengan menggunakan teknik analisis gramatikal pada ketentuan Pasal 65 UUJN tersebut diatas maka Pasal ini menimbulkan kerancuan karena pada kata “bertanggung jawab…meskipun…” seakan-akan memberikan pengertian bahwa notaris bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya seumur hidupnya. Pasal ini memberikan pula suatu pengertian bahwa seorang notaris tidak mempunyai batasan dalam mempertanggungjawabkan akta yang dibuatnya, sehingga notaris dapat dimintakan tanggung jawabnya sewaktu-waktu hingga notaris tersebut meninggal dunia. Hal ini adalah sesuatu yang tidak adil, mengingat notaris merupakan seorang manusia dan memiliki keterbatasan dari faktor usia maupun kesehatannya. Sesuatu yang tidak adil pula dilakukan, apabila pada usia notaris yang telah terlalu senja namun ia tetap dimintakan tanggung jawabnya karena adanya suatu gugatan dari para pihak yang merasa dirugikan karena akta yang dibuat notaris tersebut.

Untuk dapat mengetahui sampai kapan suatu akta otentik batal demi hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh para pihak yang merasa dirugikan maka dapat dilihat dari daluwarsa akta tersebut. Pengertian mengenai daluwarsa (verjaring) diatur dalam Pasal 1946 KUH Perdata yaitu sebagai berikut: “Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang”. Kemudian pada Pasal 1947 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Tak diperkenankan seorang melepaskan daluwarsa, sebelum tiba waktunya, namun bolehlah ia melepaskan suatu daluwarsa yang sudah diperolehnya”.

Pasal 1967 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk”. Daluwarsa akta terhitung sejak tanggal akta tersebut dibuat.

  • VI. PENUTUP

  • 6.    1 Simpulan

  • 1.    Penyebab suatu akta otentik yang dibuat dihadapan notaris berakibat batal demi hukum dapat ditinjau berdasarkan 3 (tiga) ketentuan baik dalam KUH Perdata maupun UUJN. Ketentuan yang dimaksud antara lain: pertama, Pasal 1320 KUH Perdata (tentang syarat sahnya perjanjian) dimana apabila tidak ada suatu objek tertentu dan tidak ada sebab yang halal dalam suatu perjanjian maka berakibat batal demi hukum. Kedua, berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata (keotentikan akta) yaitu suatu akta notaris tidak dapat dikatakan sebagai suatu akta otentik apabila tidak memenuhi persyaratan pada Pasal 1868 KUH Perdata tersebut. Ketiga, berdasarkan ketentuan Pasal dalam UUJN khususnya pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf I, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 UUJN. Selain ketiga ketentuan tersebut, suatu akta juga tidak boleh bertentangan dengan Kode Etik Notaris dan peraturan perundang-undangan terkait akta tersebut. Suatu akta otentik yang dibuat dihadapan notaris adalah sempurna apabila telah memenuhi ketentuan tersebut diatas, namun apabila tidak memenuhinya maka akta tersebut berakibat batal demi hukum.

  • 2.    Notaris bertanggung jawab terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya. Notaris merupakan sebuah jabatan dan kewenangan seorang notaris berdasarkan jabatan yang

diembannya tersebut. Apabila masa jabatan notaris berakhir, maka berakhir  pula

kewenangan dan tanggung jawab notaris terhadap akta-akta yang dibuatnya  tidak

terkecuali akta yang dibuatnya tersebut adalah batal demi hukum. Seorang notaris yang telah berakhir masa jabatannya dapat dimintakan tanggung jawab apabila akta otentik tersebut telah terbukti berakibat batal demi hukum dan belum daluwarsa. Hal ini tidak berarti notaris tersebut dapat dimintakan tanggung jawabnya

sewaktu-waktu tetapi karena pengajuan gugatan terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum tidak boleh lebih dari tiga puluh tahun terhitung sejak akta tersebut dibuat. Apabila dalam hal notaris bertanggung jawab terhadap akta otentik yang berakibat batal demi hukum tersebut, maka berdasarkan teori fautes personalles, notaris bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatannya. Bentuk tanggung jawab notaris ada 4 (empat) yaitu: tanggung jawab secara perdata, tanggung jawab pidana, tanggung jawab berdasarkan UUJN dan tanggung jawab berdasarkan kode etik notaris.

  • 6.2 Saran

  • 1.    Kepada Pemerintah

Dalam rangka menjamin kepastian hukum dalam bidang ilmu kenotariatan, agar dibuat peraturan perundang-undangan yang jelas dan tepat sehingga tidak menimbulkan penafsiran-penafsiran. Diharapkan ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab notaris pada saat berakhir masa jabatannya menjadi lebih jelas dan tidak menimbulkan permasalahan yang merugikan baik bagi pihak notaris maupun pihak penghadap dikemudian hari.

  • 2.    Kepada Notaris

Untuk menjaga keluhuran dan martabat notaris, diharapkan agar notaris menjalankan tugas dan jabatannya sesuai dengan ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris sehingga mampu memberikan pelayanan dan kenyamanan kepada setiap penghadap yang meminta dibuatkan akta otentik. Diharapkan pula notaris teliti, cermat dan tepat tidak hanya dalam teknik membuat akta tetapi juga penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta untuk para penghadap serta kemampuan menguasai keilmuan dibidang notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

  • I.    Buku-Buku:

Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung.

______, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung

Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Ghofur, Abdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta

Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang.

Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Pandu, Yudha, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jabatan Notaris dan PPAT, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta.

Ridwan., H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Salim, H.S., 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

Saputro, Anke Dwi, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, Gramedia Pustaka, Jakarta.

Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Surabaya.

Sunggono, Bambang, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Tobing, G.H.S. Lumban, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.

Turner, Chris, 2010, Unlocking Contract Law, 3rd Edition, Hodder Education, An Hachette UK Company, London.

  • II.    Artikel Internet:

Anonim, 201 1, diakses dari:  http://hasyimsoska.blogspot.com/201 1/06/ akta-

notaris.html, pada hari Sabtu, tanggal 20 September 2014, pukul 1 1.24 WITA.

Alfi Renata, 2010, diakses dari: http://www.hukumonline.com/klinik/ detail/cl1996/akta-notaris, pada hari Sabtu, tanggal 20 September 2014, pukul 10.48 WITA.

Widhi Yuliawan, 2013, diakses dari: http://widhiyuliawan.blogspot.com/ 2013/04/akta-kelahiran.html, pada hari Selasa, tanggal 16 September 2014, pukul 14.44 WITA.

Anonim, (tanpa tahun), diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris, pada hari Sabtu, tanggal 13 September 2014, pukul 12.16 WITA

Andi     Asrianti,     2013,     Teori     Kewenangan,     diakses     dari:     URL:http://andi-

asrianti.blogspot.com/2013/02/normal-0-false-false-false-en-us-zh-cn.html,  pada hari Rabu,

tanggal 19 Februari 2014, pukul 14.05 WITA.

Muntasir Syukri, (tanpa tahun), Keadilan dalam Sorotan, diakses dari: URL:http://badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20KEADILAN%20DALAM%20SOROTA N%20(1).pdf, pada hari Rabu, tanggal 15 Januari 2014, pukul 10.00 WITA.

  • III.    Peraturan Perundang-undangan:

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 177, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4432)

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)

Kode Etik Notaris

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

257