Acta Comitas (2017) 2 : 201 – 212

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

STATUS DAN KEDUDUKAN LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) TERKAIT PENGIKATAN JAMINAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Oleh :

Ni Made Devi Jayanthi*, I Gusti Ngurah Wairocana**, I Wayan Wiryawan** Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

Email : [email protected]

ABSTRACT :

STATUS AND LEGAL STANDING OF LPD IN A CREDIT GUARANTEE IN RELATION TO THE ENACTMENT OF LA W NO. 1 YEAR 2013 REGARDING MICRO FINANCIAL INSTITUTION.

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) is a financial institution owned by desa pakraman which has special characteristics. The said special characteristic, specifically located on the obligations of LPD to desa pakraman which has a physical nature/sekala and also a non-physical nature/niskala. These caused our central government to grant exclusion on the existence of LPD it self in Law No. 1 Year 2013 regarding Micro Financial Institution.

The type of this research is an applied normative legal research by tracing documents as primary legal materials. This research used statue and conceptual approaches.

LPD is only exist in Bali, therefore, LPD is only become a legal subject to Adat Law in Bali. The said exclusion has raised a confusion since all this time the legal status and standing of LPD in every regulation is considered equal to a regular Financial Institution. Therefore, in order to legally bind a guarantee in a credit transaction it must always refer to the legislation in accordance with our positive law.

Keywords : Financial Institution, Adat Law, Legal Entity, Guarantee Agreement

Keywords: Financial Institution, Adat Law, Legal Entity, Guarantee Agreement *Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A 2014/2015 **Pembimbing I ***Pembimbing II

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang mengecualikan keberadaan LPD dalam Pasal 39 ayat (3) menimbulkan perdebatan. Posisi LPD dan lembaga keuangan sejenis, misalnya, Lumbung Pitih Nagari di Sumatera Selatan, dianggap tidak termasuk dalam Lembaga Keuangan Mikro dan dibebaskan dari segala aturan yang mengikat Lembaga Keuangan Mikro serta dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat. LPD hanya terdapat di Bali, untuk itu LPD hanya tunduk pada hukum adat yang di Bali, pengaturan tentang LPD ini wajib terdapat dalam awig-awig pada masing-masing desa pakraman.

LPD tidak lagi tepat apabila dipersamakan dengan BPR, Koperasi, atau Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan,

Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), dan Gubernur Bank Indonesia: Nomor 351.1/KMK.010/2009; Nomor 900-636 A Tahun 2009; Nomor 01/SKB/M.KUMK/IX/2009; Nomor 11/43A/KEP.GBI/2009 tertanggal 7 September 2009 tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LPD yang disebut sebagai badan usaha keuangan milik desa sesuai ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa juga masih diperdebatkan. Hal ini pun menimbulkan kerancuan karena meskipun memiliki ciri dan lapangan usaha yang serupa dengan lembaga keuangan yang ada di Indonesia, terutama dalam melakukan fungsi intermediasi (menghimpun dana dan menyalurkan kredit kepada krama desa

pakraman), LPD memiliki karakteristik yang berbeda. Pembentukan LPD didorong karena menguatnya kebutuhan keuangan desa pakraman dalam menyelenggarakan berbagai fungsi peradaban yang berat dan tidak pernah dikerjakan oleh lembaga keuangan umum. Peradaban budaya Bali yang menjadi landasan LPD menjadikan karakteristik khusus LPD bersifat sosial, komunal, religius (tidak hanya tanggungjawab secara fisik/sekala namun juga secara nonfisik/niskala). Perdebatan tidak hanya dalam hal status dan kedudukan saja, namun juga dalam hal pengikatan jaminan kredit, mengingat dalam menyalurkan kredit kepada krama desa pakraman, LPD dalam prakteknya juga melakukan pengikatan jaminan kredit yang ketentuannya mengacu pada hukum jaminan yang berlaku di Indonesia.

Dari uraian di atas maka dapat ditarik suatu isu hukum yang berkaitan dengan adanya kekaburan norma berkaitan dengan pengikatan jaminan bagi LPD karena ketidaksinkronan antara pengertian LPD sebagai Badan Usaha Milik Desa sesuai Undang-Undang Desa dan Peraturan Daerah Provinsi Bali dengan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro yang telah mengecualikan kedudukan LPD.

Sejauh pengetahuan penulis, ada tesis berjudul “Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Atas Tanah pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Gianyar” yang ditulis oleh Ni Nyoman Rumbiani dalam rangka menyelesaikan program Pascasarjana di Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2013). Tesis ini pada intinya membahas tentang prosedur pengajuan kredit pada LPD di Kabupaten Gianyar beserta penyelesaiannya apabila debitur wanprestasi. Selain itu adapula tesis yang ditulis oleh Jeanne Wiryadani Ratnaningrum yang dalam rangka menyelesaikan program Pascasarjana di Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2015). Tesis ini menganalisis mengenai “Wewenang Lembaga Perkreditan Desa sebagai Subjek Hak Tanggungan”. Pokok permasalahan tesis ini adalah apakah Lembaga Perkreditan Desa berwenang sebagai subjek hukum hak tanggungan dan bagaimana akibat hukum dari perjanjian yang dibuat oleh LPD sebagai debitur dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan pendahuluan di atas, maka rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini adalah :

  • 1.2.1    Bagaimanakah status dan

kedudukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro ?

  • 1.2.2    Bagaimanakah pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya      Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan khusus. Tujuan yang bersifat umum yaitu penelitian ini secara umum diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan    dengan    permasalahan-

permasalahan perkreditan di Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali, agar dikemudian hari tidak terjadi keragu-raguan dan para pihak yang bersengketa dapat memiliki kepastian hukum. Tujuan yang bersifat khusus, yaitu untuk mengetahui status dan kedudukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan untuk mengetahui pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

  • 1.4    Landasan Teoritik

    1.4.1    Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pemerintah    dalam   melakukan

pembentukan peraturan perundangan-undangan perlu memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain: (1) Undang-Undang tidak dapat berlaku surut, (2)Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat; (3) Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);  (4)

Undang-Undang yang bersifat khusus akan      mengesampingkan      atau

melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis);  (5) Undang-Undang

yang    baru    mengalahkan    atau

melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori); dan (6) Undang-Undang merupakan sarana terbaik untuk keseimbangan spiritual

masyarakat maupun individu, melalui proses pembaharuan atau pelestarian.

Dalam proses penerapan suatu peraturan tidak cukup hanya dengan peraturan yang baik (pro masyarakat) dan dilaksanakan oleh aparatur pemerintah yang baik (bukan hanya sebagai corong undang-undang), akan tetapi wajib pula dilengkapi dengan budaya hukum masyarakat yang berkeinginan kuat mematuhi aturan tersebut. Dalam upaya mengetahui budaya  hukum  tersebut, salah  satu

caranya adalah dengan melakukan studi

ilmiah terhadap suatu peraturan yang

akan dibuat yaitu biasanya dikenal dengan Naskah Akademik (NA) suatu

rancangan    peraturan    perundang-

undangan.     Naskah     Aakademik

mempunyai 7 (tujuh) indikator dan/atau faktor yang harus ada, yang dikenal dengan istilah ROCCIPI   (Rules,

Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Procces dan Ideology).1 1.4.2 Teori Hukum Transplantasi Hukum

Transplantasi              Hukum

merupakan “the     borrowing     and

transmissibility of rules from one society or sistem to another”. Definisi semacam ini bisa disebut sebagai definisi      yang      luas,      yang

mempertimbangkan     bukan     saja

pembentukan hukum sebagai hubungan antar negara melainkan pula pengaruh dari tradisi hukum antar masyarakat. 2 Legal transplants atau legal borrowing, atau legal adoption demikian istilah yang diperkenalkan oleh Alan Watson, untuk menyebutkan suatu proses meminjam atau mengambil alih atau memindahkan hukum   dari   satu

tempat atau dari satu negara atau dari satu bangsa ke tempat, negara atau bangsa lain kemudian hukum itu diterapkan di tempat yang baru bersama-sama dengan hukum yang sudah ada sebelumnya. 3

Transplantasi Hukum selalu terkait dengan tradisi hukum. Tradisi hukum yang ada bukan saja menyangkut Civil

Law, tetapi juga di Indonesia, terdapat hukum adat dan hukum Islam.4 Pilihan politik Transplantasi Hukum dalam kebijakan pembangunan hukum nasional yang sesuai dasar ideologis-filosofis Pancasila yang merupakan the original paradicmatic value of Indonesian culture and society, adalah pilihan politik dalam aktivitas pembuatan norma hukum konkrit (basic policy) tanpa harus mengabaikan posisi dan keberadaan Indonesia ditengah-tengah pergaulan    internasional.     Dengan

demikian hukum yang dilahirkan adalah hukum yang commit nationally, think globaly and act locally.5 1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena, sebagaimana tergambar pada uraian latar belakang masalah, penelitian ini berusaha mencari jawaban atas terjadinya kekaburan norma dalam hal pengaturan hukum pengikatan jaminan di Lembaga Perkreditan Desa setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro karena masih adanya perdebatan mengenai status dan kedudukan LPD sebagai Badan Usaha Milik Desa (sesuai pengertian yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Lembaga Keuangan Mikro.

  • 1.5.2    Jenis Pendekatan

Dalam penelitian    ini    akan

digunakan jenis pendekatan :  (1)

Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach), (2) Pendekatan Fakta (The Fact Approach), Pendekatan Futuristik (Futuristic approach); (3) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical and Conceptual Approach).

  • 1.5.3    Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tertier. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan LPD dan pengikatan

  • 4Duarte    Tilman Soares.Perbandingan

Penerapan Hukum Nasional Timor Leste dengan Hukum yang berlaku di Indonesia. Makalah seminar di fakultas hukum uksw, tanggal 18 Februari 2003.

  • 5Evaristus Hartoko W, 2002, “Good Corporate Governance in Indonesia”, Griffin’s View on International and Comparative Law”, Volume 3 Number 1, Januari 2002, hal. 103

jaminan. Sumber bahan hukum sekunder yaitu, bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan objek penelitian. Bahan hukum tertier, yaitu, bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.

  • 1.5.4    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum yang dipergunakan dalam penulisan penelitian ini ialah dengan melakukan pencatatan secara sistematis dari bahan-bahan yang diperoleh melalui studi kepustakaan beserta dialog yang dilakukan kepada tokoh-tokoh di bidang hukum.

  • 1.5.5    Teknik Analisis Bahan Hukum

Berdasarkan bahan hukum yang telah     diperoleh     melalui     studi

kepustakaan dan dialog, maka bahan-bahan hukum tersebut diolah secara kualitatif. Terhadap bahan-bahan hukum yang    diperoleh    ini    dilakukan

pengklasifikasian untuk mempermudah di dalam mendukung penulisan secara menyeluruh. Selanjutnya dari data-data tersebut dilakukan penyajian secara deskriptif analisis dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis. Adapun teknik analisis bahan hukum yang digunakan yaitu deskripsi, sistematisasi, evaluasi, interpretasi, dan argumentasi,

  • II.    Tinjauan Umum Lembaga Perkreditan Desa, Desa Pakraman, Hukum Adat Bali, Lembaga Keuangan Mikro, dan Hukum Jaminan.

  • 2.1    Lembaga Pekreditan Desa

Pada awalnya keberadaan dan aktivitas LPD diatur berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984 tertanggal 1 November 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali. Peraturan ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun    1988    tentang    Lembaga

Perkreditan Desa dan diperbaharui lagi dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang LPD, terakhir diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun    2002    tentang   Lembaga

Perkreditan Desa.6 Selain berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali, keberadaan dan aktivitas LPD juga diatur berdasarkan awig-awig dan/atau pararem yang hanya berlaku pada desa pakraman setempat. Awig-awig dan/atau pararem dimaksud dibuat oleh desa pakraman setempat dengan didampingi dan dibina oleh tim pembina penulisan awig-awig dari Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali. Walaupun demikian, substansi awig-awig dan/atau pararem tentang LPD bagi satu desa pakraman tidaklah persis sama dengan awig-awig dan/atau pararemdesa pakraman lainnya. Hal ini memang dimungkinkan sesuai dengan asas desa mawacara (membuat awig-awig dan/atau pararem yang sesuai dengan kondisi dan situasi desa pakraman setempat). Hal ini berarti bahwa, keberadaan dan aktivitas LPD belum diatur berdasarkan awig-awig dan/atau pararem atau hukum adat Bali sebagai satu kesatuan sistem hukum yang berlaku sama di seluruh Bali.7 Pada tanggal 8 Januari 2013 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Undang-Undang LKM). Keluarnya Undang-Undang LKM ini perlu mendapat perhatian semua pihak secara lebih serius dalam usaha mempertahankan keberadaan dan aktivitas LPD sebagai duwe desa pakraman.

  • 2.2    Desa Pakraman

Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 Angka 4 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa pakraman). Desa pakraman mempunyai unsur-unsur yang terangkum dalam Tri Hita Karana. Unsur yang pertama adalah unsur parahyangan (hal-hal yang berhubungan dengan agama Hindu), unsur pawongan (aktivitas warga desa yang beragama Hindu/krama desa), dan unsur terakhir adalah unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan

  • 6Sumarta, I Ketut, 2014, Pararem Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali, Majelis Desa Pakraman Bali, Denpasar, hal. 7

  • 7Ibid, hal. 8

karang gunakaya sesuai dengan ajaran Hindu). Tugas dan wewenang utama desa pakraman adalah melaksanakan ajaran agama Hindu dan menegakkan hukum adat Bali di wilayahnya. Tugas dan    wewenang    lainnya    yaitu

berkoordinasi dengan desa dinas dan pihak berwenang lainnya untuk menciptakan kasukertan (kedamaian) di wilayahnya.

  • 2.3    Hukum Adat Bali

Hukum adat Bali adalah kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Istilah “hukum adat Bali” pada mulanya tidak begitu dikenali oleh kalangan masyarakat Bali. Istilah yang biasa dipakai    dalam    tata    pergaulan

masyarakat di Bali, yaitu adat, dresta, gama, sima, cara, kerta sima, geguat, pengeling-eling, tunggul, awig-awig, pararem, dan sebutan lainnya yang dapat diguakan untuk menyebutkan adat kebiasaan    yang    berlaku    dalam

masyarakat.8 Tatanan hukum tersebut dirangkum dalam bentuk awig-awig desa pakraman dan pararem desa pakraman.     Awig-awig     sebelum

disahkan, terlebih dahulu disusun dan dimusyawarahkan dalam suatu rapat krama desa yang disebut paruman desa. 2.4 Lembaga Keuangan Mikro

Lembaga keuangan mikro adalah lembaga keuangan yang khususnya didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan     simpanan     maupun

pemberian        jasa        konsultasi

pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Lembaga keuangan mikro harus berbentuk badan hukum Koperasi atau Perseroan Terbatas. Jika berbadan hukum Perseroan Terbatas, maka sahamnya paling sedikit 60% dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Sisanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau koperasi. Kepemilikan saham oleh setiap Warga Negara Indonesia paling banyak 20%.

Kegiatan usaha lembaga keuangan mikro meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat melalui pinjaman/pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, dan pemberian        jasa        konsultasi

pengembangan usaha dengan cakupan wilayah usaha pada satu wilayah desa/kelurahan,     kecamatan,     atau

kabupaten/kota yang disesuaikan dengan skala usaha lembaga keuangan mikro masing-masing9.

  • 2.5    Hukum Jaminan

  • H. Salim H.S menyatakan bahwa hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi tersebut adalah10:  (1)  adanya kaidah

hukum, (2) adanya pemberi dan penerima jaminan, (3) Adanya jaminan, (4) Adanya fasilitas kredit. Berdasarkan hasil analisis yang terhadap unsur-unsur hukum jaminan, maka ditemukan 5 (lima) asas penting dalam hukum jaminan yang harus ada, sehingga pemberi dan penerima memperoleh keamanan dan kenyamanan dalam melakukan      transaksi      dengan

menggunakan jaminan. Lima asas penting tersebut, yaitu:   (1) asas

publicitet, (2) asas specialitet, (3) asas tidak dapat dibagi-bagi, (4) asas inbezittstelling, dan (5) asas horizontal.

Jaminan biasanya digunakan dalam transaksi perbankan untuk menjamin kepastian hukum antara bank selaku kreditur dan nasabah selaku debitur. Jaminan yang dapat diberikan oleh debitur kepada lembaga keuangan yang hendak diajukan kredit, terdapat dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk jaminan tersebut, antara lain: hak tanggungan, jaminan fidusia, hipotek kapal, hak jaminan resi gudang, dan jaminan perseorangan.

  • III.    Status Dan Kedudukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro

Jauh    sebelum    dikeluarkannya

Undang-Undang LKM, berdasarkan pasal 58 Undang-Undang Nomor 7

  • 9 Ibid.

  • 10H. Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.

Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, LPD diberikan    status    sebagai    Bank

Perkreditan Rakyat (BPR), sehingga LPD dalam hal pengelolaannya harus mengikuti segala aturan yang berlaku di BPR. Hal ini tentu tidaklah tepat, karena LPD mempunyai visi dan misi yang berkaitan erat dengan konsep Tri Hita Karana yaitu mengharmoniskan hubungan  manusia  dengan  Tuhan

(parhyangan),       mengharmoniskan

hubungan manusia dengan manusia (pawongan), dan mengharmoniskan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan). Berbeda dengan BPR yang berbentuk badan hukum, yakni Perseroan Terbatas, melakukan kegiatan keuangan dengan tujuan mendapatkan profit/keuntungan demi kepentingan pemegang saham/pemodal. Status dan kedudukan LPD yang sangat berbeda dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat dilihat dari perbandingan berikut:

  • 1.    Landasan utama pendirian LPD adalah awig-

awig, sedangkan BPR didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan;

  • 2.  Inisiatif pembentukan LPD berasal  dari

krama desa pakraman, sedangkan BPR

  • dibentuk oleh pribadi atau sekelompok orang;

  • 3.  Modal LPD terdiri dari setoran  desa

  • pakraman, bantuan pemerintah, laba ditahan, dan sumber lain yang tidak mengikat. Modal BPR diperoleh melalui dana pemegang saham, hibah, penerbitan obligasi atau surat hutang lain, pinjaman, emisi efek di bursa efek, dan sektor usaha lain yang sah;

  • 4.  Perangkat organisasi LPD terdiri dari

Paruman Desa Pakraman, Bendesa dan Prajuru, dan Ketua LPD. Perangkat organisasi BPR terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi;

  • 5.  Lingkup wilayah operasional LPD hanya

sebatas di lingkungan desa pakraman bersangkutan, sedangkan BPR dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia;

  • 6.    LPD adalah lembaga non-profit yang bersifat sosio-kultural-religius, sedangkan BPR yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas berorientasi pada keuntungan;

  • 7.    LPD mengalokasikan keuntungannya sebanyak 60% untuk pengelolaan modal dan 40% dialokasikan untuk memenuhi tanggungjawab dan kewajiban terhadap desa pakraman    (fisik/sekala    dan non-

fisik/niskala). BPR tidak mempunyai tanggungjawab seperti itu, BPR membagi keuntungan diantara pemegang saham sesuai presentase saham yang dimiliki.\

Jiwa dan karakteristik LPD jelas tidak sesuai dengan BPR, maka Pemerintah Daerah Provinsi Bali

mengatur LPD didalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

2007 tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun

2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa. LPD dalam Pasal 1 Angka 10 Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa dikatakan merupakan badan usaha keuangan milik desa pakraman yang mana pengertian tersebut mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Undang-Undang Pemerintah Daerah). Pada   Undang-Undang   Pemerintah

Daerah, mengenai Badan Usaha Milik Desa diatur dalam Pasal 213. Pasal 213 menyebutkan bahwa:

Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

LPD desa pakraman merupakan suatu lembaga keuangan yang bersifat khas dan khusus, berwujud satu-satunya (sui generis) diantara lembaga keuangan sejenis lainnya, baik dari segi latar belakang pembentukannya, visi, misi, dan bentuk kelembagaannya, maupun tujuannya-tujuannya juga berbeda dengan pengertian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mengacu pada Undang-Undang Pemerintah Daerah. Perbedaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

  • 1.    LPD dimiliki oleh desa pakraman, sedangkan BUMDes dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama. Desa yang dimaksud adalah desa administratif yang berbeda dengan desa pakraman di Bali. Desa Pakraman di Bali mengikat secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang berlandaskan agama Hindu Bali;

  • 2.    Modal LPD terdiri dari setoran desa pakraman, bantuan pemerintah, laba ditahan, dan sumber lain yang tidak mengikat. Modal BUMDes bersumber dari desa sebesar 51% dan dari masyarakat melalui penyertaan modal sebesar 41%;

  • 3.    Operasionalisasi LPD menekankan pada falsafah Tri Hita Karana (keseimbangan hubungan harmonis antara Tuhan, manusia, dan lingkungan), sedangkan operasionalisasi BUMDes menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal;

  • 4.    Bidang usaha yang dijalankan LPD dan BUMDes memang sama-sama berdasarkan atas potensi lingkungan masyarakat, namun LPD dibatasi oleh keputusan Paruman Desa Pakraman dan awig-awig;

  • 5.    LPD mengalokasikan keuntungannya sebanyak 60% untuk pengelolaan modal dan 40% dialokasikan untuk memenuhi

tanggungjawab dan kewajiban terhadap desa pakraman (fisik/sekala dan non-fisik/niskala). Keuntungan yang diperoleh BUMDes ditujukkan untuk kesejahteraan anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa.

Peraturan Daerah ini kemudian diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa (Peraturan Daerah tentang LPD). Pada Peraturan Daerah yang paling baru ini terdapat perubahan mengenai pengertian LPD. LPD dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 memiliki pengertian bahwa LPD adalah lembaga keuangan milik desa pakraman. Tetapi hal ini tidaklah membawa perubahan yang signifikan terhadap status dan kedudukan LPD, justru menjadi semakin rancu karena LPD dikatakan sebagai lembaga keuangan milik desa pakraman, namun tetap diatur oleh hukum positif dalam bentuk Peraturan Daerah dan kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 yang ada saat ini dianggap oleh praktisi LPD terlalu jauh mengatur tentang tata kelola LPD. Beberapa pasal pengaturan LPD dianggap tidak sesuai dari kedudukan LPD sebagai duwe desa pakraman. Disamping Peraturan Daerah, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 1 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa (Peraturan Gubernur Bali tentang LPD). Peraturan Gubernur Bali tentang LPD ini secara terperinci mengatur tentang pengelolaan LPD. Akan tetapi berdasarkan analisis penulis, peraturan-peraturan yang ada dalam Peraturan Gubernur Bali tentang LPD ini sangat mirip dengan prinsip-prinsip pengelolaan perbankan, dalam hal ini BPR, sehingga seolah-olah mengamini bahwa LPD memang memiliki karakteristik yang sama dengan BPR.

Setelah berlakunya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 39 ayat (3) yang secara tegas menjelaskan bahwa:

Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada undang-undang ini.

Pernyataan pengakuan keberadaan berdasarkan hukum adat ini berarti bahwa Pemerintah harus menyerahkan segala urusan pengaturan LPD kepada desa pakramannya masing-masing. Penegasan bahwa LPD diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat jelas menunjukkan bahwa LPD memang dikecualikan justru karena LPD sebagai duwe (aset milik penuh) desa pakraman yang seharusnya diatur berdasarkan hukum adat Bali. Bukan aturan diluar hukum adat dan hukum adat Bali. Sejatinya, sejak awal didirikan, LPD sudah didasari oleh hukum adat. Buktinya, inisiatif pembentukan LPD didasari oleh keputusan paruman desa pakraman dan desapakraman yang ingin memiliki LPD harus memiliki awig-awig terlebih dahulu. Dalam sistem hukum adat Bali, keputusan paruman desa pakraman merupakan salah satu bagian hukum adat Bali. Tak hanya itu, secara de facto, sejumlah desa adat juga memasukkan LPD sebagai duwe desa pakraman. 11

Memang, saat awal pendirian, LPD didasari Surat Keputusan Gubernur Bali dan kemudian ditegaskan melalui Peraturan Daerah, namun, Peraturan Daerah ini tidaklah lantas memberikan hak kepada pemerintah untuk melakukan intervensi. Peraturan Daerah merupakan cerminan pelaksanaan fungsi pengayoman dan perlindungan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Peraturan Pemerintah bukanlah regulator adat. Hanya saja, harus diakui, pemahaman semacam ini belum begitu kuat pada awal pendirian LPD sehingga Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1988 tentang LPD terlalu jauh mengatur pengelolaan LPD sampai hal-hal teknis seperti yang terjadi saat ini.

Penegasan LPD sebagai duwe desa pakraman juga dapat dilihat dari hak dan kewajiban yang timbul antara LPD dengan desa pakraman di Bali yang tidak ada di desa lain di Indonesia. Hak dan kewajiban ini sangat berbeda dengan hak dan kewajiban antara Badan Usaha Milik Desa dengan masyarakat

11Sumarta, I Ketut, 2014, Pararem Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali, Majelis Utama Desa Pakraman Bali, Denpasar, hal.3

desanya. Hak dan kewajiban LPD lebih kompleks dan menyeluruh, menyatu, tidak terpisahkan. Tidak hanya mengenai masalah kesejahteraan, akan tetapi juga berkaitan dengan agama Hindu dengan hukum sebab akibatnya. Dilihat dari sisi hak dan kewajiban, desa pakraman setidaknya memiliki hak dan kewajiban pada tiga aspek, yaitu hak dan kewajiban pengelolaan, hak dan kewajiban pengawasan, dan hak dan kewajiban mendapatkan hasil dari pengelolaan LPD. Sanksi yang ada dalam masyarakat desa pakraman juga berbeda dengan    sanksi    apabila

seseorang lalai dalam mengelola desa pakraman. Sanksinya tidak hanya berlaku untuk diri sendiri, akan tetapi juga berefek negatif pada anak keturunannya kelak.

Berlakunya       Undang-Undang

Lembaga Keuangan Mikro membuat Majelis Desa Pakraman bertindak cepat dengan cara melakukan konsultasi kepada Ketua DRR RI dan Kementerian Dalam Negeri Tahun 2013 untuk menguatkan status dan kedudukan LPD yang sebaiknya diatur oleh hukum adat. Hasil konsultasi Majelis Utama Desa Pakraman Bali terkait Undang-Undang LKM dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Kementerian Dalam Negeri Tahun 2013 pun mendapatkan hasil sebagai berikut: 12

  • 1.    Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur Bali tentang LPD bukan hukum adat, sehingga dengan sendirinya gugur setelah Undang-Undang LKM berlaku, karena bersifat mengatur teknis, dengan demikian hal ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang LKM;

  • 2.    Segala produk hukum dibawah Undang-Undang(dalam hal ini yang dimaksud adalah Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur Bali tentang LPD) yang bertentangan dengan Undang-Undang (dalam hal ini yang dimaksud adalah Undang-Undang LKM) diatasnya dengan sendirinya gugur sesuai dengan asas perundang-undangan “lex superiori derogate legi inferiori”. Asas ini merupakan konsekuensi dari adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan. Hirarki yang membawa konsekuensi hukum sebagai berikut:13

  • a.    Undang-Undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi kedudukannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula,

  • b.    Undang-Undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi tingkatannya,

  • c.    Undang-Undang yang lebih tinggi tidak dapat diubah/dihapus oleh Undang-Undang    yang    lebih    rendah

kedudukannya,

  • 3.    LPD harus dikembalikan diatur penuh dengan hukum adat;

  • 4.    Bila Majelis Desa Pakraman sebagai wadah tunggal desa pakraman di Bali mau mengadopsi isi Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur Bali, maupun Peraturan Bupati yang dipandang sesuai dengan nilai-nilai adat Bali, diperbolehkan, tetapi harus ditetapkan dengan keputusan Lembaga Adat sehingga menjadi hukum adat Bali.

  • IV.    Pengaturan Hukum    Pengikatan

Jaminan Pada Lembaga Perkreditan Desa  (LPD)  Dengan Berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro

Pada tahun 1983, Prof. Ida Bagus Mantra merumuskan gagasan untuk membentuk sebuah lembaga keuangan berbasis adat dengan mengadopsi dan mengembangkan konsep pacingkreman banjar atau pun sekaa yang telah tumbuh sejak lama di tengah-tengah masyarakat Bali. Pada saat yang sama, Pemerintah Pusat juga meluncurkan program pembentukan lembaga kredit di pedesaan      untuk      mendorong

pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan     masyarakat     desa.

Beberapa bulan kemudian digelar seminar tentang Lembaga Keuangan Desa (LKD) atau Badam Kredit Desa (BKD) di Semarang yang dilaksanakan Departemen Dalam negeri pada bulan Februari 1984. Salah satu kesimpulan seminar tersebut, yaitu perlu dicari bentuk perkreditan di pedesaan yang mampu membantu pengusaha kecil di pedesaan yang saat itu belum tersentuh oleh lembaga keuangan yang ada, seperti     bank.     Bali     mencoba

menerjemahkan hasil keputusan seminar di Semarang dengan mengadopsi dan merevitalisasi tradisi pacingkreman dalam dinamika banjar dan sekaa yang telah tumbuh di masyarakat Bali. Akhirnya,    terbentuklah    Lembaga

Perkreditan Desa di Bali yang berada di bawah naungan desa adat, bukan desa dinas.

Pasal 1 ayat (7) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012

tentang Lembaga Perkreditan Desa menyebutkan bahwa lapangan usaha LPD meliputi:

  • a.    Menerima/menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk keuangan dan deposito;

  • b.    Memberikan pinjaman hanya kepada krama desa;

  • c.    Menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum sebesar 100% dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba ditahan, kecuali batasan lainnya dalam jumlah pinjaman, atau dukungan/bantuan dana.

Lapangan usaha LPD sesuai yang tercantum dalam Peraturan Daerah tersebut sangat mirip dengan lapangan usaha dari lembaga perbankan, semisal Bank Perkreditan Rakyat sehingga sebelum dikeluarkan Undang-Undang LKM status dan kedudukannya dipersamakan dengan BPR. Pun kemudian ketika ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang LPD, LPD justru diberikan kedudukan yang sama dengan lembaga keuangan milik desa pakraman namun dengan pengertian yang sama dengan Badan Usaha Milik Desa sebagaimana mengacu pada Undang-Undang Pemerintah Daerah. LPD dikatakan    sebagai   badan   usaha.

Akibatnya, proses transaksi kredit, pengikatan jaminan kredit, hingga proses     lelang     ketika     terjadi

permasalahan kredit mengikuti sistem seperti badan usaha lain yang bergerak di bidang keuangan.

Pada dasarnya, pemberian kredit oleh LPD diberikan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui suatu perjanjian kredit diantara LPD dan krama desa pakraman. Pemberian kredit di LPD mengikuti prosedur kredit yang berlaku umum dengan beberapa penyesuaian yang menitikberatkan keberadaannya sebagai milik desa pakraman. Disamping itu, umumnya juga dibuatkan perjanjian pengikatan atau pembebanan jaminan sebagai perjanjian tambahan yang mengikuti     perjanjian     pokoknya

(perjanjian kreditnya). Perjanjian kredit yang dibuat oleh LPD kepada krama desa pakraman yang ingin meminjam uang merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara LPD dan krama desa pakraman yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian kredit. Sedangkan    perjanjian    pengikatan

jaminan adalah perjanjian antara LPD

dan krama desa pakraman menyangkut benda milik krama desa pakraman atau pihak ketiga yang dibebankan atau diikatkan sebagai jaminan utang.

Dalam memberikan kredit kepada krama desa pakraman, seperti halnya bank, LPD juga menerapkan prinsip The Five “C”. LPD wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan masyarakat (debitur) bahwa yang bersangkutan akan dapat melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian. Guna memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur dalam melunasi utangnya, maka LPD wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), situasi ekonomi (condition of economic), dan agunan (collateral).

Pada kenyataannya, baik dalam praktek pemberian kredit oleh bank, maupun LPD, agunan (collateral) selalu menjadi faktor pertimbangan yang paling menentukan untuk dapat dikabulkannya permohonan kredit dari krama desa pakraman. Kredit yang diberikan kepada LPD harus diamankan, dalam arti harus dapat dijamin pengembalian atau pelunasannya. Dalam rangka memberikan keamanan dan kepastian pengembalian kredit dimaksud, LPD perlu meminta jaminan (agunan) untuk kemudian dibuatkan perjanjian pengikatannya. Benda yang lazim dijadikan jaminan kredit di LPD ada benda bergerak berupa kendaraan bermotor (mobil atau motor) dan benda tidak bergerak berupa tanah. Apabila benda bergerak yang dijadikan jaminan kredit, maka pengikatannya saat ini, memakai lembaga jaminan fidusia sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Artinya, dengan kata lain, apabila benda bergerak yang dijadikan jaminan kredit, maka pengikatannya tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

LPD selaku lembaga keuangan milik komunitas masyarakat desa pakraman yang pengikatan jaminan kreditnya mengikuti ketentuan Undang-Undang Fidusia dan Undang-Undang Hak Tanggungan kurang tepat. Pasalnya, pada Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Sedangkan Undang-Undang

Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa Pemegang Jaminan Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi. LPD yang merupakan milik komunal tentu saja tidak dapat dikategorikan sebagai perseorangan maupun perusahaan perseorangan. Kedudukannya sebagai duwe desa pakraman yang tunduk terhadap hukum adat memberikan status dan kedudukan khusus bagi LPD.

Menguatkan hal tersebut, LPD dalam praktek saat ini, tidak memiliki hak apapun (baik itu hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak guna bangunan, dan hak-hak lainnya yang lazim dimiliki sebuah badan usaha yang berbadan hukum). Apabila terjadi kasus/sengketa seorang debitur LPD (krama desa pakraman) ada yang melakukan wanprestasi (dalam hal ini tidak dapat maupun tidak bisa membayar kredit) dan ditempuh jalan menyita jaminan lewat proses lelang dan LPD memutuskan untuk membeli

sendiri jaminan tersebut melalui proses lelang, maka yang dicantumkan sebagai pembeli lelang adalah Ketua LPD bersangkutan. Tidak jarang pula, ada oknum ketua LPD yang mencantumkan dirinya sebagai Pemegang Hak Tanggungan maupun Pemegang Jaminan Fidusia karena masih minimnya pengetahuan masyarakat pelosok desa di Bali tentang hukum. Hal ini amat riskan apabila seorang Ketua LPD maupun ahli waris Ketua LPD itu mempunyai itikad tidak baik, maka dapat terjadi kasus penyelewengan barang jaminan.

Maka, sudah sepatutnya apabila mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang menyatakan bahwa LPD harus tunduk pada hukum adat dan telah dipaparkan bahwa LPD merupakan duwe desa pakraman dengan karakteristik amat berbeda dengan BPR maupun badan usaha milik desa, ketentuan ini

selayaknya ditinjau kembali. Apabila status LPD telah dikukuhkan menjadi duwe desa pakraman dan peraturan daerah telah dibuatkan peraturan peralihan yang memberikan otoritas pengaturan LPD kepada otoritas adat, maka seluruh komponen menyangkut LPD termasuk pula terkait dengan pengikatan jaminan pun harus disesuaikan dengan konsep adat. Apabila pengikatan jaminan juga diubah, maka kontrak-kontrak

perjanjiannya juga harus disesuaikan. Ketika seorang krama desa pakraman akan mengajukan kredit, maka kontrak-

kontrak perjanjiannya harus berdasarkan adat dengan berpedoman pada hukum adat Bali dengan penyesuaian yang diperlukan agar sesuai dengan hukum adat Bali yang berlaku di desa pakraman setempat. Kajian kontrak-kontrak perjanjian dalam hukum adat Bali salah satunya dapat mengacu kepada hukum perutangan dalam adat.

Meskipun diharapkan otoritas pengaturan LPD berada pada hukum adat, namun tidak dipungkiri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, krama desa pakraman dan LPD harus mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia. Benda bergerak maupun tidak bergerak yang akan dijadikan jaminan apabila diperlukan pengikatan barang jaminan dan perlu dicatatkan, maka seorang Notaris/PPAT yang berhak mencatatkan adalah seorang Notaris/PPAT yang memiliki kompetensi sebagai Notaris/PPAT LPD dengan rekomendasi dari Majelis Utama Desa Pakraman. Perjanjian-perjanjian kredit yang dahulu telah dilakukan sebelum peraturan baru mengenai LPD disahkan, tetap sah dengan mengikuti asas retroaktif (tidak dapat berlaku surut), mengingat demikian banyaknya transaksi yang telah dilakukan oleh LPD yang ada di Bali dengan keseluruhan aset LPD Bali saat ini mencapai triliunan rupiah. Terkait dengan barang jaminan benda bergerak maupun tidak bergerak apabila krama desa pakraman yang meminjam uang tidak mau atau tidak dapat mengembalikan, maka tidak perlu dibawa ke ranah pengadilan maupun melalui proses lelang. Barang jaminan jika berupa benda bergerak akan menjadi inventaris desa pakraman dengan ketentuan penjualannya harus melalui mekanisme yang ditetapkan masing-masing desa pakraman. Benda tetap yang dijadikan jaminan akan otomatis menjadi duwe desa pakraman dalam bentuk karang ayahan desa maupun karang gunakaya. Masyarakat Bali dalam hukum adatnya yang bersifat terang dan tunai juga mempunyai tradisi pengikatan berupa janji yang disebut dengan mekantah. Mekantah adalah tradisi dimana seorang yang hutang kepada orang lain berjanji kepada yang memberi pinjaman tadi bahwa ia sebelum melunasi hutangnya ia akan mengadakan transaksi tentang tanahnya, kecuali dengan pemberi hutang. Tradisi ini layak untuk dihidupkan namun dengan mekanisme yang mengikuti perkembangan jaman, contohnya, apabila ada yang ingin memiliki tanah

di suatu desa pakraman, maka orang tersebut harus menjadi krama desa pakraman yang bersangkutan terlebih dahulu. Kemudian jika ia ingin menjual tanahnya harus dengan persetujuan dari Bendesa Adat setempat.

Poin-poin mengenai pengikatan jaminan di LPD tersebut harus dilakukan    berdasarkan    awig-awig

(hukum adat) agar sesuai dengan amanat Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro. Kendala terbesar adalah banyak desa pakraman yang belum mempunyai awig-awig yang mengatur tentang LPD secara tertulis. Walaupun telah ada yang tertulis, hanya disebutkan bahwa LPD merupakan duwe desa pakraman. Poin-poin penting mengenai tata kelola lebih lanjut termasuk yang berkaitan dengan barang jaminan tidak diatur sama sekali. Beberapa desa pakraman yang belum mempunyai awig-awig tertulis beralasan bahwa awig-awig tidak tertulis mempunyai sifat yang lebih luwes, sehingga    relatif    lebih    mudah

disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan lebih mudah dalam mendekati rasa keadilan masyarakat tempat awig-awig itu berlaku. Padahal tidak ditulisnya awig-awig tentu tidak dapat menjamin kepastian hukum dan sulit dijadikan sebagai rujukan dikemudian hari.

  • V.   Penutup

    5.1   Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah     dilakukan,     maka     dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. LPD mempunyai status dan kedudukan sebagai duwe desa pakraman. LPD dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, telah dikecualikan dari Undang-Undng Lembaga Keuangan Mikro sehingga harus tunduk pada hukum adat. LPD Konsep LPD sebagai duwe desa pakraman berdasarkan atas karakteristik dan ciri khas LPD yang amat berbeda dengan Badan Perkreditan Desa, Badan Usaha Milik Desa,

Lembaga Keuangan Mikro, maupun lembaga-lembaga lain yang sejenis.

  • 2.    LPD dalam melakukan transaksi kredit dengan menggunakan jaminan benda tetap berupa tanah, saat ini pengikatan jaminan di LPD mengacu kepada Undang-Undang Hak Tanggungan, sedangkan transaksi kredit dengan menggunakan jaminan benda bergerak pengikatannya mengacu kepada Undang-Undang Jaminan Fidusia. Hal ini kurang tepat. LPD dalam status dan kedudukannya sebagai duwe desa pakraman dengan karakteristiknya yang khusus tentu tidak dapat dipersamakan dengan perseorangan, badan hukum, maupun korporasi, sehingga pengikatan jaminan kreditnya pun harus disesuaikan dengan landasan hukum adat Bali sesuai dengan amanat Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.

  • 5.2    Saran

Adapun    saran    yang    dapat

dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Diharapkan otoritas pengaturan LPD berada pada hukum adat, namun tidak dipungkiri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, krama desa pakraman dan LPD harus mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia. Benda bergerak maupun tidak bergerak yang akan dijadikan jaminan apabila diperlukan pengikatan barang jaminan dan perlu dicatatkan, maka seorang Notaris/PPAT yang berhak mencatatkan adalah seorang Notaris/PPAT yang memiliki kompetensi sebagai Notaris/PPAT LPD dengan rekomendasi dari Majelis Utama Desa Pakraman.

  • 2.    Apabila telah ada pengaturan tata kelola berdasarkan hukum adat yang memiliki kepastian hukum, maka seyogyanya segala bentuk transaksi kredit di LPD termasuk terkait pengikatan jaminan kredit sebaiknya mengikuti mekanisme yang berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, penting untuk membuat peradilan adat untuk mengakomodasi perubahan-perubahan tata kelola LPD jika telah diubah sesuai dengan hukum adat.

Daftar Pustaka

a)    Buku

Aan Seidman, Robert B. Seidmann, & Nalin Abeyserkere, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis, sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, ELIPS, Jakarta.

Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, 2010, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta.

  • H. Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.

Sumarta, I Ketut, 2014, Pararem Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali, Majelis Desa Pakraman Bali, Denpasar

Sumarta, I Ketut, 2014, Pararem Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali, Majelis Utama Desa Pakraman Bali, Denpasar.

Wayan P. Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus dan Penyelesaian, Udayana University Press, Denpasar.

  • b)    Artikel dalam jurnal

Evaristus Hartoko W, 2002, “Good Corporate Governance in Indonesia”, Griffin’s View on International and Comparative Law”, Volume 3 Number 1, Januari 2002.

  • c)    Makalah, seminar, lokakarya, penataran

Anonim, “Mamungkah Lan Ngeteg Linggih LPD Bali Pasca UU RI 1/2013 tentang LKM”, Makalah, Karangasem, 03 Maret 2014.

Duarte Tilman Soares, “Perbandingan Penerapan Hukum Nasional Timor Leste dengan Hukum yang berlaku di Indonesia”. Makalah, Seminar di Fakultas Hukum UKSW, tanggal 18 Februari 2003.

  • d)    Artikel dalam internet

Theofransus Litaay, 2005, “Transplantasi Hukum dan Pluralisme Hukum dalam Hukum Perusahaan        di        Indonesia”,        I        Power        Blogger,

http://amalatu2005.blogspot.com/2005/06/transplantasi-hukum-dan-pluralisme.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2014.

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

212