Pewarisan Anak Yang Lahir dari Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Adat Bali
on

Vol. 8 No. 03 Desember 2023
e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Pewarisan Anak Yang Lahir dari Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Adat Bali
Anak Agung Gede Krisna1 I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: gungkrisna64@yahoo.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: mas_jayantiari@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk : 24 Oktober 2023
Diterima : 8 Desember 2023
Terbit : 8 Desember 2023
Keywords :
Inheritance, mixed marriages, citizenship, Balinese customs
Kata kunci:
Waris, Perkawinan Campuran, kewarganegaraan, Adat Bali
Corresponding Author:
Anak Agung Gede Krisna, Email: gungkrisna64@yahoo. com
DOI :
10.24843/
AC.2023.v08.i03.p11
Abstract
The objective of this journal is to comprehend the citizenship status and inheritance of children from mixed marriages from the perspective of Balinese customary inheritance law. this paper in normative research legal is use with a legislative aproach as well as legal. The results on this research how the citizenship status of a child resulting from a mixed marriage will only be considered an Indonesian citizen if the citizenship he obtained from his parents' marriage resulted in him having two citizenships. It is clear that a child, once eighteen years of age or married, must choose citizenship. The inheritance of children's rights in mixed marriages from the perspective of Balinese customary law is determined by the form of marriage carried out by the parents, which adheres to Indonesian marriage and Balinese customary inheritance law. If the mother is a Balinese woman and the father is a foreigner with a normal marriage, it is that the law that applies to the marriage is the marriage law that originates from the father. If the mother is a Balinese woman and the father is a foreigner who has a nyeburin form of marriage, then the law that is applied from the marriage is customary law. Bali, and children's inheritance rights are determined by the mother's law, in this connection is Balinese customary law.
Abstrak
Tujuan dibuatnya jurnal ini yaitu untuk memahami status kewarganegaraan serta pewarisan anak dari perkawinan campuran perspektif hukum adat waris bali. Tulisan ini mempergunakan, yaitu penelitian hukum normatif beserta pendekatan perundang-undangan juga konsep hukum. Hasil penelitian ini memperlihatkan kewarganegaraan seorang anak hasil dari perkawinan campuran baru akan dianggap sebagai warga negara Indonesia apabila kewarganegaraan yang diperolehnya dari perkawinan orang tuanya mengakibatkan ia mempunyai dua kewarganegaraan. Jelaslah bahwa seorang anak, setelah berumur delapan belas tahun atau sudah menikah, harus memilih kewarganegaraan. Pewarisan hak anak dalam perkawinan campuran dalam perspektif hukum adat Bali ditentukan bentuk perkawinan yang dilakukan orang tua, yang menganut hukum perkawinan Indonesia dan hukum adat waris bali. jika dalam hal ibu seorang perempuan bali sedangkan bapak WNA dengan perkawinanya biasa, jelas hukum yang
diberlakukan dalam perkawinan tersebut yaitu hukum perkawinan yang berasal dari bapak, jika ayah WNA dan ibu perempuan Bali dan yang bentuk perkawinan nyentana, jadi hukum yang diberlakukan dari perkawinannya yaitu hukum adat bali, dan hak mewaris anak ditentukan dari hukum ibu dalam kaitannya ini adalah hukum adat Bali.
Perkawinan campuran menjadi suatu hal yang sangat menarik di pulau Bali pada saat ini, pergaulan kehidupan manusia tidak hanya dibatasi dalam suatu daerah, suku, dan bahkan wilayah negara, namun pergaulan manusia sudah melewati batas-batas negara. Perkawinan beda kewarganegaraan orang yang asalnya dari suku, agama, dan sistem pewarisan yang berbeda. Wisatawan yang berkunjung ke Bali berasal dari berbagai negara, tentu saja mempunyai kewarganegaraan dan kebudayaan yang terlihat jelas berbeda dengan masyarakat bali, bahkan warga negara asing yang berlibur di Bali merasa nyaman sehingga ingin menetap dan tinggal di Bali. Wisatawan yang berkewarganegaraan asing tidak jarang menjalin hubungan asmara dengan orang lokal bali dan berlanjut pada jenjang yang lebih serius.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa . Manusia adalah makhluk sosial, dan mereka tidak bisa bertahan hidup sendiri.1 Apabila suatu perkawinan terjadi secara tidak langsung, maka terbentuklah ikatan antara sanak saudara calon mempelai. Keterkaitan ini kemudian diwujudkan untuk menjadikan keluarga harmonis dan tentram, mempersatukan keluarga agar hidup tertib, dan memperlancar lahirnya generasi penerus anggota keluarga.2 Jadi, sebagai bagian dari tujuan yang lebih besar, perkawinan juga berupaya untuk menciptakan dan menopang generasi penerus bangsa ini guna menjaga kehidupan dan keseimbangan bangsa.3
Pada hakikatnya perkawinan campuran diatur pada ketentuan pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), mengatur bahwa “yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”, melirik arti rumusan pasal itu, dapatlah dijabarkan unsur dari perkawinan campuran:
-
a. Perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
-
b. patuh terhadap peraturan yang berlainan
-
c. Berlainan kewarganegaraan
-
d. Salah satu kewarganegaraan Indonesia
Bagian pertama membahas pada subjek dalam perkawinan (asas monogami), sedangkan bagian kedua menggambarkan perbedaan peraturan yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang menikah di Indonesia. Perbedaan ini lebih disebabkan oleh kebangsaan, bukan agama, etnis, atau kelas sosial. Komponen keempat, yaitu kewarganegaraan Indonesia, menjadi pembeda kewarganegaraan dibandingkan sekedar kewarganegaraan asing. Terdapat hubungan perdata dalam perkawinan campuran yang melibatkan aspek asing, dan karena setiap negara memiliki undang-undang dan peraturannya sendiri, maka hukum perdata internasional dapat di pertimbangkan. Melihat kembali status keperdataan semakin berkembang di Indonesia, khususnya di Bali dimana perkawinan tunduk pada dua sistem hukum yang terpisah, maka komponen asing ini harus dipertimbangkan. Konsekuensi hukum dari perkawinan campuran tidak hanya mencakup status suami dan istri, tetapi juga mencakup status anak hasil perkawinan tersebut. Berkaitan dengan kawin campur mengenai status anak dari kawin campur diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan) Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3).
Mengenai anak dari perkawinan campuran antara perempuan Indonesia (seterusnya akan disebut WNI) dan laki-laki asing (seterusnya akan disebut WNA), atau sebaliknya, keberadaan sebagai WNI diakui secara setara didasarkan ketentuan Pasal 6 UU Kewarganegaraan, mengandung makna yaitu kewarganegaraan seseorang anak jika telah genap berumur di bawah delapan tahun dengan tidak langsung memiliki dua kewarganegaraan, setelah dia berusia delapan belas tahun dan juga menikah, dia diharuskan memilih kewarganegaraan manakah yang bakal dipilihnya. Pernyataan tersebut diajukan selambatnya 3 tahun jika anak berusia 18 ahun ataupun telah kawin.
UU Perkawinan hanya mengatur pengertian perkawinan campuran sedangkan UU Kewarganegaraan mengatur tentang status anak dalam perkawinan campuran. Hal lainnya yang sangat penting di dalam perkawinan campuran yaitu bagaimana kedudukan dan status anak dari perkawanan campur itu dalam halnya hukum keluarga, status kewarganegaraan anak secara tidak langsung berpengaruh terhadap hukum keluarga sehingga masih sampai saat ini masih menjadi suatu persoalan terhadap kedudukan anak tersebut sistem hukum waris. Dewasa ini di Indonesia belum terdapat aturan yang khusus mengenai hukum keluarga yang berlaku secara menyeluruh di bidang perkawinan. Aspek-aspek hukum keluarga lainnya seperti kedudukan anak di dalam keluarga, kedudukan anak di dalam pewarisan dan lain-lain masih diatur menurut hukum masing-masing, dalam hal ini yaitu kesatuan masyarakat adat bali dimana diatur dalam ranah hukum keluarga termasuk didalamnya pewarisan adalah hukum adat waris Bali.
Perkawinan campuran dapat dilihat dari perspektif hukum adat Bali, ada beberapa permasalah yang sering muncul, permasalah tersebut antara lain yaitu ada hubungan dengan definisi perkawinan dan sistem kekeluargaan. Faktor kedua ini akan menambah permasalahan mengenai keturunan, warisan (tanah atau harta perkawinan sebagai salah satu jenis warisan), serta bentuk dan tata cara perkawinan. Mengenai
hukum adat Bali yang masyarakatnya menggunakan sistem kekerabatan menarik garis keturuan mengikuti kebapaan (patrilineal), maka kehadiran anak laki-laki di dalam keluarga adat Bali sangat diharapkan sebagai penerus keturun dan waris yang akan diberikan oleh orang tua, baik itu dalam bentuk harta benda ataupun kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara). Apabila di dalam suatu keluarga belum mempunyai anak pria sebagai pelanjut keturuan, selanjutnya maka dapat memilih bentuk perkawinan nyeburin atau biasa disebut dengan nyentana, dan alternatif yang bisa dilakukan apabila tidak memiliki anak, maka berlakulah adat pengangkatan anak. Penelitian sebelumnya yang ditulis oleh Luh Anastasia Trisna Dewi, dan I Ketut Sudantra pada tahun 2021 yang berjudul “hak waris laki nyentana dalam perspektif hukum adat waris bali”, penelitian tersebut menyebutkan bahwa Perkawinan nyentana hanya dapat ditemukan dalam sistem hukum adat bali, jadi tata melangsungkan suatu perkawinan sentana jelas sama seperti ajaran agama hindu dan adat.4 Jadi sejalan dengan UU Perkawinan yang menyatakan “perkawinan dikatakan sah bila dilakukan dengan kepercayaan serta hukum dari agama. Menurut persyaratan hukum agama Hindu, pernikahan harus dianggap sah di Bali, di mana umat Hindu menganut keyakinan agamanya. Masyarakat hindu di Bali meyakini bahwa ritual perkawinan berbeda-beda menurut tempat pelaksanaannya (tata cara) berdasarkan kebiasaan, dalam hal adat berlaku di Bali sebagai persyaratan perkawinan dimana diharuskan melangsungkan upacara keagamaan.5
Hal-hal yang mengenai status waris anak dalam kawin campur tidak ditemukan jawabannya di hukum negara, tetapi harus dicari jawabannya dalam hukum adat Bali. Demikianlah sesungguhnya perkawinan campuran antara orang Bali dengan WNA berlaku dua sistem hukum yang berlainan. Dalam teori hukum, ketika terdapat beberapa sistem hukum yang berlaku dalam satu bidang kehidupan yang sama disebut dengan pluralisme hukum (legal pluralisme). Dalam hal perkawinan campuran, beberapa perkawinan negara dan hukum adat, aspek yang berkaitan dengan hal kewarganegaraan berlaku hukum negara, dalam hal UU Kewarganegaraan.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan bentuk-bentuk perkawinan yang berakibat terhadap kedudukan anak dalam sistem pewarisan diatur oleh hukum waris dan hukum keluarga suami istri, termasuk hukum adat waris Bali kerena dalam perkawinan yang dimaksud disini, istri adalah perempuan Bali beragama hindu yang tunduk pada hukum adat bali, kondisi berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam perkawinan campuran antara orang bali dengan WNA, menimbulkan ketidakjelasan mengenai hukum keluarga yang berlaku terhadap perkawinan tersebut serta akibat-akibat hukum yang menyertainya. Dari ketidakjelasan yang dimaksudkan, hal yang menarik untuk dicari jawabannya yaitu pewarisan anak dari perkawinan campuran ini, apakah mewaris dari keluarga pihak bapak atau dari keluarga pihak ibu.
Pentingnya kepastian hukum mengenai hak waris anak ini disebabkan karena anak adalah penerus keturunan yang sangat penting dijamin dan dilindungi hak-haknya, termasuk haknya dalam mewaris. Berdasarkan penjelasan pemikiran di atas, hal
menarik yang dapat diteliti mengenai pewarisan anak dalam perkawinan campuran, karena terjadi kekosongan norma yaitu, tidak terdapat pasal di dalam UU Kewarganegaraan maupun UU Perkawinan yang mengatur mengenai pewarisan anak hasil kawin campur dalam perspektif hukum adat waris bali. Mengenai kawin campur orang bali yang berkewarganegaraan Indonesia dengan WNA. Mengingat tidak ada aturan khusus dalam hal pewarisan dalam perkawinan campuran, maka penting untuk menyelidiki status pewarisan anak kawin campur. Demikian penelitian ini menjadi relevan dikaitkan dengan perkembangan masyarakat yang semakin mengglobal. Pada era globalisasi sekarang ini, batas-batas negara sudah semakin kabur dalam pergaulan masyarakat sehingga atraksi antara orang asing dengan penduduk lokal di bali seperti tidak ada pembatas. Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan, Adapun permasalahan yang dapat ditarik menjadi rumusan masalah:
-
1) Bagaimanakah pengaturan status kewarganegaraan anak yang terlahir dari perkawinan campuran dalam perspektif hukum adat waris Bali?
-
2) Bagaimanakah pewarisan hak anak hasil dari perkawinan campuran dalam perspektif hukum adat waris Bali?
Penulis berharap dapat mencapai tujuan berikut dengan penelitian ini: 1) untuk memperoleh gambaran yang jelas dan mendalam mengenai bagaimanakah status kewarganegaraan anak yang terlahir dari perkawinan campuran dalam perspektif hukum adat waris bali; 2) untuk mengetahui dan menganalisis tentang Bagaimanakah pewarisan hak anak hasil dari perkawinan campran dalam perspektif hukum adat waris Bali.
Penelitian sebelumnya yang memiliki substansi terkait dengan pewarisan anak perkawinan campuran, maka berikut merupakan salah satu penelitian yang dipakai state off art dari tulisan ini. Penelitian jurnal yang ditulis oleh Rahmardika Safira Edithafitri yang ditulis pada tahun 2017 dengan judul “hak waris anak yang lahir dari perkawinan campuran terhadap hak milik atas tanah”.6 Fokus permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut yaitu kedudukan hukum anak dari kawin campur di Indonesia dan pewarisam atas tanah dalam kawin campur. Penelitian selanjutnya yang ditulis oleh Putu Devi Yustisia Utami yang ditulis pada tahun 2021 dengan judul “implikasi yuridis perkawinan campuran terhadap pewarisan tanah bagi anak”.7 Dimana fokus dari permasalahan dalam penelitian ini yaitu implikasi yuridis perkawinan campuran mengenai apakah anak yang lahir dari perkawinan campuran dapat mewaris tanah yang berada di Indonesia. Jika dibandingkan dengan penelitian yang di sebutkan di atas tersebut dengan penelitian ini, terlihat terdapat perbedaan mengenai fokus dari penelitian. Penelitian ini lebih berfokus membahas status kewarganegaraan dan pewarisan hak anak kawin campur dalam perspektif hukum adat waris Bali.
Penelitian ini menggunakan cara atapun yang disebut dengan metode penelitian hukum nomatif atau Sotandyo Wigunyosebroto disebut sebagai penelitian doktrinal.8 Kajian hukum yang mengkaji bahan-bahan hukum dari undang-undang, peraturan, serta literatur terkait dikaitkan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian disebut dengan penelitian hukum normatif.9 Tulisan ini berfokus kekosongan norma yaitu, tidak terdapat pasal di dalam UU Kewarganegaraan maupun UU Perkawinan yang mengatur mengenai pewarisan anak perkawinan campuran dalam perspektif hukum adat waris Bali. pendekatan dipakai yaitu konsep hukum dan pendekatan perundang-undangan. Untuk mengetahui titik awal terjadinya konflik norma, maka akan dikaji dan dibahas dengan teori hukum yang bersifat umum dan guna menyelesaikan permasalahan yang berkaitan. Diharapkan dengan bantuan pendekatan undang-undang dapat terselesaikan dan dicapai kebenaran.10 Digunakan sumber hukum sekunder dan juga primerrbahan hukum primer yang memuat undang-undang yang dikutip dalam karya ilmiah tentang hukum perkawinan dan hukum kewarganegaraan ini merupakan muatan yang mendukung dan mengikat secara hukum. Sebaliknya, bahan hukum sekunder yang mendukung konteks terhadap dokumen utama yaitu hukum primer. Dalam contoh ini, konteksnya mencakup buku-buku tentang perkawinan campuran dan jurnal ilmiah. Bahan hukum sekunder juga dapat berbentuk buku, ensiklopedia terkait, atau jurnal ilmiah yang ada keterikatan dengan perkawinan campuran.11
-
3. Hasil dan Pembahasan
Keberlakuan UU Kewarganegaraan memunculkan beberapa peraturan dan petunjuk dalam pelaksanaan masih belum membuat urusan dalam perkawianan campuran bisa terselesaikan dengan baik. Karena undang-undang di Indonesia menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh garis keturunannya (ius sanguinis), permasalahan mengenai kedudukan dan status anak dapat timbul dalam perkawinan campuran yang melibatkan individu yang berbeda kewarganegaraan. Lebih lanjut, permasalahan kewarganegaraan anak akan mengemuka jika perkawinan tidak berhasil dan terjadi kekerasan yang akhirnya berujung pada perceraian berakibat pada kewarganegaraan anak tersebut. Di Indonesia, jumlah perkawinan campuran sedang
meningkat, sehingga menimbulkan permasalahan dalam menentukan kewarganegaraan anak perkawinan tersebut.12
Lebih lanjut menyinggung situasi anak perkawinan campuran, sebelumnya dikemas dalam UU Kewarganegaraan terdahulu, peraturan yang terdahulu mengenai anak hasil dari kawin campur antara pria WNA dengan perempuan WNI, maka anak itu akan mengikuti status hukum ayahnya. Apabila dalam kawin campur pria Indonesia dengan wanita asing mempunyai anak akan secara otomatis ikut dalam status hukum ayahnya WNI. Seterusnya pada UU Kewarganegaraan yang berlaku sekarang maka anak tersebut dari perkawinan campuran tidak memandang status hukum dari kedua orang tua apakah WNI atau WNA secara tidak langsung anak tersebut mendapat kewarganegaraan ganda yang terbatas. Setelah usia anak dewasa ataupun menikah, seorang anak diwajibkan untuk menentukan pilihan atau menyatakan satu kewarganegaraan. Maka dari itu, perlu ditentukan hukum apa yang akan diterapkan dalam perkawinan campuran dengan mengkaji bagaimana perkawinan tersebut dilaksanakan.
Salah satu masalah yang selalu akan dihadapi pelaku kawin campur yaitu status kewarganegaraan seorang anak. UU Kewarganegaraan tahun lama sebelum di ganti dengan yang baru menggunakan konsep kewarganegaraan tunggal, yang berarti bahwa anak hanya boleh memiliki satu kewarganegaraan yakni kewargangaraan dari pihak ayah, melihat UU Kewarganegaraan yang berlaku saat ini mengenai masalah status kewarganegaraan anak dari kawinan campur WNI dengan WNA diatur dari pasal 4 lebih jelasnya huruf c, d, dan e yang mengatur:
-
c. keturunan hasil perkawinan yang sah antara ibu warga negara asing dan ayah warga negara Indonesia;
-
d. keturunan yang dihasilkan dari perkawinan yang sah antara ayah berkewarganegaraan asing dan ibu berkewarganegaraan Indonesia
-
e. anak yang dilahirkan oleh seorang ibu warga Indonesia hasil perkawinan yang sah, namun ayahnya tidak berkewarganegaraan atau peraturan negara asal yang melarang anak tersebut memperoleh kewarganegaraan;
Pada ketentuan pasal tersebut dapat diketahui jika anak kawin campur menrima kewarganegaraan Indonesia, tidak penting mengenai siapa diantara orang tuanya yang berkewarganegaran Indonesia atau asing, yang penting adalah salah satu orang tuanya berkewarganegaraan indonesia Hanya saja, akan timbul persoalan dalam hal menentukan status kewarganegaraan anaknya, apabila akibat kawin campur kedua orang tuanya itu mengakibatkan anak tersebut mendapatkan kewarganegaraan ganda. UU Kewarganegaraan saat ini memungkinkan hal itu, jika anak tersebut dewasa atau belum menikah. Lebih lanjut jika anak telah menginjak 18 tahun dan sesudah kawin, yang bersangkutan tidak boleh berkewarganegaraan ganda lagi, bilamana sudah berusaha 18 tahun ataupun telah kawin, yang bersangkutan diwajibkan memilih
kewarganegaraannya. Hal itu diatur dengan pasal 6 UU Kewarganegaraan yang menerangkan:
-
1. Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
-
2. Pernyataan dengan pilihan kewarganegaraan yang diatur ayat (1) dibuat dengan tertulis dan disampaikan pada pejabat dengan lampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan undang-undangan.
-
3. Pernyataan untuk pilihan kewarganegaraan dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu selambatnya 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin.
Dari uraian diatas, status kewarganegaraan seorang anak kawin campur ditentukan di pasal 4 dan 6 UU Kewarganegaraan. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, seorang anak hasil kawin campur, diantara orang bali WNI dengan WNA, status WNI mengenai kewarganegaraannya yang didapatkan dengan hasil perkawinan orang tua tersebut mengakibatkan anak itu mempunyai dua kewarganegaraan atau ganda, jadi anak itu diharuskan menentukan kewarganegaraan pada saat genap berusia 18 tahun dan jika telah kawin.
Perkawinan laki-laki WNI dengan perempuan WNA, laki-laki WNI bisa memiliki kewarganegaraan Indonesia tetapi saat bersamaan yaitu laki-laki WNI kehilangan kewarganegaraannya, mengingat di bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal keturuan dilacak dari garis bapak maka perempuan WNA harus mengukuti kewarganegaraan suami, Sebagian besar perempuan WNA mengikuti kewarganegaraan suaminya, Indonesia menganut asas personalitas (lex patriate), dalam menentukan kewarganegaraan seorang terdapat dua asas yaitu berdasarkan tempat kelahiran (ius soli), kewarganegaraan ditentukan dari tempat lahir, dan keturunan (ius sanguinis) kewarganegaraan dipastikan mengukuti keturunan biasanya dari keturuan ayah. Menurut penulis apabila pria WNI kawin dengan perempuan WNA maka anak yang lahir itu dapat memilih asas ius sanguinis berdasarkan keturunan yaitu garis keturunan ayah untuk menentukan kewarganegaraanya.
Menurut hemat penulis dari segi hukum, UU Kewarganegaraan memiliki tujuan yang jelas dengan cara memberikan peluang hukum yang kawin dengan pria asing, supaya perempuan tersebut tidak lenyap suatu haknya yaitu selaku WNI dengan maksud dia diberikan hak tambahan dengan cara mempertahankan kewarganegraannya, selaku WNI atau ikut kewarganegaraan pria WNA, dan juga diberikan kepastian berupa hukum yang posisi kewarganegaraan Indonesia bagi seorang anak kawin campur atas seorang ibu perempuan WNI dan bapak hingga berusia delapan belas tahun dan jika telah kawin dan hingga itu dia harus untuk memilih kewarganegaraan yang mana akan dipilih.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hak waris anak hasil kawin campur orang Bali dengan WNA, untuk itu perlu mengetahui jenis hak apa yang dipakai dalam waris. Di dalam teori hak merupakan hukum yang di berhubungan dengan subajek hukum atau manusia tertentu dengan kata lain berlanjut menjadi sesuatu kuasa, dan saatu hakl yang muncul apabila telah mulai bergerak.13 Hak dibedakan dalam 2 hal yaitu hak mutlak dan hak relatif, setiap kekuasaan yang disematkan oleh undang-undang kepada subjek hukum untuk bertindak dengan memperhatikan kepentingannya merupakan hak mutlak. Hak relatif adalah segala kekuasaan atau wewenang yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan hak ini berlaku bagi semua subjek hukum lainnya dan harus dihormati oleh semua subjek hukum, diberikan kepada pihak lain atau subjek hukum tertentu dengan maksud agar memberikan sesuatu hak ini dan akan timbul dari suatu perjanjian.
Hak yang dipergunakan dalam hubungannya dengan waris yaitu hak mutlak, dimana hak mutlak tersebut termasuk hak yang perlu diakui dan dijunjung tinggi meliputi hak barang tidak bergerak dan sebaliknya. Pada masyarakat adat bali menganut struktur keluarga patrilineal, masyarakat hukum adat Bali mengambil garis keturunan dari bapak, atau dari apa yang mereka sebut dengan kepurusa atau purusa. Mayoritas masyarakat Bali menganut agama Hindu, dan sistem kekeluargaan purusa memiliki banyak kesamaan dengan yang terdapat dalam Manawa Dharmasastra, salah satu kitab hukum hindu. Oleh karena itu, sistem kekiluargaan yang diterapkan masyarakat tradisional bali diyakini dipengaruhi oleh ajaran hindu. Dapat dipahami bahwa adat istiadat bali dan agama hindu berpadu erat dalam hukum keluarga yang berlaku, meskipun dapat dikatakan bahwa hukum hindu sendiri berlaku pada adat bali.
Berkenaan dengan perkawinan campuran diantara orang bali WNI dengan WNA, kemungkinan besar yang terjadi yaitu:
-
a. Perkawinan diantara laki-laki Bali WNI dengan perempuan WNA;
-
b. Perkawinan diantara perempuan Bali WNI dengan laki-laki WNA.
Dapat diketahui bahwa aturan yang diberlakukan, yaitu dibidang hukum publik ataupun hukum perdata, terhadap suami-istri dan kedudukan anak hasil kawin campur ditentukan oleh kewarganegaraan diperoleh dari perkawinan campuran itu, maka apabila dari perkawinan tersebut diperoleh kewargenegaraan Indonesia maka yang diberlakukan yaitu hukum Indonesia. Perkawinan campuran antara orang bali dengan WNA berlaku lebih dari sati sistem hukum (legal pluralism), disamping berlaku hukum negara (hukum nasional para mempelai) juga berlaku hukum adat.
Pasal 57 dapat di artikan apabila dua orang yang berlainan negara menikah, satunya adalah warga negara Indonesia, maka mereka kawin berdasarkan hukum yang berbeda hal ini dikenal dengan perkawinan campuran. Bahwa pengertian perkawinan tersebut, beberapa pengertian makna yang terdapat di dalam peraturan hukum atau
disebut tafsiran ekstensif. Dapat dimengerti bahwa terhadap kawin campur, yang dilaksanakan yang berada Indonesia tinduk pada aturan yang berbeda, yaitu hukum negara WNA dan hukum Indonesia. Maka analisis lebih jauh lagi kawin campur yaitu antara WNA dengan orang Bali, dan dilihat dari bentuk perkawinan yang dianut masyarakat adat Bali yang beraneka ragam. Maka kewarganegaraan anak hasil dari kawin campur juga hukum waris yang berlaku terhadap anak itu, menyebabkan arti dari perkawinan campuran menjadi sangat luas. Keberlakuan hukum adat dalam perkawinan campuran antara orang Bali dengan WNA pada ketentuan yang menyangkut keabsahan perkawinan dan akibat-akibat perkawinan itu di dalam bidang keluarga, terutama mengenai hakikat suami-istri dan kedudukan anak di keluarga hal itu juga dalam bidang pewarisan.
Menganalisis hak waris anak dalam kawin campur antara pria Bali dengan wanita WNA, jadi analisis harus bertumpu pada hukum adat Bali, karena hukum pewarisan yaitu mengatur terhadap anak tersebut yaitu hukum adat waris Bali, sesuai dengan prinsip-prinsip sistem kekerabatan purusa yang dianut sistem pewarisan menurut hukum adat Bali. Seorang laki-laki berstatus jadi purusa dalam perkawinan campuran dengan siapapun, termasuk perkawinan dengan perempuan WNA, terkecuali apabila bentuk perkawinan tersebut nyeburin. Perkawinan yang biasa, pihak laki-laki statusnya yaitu menjadi purusa, sedangkan mempelai perempuan statusnya jadi pradana, yang masuk dalam sistem kekerabatan suaminya. Lantas anak hasil perkawinan itu secara otomatis status hukumnya dalam keluarga pihak bapak. Ia dapat hak dan menjalankan kewajiban hukum dalam pihak keluarga bapak, sedangkan dengan keluarga pihak ibu, dia tidak punya status hukumnya lagi. Status yang ada diantara mereka tersebut dengan keluarga dari ibu sebatas hubungan moral dan sosial. Salah satu hak anak dalam sudut pandang hukum adat bali yaitu hak waris. Dengan demikian anak hasil kawin campur seorang laki-laki bali dengan perempuan WNA mempunyai hak waris penuh terhadap harta yang diwariskan oleh pihak keluarga bapaknya.
Permasalahan yang terjadi berbeda dalam kawin campur perempuan hindu Bali dengan laki WNA. Ditinjau dalam perspektif hukum adat Bali, terdapat dua kemungkinan yaitu: kemungkinan pertama yaitu dengan bentuk perkawinan biasa, kemungkinan yang kedua bentuk perkawinan adalah nyeburin atau nyentana. Pilihan terhadap dua bentuk itu menyebabkan akibat hukum yang berbeda terhadap kedudukan anak dalam keluarga dan pewarisan. Sesuai dengan prinsip perkawinan pada masyarakat adat Bali yang berpegangan pada sistem kekerabatan purusa, maka dalam bentuk perkawinan biasa, seorang istri berstatus pradana dan ke luar dari lingkungan keluarga asalnya, terputus status hukum dengan asalnya seterusnya masuk sebagai bagian dari keluarga suaminya serta melanjutkan hak serta kewajiban yang baru di keluarga suami. Anak yang terlahir dari perkawian tersebut kedudukan hukumnya berada pada keluarga bapaknya, dalam pembahasan ini seorang anak hasil perkawinan itu memperoleh waris dari keluarga pihak bapak. Anak tersebut tidak berhak mewaris dari pihak ibunya. Itu kesimpulan dari persepktif hukum adat Bali. Namun bisa berbeda jika kondisinya ditinjau dari persepktif hukum yang berlaku terhadap pihak bapaknya yang berkewarganegaraan asing.
Pembahasan mengenai hak waris anak, maka dalam perkawinan campuran antara perempuan hindu Bali dengan laki-laki WNA dengan bentuk perkawinan nyeburin, seorang anak berkedudukan hukum dalam keluarga ibunya. Itu artinya bahwa anak
tersebut mendapat hak-hak dan kewajiban dibidang hukum keluarga pada keluarga pihak ibunya, sedangkan terhadap pihak keluarga bapak, ia tidak mempunyai hubungan hukum dan tidak mempunyai hak-hak dan kewajiban hukum, dengan berkedudukan hukum sebagai bagian dari kelurga pihak ibu, maka anak tersebut berhak atas warisan dari orangtuanya dan keluarag ibunya, ia tidak mempuyai status mewaris terhadap harta dari pihak bapaknya, terkecuali harta warisan itu telah diwariskan oleh bapaknya. Apabila bentuk perkawinan yang dipilih adalah nyeburin atau nyentana, bentuk perkaiwnan ini merupakan alternatif atau jalan keluar bagi keluaega yang hanya memiliki anak satu-satunya (tunggal) atau mempunyai salah satu saudara akan tetapi semuanya perempuan, jadi menghindari putusnya keturunan atau generasi , jadi salah seorang diantara anak perempuan dalam keluarga akan di kukuhkan oleh orang tua agar terus dapat tetap tinggal dirumahnya juga bestatus purusa, dalam hal melanjutkan swadharma terhadap keluarga dan desa adat.
Menurut hemat penulis, dimana terdapat lebih dari dua hukum hidup secara bersamaan (berdampingan) dalam suatu lingkup kehidupan sosiial dijelaskan dalam teori pluralisme hukum, berkaitan dengan yang dimaksud yaitu kedudukan hukum yang leboih dominan atau kuat kedudukannya bahwa aturan hukum kaitannya sekelompok masyrakat yang dilihat dapat memiliki kedudukan yang derajatnya sama, maka secara hirarki menunjukkan bahwa salah satu sistem hukum lebih dominan (mendominasi) dari pada sistem hukum lainnya. Dalam hal ini selain sistem hukum nasional yang derajatnya lebih tinggi yaitu UU Pekawinan dengan hukum adat waris bali yang derajatnya lebih rendah namun berdampingan dalam bidang kehidupan sosial.
Berdasarkan uraian diatas, pewarisan anak hasil dari kawin campur, dapat dicermati bentuk perkawinan yang dilangsungkan oleh orangtuanya berdasarkan hal ayah WNI bali dan ibu WNA yaitu perkawinan secara biasa, seterusnya dalam bidang hukum terhadap bentuk perkawinan orang tua yaitu perkawinan berdasarkan hukum nasional Indonesia dan juga hukum adat bali (mengenai bentuk perkawinandan aspek pengesahan), sebaliknya jika ibu seorang perempuan Bali dan bapak WNA dalam kaitannya bentuk perkawinannya tersebut perkawinan biasa, jelas dalam hal hukum perkawinan itu yaitu hukum perkawinan bapak, maka pewarisan anak diberlakukan oleh hukum bapaknya. Seseorang anak hasil dari perkawinan campuran mempunyai status mewaris dari ibu atau keluarga ibu, jika dalam perkawinan campuran tersebut, ibu Bali dan bapak WNA menetapkan model perkawinan nyeburin.
Status kewarganegaraan seorang anak hasil dari perkawinan campuran baru akan dianggap sebagai warga negara Indonesia apabila kewarganegaraan yang diperolehnya dari perkawinan orang tuanya mengakibatkan ia mempunyai dua kewarganegaraan. Jelaslah bahwa seorang anak, setelah berumur delapan belas tahun atau sudah menikah, harus memilih kewarganegaraan. Pewarisan hak anak dalam perkawinan campuran dalam perspektif hukum adat Bali ditentukan bentuk perkawinan yang dilakukan orang tua, yang menganut hukum perkawinan Indonesia dan hukum adat waris Bali. jika dalam hal ibu seorang perempuan Bali beragama Hindu sedangkan bapak WNA dengan perkawinanya biasa, jelas hukum yang diberlakukan dalam perkawinan tersebut yaitu hukum perkawinan yang berasal dari
bapak, jika dalam hal ibu perempuan Bali dan bapak WNA yang bentuknya perkawinan nyeburin, jadi aturan yang diberlakukan dari perkawinannya yaitu hukum adat waris Bali, dan hak mewaris anak ditentukan dari hukum ibu dalam kaitannya ini adalah hukum adat Bali.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Sirman, Dahwal. (2016). Perbandingan Hukum Perkawinan, Mandar Maju, Bandung
Sungono, B. (2016). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers
Windia, I..W.. (2016). Pengantar Hukum. Adat. Bali. Denpasar University Press
Jurnal
Boty, R. (2017). Kekuatan Akta Notaris Dalam Menjamin Hak Keperdataan. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 3(1), 85-98. DOI: http://doi.org/10.33760/jch.v3i1.12
Dewi, L. A. T., & Sudantra, I. K. (2021). Hak Waris Laki-Laki Nyentana dalam Perspektif Hukum Adat Waris Bali. Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan, 6(03), 593-606. DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i03.p10
Edithfitri, R. S. (2017). Hak Waris Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Campuran Terhadap Hak Milik Atas Tanah. Lex Adminstratum, 5(7). 27-35. DOI:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/17537
Kusuma, I. G. A. (2020). Analisis Pasal 4 Ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terkait Poligami. Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, 5(1), 69-78. DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i01.p06
Ningsih, N., Utama, I. M. A., & Sarjana, I. M. (2017). Kekuatan Mengikat Akta Notarial Perjanjian Perkawinan Terkait Harta Bersama Yang Dibuat Pasca Pencatatan. Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, 2(1), 12-26.
DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p02
Santoso, S. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat. Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 7(2), 412-434. DOI:
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/view/2162
Sukerti, N. N., & Ariani, I. G. A. A. (2018). Budaya Hukum Masyarakat Adat Bali Terhadap Eksistensi Perkawinan Beda Wangsa. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(4), 516-528.
DOI: https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i04.p07
Tjahjani, J. (2013). Kepastian Hukum Terhadap Anak Hasil Dari Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jurnal Independent, 1(2), 22-33.
DOI: https://doi.org/10.22225/kw.15.1.2021.80-89
Utami, P. D. Y. (2021). Implikasi Yuridis Perkawinan Campuran Terhadap Pewarisan Tanah Bagi Anak. Kertha Wicaksana, 15(1), 80-89.
Wijayanti, N. L. P. M. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Dalam Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan. Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(20), 291-300. DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i02.p06
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297 Dantambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6401)
548
Discussion and feedback