Acta Comitas (2017) 2 : 219 – 227 ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

KEWENANGAN NOTARIS DI BIDANG CYBER NOTARY BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

Oleh :

Dewa Ayu Widya Sari*, R.A. Retno Murni**, I Made Udiana*** Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana e-mail: dewaayuwidyasari@ymail. com

ABSTRACT

A UTHORITY OF NOTARIES IN CYBER NOTARY

UNDER ARTICLE 15 POINT (3) OF LAW NUMBER 2 OF 2014

ON AMENDMENT TO LAW NUMBER 30 OF 2004

ON THE POSITION NOTARY

Based on the descriptions of Article 15 point (3) of Law No. 2 of 2014 on the Amendment of Law No. 30 of 2004 on Positions of Notaries Public it is state that the Notary has the authority to certify the electronic transaction (cyber Notary). However, until today there still exists legal void regarding technical implementation rule regulating the authority of notaries. Based on this background the issue herein raised is how electronic transaction made by notaries will be done? and how will electronic transactions be done by the parties domiciled outside the jurisdiction of the notaries practicing regions?

This research was classified into normative legal research with approached by conceptual and statute approach. The legal material of this research were based on primary, secondary and tertiary legal materials. The legal materials was be descripted henceforth to interpreted, constructed, systematization, analysed, evaluated, and also given argument to get conclusion of the problems.

Based on study conducted, the solution can be found, First, that based on the theories of legal certainty, progressive law and state legal concept the creation of electronic transaction by notaries may be conducted video conference. The creation of electronic transactions by notaries public is similar to de process of creating conventional notarized deeds, whereby after the draft is prepared, the content will be read out by the notary public to be signed later by the parties. The signing parties will be able to see and read the draft on the computer screen or the electronic medium in use. And after the parties approve the content, the notary public will ask the first party to sign the deed using the digital signature. The notary public then verifies the signature and until all the parties affix their electronic signature upon the deed. Second, based on the concept of legal state, theory of authority, theory of norm classification and principle of preference, notaries will be able to draw up electronic transaction of the parties whose domicile in outside practicing area of the notaries.

Key Words : cyber notary, electronic transactions, notarie’s practicing areas Mahasiswa Program Magister Kenotariatan T.A. 2014/2015

**Pembimbing I

***Pembimbing III

  • I.    Pendahuluan

    1.1. Latar Belakang Masalah

Globalisasi     sebagai     sebuah

keharusan sejarah yang tak dapat dihindari    oleh     siapapun    telah

memberikan dampak yang sangat besar dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia. Dampak nyata globalisasi tersebut tidak hanya dapat dilihat dalam bidang sosial budaya dan ekonomi, tetapi juga di bidang hukum tidak terkecuali dalam bidang hukum kenotariatan yaitu ditandai dengan adanya ketentuan yang menyebutkan

secara eksplisit bahwa seorang Notaris memiliki kewenangan di bidang Cyber Notary.

Kemajuan teknologi informasi membawa dampak positif bagi peningkatan perekonomian suatu bangsa. Transaksi elektronik adalah salah satu bukti dari kemajuan teknologi informasi yang sangat dirasakan oleh masyarakat. Peran notaris dituntut untuk bisa turut serta dalam perkembangan teknologi dan informasi tersebut, karena di dalam suatu transaksi elektronik tersebut

sangat dimungkinkan adanya campur tangan notaris sebagai pihak ketiga yang dipercaya layaknya peran notaris dalam transaksi konvensional. Sangat tidak tepat apabila notaris masih menggunakan cara konvensional dalam pelayanan jasa di bidang transaksi elektronik, karena kecepatan, ketepatan waktu dan efesiensi sangatlah dibutuhkan oleh para pihak. Perkembangan fungsi dan peran notaris dalam suatu transaksi elektronik tersebut kemudian dipopulerkan dengan istilah Cyber Notary.1 Notaris dituntut untuk bisa dan mampu menggunakan konsep cyber notary agar tercipta suatu pelayanan jasa yang cepat, tepat dan efesien, sehingga mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.2

Kewenangan notaris dalam bidang Cyber Notary secara eksplisit disebut dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (Cyber Notary), membuat akta, ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.” Berdasarkan penjelasan Pasal 15 ayat (3) tersebut dapat diketahui bahwa Notaris memiliki kewenangan lain salah satunya adalah kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary). Konsep cyber notary ingin memberi bingkai hukum yaitu agar tindakan menghadap para pihak atau penghadap di hadapan notaris dan notarisnya tidak lagi harus bertemu secara fisik (face to face) di suatu tempat tertentu, dalam hal ini bisa saja para pihak berada di suatu tempat yang berbeda dengan tempat kedudukan atau wilayah jabatan notaris, di sisi lain para pihak berada pada tempat yang berbeda pula.3 Hadirnya kewenangan notaris dibidang cyber notary dapat dipandang sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan teknologi saat ini.

Dilihat dari segi filosofisnya transaksi elektronik bukan lagi merupakan sesuatu yang bersifat konvensional yang mana dapat dilakukan dimana saja tidak menutup

kemungkinan bersifat lintas batas negara sebagaimana halnya dalam penjelasan pasal 2 UU ITE tersebut diterangkan bahwa jangkauan UU ITE tidak mengenal batas teritorial mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas territorial atau universal. Namun di sisi lain notaris memiliki apa yang disebut sebagai wilayah jabatan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUJN yang menyatakan bahwa:

  • (1)    Notaris    mempunyai    tempat

kedudukan di daerah Kabupaten atau Kota

  • (2)    Notaris    mempunyai    wilayah

jabatan meliputi seluruh wilayah Provinsi        dari        tempat

kedudukannya.

Selanjutnya dalam Pasal 17 huruf a UUJN diatur bahwa Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Dalam penjelasan pasal 17 huruf a tersebut menyatakan bahwa larangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar notaris dalam menjalankan jabatannya. Artinya bahwa notaris hanya memiliki kewenangan atas perbuatan hukum yang dilakukan dalam wilayah kerjanya, yang meliputi seluruh provinsi di tempat kedudukan notaris yang bersangkutan.4 Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan    mengenai    kompetensi

Notaris       dalam       menjalankan

kewenangannya di bidang cyber notaryatas transaksi elektronik yang dilakukan oleh para pihak yang berada di luar wilayah jabatan notaris.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka adapun Rumusan Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  • 1    . Bagaimana pembuatan akta oleh notaris atas transaksi elektronik dilakukan?

  • 2.    Apakah notaris berwenang membuat akta atas transaksi elektronik yang dilangsungkan oleh para pihak yang berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris?

  • 4Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., 2011, Adakah Pembatasan Wilayah Notaris Terkait Pembuatan Akta Pendirian PT, di akses pada tanggal 01 September 2016, diunduh dari URL                                  :

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4eeeb3c 0a2d8/adakah-pembatasan-wilayah-notaris-terkait-pembuatan-akta-pendirian-pt.

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

    • 1.3.1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian atas beberapa permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum khususnya di bidang kenotariatan terkait kewenangan notaris di bidang Cyber Notary yang baru diatur sejak diundangkannya UUJN.

  • 1.3.2. Tujuan Khusus

Sehubungan dengan tujuan umum maka adapun tujuan khusus yang ingin dicapai lebih lanjut dalam penelitian ini adalah

  • 1.    Untuk mengetahui bagaimana pembuatan akta notaris atas transaksi elektronik dilakukan.

  • 2.    Untuk mengetahui apakah notaris berwenang membuat akta atas transaksi      elektronik      yang

dilangsungkan oleh para pihak yang berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris

  • 1.4.    Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk perkembangan ilmu hukum dan manfaat bagi kepentingan praktik.

  • 1.5.    Landasan Teoritis.

Adapun landasan teoritis yang digunakan sebagai pisau analisis untuk membahas    permasalahan    dalam

penelitian ini adalah:

  • 1.5.1.    Konsep Negara Hukum

Unsur-unsur minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum berdasarkan pandangan Bagir Manan adalah sebagai berikut:5

  • a.    Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;

  • b.    Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;

  • c.    Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap    masyarakat    (badan

peradilan yang bebas);

  • d.    Ada pembagian kekuasaan.

  • 1.5.2. Teori Wewenang

Dari perspektif hukum administrasi negara, ada tiga sumber untuk memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat.

  • 1.5.3.    Teori Kepastian Hukum

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :6

  • 1.    Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

  • 2.    Peraturan tersebut diumumkan kepada public;

  • 3.    Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

  • 4.    Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

  • 5.    Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

  • 6.    Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;

  • 7.    Tidak boleh sering diubah-ubah;

  • 8.    Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

  • 1.5.4.    Teori Hukum Progresif

Menurut teori hukum progresif proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan tetapi pada kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan meakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan.7

  • 1.5.5.    Teori Penjenjangan Norma

Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu:. 8

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)

  • 6Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,hal. 91-92

  • 7 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan The Asia Foundation, hal.5

  • 8Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, ,Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 44-45.

Kelompok II : Staatsgerundgesetz (aturan         dasar

Negara/aturan Pokok Negara)

Kelompok III : Formell      Gesetz

(undang-undang formal)

Kelompok IV :    Verordnung    &

Autonome Satzung (Aturan    pelaksana

dan aturan otonom).

  • 1.5.6.    Asas Preferensi

Terdapat 3 asas (adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dikenal sebagai asas preferensi, yaitu:

  • 1.    Asas  lex  superior  derogat  legi

inferiori,

Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan     dengan     peraturan

perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi yang mengatur materi normative yang sama. Jika terjadi pertentangan,      maka      peraturan

perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah, dank arena adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan maka hal demikian berlaku asas lex superior derogate legi inferiori.9

  • 2.    Asas lex posteriori derogate legi priori

Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur materi normatif yang sama. Kalau diundangkan peraturan perundang-undangan yang baru dengan tidak mencabut     peraturan     perundang-

undangan yang lama yang mengatur materi normatif yang sama sedangkan kedua-duanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama, hal demikian berlaku asas lex posteriori derogate legi priori. 10 3. Asas lex specialis derogate legi generali

Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus,    sedangkan    kedua-duanya

mengatur materi normatif yang sama.

Jika terjadi demikian maka peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus     akan    mengesampingkan

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, hal demikian akan berlaku asas lex specialis derogate legi generali. 11

  • II.    Metode Penelitian

    • 2.1.    Jenis Penelitian

Menurut H.L.Manheim, penelitian pada dasarnya adalah usaha secara hati-hati dan cermat menyelidiki berdasarkan pengetahuan yang dimiliki subjek ke dalam cara berfikir ilmiah12Adapun jenis penelitaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

  • 2.2.    Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah dengan    menggunakan   pendekatan

perundang-undangan    (The    Statute

Approach) dan pendekatan analisis konsep    hukum    (Analitical and

Conceptual Approach).

  • 2.3.    Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

  • 2.4.    Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini dilakukan melalui studi pustaka yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum yang diperoleh kemudian     dikumpulkan     dengan

menggunakan sistem kartu (card sistem).

  • 2.5.    Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan kedua pokok permasalahan yang akan diteliti selanjutnya dibahas melalui beberapa teknik analisis yaitu teknik      deskripsi,       interpretasi,

konstruksi, sistematisasi, evaluasi, dan argumentasi.

  • III.    Konsep Cyber Notary Di Indonesia 3.1. Peluang Pembuatan Akta Notaris atas Transaksi Elektronik di Indonesia

Konsep cyber notary dapat dimaknai    sebagai notaris    yang

menjalankan tugas atau kewenangannya berbasis teknologi informasi   yang

berkaitan dengan tugas dan fungsi notaris, khususnya dalam pembuatan akta atau secara sederhana konsep cyber

  • 11Kusnu Goesniadhie, Op.Cit. h. 37

  • 12Soerjono     Soekanto,     1986,

Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, hal. 9.

notary ingin memberi bingkai hukum yaitu agar tindakan menghadap para pihak atau penghadap di hadapan notaris dan notarisnya tidak lagi harus bertemu secara fisik (face to face) di suatu tempat tertentu.13

Mengamati perkembangan cyber notary, beberapa negara seperti Virginia dan Montana telah memberdayakan fungsi dan peran notarisnya dalam transaksi      elektronik.      Berbagai

keunggulan atas kecanggihan teknologi tersebut tidak lantas membuat notaris di Indonesia dapat menerapkan konsep cyber notary untuk semua transaksi yang dilakukan secara elektronik. Apabila ditelusuri terdapat beberapa ketentuan yang membatasi penerapan konsep cyber notary dalam transaksi elektronik,      diantaranya     adalah

ketentuan pasal 5 ayat (4) UU ITE, adapun selengkapnya bunyi ketentuan dari Pasal 5 UU ITE adalah sebagai berikut:

Pasal 5 :

  • (1)    Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

  • (2)    Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana di maksud pda ayat (1) merupakan perluasan darialat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

  • (3)    Informasi elektronik dan/atau Dokumen  elektronik  dinyatakan

sah apabila menggunakan sistem elektronik     sesuai     dengan

ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

  • (4)    Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :

  • (a)    Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan

  • (b)    Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris atau akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (4) huruf a dan b UUJN disebutkan bahwa kekuatan sebagai alat bukti yang sah dikecualikan atas surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta

dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris atau akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dari penggalan bunyi pasal tersebut terkesan bahwa seluruh akta yang dibuat oleh notaris yang dibuat dalam bentuk Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya bukan merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal ini tentu dirasa tidak adil, mengingat kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini yang tentunya juga menuntut perkembangan kewenangan notaris unuk menjawab kebutuhan masyarakat akan jasa notaris.

Berdasarkan teori hukum progresif perubahan dapat dilakukan dengan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan.14 Pemaknaan atas ketentuan pasal tersebut harus dilakukan secara luwes sehingga diperoleh makna yang lebih fleksibel. Bunyi Pasal 5 ayat (4) UU ITE setidaknya dapat dimaknai bahwa akta yang dibuat oleh notaris yang dibuat dalam bentuk dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah namun sifatnya terbatas yaitu hanya untuk perbuatan hukum yang menurut undang-undang tidak diwajibkan dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebagai contoh Pasal 77 ayat 1 undang-undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebuut UUPT) menyatakan bahwa selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud Pasal 76 RUPS dapat juga dilakukan RUPS melalui media telekonferesi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung, serta berpartisipasi dalam rapat. Jika RUPS dilakukan melalui media elektronik maka tidak menutup kemungkinan apabila notaris membuatkan akta risalah RUPS dalam bentuk elektronik juga. Dengan demikian UUPT telah memberi peluang kepada notaris di Indonesia untuk memberikan penyelenggaraan jasa secara elektronik dalam pembuatan akta risalah rapat umum pemegang saham. Namun demikian tidak semua mata acara RUPS yang dilakukan secara elektronik dapat dituangkan dalam akta elektronik karena ada jenis berita acara yang oleh ketentuan undang-undang

  • 14Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, loc.cit.

wajib dituangkan dalam bentuk akta notarial, yaitu RUPS terkait perubahan anggaran dasar perseroan. Pembatasan penuangan RUPS dalam bentuk akta notarial hanya khusus untuk RUPS tentang perubahan anggaran dasar, sehingga jika diintpretasikan bahwa RUPS dengan mata acara di luar perubahan anggaran dasar yang dilakukan dengan media teleconference dapat dituangkan dalam bentuk akta elektronik, misalnya RUPS dengan mata acara perubahan susunan nama dan jabatan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris,     perubahan     susunan

pemegang      saham,      pemberian

persetujuan pemegang saham atas tindakan Direksi dan mata acara lain yang tidak merupakan bagian dari perubahan anggaran dasar perseroan.

  • 3.2. Kekosongan Norma Pengaturan Pembuatan Akta Notaris atas suatu Transaksi Elektronik

Hingga saat ini belum ada pengaturan secara khusus tentang mekanisme pembuatan akta oleh notars atas suatu transaksi elektronik, sehingga perlu dilakukan pendekatan konseptual     mengenai     transaksi

elektronik dalam kaitannya dengan kewenangan notaris di bidang cyber notary.

Proses pembuatan akta otentik yang dilakukan secara online atau hanya melalui dunia maya tanpa harus bertemu secara langsung antara para pihak, namun tentunya harus ditunjang dengan fasilitas    penggunaan    kecanggihan

teknologi    seperti    sarana video

konferensi yang memungkinkan akta dibacakan oleh notaris melalui media dengan didengar dan disaksikan oleh para pihak secara online.15

PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk bekerjasama dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyediakan pelayanan jasa yang berguna untuk memudahkan notaris dalam melakukan pelayanan    jasa,     yatu     adanya

Certification    Authority         (CA)

merupakan lembaga yang memfasilitasi para pihak dalam transaksi elektronik, tetapi dalam hal ini CA tidak dapat menggantikan posisi notaris dalam pembuatan akta otentik, meskipun dalam bentuk elektronik karena tanpa adanya legitimasi dar notaris. 16 Proses pembuatan akta oleh notaris atas suatu transaksi elektronik umumnya adalah sebagai berikut:

  • 1.    Subscriber membuat pasangan kunci public dan kunci privat dengan menemui CA, dimana subscriber memberikan bukti identitas atas dirinya.

  • 2.    CA     akan     memberitahukan

subscriber apabila sertifikat siap untuk    diterbitkan,    hal    ini

dimaksudkkan agar subscriber memperoleh kesempatan untuk memeriksa kembali isi sertifikat tersebut sebelum dipublikasikan, hal ini penting karena subscriber akan terikat dengan setiap komunikasi  yang ditandatangani

secara digital dengan kunci privat yang akan  berhubungan dengan

kunci public yang ada pada sertifikat dan bertnggungjawab untuk kesalahan interpretasi dengan CA. Apabila subscriber telah memeriksa sertifikat tersebut dan isinya sudah benar maka sertifikat tersebut        sudah        dapat

dipbublikasikan.           Sertifikat

dipublikasikan dengan cara direkam dalam repository/ penyimpanan atau disebar dengan cara lain dengan tujuan agar sertifikat tersebut dapat diakses oleh setiap orang yang ingin    berkomunikasi    dengan

subscriber. Repository    dikelola

oleh CA dan memiliki fungsi yang sama dengan yellow pages digital dimana merupakan basis data sertifikat-sertifikat yang dapat diakses online dan dapat diakses oleh siapapun

  • 3.    Untuk proses pembuatan akta oleh notaris secara elektronik prosesnya hampir sama dengan pembuatan akta konvensional, dimana setelah draft akta disiapkan dilakukan pembacaan isi akta yang akan di tandatangan kepada para pihak, para pihak pun dapat melihat dan membaca draft akta yang dimaksud pada layar komputer atau media elektronik yang dipergunakan. Apabila terdapat penambahan atau koreksi atas draft akta akan langsung dilakukan pada saat penandatanganan. Setelah para para pihak menyetujui isinya maka notaris akan mempersilahkan para pihak untuk menandatangani akta tersebut dengan menggunakan tanda tangan      digital     yang berarti

menerapkan      kunci      privat

penandatangan ke dalam akta, kemudian notaris memverifikasi tanda tangan tersebut dengan kunci

publik yang merupakan pasangan kunci privat dari penandatangan.

  • IV.    Yurisdiksi Kewenangan Notaris Dalam   Pembuatan   Aktaatas

Transaksi Elektronik

  • 4.1.    Yurisdiksi Kewenangan Notaris dalam    kaitannya    dengan

Transaksi Elektronik yang dilakukan di Luar Wilayah Jabatan Notaris

Konflik norma terjadi apabila norma dari suatu peraturan bertentangan dengan norma pada peraturan lainnya seperti halnya yang saat ini terjadi yaitu adanya konflik norma     mengenai

wilayah jabatan notaris dalam kaitannya dengan kewenangan notaris di bidang cyber notary (pembuatan akta atas suatu transaksi elektronik), Konflik norma ini dapat ditemukan dalam Pasal 2 UU ITE yang menyebutkan bahwa transaksi elektronik dapat bersifat lintas territorial, tidak dibatasi oleh ruang (borderless) sehingga dapat dilakukan dimana saja. Dalam kaitannya dengan kewenangan notaris di bidang cyber notary    hal    ini    menimbulkan

permasalahan jika dihadapkan dengan Pasal 17 huruf a dan Pasal 18 UUJN dimana   notaris memiliki apa yang

disebut sebagai wilayah jabatan notaris. Adapun Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa :

  • (1)    Notaris    mempunyai    tempat

kedudukan di daerah Kabupaten atau Kota

  • (2)    Notaris    mempunyai    wilayah

jabatan meliputi seluruh wilayah Provinsi        dari        tempat

kedudukannya.

Selanjutnya dalam Pasal 17 huruf a UUJN diatur bahwa Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Dalam penjelasan pasal 17 huruf a tersebut menyatakan bahwa larangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar notaris dalam menjalankan jabatannya. Artinya bahwa notaris hanya memiliki kewenangan atas perbuatan hukum yang dilakukan dalam wilayah kerjanya, yang meliputi seluruh provinsi di tempat kedudukan notaris yang bersangkutan. 17 Dari uraian ketentuan tersebut dapat dilihat adanya pertentangan norma, di satu sisi UU ITE tidak membatasi wilayah untuk dapat dilakukannya transaksi elektronik dan di sisi lain

UUJN mengatur pembatasan wilayah jabatan notaris.

Melihat pada jenis peraturan perundang-undangan yang mengalami konflik norma maka dapat disimpulkan telah terjadi konflik norma yang bersifat horizontal. Berdasarkan jenis pertentangan perundang-undangan yang terjadi maka adapun asas yang dapat digunakan untuk menentukan peraturan perundang-undangan mana yang berlaku adalah asas lex specialis derogat legi generali, yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang lebih khusus melumpuhkan peraturan yang umum. Dengan diberlakukannya asas ini maka ketentuan yang berlaku dari adanya konflik norma yang sedang berlangsung adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan yang lebih khusus yaitu UU ITE, dengan berlakunya substansi dari peraturan perundang-undangan trsebut maka notaris dapat membuatkan akta terhadap transaksi elektronik yang dilakukan di luar wilayah jabatan notaris.

  • 4.2.    Kedudukan Akta Notaris yang dibuat      atas      Transaksi

Elektronik yang dilangsungkan di luar Wilayah Jabatan Notaris.

Telah terjadi pertentangan antara UU ITE dan UUJN dmana dalam UU ITE tidak mengenal adanya batas teritoral atas suatu transaksi elektronik dimana transaksi elektronik dapat dilakukan di mana saja, sementara UUJN membatasi territorial kewenangan notaris yaitu hanya sebatas satu provinsi dari tempat kedudukannya. Jika digunakan asas lex specialis derogate legi generali terhadap pertentangan kedua peraturan perundang-undangan tersebut    maka yang menjadi lex

generalisnya adalah Pasal 17 huruf a jo. Pasal 18 UUJN, sedangkan lex specialisnya adalah pasal 2 UU ITE beserta penjelasannya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembuatan akta elektronik oleh notaris tidak terikat oleh wilayah jabatan notaris sebagaimana diuraikan dalam Pasal 17 huruf a jo Pasal 18 UUJN, sehingga kedudukan hukum dari akta yang dibuat notaris atas transaksi elektronik yang dilakukan di luar wilayah jabatan notaris sama dengan akta yang dibuat oleh notaris atas transaksi elektronik yang dilakukan di dalam wilayah jabatan notaris

  • V.    Penutup

    • 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik terhadap kedua permasalahan yang di bahas adalah:

  • 1.    Bahwa pembuatan akta notaris atas transaksi    elektronik    dilakukan

dengan menggunakan bantuan media video conference. Proses pembuatan akta oleh notaris atas suatu transaksi elektronik hampir sama dengan pembuatan    akta    konvensional,

dimana setelah draft akta disiapkan, notaris akan membacakan isi akta yang akan di tandatangan oleh para pihak, para pihak pun dapat melihat dan membaca draft yang dimaksud pada layar komputer atau media elektronik    yang    dipergunakan.

Setelah para para pihak menyetujui isinya     maka     notaris     akan

mempersilahkan pihak pertama untuk menandatangani akta tersebut dengan menggunakan tanda  tangan digital,

kemudian notaris memverifikasi tanda tangan tersebut dan seterusnya sampai seluruh pihak membubuhkan tanda tangan elektroniknya pada akta yang bersangkutan.

  • 2.    Bahwa konflik norma yang terjadi bersifat     horizontal     sehingga

dipergunakan asas lex specialis derogate legi generali dimana yang menjadi lex generalisnya adalah Pasal 17 huruf a jo. Pasal 18 UUJN, sedangkan lex specialisnya adalah pasal    2    UU    ITE    beserta

penjelasannya, sehingga notaris dapat membuat akta terhadap transaksi elektronik yang para pihaknya berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris.

  • 5.2.    Saran

Beberapa saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan hasil pembahasan      terhadap      kedua

permasalahan yang dikaji dalam tesis ini adalah:.

  • 1.    Hendaknya pemerintah Indonesia dengan tegas segera membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut mengenai kewenangan notaris di bidang Cyber Notary agar para notaris dalam menjalankan tugasnya mempunyai suatu aturan hukum yang jelas, sehingga notaris tidak ragu lagi dalam     mengambil     keputusan

khususnya dalam menyikapi konsep cyber    notary    dalam    sistem

penyelenggaraan jasa di bidang kenotariatan di Indonesia.

  • 2.    Agar segera dilakukan harmonisasi atas konflik norma yang terjadi antara UUJN dan UU ITE khususnya terkait yurisdiksi kewenangan notaris dalam pembuatan akta atas suatu transaksi       elektronik      yang

berlangsung,    dimana    larangan

menjalankan  kewenangan  di luar

wilayah jabatan notaris dikecualikan terhadap pembuatan akta atas transaksi elektronik.

DAFTAR PUSTAKA

1.    BUKU

Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia (tafsir tematik terhadap Undang-Undang No.30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung.

Andasasmita, Komar, 1983, Notaris Selayang Pandang, Alumni, Bandung.

Chissick, Michael dan Alistair Kellman, 2004, E-Commerce :Law and Practice, Sweet W. Maxwell, London.

Hadjon, Philipus M. ,2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Makarim, Edmon, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

_________, 2010, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, Rajawali Pers, Jakarta.

Nurita, R.A. Emma, 2012, Cyber Notary, Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, Refika Aditama, Bandung

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan The Asia Foundation.

Soerjono Soekanto, 1 986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta

Smith, Leslie G., 2006, The Role of the Notary in Secure Electronic Commerce,

Information Security Institute Faculty of Information, Quensland University of Technology

Tobing, G.H.S. Lumban, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.

  • 2.    Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1 17)

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106)

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 1 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58)

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3)

Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 189)

  • 3.    Kamus

Echols, John M. dan Hassan Shadily, 2012, Kamus Hukum Inggris Indonesia, Gramedia Utama, Jakarta.

  • 4.    Website

Brian Amy Prastyo, Peluang dan Tantangan Cyber Notary di Indonesia, http://staff.blog.ui.ac.id/         brian.amy/2009/1 1/29/peluang-cyber-notary-di-

indonesia/, terakhir diakses tanggal 12 Juni 2014.

Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., 2011, Adakah Pembatasan Wilayah Notaris Terkait Pembuatan Akta Pendirian PT, di akses pada tanggal 01 September 2016, diunduh dari URL : http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4eeeb3c0a2d8/adakah-pembatasan-wilayah-notaris-terkait-pembuatan-akta-pendirian-pt

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

227