Acta Comitas (2017) 2 : 1 83 – 1 88

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

TANGGUNGJAWAB PENGURUS LPD DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DESA PAKRAMAN

Oleh

I Gusti Ngurah Rama Darmawangsa*, I Ketut Mertha**, I Made Sarjana***

ABSTRACT

LPD MANAGEMENT RESPONSIBILITIES IN FINANCIAL MANAGEMENT PAKRAMAN

One of the non-bank financial institutions in Indonesia, especially in Bali is the Village Credit Institutions (LPD). As a non-bank financial institutions, the different LPD system implemented by the banking system in general, which tends to prioritize its activities to pursue distinct profit entity with LPD more mengutakan the interests and welfare of the community by providing a wide range of easiness. Along with the development and existence are increasingly being recognized and trusted by the public, then there is also improvement of its regulation of LPD that until today has undergone improvements to the issuance of Bali Provincial Regulation No. 3 of 2007 on Credit Institutions Desa (LPD). From this background, this thesis research moved from the management arrangements and accountability form LPD relating to the financial management of the Pakraman and customers.

This study uses normative law research with the consideration that the starting point of the research is the analysis of the norm vague in terms of monitoring the implementation of the LPD, the approach used to address the problem is the approach of legislation, the conceptual approach and the approach to history while the legal materials used are legal materials legislation and analysis used is the analysis of grammatical interpretation, interpretation of systematic and historical interpretation that subsequent analysis based on relevant theories.

The results of this study came to the conclusion that the management arrangements end of the financial Pakraman conducted by LPD, by adhering to the precautionary principle in order to LPD remain healthy, with provision concerns such as: capital adequacy, lending limits, the system klasivikasi loans, provision of spare borrowing hesitation (CPRR) sufficient, liquidity management, work plan and budget plan revenue expenditure (RK-RAPB) LPD and reports. LPD form of accountability in financial management and customer Pakraman where the board to submit a report on the activities, developments and liquidity LPD regularly every month and report every three months to the level of supervisor, BPD, PLPDK, and prajuru village.

Keywords: LPD, the Management and Supervisory Board.

*Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A. 2011/2012

**Pembimbing I

***Pembimbing II


inilah merupakan sumber dari Hukum Adat. Supomo, sebagaimana dikutip Surojo Wignjodipuro mengatakan bahwa Hukum Adat itu dipakai sebagai sinomin dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislative (unstraturory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasahnya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 1

Mengingat semakin mendesaknya kebutuhan permodalan bagi masyarakat pedesaan, maka pemerintah daerah

1Surojo Wignjodipuro, 1986, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Gunung Agung, Jakarta, h. 14

khususnya Pemerintah Provinsi bali mulai mengembangkan lembaga keuangan di lingkungan masyarakat pedesaan yang dikenal dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD).2

Dalam perkembangannya, sebagai upaya untuk lebih menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi keberadaan dan kegiatan lembaga perkreditan desa (LPD) sebagai suatu lembaga yang menjalankan fungsi keuangan milik desa pakraman dan krama desa yang menjadi anggotanya, dibentuklah peraturan daerah (PERDA) No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang telah dirubah dengan PERDA No.3 Tahun 2007 Tentang LPD yang telah dirubah kembali dengan PERDA No. 4 Tahun 2012 Tentang perubahan kedua atas peraturan daerah provinsi bali No. 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD).

Penjelasan Perda Nomor 8 Tahun 2002 sebagaimana telah dirubah berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2007 mengatakan bahwa: Desa dapat memiliki badan usaha, dan untuk itu desa-desa di Bali, khususnya di desa pakraman didirikan lembaga pekreditan desa (LPD). Keberadaan LPD ini sangat fositif bagi perkembangan perekonomian desa. LPD merupakan lembaga keuangan milik Desa Pakraman yang telah brekembang,memberikan manfaat sosial, ekonomi dan budaya kepada anggotanya, sehingga kedepan perlu terus dibina, ditingkatkan kinerjanya, dan dilestarikan keberadaannya.

Dibentuknya LPD tidak dapat dipungkiri memang merupakan suatu kebutuhan mengingat akses untuk mendapatkan kredit melalui lembaga keuangan bank sangat terbatas. Guna menunjang kelancaran pembangunan dan perekonomian didaerah pedesaan serta meningkatkan desa pakraman dengan segala aspeknya, maka kehadiran LPD dapat memperkuat keuangan desa pakraman, karena LPD bergerak dalam simpan pinjam layaknya seperti perbankan. Kredit yang disalurkan oleh Lembaga Perkreditan Desa tidak selamanya berjalan dengan lancar karena tidak jarang didalam pengembaliannya mengalami hambatan baik menjadi kredit yang bermasalah maupun menjadi kredit yang macet. Berkaitan dengan hal diatas, maka pengelolaan keuangan oleh pengurus LPD

harus dilakukan dengan prinsip-prinsip transparan/keterbukaan,      akuntabilitas

dalam arti dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis, mental/etika. Pengelolaan keuangan LPD oleh pengurus dengan prinsip-prinsip tersebut mencakup pengelolaan modal LPD, dana masyarakat yang terhimpun dan tersimpan di LPD dalam bentuk tabungan, pembukuan LPD yang baik, SHU LPD, realisasi pemanfaatan, keuntungan LPD bagi kepentingan umum dan desa pakraman termasuk kredit yang tidak lancar/macet. Atas dasar hal inilah yang menarik untuk diangkat kedalam tesis dengan judul. Tanggungjawab Pengurus LPD Dalam Mengelola Keuangan Desa Pakraman.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan pengelolaan keuangan Desa Pakraman yang dilakukan oleh LPD?

  • 2.    Bagaimanakah                bentuk

pertanggungjawaban    LPD    yang

berkaitan dengan pengelolaan keuangan terhadap Desa Pakraman dan nasabah?

  • 1.3.    Metode Penelitian

Jenis pendekatan yang digunakan untuk membahas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini antara lain :

  • a.    Pendekatan     perundang-undangan

(statue approach) yaitu dilakukan dengan      menelaah      peraturan

perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan LPD.

  • b.    Pendekatan Konseptual (conceptual approach)      dilakukan      untuk

menemukan pengertian hukum/konsep hukum tentang LPD.

  • c.    Pendekatan     sejarah     (historical

approach),     digunakan     untuk

memahami filossofi dari aturan-aturan hukum LPD.

“Penelitian ini menggunakan dua jenis bahan hukum”.3 Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat berupa : peraturan dasar maupun peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku yang terkait dengan hukum perbankan, makalah, hasil penelitian, artikel, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan perkreditan dan LPD.

Bahan-bahan hukum yang diolah tersebut kemudian diinterpretasikan dengan metode bantuan, yakni interpretasi

  • 3Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2003, penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13

hukum untuk menganalisa. Dalam hal ini interpretasi yang digunakan yakni interpretasi    gramatikal,    interpretasi

sistimatis dan interpretasi historis yang selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan permasalahan yang ada. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara sistimatis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya

  • II. PEMBAHASAN

  • 2.1.    Pengaturan Pengelolaan Keuangan Desa Pakraman Oleh LPD

Pemberian kredit oleh LPD di Kabupaten Badung kepada calon nasabah melalui suatu proses atau mekanisme. Proses dimaksud bertujuan agar nantinya kredit yang disalurkan itu betul-betul memberi manfaat maksimal baik bagi pemohon (debitur) maupun LPD. Bagi kepentingan LPD, tentunya mekanisme itu sungguh sangat berarti bila di hubungkan dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit. Bila tidak melalui proses, nantinya dapat memunculkan peluang adanya kredit-kredit bermasalah, yang ada pada gilirannya akan mengganggu aktivitas dan keuangan LPD. Dalam mekanisme pemberian kredit oleh LPD, ada beberapa tahapan yang harus dilalui/ditempuh, yaitu :

  • a.    Tahap Pendekatan

Dalam tahap pendekatan yang dimaksud dalam hal ini adalah pendekatan dari calon nasabah untuk mendapatkan kredit dari LPD. Pihak LPD kemudian wajib untuk memberikan informasi tentang :

  • 1    Prosedur pemberian kredit

  • 2    Syarat-syarat yang harus dilengkapi

  • 3    Jenis-jenis kredit yang disediakan oleh LPD

  • 4    Syarat-syarat lainnya kaitannya dengan fasilitas kredit yang disalurkan.

Dari informasi tersebut kemudian akan dilanjutkan dengan wawancara secara umum kepada calon nasabah tentang usahanya, sehingga petugas bagian kredit LPD langsung mendapatkan gambaran umum tentang rencana kredit yang akan dibiayai.

  • b.    Tahap permohonan kredit

Setelah point 1 (satu) diatas diketahui oleh calon nasabah, maka yang bersangkutan selanjutnya segera akan mengajukan permohonan kredit secara resmi kepada LPD dengan mengisis formulir permohonan kredit dengan melampirkan semua persyaratan yang telah ditentukan seperti, foto copy KTP, Kartu Keluarga, Jaminan (Agunan), pass foto, dan lain-lainnya. Kelengkapan administrasi ini diperlukan, disamping untuk mengetahui identitas permohon kredit, juga untuk mengetahui secara pasti tentang bukti kepemilikan yang sah dari benda yang dijadikan agunan kredit.

  • c.    Tahap indentifikasi dan analisis kredit

Dalam tahap ini dilaksanakan wawancara dan penelitian yang mendalam terhadap calon debitur (nasabah, untuk mengetahui secara pasti tentang aspek manajen, aspek pemasara, aspek keuangan, aspek hukum, dan aspek –aspek lainnya yang masih berkaitan denfan permohonan kredit. Aspek-aspek ini penting untuk dianalisis oleh bagian kredit LPD, sehingga nantinya dapat diputuskan tentang layak dan tidaknya calon debitur (nasabaha) itu untuk mendapatkan kredit dari LPD.

  • d.    Tahap pengusulan

Setelah mendapatkan keyakinan dari LPD tentang kemungkinan dapat diberikannya kredit kepada pemohon, maka selanjutnya permohonan kredit tersebut diusulkan kepada pimpinan LPD dan Bendesa Adat untuk mendapatkan persetujuan. Pihak manajemen LPD akan berkoordinasi dengan Bendesa Adat selaku Ketua Badan Pengawas didalam memutuskan atau memberi persetujuan penyaluran kredit kepada calon nasabah. Keterlibatan Bendesa adat dalam hal ini mengingat LPD itu adalah milik desa adat, dan semua pengurus LPD diangkat dan diberhentikan oleh desa adat dalam paruman adat dibawah pimpinan bendesa adat (pasal 11 Peraturan Daerah Bali No. 8 Tahun 2002). e. Tahap realisasi

Setelah mendapatkan persetujuan, maka selanjutnya dibuat Surat Perjanjian Pijaman (SPP) dengan contoh formulir yang sudah disediakan oleh LPD. Surat Perjanjian Pijaman (SPP) ini adalah perjanjian pijam meminjam (kredit) antara pihak LPD dengan nsabag yang memuat semua persyaratan kredit, terutama yang menyangkut hak dan kewajiban pihak-pihak (LPD dan nasabah). SPP ini ditanda oleh kedua belah pihak diatas materai secukupnya. Dalam kaitannya dengan hal ini juga dibuatkan Surat Perjanjian Pengkatan jaminan sesuai dengan jenis bendanya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu tahap penting dalam proses pemberian kredit oleh LPD sebagaimana telah disampaikan diatas adalah tahapan analisa kredit, untuk mencapai tujuan keberhasilan pengelolaan kredit harus dilakukan analisa yang akurat dan mendalam oleh seorang analisa atau pejabat yang bertugas pada unit pengelolaan kredit guna mengurangi resikon kredit bermasalah.4

  • 1.2.    Pertanggung Jawaban LPD Dalam

    Pengelolaan Kauangan Desa Pakraman

Pertanggung jawaban LPD dalam mengelola keuangan Desa Pakraman, telah diatur dalam peraturan daerah Provinsi Bali No. 4 tahun 2012 tentang perubahan ke dua atas peraturan Daerah Provinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Pekreditan Desa, pada Pasal 17 berbunyi ”

  • 4Sutarno, 2003, Aspek –Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, bandung.h. 3

Pengurus menyampaikan laporan tentang kegiatan, perkembangan keuangan dan kinerja LPD kepada Bendesa dan LPLPD secara teratur setiap bulan, 3 (tiga) bulan dan tahunan ”,selanjutnya Pasal 18 ayat (4), ditegaskan ”atas permintaan krama desa melalui paruman, sekali dalam satu tahun harus dilakukan audit”

Dalam rangka mengukuhkan, menjamin dan melindungi hak-hak karakteristik dari Desa Pakraman, termasuk antara lain dalam kaitan dengan hak otonom Desa Pakraman untuk mengelola potensi keuangannya, Pemerintah Provinsi Bali telah pula menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa yang pada prinsipnya dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum berkenaan dengan fungsi-fungsi pengelolaan keuangan Desa. LPD merupakah salah satu unsur kelembagaan Desa Pakraman yang menjalankan fungsi keuangan Desa Pakraman untuk mengelola potensi keuangan Desa Pakraman. Lembaga ini sangat berpotensi dan telah terbukti dalam memajukan kesejahteraan masyarakat desa dan memenuhi kepentingan desa itu sendiri.

  • 1.3.    Upaya LPD Dalam Mengembalikan Kredit Yang Tidak Lunas Berdasarkan Awig-Awig Desa Di LPD Desa Pakraman

Faktor yang paling penting adalah diketahui atau tidaknya pelanggaran itu sendiri oleh masyarakat. bagaimanapun juga “setiap orang harus terlibat di dalam penggunaan sanksi-sanksi pada sistem sosial tempat ia berada.”5 Hukum Adat yang merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana-sini mengandung unsur agama Konsepsi Hukum Adat itu disatu sisi ada unsur tradisional yang menekankan pada kehendak nenek moyang, dan dilain pihak ada unsur agama yang dapat memberikan jiwa dari Hukum Adat itu sendiri, sehingga ada rasa pentaatan dan penghormatan yang sedemikian besar, karena mampu memenuhi rasa keadilan dan kepatutan sesuai dengan perkembangan pola pikir masyarakat itu sendiri, dan dengan sifatnya yang tidak tertulis akan mampu beradaptasi dengan dinamika masyarakat.

Ketaatan masyarakat pada pemimpin-pemimpinnya dan Hukum Adat yang berlaku tidak akan dapat ditumbuhkan dengan paksaan dan kekerasan, oleh karena kehidupan masyarakat adat itu tergantung pada kesadaran hukum yang didasarkan pada asas musyawarah dan mufakat yang murni. Masyarakat dalam wadah Desa Adat merasa sangat terikat akan adat istiadat dan Hukum Adatnya karena merupakan refleksi dari struktur kejiwaannya dan yang dirasakan sangat sesuai dengan rasa keadilannya, sehingga mereka akan sangat hormat dan patuh, serta mengakui

eksistensi Hukum Adat (Awig-Awig Desa Adat atau Perarem Desa Adat) untuk dijadikan pedoman dalam pola tingkah laku berinteraksi sosial, sehingga walaupun masyarakatnya berkembang sesuai dengan perkembangan jaman akibat dari kemajuan dalam struktur berfikirnya, namun peranan Hukum Adat masih dapat dirasakan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dalam lingkungan Desa Adat seperti dalam pemberian kredit di Lembaga Perkreditan Desa dan cara-cara pemecahan kredit macet pada Lembaga Perkreditan Desa. Reaksi adat atau sanksi adat yang diberikan kepada warga atau pengambil kredit yang lalai yang merupakan hasil paruman Desa Adat yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh warga karena jika warga jika melaksanakannya maka warga akan dikenakan sanksi yang lebih berat lagi. Akan tetapi jika warga melaksanakan hasil paruman itu tanpa adanya protes terhadap hasil paruman tersebut maka Desa Adat tidak akan menjatuhkan sanksi lagi kepada warga atau pengambil kredit karena keseimbangan yang telah terganggu itu telah kembali seperti semula. Jadi sanksi-sanksi adat yang dikenakan oleh Prajuru Desa Adat kepada seorang warga masyarakat yang telah melanggar tata tertib adat tidak bertujuan untuk memberikan hukuman kepada warganya, tetapi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan yang telah terganggu. Warga yang tidak melunasi utang-utangnya di Lembaga Perkreditan Desa itu walaupun tidak dikenakan sanksi adat seperti yang termuat didalam Awig-Awig tapi di dalam pelaksanaan dari hasil paruman dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan bahkan terkadang warga merasa aman dan dilindungi oleh Desa Adatnya. Berdasarkan hasil Wawancara dari Bapak Nyoman Mudayasa menyatakan: ”Bahwa Kasus Kredit yang dinyatakan wanprestarsi di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pekraman, yang bernama I Nyoman Temen, karena tdak membayar angsuran pokok beserta bunganya. I Nyoman Temen diberikan sanksi denda dan perpanjangan waktu untuk melunasi kreditnya di Lembaga Perkreditan Desa.

Apabila tidak dapat memenuhi sanksi denda, dikenakan sanksi adat kanorayang yaitu lebih lanjut dinyatakan oleh Bapak I Nyoman Mudayasa (Ketua Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pekraman), Sanksi denda yang dijatuhkan oleh Desa Adat kepada I Nyoman Temen itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh I Nyoman Temen tanpa adanya hambatan. LPD tidak mau tau apakah ia meminjam uang atau menjual harta kekayaannya, untuk pelunasan seluruh utangnya di Lembaga Perkreditan Desa. Yang jelas ia tidak ingin dijatuhkan sanksi yang lebih berat seperti sanksi kanorayang. (Wawancara tanggal 2 Januari 2016).

Dengan dilaksanakannya sanksi adat tersebut maka keseimbangan yang ada di dalam masyarakat yang telah terganggu itu dapat pulih

kembali seperti semula. Begitu pula dengan warga lainnya, Ketaatan mereka melaksanakan sanksi denda ini karena mereka juga takut dikenakan sanksi kanorayang yang akan menyelutikan karena akan mereka untuk memperbaiki hubungannya dengan warga yang lain. Disamping itu Desa Pekraman berhati-hati untuk menjatuhkan sanksi berupa kanorayang, karena kalau setiap orang atau setiap yang melakukan kesalahan yang mengganggu keseimbangan yang ada didalam masyarakat dikenakan sanksi Adat atau dikenakan sanksi kanorayang maka setiap Desa Adat yang terdapat di daerah Bali khususnya Desa Pekraman akan banyak kehilangan warganya dan sedikit mempunyai warga karena warga takut menjadi warga Desa Adat. Padahal Desa Adat itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat Desa Adat maupun dalam proses pembangunan, karena Desa Adat di Bali merupakan kesatuan masyarakat Hukum Adat yang sangat besar peranannya dalam bidang Agama, Idiologi Negara, Sosial Kultural, Ekonomi, dan Pertahanan Keamanan. Dan banyak kegiatan yang merupakan program pemerintah yang selalu mempergunakan Desa Adat untuk mencapai tingkat keberhasilan yang optimal misalnya untuk menanggulangi masalah kependudukan seperti Keluarga Berencana. (Wawancara tanggal 2 Januari 2016).

Pelaksanaan penyelesaian wanprestasi dengan Asas kekeluargaan dan kerukunan yang berlaku di masyarakat adat. Jadi kalau “seseorang belum juga dapat membayar pinjamannya maka si berpiutang harus berlaku sopan dan baik dalam melakukan penagihan”.6 Hukum Adat tidak membenarkan seseorang yang belum mampu membayar pinjamannya dipaksa dengan kekerasan agar mau membayar. Peraturan yang secara formal tetap hidup, namun lumpuh dalam pelaksanaan sering disebut tidak efektif. “Awig-Awig biasanya efektif dalam gerak, walaupun paket sanksi yang diancamkan bagi para pelanggarnya jauh lebih ringan dibanding dengan yang diancamkan oleh undang-undang atau peraturan yang lain”.7

Hasil dari paruman tersebut dilaksanakan oleh pengambil kredit yang lalai itu, bukan karena hasil paruman itu lebih ringan daripada norma yang telah diatur dalam Awig-Awig Desa Adat atau Perarem Desa Adat. Akan tetapi disebabkan oleh adanya perasaan malu dari warga desa atau pengambil kredit kalau permasalahan ini tidak terselesaikan. Hasil paruman itu efektif untuk menyelesaikan masalah kredit macet pada Lembaga Perkreditan Desa. Awig-Awig itu lahir dari dalam masyarakat, sedangkan undang-undang

dianggap sebagai hasil pekerjaan orang lain. Ketentuan adat ini bisa saja dirancang di warung kopi atau sambil duduk-duduk dimana saja, kemudian hasil obrolan dirembugkan kembali dalam suatu pesangkepan/ peparuman banjar atau desa. Bila benar-benar mengena di hati warga, barulah diambil suatu keputusan. Dengan demikian, mengikatlah Awig-Awig itu dan bagi mereka yang melanggarnya maka akan dikenakan sanksi. Sehingga Awig-Awig secara mulus akan berjalan seperti yang diharapkan sebelumnya.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas penyelesaian yang dilakukan oleh Lembaga Perkreditan Desa apabila terjadi wanprestasi itu tidak selalu harus melalui paruman Prajuru Desa Adat. Jika dengan cara pendekatan saja pengambil kredit telah melunasi kreditnya maka tidak perlu lagi adanya paruman. Oleh karena itu berat ringannya sanksi yang dijatuhkan atau reaksi dari masyarakat tidaklah sama tergantung kesalahan yang telah dilakukan. Kredit yang disalurkan walaupun telah dilakukan penilaian kredit oleh Lembaga Perkreditan Desa, belum tentu tidak mengalami kemacetan. Di dalam praktek Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pekraman lebih mengutamakan pengembalian bunga daripada angsuran pokok karena pemasukan itu lebih banyak diperoleh dari bunga daripada dari angsuran pokok. Akan tetapi badan pengawas di dalam pemeriksaannya yang dilihat terlebih dahulu adalah pembayaran angsuran pokok. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya timbul kredit macet di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pekraman.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wayan Ngabih Bendesa Desa Pakraman Lebih menyatakan : ”Dalam menyelesaikan kredit yang dinyatakan wanprestasi di Lembaga Perkreditan Desa Pakraman dilakukan melalui dua tahap : Tahap Pertama Lembaga Perkreditan Desa terlebih dahulu melakukan pendekatan terhadap pengambil kredit yaitu dengan cara berkunjung ke rumah pengambil kredit atau mendatanginya dan memberitahukan kalau kreditnya telah mengalami kemacetan serta memberikan pengertian dan teguran agar pengambil kredit segera melunasi kreditnya itu. Apabila pengambil kredit tidak melunasinya maka Lembaga Perkreditan Desa akan memberikan teguran yang kedua. Dan jika pengambil kredit karena satu dan lain hal tidak dapat melunasi kreditnya maka Lembaga Perkreditan Desa akan memberikan teguran yang ketiga.

Tahap Kedua teguran yang ketiga tidak diindahkan oleh pengambil kredit maka Lembaga Perkreditan Desa akan melimpahkannya kepada Desa Adat karena Lembaga Perkreditan Desa merasa tidak mampu untuk menyelesaikannya. Sebelum diadakannya paruman tentang kredit macet tersebut, Bendesa Adat akan melakukan pendekatan lagi terhadap pengambil kredit agar permasalahannya tidak diselesaikan melalui paruman desa karena warga desa merasa

mendapatkan tekanan moral jika permasalahannya itu sampai pada paruman. Apabila pendekatan yang dilakukan oleh Bendesa Adat ini juga tidak berhasil maka diadakan paruman untuk membahas hal ini.(Wawancara tanggal 2 Januari 2016).

  • III. PENUTUP

  • 3.1.    Kesimpulan

  • a.    Pengaturan pengelolaan keuang Desa Pakraman yang dilakukan oleh LPD, dengan menganut prinsi kehati-hatian agar LPD tetap sehat, dengan menyangkut ketentuan seperti :

  • -    Kecukupan modal

  • -    Batas maksimum pemberian kredit

  • -    Sistem klasivikasi pinjaman

  • -    Penyediaan cadangan pinjaman ragu-ragu (CPRR) yang cukup.

  • -    Menejemen likuiditas.

  • -    Rencana kerja dan rencana anggaran pendapatan belanja (RK-RAPB) LPD dan laporan.

  • b.    Bentuk pertanggungjawaban LPD dalam pengelolaan keuangan Desa Pakraman dan nasabah dimana pengurus menyampaikan laporan tentang kegiatan, perkembangan dan likuiditas LPD secara teratur setiap bulan dan laporan tingkat setiap tiga bulan kepada pengawas, BPD, PLPDK, dan Prajuru Desa. Selambat-lambatnya tiga bulan setelah tahun buku berakhir,

pengurus LPD harus menyampaikan laporan tahunan disertai neraca dan perhitungan laba rugi kepada prajuru Desa untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya disampaikan kepada pengawas untuk mendapat pengesahan.

  • 3.2.    Saran –saran

  • a.    Agar seluruh pemangku kepentingan sesuai dengan kedudukan, tugas dan pungsi mereka menurut konstitusi dalam rangka memulihkan, meneguhkan kembali, dan     mengembangkan     hak-hak

konstitusional LPD Desa Pakraman sebagai salah bentuk badan usaha keuangan milik desa pakraman dalam konteks dan fungsi-fungsi LPD Desa Pakraman dalam pengemban kebudayaan dan penanda identitas Bangsa.

  • b.    Kepada seluruh masyarakat Bali yang beragama Hindu sebagai Krama Desa Pakraman, hendaknya memanfaatkan keberadaan LPD Desa Pakraman untuk kepentingan sehari-hari dalam upaya mengembangkan, mengukuhkan dan melestarikan salah satu lembaga keuangan desa pakraman, jangan sampai justru tidak tau tentang keberadaan LPD malah hanya menghubungi bank jika keperluan yang berkaitan dengan uang/ modal usaha. Agar LPD Desa Pakraman tetap eksis.

    DAFTAR PUSTAKA

    Darsana, I.B.,2001, Profil kegiatan lembaga Pekreditan Desa Di Era Reformasi, Makalah Kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat II badung dan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Denpasar.

    Hadikusuma Hilman, 1990, Hukum Perjanjian Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung .

    Surojo Wignjodipuro, 1986, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.  Gunung Agung,

    Jakarta.

    Soerjono Soekanto, dan Soleman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia Rajawali, Jakarta.

    Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2003, penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.


Sutarno, 2003, Aspek –Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, bandung.

Wirta Griadhi, I Ketut, et. al, 1991, Perkembangan Hukum Adat di Desa Buungan Kabupaten Bangli, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Udayana, dibiayai dari Dana Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas (OPF) Universitas Udayana dengan SK No. 118/PT.17.H9/III/N. 4/1990 tanggal 1 Agustus 1990; Universitas Udayana Denpasar.

Windia, Wayan, Windia, I Wayan, 1994, Meluruskan Awig-Awig Yang Bengkok, Denpasar.

Undang-Undang

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang otoritas Jasa Keuangan

Keputusan Presiden No. 19/M Tahun 2013 tahun 2001 tentang Desa Pakraman

Perda Provinsi Bali No.02 Tahun 1998 tentang Lembaga Perkreditan Desa

Perda Provinsi Bali No.4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perda No. 8 Tahun 2002 tentang LPD.

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang LPD

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

188